Ilmu Pengetahuan: Definisi dan Dampaknya Bagi Peradaban Barat

Oleh: Sang Misionaris.

Pendahuluan
    Selama beberapa abad lamanya, Kristen telah melakukan kekejaman terhadap para ilmuwan, yang kondisi tersebut pada akhirnya menyebabkan Barat mengalami kekecewaan yang begitu sangat besar terhadap Kristen. Atas nama Tuhan, segala perbedaan yang terjadi dengan dogma gereja, siapapun akan mendapatkan ancaman, pembunuhan dan bahkan dianggap sesat, meski yang dihadapinya itu seorang ilmuwan, bukan seorang teolog. Adanya kekecewaan Barat terhadap Kristen, telah mengakibatkan Kristen mengalami penyesuaian dengan pemikiran Barat, termasuk pula dengan ilmu pengetahuan, dan rasio yang menjadi tolok ukur mereka dalam menilai kebenaran, tentu saja hal tersebut akan menghasilkan ketimpangan dan kebenaran yang bersifat subyektif-spekulatif.

Kekecewaan Barat Terhadap Kristen
    Pada saat Kristen Eropa mengalami kekalahan dalam Perang Salib, namun mereka telah mendapatkan hikmah yang tidak ternilai harganya karena dapat berkenalan dengan kebudayaan dan peradaban Islam yang sudah sedemikian majunya. Adapun kebudayaan yang mereka bawa dari Islam yakni dalam bidang militer, seni, perindustrian, perdagangan, pertanian, astronomi, kesehatan dan kepribadian. Dengan adanya pengaruh kemajuan Islam inilah, pada akhirnya Barat mengalami renaissance, yang kemudian disusul dengan munculnya masa pencerahan di abad ke-18 M.1    
    Renaisans merupakan zaman di mana pada abad ke-15 hingga 16 M, pihak Barat mengalami kekecewaan terhadap gereja yang telah menguasai dan mengendalikan pelbagai aspek kehidupan manusia, yang berujung pada kemerosotan baik dalam aspek pendidikan, etika, politik, dan lain-lain. Pada abad tersebut, Barat mulai berpikir untuk lebih maju, yang secara perlahan mulai melepaskan diri dari kungkungan otoritas gereja, yang sejak awal telah membelenggu kekebasan dalam mengemukakan kebenaran, khususnya tentang filsafat dan juga ilmu,2 yang implikasi ini sekaligus mengisyaratkan adanya ketidakpercayaan mereka terhadap Kristen. Oleh karena itu, mereka pun akhirnya menganggap bahwa ilmu memiliki nilai tersendiri yang terbebas dari adanya nilai-nilai agama, doktrin, adat dan juga kepercayaan, dan para saintis menilai bahwa agama Kristen merupakan penyebab terjadinya ilmu pengetahuan menjadi kaku, yang dalam perspektif sejarah, trauma tersebut lahir ketika pada masa patristik.3  
    Pasca zaman patristik, para pemikir Kristen mengalami perbedaan sikap terhadap filsafat Yunani, di antara mereka, ada yang menerimanya dan ada pula yang menolaknya secara mentah-mentah, karena filsafat dianggap berbahaya bagi iman Kristen. Setelah masa tersebut, kemudian muncul zaman pertengahan atau disebut juga dengan zaman baru Eropa Barat. Sebutan skolastik, menggambarkan bahwa ilmu pengetahuan pada abad tersebut telah diajarkan oleh sekolah-sekolah gereja, yang ilmu ini dikembangkan dan diarahkan atas dasar kepentingan agama Kristen, dan baru memperoleh kemandirian semenjak adanya gerakan Renaissance dan Aufklarung. Sejak masa itu, filsafat Barat menjadi sangat antroposentris, di mana manusia bebas untuk mengadili dan menghakimi segala sesuatu yang dihadapinya dalam hidup, dan di masa itu pula, filsafat dan agama pada akhirnya mencair.4  
