Asal-Usul Nama Kristen Menurut Al-Qur'an Dan Alkitab

Oleh: Sang Misionaris

   
Pendahuluan
    Sama halnya dengan asal-usul nama Yahudi, asal-usul nama Kristen di dalam Al-Qur'an pun tidak menyandarkan pada satu istilah. Namun, lain halnya jika kita menilik tentang asal-usul nama Kristen di dalam Alkitab , di mana nama Kristen tidak memiliki keragaman dalam istilah, melainkan hanya mengandalkan satu istilah saja. Akan tetapi, jika kita menelusuri istilah Kristen dalam pendekatan historis non-biblikal, maka bisa kita ketahui bahwa sejak awal, istilah Kristen tidaklah memiliki makna sebagai pengikut Yesus, sebagaimana pengakuan Kristen pada umumnya, melainkan sebagai istilah yang bernada ejekan. Ketika membahas tentang asal-usul nama agama Kristen, tentunya perlu dibahas pula tentang asal-usul nama Yesus Kristus, karena pada saat membahas tentang sejarah munculnya nama Kristen, orang-orang Kristen yang sering kami temui selalu mengkorelasikan keduanya, demi terciptanya sebuah gagasan bahwa para pengikut agama Kristen merupakan sebuah agama yang didasari karena mengikuti Yesus. Namun, karena melihat ruang yang terbatas, maka hal tersebut akan dibahas ditempat yang berbeda. Lalu, seperti apakah asal-usul nama Kristen menurut Al-Qur’an dan juga Alkitab? Bukti apa saja yang bisa menguatkan bahwasannya istilah Kristen adalah istilah yang berisi ejekan?

Asal-Usul Nama Kristen Menurut Al-Qur’an
    Pada dasarnya, semua nabi yang diutus oleh Allah hanya membawa misi untuk menyeru kepada umatnya agar tidak menyembah apa pun dan siapa pun selain Allah, termasuk pula apa yang dilakukan oleh Nabi Isa kepada umatnya. Dakwah Nabi Musa dan juga Nabi Isa, memiliki kesamaan dengan apa yang telah didakwahkan oleh Nabi Muhammad ï·º, sebagaimana halnya yang telah termaktub dalam Surat Ali-Imran ayat 64. Dan, jika seandainya orang-orang Yahudi maupun Kristen tidak mengalami penyelewengan dalam akidah, tentunya Nabi Muhammad ï·º pun tidak akan menyeru kepada keduanya. Namun nyatanya, Kristen, misalnya, mereka menegasikan dakwahan Nabi Muhammad dikarenakan mereka telah merasa yakin bahwa apa yang mereka sembah adalah Allah, di mana menurut keyakinan mereka, demi menyelamatkan manusia dari dosa, Allah telah berinkarnasi menjadi manusia yang bernama Yesus atau Isa.1 Dari adanya pandangan itulah, akhirnya Yesus diyakini oleh Kristen sebagai Allah, di mana dalam proses perkembangan teologisnya, teologi Kristen mengalami keevolusian. Selain melahirkan sebuah keyakinan bahwa Yesus adalah Allah, dampak dari keevolusian teologi Kristen pun menghasilkan pula keyakinan Trinitas, dan dari adanya keyakinan-keyakinan itulah akhirnya ditentang keras oleh Allah di dalam Al-Qur’an, sebagaimana halnya yang terdapat di dalam Surat An-Nisa ayat 171, Al-Maidah ayat 73, dan 116. Meskipun keyakinan Kristen ditentang dalam Al-Qur'an, namun keberadaan Kristen dianggap lebih dekat dengan kaum Muslimin, dibandingkan dengan orang-orang Yahudi dan Musyirikin, sebagaimana yang termaktub dalam Surat Al-Maidah ayat 82, di mana kedekatan tersebut terjadi karena di antara orang-orang Kristen terdapat pendeta atau rahib yang tidak menyombongkan dirinya. Lalu istilah apa saja yang mengindentifikasikan bahwa istilah tersebut ditujukan kepada orang-orang Kristen?
