Kritik Terhadap Karya Montgomery Watt

Oleh: Sang Misionaris


Pendahuluan
    Di antara tokoh-tokoh besar dunia, tidak seorang pun yang begitu banyak dicerca seperti Nabi ﷺ. Selama berabad-abad, Islam dianggap sebagai musuh besar umat Kristen. Setelah beberapa propinsi terbaiknya jatuh ke tangan orang Arab, Kerajaan Bizantium menyerang Asia kecil. Sementara itu, Eropa Barat terancam oleh Islam melalui Spanyol dan Sisilia. Bahkan, sebelum “Perang Salib” yang memusatkan perhatian pada pengusiran orang-orang Arab dari tanah suci, Yerusalem, Eropa abad pertengahan sudah membangun suatu konsep tentang “Musuh Besar”. Dalam satu segi, jauh-jauh hari sebelum Salman Rushdie mengubah nama Nabi Muhammad dalam karya kontroversialnya, The Satanic Verses, dengan nama “Mahound” sang pangeran kegelapan, para orientalis pun telah lama mempersepsikan Nabi Muhammad secara negatif seperti Salman. Montgomery Watt misalnya, meski pun dalam karyanya, Muhammad Prophet and Statesman, tidak jelas mengungkapkan nama Muhammad sebagai Mahound, tetapi dalam beberapa hal, dengan kacamata eksternalis agama, dia banyak membuat kekeliruan-kekeliruan yang pada akhirnya, tidak saja melegitimasi ungkapan Muhammad sebagai “Mahound”, tetapi lebih dari itu merusak atau mendistorsi nilai-nilai aqidah Islam. Tulisan ini akan mencoba mengungkapkan sisi-sisi kelemahan tulisan Watt. Pendekatan yang dipakai adalah fenomenologis, dengan apa penulis mencoba memahami agama menurut konsepsi agama itu sendiri. Atau, seperti yang dikatakan oleh W.B. Kristensen dalam The Meaning if Religion: Lecture in the Phenomenology of Religion, meneliti agama lain dari perspektif penganut agama (baca: Al-Qur’an) menceritakan dirinya sendiri.