    Adanya pandangan dunia atas agama dan doktrin yang kaku di kalangan Kristen, sering kali menimbulkan masalah yang serius ketika berhadapan dengan sebuah penelitian dan hipotesis ilmiah. Pengadilan terhadap Scopes, nama lengkapnya adalah John Thomas Scopes yang menjadi guru sekolah menengah, pada tahun 1925 yang tidak begitu populer di Tennessee terus-menerus dikenang dalam drama Inherit the Wind. Peradilan tersebut menandai adanya pertentangan antara biologi evolusioner dan pendekatan secara harfiah atas adanya teori penciptaan dalam Kitab Kejadian. Dari adanya kekisruhan yang terjadi antara para ilmuwan dengan gereja, suatu hal yang tidak mengherankan jika Charles Kimball yang merupakan seorang Guru Besar Studi Agama di Universitas Wake Forest, menganggap bahwa Kitab Kejadian yang dibaca oleh Yahudi dan juga Kristen adalah buku yang tidak ilmiah.5  
    Seorang ilmuwan Prancis, Dr. Paul Topinard, secara ringkas menyimpulkan proses revolusi ilmiah. Pada akhirnya, Kristen bukan mengalahkan dunia pagan, malah justru dikalahkan. Sebagaimana dikatakan Huxley, selama abad pertengahan, ilmu pengetahuan telah hilang dari Barat. Filsafat yang merupakan celah antara metafisika dan teologi menjadi paham keagamaan. Kemudian, kumpulan keadaan yang terjadi sebagaimana masa lima belas abad sebelumnya, mengalihkan dunia Barat. Meskipun secara berbeda memperkenalkan masa-masa modern, untuk mengakali bahwa pengetahuan Barat telah mengambil tempat perlindungan orang-orang Arab.6  
    Dari adanya sederet permasalahan dan penindasan yang telah dialami oleh para ilmuwan, sebagaimana yang telah dibahas pada artikel sebelumnya, tentu saja Kristen satu-satunya pihak yang harus bertanggungjawab penuh atas apa yang telah terjadi selama ini, khususnya yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan. Jika seandainya pihak gereja kala itu mampu membedakan mana permasalahan yang menyangkut doktrin dengan ilmu pengetahuan, dan mampu pula untuk bersikap bijak dalam menghadapi perbedaan yang ada, sudah barang tentu, pihak Barat tidak akan mengalami kekecewaan terhadap Kristen. Namun pada akhirnya, hal tersebut tidak pernah terpikirkan oleh gereja, bahkan berujung pada terjadinya penyesuaian ajaran Kristen oleh Barat, dan Kristen telah mengalami kegagalan secara sepenuhnya dalam mengkristenkan Barat.  

Ilmu Pengetahuan Dalam Perspektif Barat: Definisi dan Ketimpangannya
    Sebelum mendefinisikan tentang apa itu ilmu pengetahuan, alangkah baiknya kita memahami terlebih dahulu pandangan Barat terkait ilmu pengetahuan, dijadikannya sebagai awal pembahasan, karena Barat merupakan kiblatnya peradaban di era modern saat ini. Frank Whaling bersama tokoh lainnya seperti Paul K. Feyerabend, Nicholas Rescher dan Mary Hesse, dikatakannya bahwa menurut Feyerabend ilmu itu tidak mempunyai metode dan teori, jika mempunyai metode dan teori, maka akan memiliki metode dan teori yang banyak. Yang dipegang bersama oleh para ahli ilmu hanyalah prinsip bahwa segala macam benda itu berubah. Sedangkan yang berkaitan dengan ilmu alam dan humaniora, Rescher dan Hesse berpendapat bahwa hal tersebut tidak ada bedanya, karena metode dari ilmu alam dan humaniora satu dan komprehensif, maka keduanya pun bersifat relativistis. Dari adanya tiga pendapat yang dikemukakan oleh Whaling, menurutnya, hal tersebut akan mengalami permasalahan jika dikaitkan dengan studi agama, seperti:
1.    Akan menimbulkan pendapat bahwa ilmu studi agama akan sama saja dengan studi ilmiah lainnya, yang tidak dapat disusun suatu framework yang ideal, benar dan konseptual. Menurutnya, mestinya frameworknya itu menyeluruh, metode dan teorinya terintegrasi. Tetapi tidak dapat demikian, sebagaimana halnya yang terjadi pada ilmu alam.