1. Nashara
    Menurut Waryono Abdul Ghafur, agama yang dibawa oleh Nabi Isa memiliki beberapa nama, seperti: Nashrani, Kristen, dan agama Masehi atau al-Masihiyyah. Dari tiga nama tersebut, satu di antaranya disebutkan dalam Al-Qur’an, yaitu nashrani atau nashara. Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa kata nashara atau nashrani diambil dari kata nashira, yaitu satu wilayah di Palestina, di mana Maryam, ibundanya Nabi Isa, dibesarkan. Dari daerah itu pula, dalam keadaan mengandung, ia menuju ke Baitul Maqdis, tetapi sebelum sampai di tempat, ia melahirkan Isa di Baitlehem. Dari sanalah, Isa (dalam bahasa Arab) dalam bahasa Ibrani dipanggil dengan nama Yasu’ atau Yesua hingga kemudian menjadi Yesus (dalam bahasa Latin). Selain menggunakan Surat Al-Maidah ayat 82, ia pun menggunakan pula Surat Al-Maidah ayat 14 dalam menguatkan argumentasinya.2     
    Terkait tentang istilah Nashara, Muhammad Galib memiliki pandangan yang sedikit berbeda dengan Abdul Ghafur, menurutnya, bahwa nashara adalah bentuk jamak dari kata nashrani, di mana kata tersebut berasal dari akar kata nun, shad, dan ra, yang secara literal berarti menolong. Sedangkan asal kata nashara atau nashrani, menurutnya, terdapat beberapa versi, yaitu:3
a. Berasal dari kata nashara yang berarti menolong atau membantu. Dikatakan demikian karena mereka memberi pertolongan kepada orang lain atau saling membantu di antara mereka. Dalam versi ini, istilah anshar bisa ditemukan dalam Surat Ali-Imran ayat 52 dan Al-Shaff ayat 14, di mana kata anshar yang dalam jamaknya memiliki arti sebagai pendukung-pendukung atau penolong-penolong, sedangkan dalam bentuk tunggalnya adalah nashir, terdapat pada Qs. 47:13; 72:24. Menurut Louay Fatoohi, bahwa  Qs.3:52 dan 61:14 mungkin mendeskripsikan sebuah peristiwa yang terjadi tak lama sebelum terjadinya sebuah upaya untuk membunuh Yesus yang berakhir dengan penyaliban seseorang. Ayat-ayat ini mengindikasikan bahwa bentuk jamak anshar sama dengan istilah nashara dalam bahasa Arab, dan dengan demikian mengungkapkan makna aslinya, di mana kata kerja anshar adalah nashara yang berarti mendukung, membantu, menolong, memihak, dan lain-lain.  Lebih lanjut Louay menjelaskan, bahwa kata anshar bukanlah istilah yang dibuat orang untuk merujuk kepada Yesus atau mengaitkannya dengan tempat kelahirannya, seperti yang diklaim Matius, melainkan nama yang diciptakan Yesus bagi para pengikutnya yang mengharapkan mereka untuk menjadi para penolong Allah, yakni sebagai pendukung kebenaran dalam melawan kepalsuan.4  
b. Sebutan nashara atau nashrani dikaitkan dengan daerah asal keluarga Nabi Isa yang bernama Nashiri. Al-Baghdadi menyatakan, bahwa Nashiri adalah tempat kelahirannya Nabi Isa. Akan Tetapi, pendapat yang populer, terutama di kalangan orang-orang Nashrani, memang keluarga Nabi Isa yang berasal dari Nashiri, tetapi beliau sendiri lahir di Bethlehem.
c. Sebutan nashara atau nashrani dikaitkan dengan pertanyaan Nabi Isa kepada orang-orang Hawari tentang kesediaan mereka berjuang di jalan Allah bersama beliau. Dalam hal ini, pendapat tersebut didasarkan pada Surat Ash-Shaff ayat 14.