Dakwah Kenabian dan Problem Kewahyuan
    Keprihatinan dan kedukalaraan Nabi Muhammad menghadapi segala jenis kesukaran di Mekah pada periode dakwah Kenabian (telah dibahas di sini), ungkap Watt, menyebabkan dia mencari keheningan. Di lereng sebuah bukit batu yang gersang terdapat sebuah gua tempat dia kadang-kadang menyendiri atau tafakkur beberapa malam. Selama malam-malam yang sunyi sepi itu, dia mulai memperoleh kemenangan yang tidak pernah dirasakan ini, lanjut Watt, adalah wahyu yang diperolehnya dalam “keadaan mimpi atau penglihatan ruhani”.
    Gambaran Watt mengenai kondisi atau situasi sebelum Nabi menerima wahyu memang tidak bisa kita salahkan. Tetapi, ketika Watt menyatakan bahwa wahyu itu diperoleh saat Nabi dalam keadaan tidur (mimpi) ini yang tidak bisa dibenarkan. Pertama, ketika beliau sedang mencari hakikat kebenaran Allah, wahyu itu turun secara tiba-tiba dan mengejutkan. Karena itulah, Nabi ketakutan, kemudian segera pulang menemui istri beliau, Siti Khadijah, dengan hati yang berdebar. Seandainya peristiwa itu terjadi dalam mimpi, tentu tidak ada ketakutan hebat setelah beliau bangun, dan tidak akan turun ayat (Surat An-Najm ayat 11-12). Kedua, diriwayatkan Aisyah, bahwa turunnya wahtu kepada Rasulullah , sebelumnya diawali dengan mimpi yang benar pada saat beliau tidur. Dalam mimpi itu, dilihatnya cahaya fajar pagi, kemudian (setelah bangun) beliau berkhalwat. Nabi lalu pergi berkhalwat ke Gua Hira. Di sana beliau sembah sujud selama beberapa malam sebelum kembali ke rumah untuk mengambil bekal. Hal tersebut beliau lakukan berulang-ulang, dan untuk itu Khadijah selalu menyediakan bekal untuk beliau, hingga akhirnya datang al-Haq, Malaikat Jibril. Setelah peristiwa itu, Rasulullah pulang membawa firman tersebut dengan hati berdebar, lalu berkata kepada Khadijah: “Selimuti aku…selimuti aku”. Beliau segera diselimuti. Tidak lama kemudian, beliau tidak merasa ketakutan lagi. Kepada Khadijah beliau berkata: “Aku khawatir akan diriku sendiri.” Khadijah menjawab, “Tidak demi Allah, Tuhanmu tidak akan merendahkanmu (mencelakakanmu)…” (Hr. Bukhari dengan hadis No. 3. Versi Al-Alamiyah, Lidwa).    
Jika peristiwa-peristiwa yang menggoncangkan Nabi tersebut adalah suatu pengalaman mimpi, seperti pernyataan Watt, maka itu mustahil. Karena Al-Qur'an dengan jelas membantah orang-orang yang menyatakan turunnya wahyu melalui proses mimpi (Qs. 21:5).  
    Kepercayaan Muhammad bahwa wahyu datang kepadanya dari Tuhan, tulis Watt, tidaklah merintanginya menyusun kembali bahan-bahan tersebut, dan kalau tidak, memperbaikinya dengan pengurangan dan penambahan. Dalam Al-Qur’an, selanjutnya tulis Watt, terdapat beberapa isyarat pada Tuhan yang menyebabkan Muhammad lupa beberapa ayat, dan telaah yang mendalam terhadap teks, membuatnya hampir pasti bahwa kata-kata atau ungkapan-ungkapan tertentu ditambahkan. Misalnya, tulis Watt, ajaran Islam ortodoks mengakui bahwa beberapa ayat Al-Qur’an yang berisi aturan-aturan bagi kaum Muslimin dimansukh (digantikan) oleh ayat-ayat yang datang kemudian, sehingga aturan-aturan semula tidak berlaku lagi.
    Memang benar apa yang dikatakan oleh Watt, bahwa ada beberapa ayat dalam Al-Qur’an yang dimansukhkan. Ini tidak dapat dipungkiri. Tetapi, penggantian yang dimaksud bukan atas imajinasi Nabi seperti tuduhan Watt, apalagi Nabi lupa dan menambahkan beberapa ayat, tetapi atas kehendak atau perintah Allah, melalui wahyu-Nya. Di dalam Al-Qur’an, banyak sekali bukti-bukti yang menunjukkan bahwa ketika Nabi pada waktu-waktu tertentu menginginkan perkembangan ke arah tertentu, ternyata wahyu Allah menunjukkan arah yang lain, “Jangan gerakkan lidahmu (sebelum menerima wahyu) dengan ceroboh karena mengharapkan wahyu seperti yang engkau inginkan. Sesungguhnya Kamilah yang menghimpunkannya dan membacakannya. Jadi, jika kamu dibacakannya (oleh Jibril) hendaklah engkau turuti. Dan setelah itu, Kamilah yang berhak menjelaskannya” (Qs. 75:16-19).
    Dari keterangan di atas, kita dapat mengetahui bahwa apa yang dituduhkan oleh Watt, terhadap diri Nabi Muhammad , sama sekali tidak beralasan, sebab Allah tidak memberikan otoritas kepada Nabi untuk merubah, menambah, atau menggantikan ayat-ayat Al-Qur’an, kecuali atas perintah dan kehendak-Nya.     