2.    Sebagai kelanjutan dari sifat relativisnya pemikiran Rescher dan Hesse yang berpendapat bahwa antara ilmu alam dan ilmu humaniora itu berhubungan secara kontinu dan tidak dikotomis. Artinya, tidak berbeda secara dikotomi, namun ada perbedaan tetapi ada banyak keterkaitan. Juga pemikirannya bahwa ilmu alam maupun ilmu humaniti keduanya tidak terlepas dari hermeneutik. Tetapi ilmu humaniti tetap tidak mengarah pada prediksi dan kontrol sebagaimana halnya ilmu alam. Demikian juga dengan studi agama, walaupun lebih bersifat ilmiah, mestinya lebih cenderrung kepada watak ilmu alam, tetapi harus tetap berpegang bahwa objeknya bukanlah alam, melainkan manusia atau sesuatu yang melibatkan totalitas manusia, sehingga tidak mengarah kepada prediksi dan kontrol.
Berkaitan dengan studi agama, studi ini dianggap bukan sebagai sains, meski adanya metode sejarah pada studi agama, namun menurutnya, hal itu tidak mengarah kepada kontrol dan prediksi.7 Dari adanya pendapat Whaling di atas, setidaknya mewakili para ahli ilmu dari Barat, ternyata studi agama bukanlah termasuk ke dalam sains (ilmu), melainkan hanya sekedar pengetahuan saja.     
    Menurut Haidar Bagir, bahwa pemahaman modern atau pihak Barat, memang telah membedakan makna ilmu (science) dan pengetahuan (knowledge). Menurutnya, dalam perspektif Barat, science telah dihubungkan dengan segala perolehan pengetahuan, baik sekedar sebagian maupun keseluruhan, yang pengetahuan tersebut harus diverifikasi secara empiris, sedangkan knowledge, berhubungan dengan segala perolehan intelektual yang tidak mesti bersifat empiris. Lebih dari itu, Barat telah menekankan ilmu yang bersifat empiris dapat diperoleh pula melalui mistis, atau setidaknya, melibatkan latihan-latihan spiritual.8  
    Adanya pembagian ilmu yang secara teknis dibagi menjadi dua, yaitu science yang diperuntukkan bagi bidang-bidang ilmu fisik atau empiris (dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan ilmu pengetahuan), dan knowledge yang diperuntukkan bagi bidang-bidang ilmu non-fisik seperti konsep mental dan metafisika (diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi pengetahuan), sebenarnya tidaklah ditemukan pada masa Abad Pertengahan, melainkan baru terjadi pada masa modern. Namun menurut Jujun S. Suriasumantri, dari adanya perbedaan istilah dan peruntukkannya itu, yakni ilmu pengetahuan untuk science dan pengetahuan untuk knowledge, justru hal tersebut telah melahirkan beberapa kelemahan di dalamnya, diantaranya:
1.    Suatu hal yang tidak layak jika knowledge dinilai sebagai terminologi generik dan science adalah species (anggota) dari (genus) kelompok tersebut.
2.    Kata sifat dari science yakni scientifik; yang sekiranya secara konsekuen kita mempergunakan untuk ilmu adalah pengetahuan ilmiah atau ke-ilmu-pengetahuan-an. Menurutnya, dua terminologi tersebut akan menyesatkan dan kurang nyaman untuk dipergunakan. Pengetahuan ilmiah bisa diartikan sebagai scientifik knowledge, yang dalam bahasa Inggris adalah sinonim dengan science; sedangkan ke-ilmu-pengetahuan-an terasa sebagai istilah yang dibuat-buat.       