Menurut Louay Fatoohi, para mufasir telah mengajukan empat jenis arti bagi hawariyyun. Pertama, menurunkan istilah hawariyyun dari akar kata hawr yang berarti putih pekat. Menurut pandangan pertama, bahwa hawariyyun mengenakan pakaian putih atau pekerjaan mereka adalah mencuci dan mengelantang pakaian. Kedua, sebagai pendukung atau sahabat dekat. Ketiga, mengaitkan penafsiran pertama dan kedua dengan menyatakan bahwa hawariyyun berarti murni dan bersih, karena mereka bersih dari dosa dan kesalahan serta membantu orang lain menyucikan diri. Keempat, merupakan penafsiran spekulasi yang mengartikan hawariyyun sebagai raja-raja atau putra raja-raja.5 Dan penulis lebih cenderung terhadap penafsiran yang mengidentifikasikan hawariyyun sebagai sahabat atau pendukung. Karena, untuk menjadi seorang penolong tentunya orang tersebut telah mengetahui sejak awal atas apa yang telah didakwahkan oleh Yesus, di samping mendukung dan mengimani pula atas apa yang telah disampaikan oleh beliau.
Dan jika yang dimaksud sahabat dekat atau penolong Yesus itu adalah murid-muridnya Yesus yang berjumlah 12 orang, sebagaimana yang dikisahkan pada Markus 3:16-19 dan Lukas 6:13-16, tentunya kedua Injil tersebut tidak bisa diandalkan sama sekali. Selain Injil tersebut tidak bisa diandalkan, jumlah orang yang menolong Yesus pun tidak ada penjelasan di dalam Al-Qur'an, baik secara eksplisit maupun implisit, bahwa mereka itu berjumlah 12 orang, meskipun hawariyyun di sana memiliki makna jamak.

2. Ahl Al-Injil
    Kata Injil berasal dari akar kata nun, jim, lam, yang secara literal berarti melempar sesuatu; yang dapat juga berarti lebar dan terang. Kata tersebut pada mulanya berasal dari bahasa Yunani, euangelion, yang berarti berita gembira. Setelah masuk ke dalam bahasa Ethiopia, kata Yunani tersebut berubah bentuk menjadi wangel; yang selanjutnya masuk ke dalam bahasa Arab menjadi Injil.6 Dan dalam Al-Qur’an, terdapat 12 kali penyebutan untuk kata Injil, seperti: Qs. 3:3, 48 dan 65; 5:46, 47, 66, 68 dan 110; 7:157; 9:111; 48:29; 57:27.7 Namun menurut Muhammad Galib, penyebutan istilah Injil dalam Al-Qur’an disebutkan sebanyak 14 kali tanpa menyertakan nama surat dan jumlah ayatnya, sebagaimana halnya yang telah dilakukan oleh Abdul Ghafur.8

Asal-Usul Nama Kristen Menurut Alkitab
    Di saat Abdul Ghafur mengungkapkan bahwa nashrani memiliki tiga versi dan tidak mengindikasikan sebagai sebuah sekte, namun lain halnya jika istilah nasrani ditinjau dalam perspektif Kristen, dimana istilah nasrani telah dianggap sebagai sebuah sekte yang dianggap sesat (Kisah Para Rasul 24:5 dan 14). Menurut Tafsiran Alkitab Wycliffe, bahwa penggunaan kata sekte merupakan istilah yang dipakai oleh Yosefus untuk menunjukkan kepada berbagai golongan yang ada di dalam Yudaisme seperti Farisi dan Saduki.9
    Dari adanya penggunaan kata yang sama, yaitu nasrani, baik dalam Al-Qur’an dan juga Alkitab , orang-orang Kristen pada umumnya telah berpendapat secara gegabah bahwa kritikan-kritikan yang terdapat di dalam Al-Qur’an merupakan kritikan yang ditujukan kepada sekte, bukan terhadap Kristen pada umumnya. Bahkan, karena saking gegabahnya, tidak sedikit orang-orang Kristen yang menyimpulkan bahwa Al-Qur’an mengalami anakronistis, dikarenakan adanya penggunaan istilah nasrani dalam Al-Qur’an, namun oleh orang Kristen istilah tersebut dipandang dalam perspektif Perjanjian Baru. Meskipun demikian, kita bisa menemukan Kristen yang masih bersikap hati-hati dalam menyampaikan pendapatnya tentang Islam, orang Kristen yang dimaksud tersebut adalah Karel Steenbrink. Menurutnya, “Agama Kristen di lingkungan sekitar Muhammad, baik pada saat di Mekkah maupun di Madinah, telah tercatat dengan baik. Tetapi semakin dekat kita dengan wilayah lahirnya Islam di Arab bagian Barat dan Tengah, semakin sedikit data yang kita miliki tentang agama Kristen. Di samping itu, harus kita ingat dan kita perhatikan bahwa agama Kristen yang ditemukan di lingkungan ketika Nabi Muhammad hadir bukanlah agama Kristen seperti yang ada di Barat abad ke-20. Ia bukan pula Kristen ortodoks seperti yang ada di Timur modern.”10