Kritik Teks: Antara Pendekatan Fenomenologi Vis a Vis Pendekatan Sejarah
    Pembahasan-pembahasan mengenai latar belakang (anteseden) Yahudi-Kristen di dalam Al-Qur’an seringkali dilakukan oleh para orientalis guna membuktikan bahwa Al-Qur’an adalah tidak lebih daripada gema-gema Yahudi-Kristen. Watt, misalnya, dalam persoalan ini berkesimpulan, “Muhammad menerima pengetahuan dari konsepsi-konsepsi Bibel (Alkitab) secara umum (seperti jelas dari keterangan beberapa Bibel) dari lingkungan terpelajar Mekah dan bukan dari bacaan atau dari hubungan orang-orang tertentu”. Artinya, Islam termasuk tradisi Yahudi-Kristen, sebab ia timbul dalam lingkungan yang telah dimasuki oleh gagasan-gagasan Bibel.
    Menanggapi pandangan Watt tersebut, barangkali ada baiknya penulis mengungkapkan pandangan fenomenolog agama, sebelum menjelaskan bagaimana pandangan Islam itu sendiri. Dalam penelitian Islam, tulis J.E. Royster, dalam The Study of Muhammad: “A Survey of Approaches from the Perspective of History and Phenomenology of Religion”, dinyatakan bahwa tidak ada data yang bisa menghasilkan konklusi yang sebenarnya selain data dari umat Islam sendiri. Ini berarti, validitas suatu kesimpulan penelitian terhadap Islam, ditentukan sejauh mana kita mempergunakan validitas sumber data yang diteliti itu. Jika kita meneliti tentang Islam, maka data yang harus dipergunakan adalah Al-Qur’an dan hadis, bukan sekedar reka-rekaan historis.
    Dalam perspektif Royster, kesalahan Watt adalah mengambil kesimpulan bahwa Islam itu adalah tradisi Yahudi dan Kristen dengan berdasarkan pada kesamaan-kesamaan pada konsepsi Bibel, bukan berdasarkan esensi ajaran Islam itu sendiri yang Al-Qur’an sendiri banyak mencela tradisi tersebut. Sejak awal mula tugas kenabiannya, tulis Fazlur Rahman, dalam bukunya, Islam, Nabi telah yakin bahwa risalahnya adalah kelanjutan atau juga pembangkitan kembali risalah Nabi terdahulu. Dalam surat-surat Makiyyah, yang merupakan surat-surat awal, Al-Qur’an menyebut tentang peristiwa-peristiwa sebelumnya, misalnya Nabi Ibrahim dan Musa. Akan tetapi, sikap ini hanyalah bersifat teoretis dan religi-ideal dan tidak ada rujukannya kepada doktrin dan praktik keagamaan yang berlaku di kalangan “Kaum Ahli Kitab”. Misalnya, Al-Qur’an tidak dapat menerima ide-ide Trinitas dan Yesus sebagai Tuhan. Di dalam Al-Qur’an, firman Allah tidak pernah diidentikkan dengan Allah. Dalam pengertian umum, Al-Qur’an tidak hanya Yesus “Ruh Allah”, tetapi kepada Adam pun Allah telah meniupkan Ruh-Nya (Qs. 15:28-29). Karena itu, pandangan Watt tersebut, tidak sejalan dengan keyakinan Islam. Karena menurut ajaran Islam, Al-Qur’an adalah Kitab Suci yang disampaikan oleh Allah kepada Nabi-Nya, Muhammad , melalui Malaikat Jibril. Bukan hasil belajar Nabi dari kitab sebelumnya. Atau jelasnya, Al-Qur’an diciptakan di luar konteks sejarah. Jika Nabi Muhammad beserta pengikut-pengikutnya mempercayai semua nabi, maka semua manusia harus pula mempercayainya. Mengingat dia, berarti merusak garis silsilah kenabian. Tradisi Yahudi dan Kristen yang dilegitimasi oleh Al-Qur’an, bukan berarti Islam adalah produk pembauran Yahudi-Kristen (sinkretisme), tetapi Al-Qur’an datang untuk menyempurnakan semua ajaran-ajaran Nabi terdahulu yang telah disalah tafsirkan.

Penutup
    Karya tulis W. Montgomery Watt ini, Muhammad Prophet and Statesman, adalah salah satu karya terbesar yang pernah ditulis oleh kaum orientalis. Jika ditelisik dari kacamata fenomenologi agama, buku Watt memang memiliki kelemahan. Namun, buku tersebut telah memberikan banyak informasi penting menyangkut situasi historis yang dialami oleh Nabi Muhammad . Satu hal yang menarik dalam bukunya itu adalah penegasan Watt bahwa Nabi Muhammad bukan sekedar seorang Nabi, seperti nabi-nabi sebelumnya, tetapi juga sebagai seorang negarawan.


Dikutip dari karyanya Lukman S. Thahir, Interdisipliner: Aplikasi Pendekatan Filsafat, Sosiologi, dan Sejarah, (Yogyakarta: Qirtas, 2004), hlm. 229-235.

Comments