3.    Tidak ada konsekuensinya mempergunakan terminologi ilmu untuk science di mana biologi disebut sebagai ilmu hayat, sedangkan fisika adalah ilmu pengetahuan alam.
Dari adanya kelemahan tersebut, maka pada akhirnya ia pun memberikan solusinya dengan cara menetapkan mana yang sinonim dengan science dan mana yang sinonim dengan knowledge.9 Meski Jujun telah mengetahui adanya ketumpang-tindihan tersebut, namun secara implisit, pandangannya itu mengimplikasikan adanya sebuah konsepsi yang dibentuk oleh Barat, meskipun ia sendiri telah menyadari bahwa pembagian pengetahuan yang dilakukan oleh Barat pada akhirnya mengalami kerancuan di tengah masyarakat pada umumnya.
    Orang yang tahu atas sesuatu, maka ia disebut sebagai orang yang telah mempunyai pengetahuan, lalu apa itu definisi pengetahuan? Encyclopedia of Philosophy, telah mendefinisikan pengetahuan sebagai suatu kepercayaan yang mengandung kebenaran, rumusan tersebut sangatlah mirip dengan pernyataan John Dewey yang telah mempersepsikan pengetahuan dengan kebenaran. Jadi, berdasarkan dua pandangan tersebut, pengetahuan diidentikkan dengan kebenaran, dalam artian, suatu hal akan dianggap sebagai pengetahuan jika di dalamnya memiliki kebenaran, karena jika di dalamnya tidak ada kebenaran, maka hal tersebut akan menghasilkan kontradiksi. Namun lain halnya dengan Sidi Gazalba, menurutnya, pengetahuan adalah apa yang telah diketahui atau suatu pekerjaan yang membuat kita menjadi tahu, dan pekerjaan tahu tersebut merupakan hasil dari kenal, sadar, insaf, mengerti, dan pandai. Sedangkan menurut Mulyadhi Kartanegara, pengetahuan identik dengan pengetahuan umum yang didasarkan kepada akal sehat atau opini, yang akal sehat tersebut diperoleh dari adanya pengalaman hidup sehari-hari, seperti makanan dapat memuaskan rasa lapar; musim kemarau akan mengeringkan sawah, dan opini yang dalam bahasa Arabnya adalah al-Ra’yu merupakan pengetahuan umum atau sembarang pengetahuan yang kebenarannya belum teruji melalui penelitian-penelitian secara seksama.10  
    Selaras dengan Mulyadi Kartanegara, Endang Komara pun memberikan penjelasan terkait tentang pengetahuan yang menekankan akan adanya pengalaman, baik yang didapatkan dari diri sendiri maupun dari orang lain. Ketika Kartanegara mengindentikan pengetahuan dengan pengetahuan umum, namun lain halnya dengan Endang Komara yang telah membagi pengetahuan menjadi dua, yakni pengetahuan khusus dan juga pengetahuan umum, pengetahuan khusus berkenaan dengan sesuatu yang satu atau tertentu saja, sedangkan pengetahuan umum berkaitan secara keseluruhan. Lebih dari itu, bahkan Endang sendiri pun menyamakan putusan dengan pengetahuan, yang dampak tersebut terjadi karena disebabkan adanya pengalaman.11
    Karena adanya perbedaan tentang definisi pengetahuan, maka tidak mengherankan jika pada akhirnya Ahmad Tafsir pun membagi pengetahuan menjadi tiga macam, yang setiap pengetahuan tersebut memiliki perbedaannya masing-masing, baik dalam paradigmanya, metode, dan juga objeknya. Pertama, pengetahuan sains. Pengetahuan jenis ini lahir dari adanya penggunaan logika yang diiringi dengan adanya bukti empiris. Kedua, pengetahuan filsafat. Kebenaran yang dihasilkan oleh pengetahuan yang hanya bisa dipertanggungjawabkan secara logika, namun tidak secara empiris. Ketiga, pengetahuan mistik. Pengetahuan yang tidak bisa dibuktikan secara logis maupun empiris.12           