    Selain Steenbrink berkomentar sebagaimana halnya di atas, ia pun mengisahkan pula tentang adanya lima aliran utama dalam Kekristenan di wilayah Timur Tengah, yaitu tiga di antaranya di Utara (Bizantium, Monofisit Suriah dan Nestorian Persia) dan dua di Barat (Koptik di Mesir dan Kristianitas Abessinia di daerah yang sekarang menjadi Ethiopia). Adanya penjelasan Steenbrink terkait lima aliran tersebut mengimplikasikan adanya gerakan agama Kristen yang berkembang tidaklah bersifat homogen dan harmonis, melainkan telah mengalami kekompleksan dalam permasalahan, di mana ajaran agama dan politik telah membuat Kristen mengalami perpecahan.11 Dan penjelasan yang diberikan oleh Steenbrink tentang adanya lima gereja atau sekte utama di Timur Tengah tersebut, ternyata penjelasannya itu selaras dengan apa yang telah disampaikan oleh Hugh Kennedy.12 Jadi, tidak fair jika Kristen yang hidup di dunia modern saat ini menggunakan kacamata Kekristenan saat ini ketika mereka menilai zaman Kekristenan di masa Nabi Muhammad ï·º, di mana Protestan pun belum ada sama sekali, meski perpecahan antar Katolik (skisma) telah terjadi.
    Selain diyakini sebagai sekte, kata nasrani dalam Alkitab pun diterjemahkan pula sebagai orang Nazareth, sebagaimana yang terdapat di dalam Matius 2:23. Sedangkan dalam Injil Menurut Markus, penggunaan istilah orang Nazareth hanya diperuntukan bagi Yesus saja (Markus 1:24, 10:47, 14:67, 16:6), begitupun dengan apa yang terdapat di dalam Injil Menurut Lukas  (3:34 dan 24:19).13 Injil telah menjuluki Yesus sebagai seorang Nasrani, di mana Matius menjelaskan julukan itu dengan mengaitkannya pada kota Nazaret, tempat di mana menurutnya Yesus dibesarkan, meskipun Injil-injil Kanonikal dan Apokrifa berbeda tentang tempat kelahiran dan masa muda Yesus antara Nazaret dan Betlehem.14 Dalam Injil Kanonik, Yesus benar-benar lahir di Yerusalem (Matius 2:1-8; Lukas 2:1-21; bnd. Yohanes 7:40-43), namun di tempat yang berbeda, namanya secara dekat telah dihubungkan dengan Nazaret di Galilea (Markus 1:9; Lukas  1:26; Matius 2:23; Markus 6:1-16 dan paralel Yohanes 1:45), dari adanya perbedaan itulah, para ahli akhirnya mempersoalkan tentang tempat kelahiran Yesus yang sebenarnya.15 Sedangkan dalam Injil Apokrifa, pada Proto-Injil Yakobus dikisahkan bahwa Yesus dilahirkan di Betlehem,16 begitu pun yang terdapat tulisan yang menggambarkan tokoh Yusuf, yaitu Kisah Yusuf Si Tukang Kayu17 dan juga Injil Versi Maria,18 dituliskan bahwa Yesus adalah orang yang berasal dari Nazaret.
    Dalam Perjanjian Baru, secara eksplisit maupun implisit, penggunaan istilah Kristen terdapat pada Kisah Para Rasul 11:26 dan 26:28; Roma 16:7; 1Korintus 9:5; 2Korintus 12:2; dan 1Petrus 4:16. Dalam Kisah Para Rasul 11:26, misalnya, bahwa di Antiokhia untuk pertama kalinya orang-orang yang diklaim sebagai muridnya Yesus disebut sebagai Kristen. Di mana wilayah Antiokhia, menurut Bambang Noorsena, termasuk wilayah Syria, yang saat ini adalah Damaskus, merupakan gereja yang telah mempertahankan liturgi Rasul Yakobus dari Yerusalem.19 Dan jika mencermati pandangan Bambang Noorsena tersebut, maka orang-orang yang hidup sezaman dengan Yakobus belumlah disebut sebagai orang Kristen, melainkan baru disebut setelah zamannya Yakobus, tepatnya pada zaman Paulus.
    Yang menjadi persoalan utama kita saat ini adalah apakah penggunaan nama Kristen yang terdapat pada Kisah Para Rasul 11:26 merupakan sebuah bentuk ejekan ataukah memang memiliki makna sebagai pengikut Yesus. Terkait tentang ayat tersebut, Tafsir Alkitab Wycliffe menyatakan, bahwa “Tidak ada alasan yang memadai untuk menganggap bahwa istilah ini (Kristen) dipakai sebagai ejekan. Yang dimaksudkan tidak lebih daripada orang-orang yang mengikuti Kristus.” 20 Pada tafsir tersebut memberikan penyangkalan atas adanya penggunaan nama Kristen sebagai bentuk ejekan, bahkan memberikan penekanan bahwa penggunaan istilah Kristen hanya ditujukan kepada orang-orang yang mengikuti Kristus, yaitu Yesus. Namun lain halnya jika kita membaca Tafsiran Alkitab Abad Ke-21, yang masih mengakui adanya kemungkinan bahwa istilah Kristen merupakan bentuk ejekan, “Lukas menambahkan secara rinci dengan menarik sekali bahwa di Antiokhialah orang-orang percaya itu pertama kali disebut ‘Kristen’, mungkin saja dalam bentuk ejekan oleh orang yang tidak percaya dari bangsa-bangsa lain.” 21



    Kala itu, ejekan yang dilakukan oleh non-Kristen terhadap orang-orang Kristen telah biasa terjadi, karena selain diungkapkan dengan menggunakan istilah Kristen, ejekan pun kerap kali dilakukan dalam bentuk coretan yang bergambar, sebagaimana halnya yang terdapat pada permukaan sebuah batu di pangkalan Bukit Palatium, dekat Circus Maximum di Roma. Dalam coretan tersebut (lihat gambar di atas), memperlihatkan tentang adanya figur seorang pria yang memiliki kepala seperti keledai di atas kayu salib. Pria lain yang berada di dekatnya mengangkat tangan sambil menunjukkan gestur penghormatan, dan di situ terdapat tulisan, “Alexamenos menyembah dewanya.” Menurut Ferguson, bahwa coretan tersebut telah membuat perasaan orang Kristen yang hidup di zaman modern saat ini merasa tersinggung, karena dalam coretan tersebut terdapat sebuah gagasan yang ingin disampaikan bahwa betapa hinanya Tuhan yang disalibkan dalam benak penganut paganisme.22
    Sejak awal, penggunaan istilah Kristen telah diasosiasikan dengan segala macam kejahatan, di mana munculnya istilah Kristen tersebut merupakan hasil dari propaganda Roma yang secara politis ditujukan bagi siapapun yang menentang kebijakan Roma. Dictionary of the Bible, mengungkapkan bahwa, “Nama ‘Kristen’ itu diasosiasikan dengan segala macam kejahatan yang menjijikan-hal ini juga merupakan ciri-ciri umum propaganda politis, dan pengarang 1 Petrus… mengingatkan para pembacanya agar jangan sekali-kali menderita karena hal-hal yang menurut khalayak ramai diimplikasikan atas nama ‘Kristen’ (4:15), misalnya, seperti pembunuh, pencuri, pelaku kejelekan, atau pelaku kejahatan.” Dari adanya asal-usul terminologi ini justru mengimplikasikan bahwa bangsa Romawilah, bukan orang-orang Kristen generasi awal, yang memiliki keinginan kuat untuk membedakan para pengikut agama baru ini dari tradisi Israel kuno.23