    Jika pengetahuan didefinisikan sebagaimana halnya di atas, lalu apa definisi ilmu? Oxford English Dictionary telah memberikan tiga arti bagi ilmu, yaitu: Pertama, informasi dan kecakapan yang diperoleh melalui pengalaman atau pendidikan. Kedua, keseluruhan dari apa yang diketahui. Ketiga, kesadaran atau kebiasaan yang didapat melalui pengalaman akan suatu fakta atau keadaan. Jika kita menilik tentang arti ilmu di atas, maka kita akan menemukan suatu permasalahan yang terjadi karena adanya ambiguitas terhadap ilmu dan juga dalam teknisnya. Misalnya mengenai arti yang pertama, jika ilmu itu adalah suatu informasi, lalu apakah bisa dikatakan seseorang itu adalah berilmu, meski apa yang telah didapatkannya itu berasal dari miskonsepsi atau misinformasi? Jika ya, jawabannya. Maka sudah barang tentu ilmu mengandung informasi yang benar dan juga salah. Dan jika seseorang memiliki informasi yang benar, namun di sisi lain, orang lain mendapatkan informasi yang salah padahal objeknya yang sama, maka keduanya pun bisa dikatakan sama-sama memiliki ilmu atau orang yang berilmu. Ketika keadaannya demikian, tentu saja ilmu yang ada pun akan menghasilkan suatu kontradiksi antara satu sama lain. Namun lain halnya dengan Plato, menurutnya, ilmu adalah keyakinan sejati yang dibenarkan. Padahal, sesuatu yang diyakini bisa saja melahirkan kesalahan dan juga kebenaran, sedangkan sesuatu yang salah atau memiliki kontradiksi, itu bukanlah ilmu. Sebenarnya, yang menjadi dasar atas persoalan kita itu ialah bagaimana caranya kita bisa membedakan mana keyakinan yang bisa dianggap benar dari suatu keyakinan yang salah? Maka disinilah Logos berperan, yang hal tersebut merupakan bagian dari keyakinan Plato, dan definisi Plato itu telah pernah disanggah oleh banyak pihak, salah satunya adalah Edmund L. Gettier.13     
    Menurut M. Atho Mudzhar, ilmu merupakan kumpulan dari pengetahuan yang diorganisasi secara sistematik. Tetapi menurut William Good, seorang Guru Besar Sosiologi di Columbia University, dan Paul Hatt, Guru Besar Sosiologi di North Western University, pendefinisian itu baru memadai jika kata pengetahuan dan sistematik didefinisikan lagi secara benar. Karena jika tidak didefinisikan kembali, maka pengetahuan semacam teologi yang disusun secara sistematik, dipandang sama ilmiahnya dengan ilmu pengetahuan alam. Sedangkan pengetahuan teologis, betapa pun sistematisnya, tetap saja ia bersifat deduktif, sedangkan pengetahuan alam sifatnya induktif.14      
    Namun lain halnya dengan Athur Thomson yang telah mendefinisikan ilmu sebagai pelukisan fakta-fakta, pengalaman secara lengkap dan konsisten meski dalam pewujudan istilah yang sederhana. S. Hoornby mengartikan ilmu sebagai susunan atau kumpulan pengetahuan yang diperoleh melalui penelitian dan percobaan dari fakta-fakta. Sedangkan Poincare telah menyebutkan bahwa ilmu berisi kaidah-kaidah dalam arti definisi yang tersembunyi. Dengan adanya pengertian dan kandungan ilmu yang dicoba ditawarkan oleh Poincare ini, harus pula diakui adanya penolakan dari sebagian para ahli. Bahkan ada pula yang menyatakan bahwa pikiran Poincare memiliki kesalahan besar. Dari beberapa definisi ilmu di atas, maka kandungan ilmu berisi tentang hipotesa, teori, dalil dan hukum.15     

Kesimpulan
    Virus yang terkandung dalam ilmu pengetahuan Barat modern-sekuler merupakan tantangan yang paling besar bagi kaum Muslimin saat ini. Meski peradaban Barat modern telah menghasilkan ilmu yang bermanfaat, namun peradaban tersebut telah menyebabkan kerusakan dalam kehidupan manusia, dikarenakan tidak dibangun di atas wahyu dan kepercayaan agama, namun berdasarkan tradisi budaya yang diperkuat dengan spekulasi filosofis yang terkait dengan kehidupan sekuler yang memusatkan manusia sebagai makhluk rasional. Proses sekularisasi ilmu ini dimulai ketika seorang filsuf barat, Rene Descartes, memformulasikan sebuah prinsip, aku berpikir maka aku ada. Dari adanya prinsip tersebut, Descartes telah menjadikan rasio sebagai satu-satunya kriteria dalam mengukur kebenaran. Adanya penekanan rasio dan pancaindera sebagai sumber ilmu, telah dilakukan pula oleh para filsuf lainnya, seperti Thomas Hobbes, Benedict Spinoza, John Locke, George Berkeley, David Hume, dan lain-lain.16 Ketika ilmu dikotomikan, tentu saja akan berdampak pada ilmu itu sendiri, di mana ilmu akan dikatagorikan sebagai ilmiah, dan disisi lain akan dianggap tidak ilmiah disebabkan tidak menggunakan pengalaman sebagai pijakan dasarnya. Dan, terjadinya pendikotomian ilmu, itu semua disebabkan karena sumber ilmu yang mereka gunakan itu adalah akal dan pancaindera. Padahal, sumber pengetahuan yang mereka gunakan tersebut, masing- masing memiliki kelemahan antara satu sama lain, selain bersifat relatif.  

Catatan Kaki:
1. Machfud Syaefudin, dkk, Dinamika Peradaban Islam: Perspektif Historis, (Yogyakarta: Pustaka Ilmu, 2013), hlm. 153.
2.  Aceng Rachmat, et al, Filsafat Ilmu Kelanjutan, (Jakarta: Kencana, 2013), hlm. 123.
3. Cecep Sumarna, Rekonstruksi Ilmu: Dari Empirik-Rasional Ateistik Ke Empirik-Rasional Teistik, (Bandung: Benang Merah Press, 2005), hlm. 46-47.
4. Endang Komara, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian, (Bandung: Refika Aditama, 2011), hlm. 3.    
5. Charles Kimball, Kala Agama Jadi Bencana, (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 68.
6. Muhammad Fazlur Rahman Ansari, Islam dan Kristen Dalam Dunia Modern, (Jakarta: Amzah, 2008), hlm. 91.
7. M. Amin Abdullah, dkk, Re-Strukturisasi Metode Islamic Studies Mazhab Yogyakarta, (Yogyakarta: Suka Press, 2007), hlm. 34-35.
8. Haidar Bagir, Epistemologi Tasawuf: Sebuah Pengantar, (Bandung: Mizan, 2018), hlm. 46.
9. Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2010), hlm. 294.
10. Nunu Buhanuddin, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2018), hlm. 62-63.
11. Endang Komara, op.cit., hlm. 26.
12. Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2016), hlm. 16-17.  
13. Adian Husaini, et.al, Filsafat Ilmu: Perspektif Barat Dan Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2013), hlm. 72-74.
14.  Cecep Sumarna, op.cit., hlm. 154.
15. Cecep Sumarna, Filsafat Ilmu: Dari Hakikat Menuju Nilai, (Bandung: Pusataka Bani Quraisy, 2006), hlm. 98-99.
16. Adian Husaini, et.al, op.cit., hlm. 7-8.

Comments