    Bukti lain yang mengindikasikan bahwa nama Kristen merupakan sebuah istilah yang diasosiasikan dengan segala bentuk kejahatan, bisa kita telusuri atas apa yang telah ditulis oleh seorang sejarawan yang bernama Tacitus. Ia mengisahkan bahwa, “Seluruh usaha manusia, seluuh pemberian kaisar yang mewah, dan segala usaha untuk menyenangkan dewa, tidak dapat menepis keyakinan yang keji bahwa lautan api adalah hasil dari sebuah perintah. Sebagai akibatnya, untuk membuang laporan ini, Nero menjatuhkan kesalahan dan membebankan siksaan yang paling hebat kepada kelas masyarakat yang paling dibenci karena kekejaman  mereka, mereka disebut sebagai orang-orang Kristen oleh rakyat kita.”24

Kesimpulan
    Asal-usul nama agama Kristen dalam perspektif Islam, memiliki berbagai versi, di mana makna yang ada terkadang bermuatan negatif, namun terkadang pula positif. Tetapi lain halnya jika asal-usul nama agama Kristen dalam perspektif Kristen, meski mereka mengklaim bahwa istilah Kristen memiliki makna sebagai pengikut Yesus, tetapi dalam pendekatan historis maupun arkeologis, tidak ada satu bukti yang bisa mendukung anggapan mereka tersebut. Justru adanya istilah Kristen pada awalnya adalah sebagai bentuk ejekan dan bermuatan negatif, di mana istilah tersebut diungkapkan oleh orang-orang paganisme kepada Kristen, dikarenakan keyakinan mereka telah dianggap oleh masyarakat umum kala itu sebagai orang-orang yang telah meyakini bentuk ketakhayulan dalam imannya. Ungkapan ini, selaras dengan apa yang diutakan oleh Suetonius, dalam Life of Nero, ia mengutarakan bahwa, “Penghukuman dijatuhkan kepada orang-orang Kristen, sebuah kelas manusia yang berhubungan dengan sebuah takhayul yang baru dan jahat.”25
   
Catatan Kaki:
1. R.P. Chavan, Mengenal Agama Kristen, (Bandung: Kalam Hidup, 1998), hlm. 7.
2. Waryono Abdul Ghafur, Persaudaraan Agama-Agama: Millah Ibrahim dalam Tafsir Al-Mizan, (Bandung: Mizan Pustaka, 2016), hlm 171-172.
3. Muhammad Galib M, Ahl Al-Kitab, (Yogyakarta: Ircisod, 2016), hlm. 97-99.
4. Louay Fatoohi, The Mystery of Historical Jesus: Sang Mesias Menurut Al-Qur’an, Alkitab, dan Sumber-Sumber Sejarah, terj. Yuliani Liputo, (Bandung: Mizan, 2012), hlm. 352-353.
5. Ibid., hlm. 762-763.
6. Muhammad Galib M, op.cit., hlm. 103-104.
7. Waryono Abdul Ghafur, op.cit., hlm. 174.
8. Muhammad Galib M, op.cit., hlm. 104.
9. Charles F. Pfeiffer dan Everett F. Harrison (ed.), Tafsiran Alkitab Wycliffe: Vol. 3 Matius-Wahyu, (Malang: Gandum Mas, 2013), hlm. 628-629.
10. Karel Steenbrink, Nabi Isa Dalam Al-Qur’an: Sebuah Interpretasi Outsider Atas Al-Qur’an, terj. Sahiron Syamsuddin dan Fejriyan Yazdajird Iwanebel, (Yogyakarta: Suka Press dan Baitul Hikmah Press, 2015), hlm. 9.
11. Ibid., hlm. 9-16.
12. Hugh Kennedy, The Great Arab Conquests: Penaklukan Terbesar Dlaam Sejarah Islam Yang Mengubah Dunia, terj. Ratih Ramelan, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2010), hlm. 10.
13. BP, “Yesus, Orang Nazaret”, http://www.sarapanpagi.org/yesus-orang-nazareth-vt84.html (diakses pada 29 Desember 2019, pukul 10.46).
14. Louay Fatoohi, op.cit., hlm. 332
15. Volker Kuster, Wajah-wajah Yesus Kristus: Kristologi Lintas Budaya, ter. Mery Kolimon, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2014), hlm. 11.
16. Louay Fatoohi, op.cit., hlm 336.
17. Deshi Ramadhani, Menguak Injil-Injil Rahasia, (Yogyakarta: Kanisius, 2011), hlm. 80.
18. Miriam Therese Winter, Injil Versi Maria: Perjalanan Hidup Yesus Dari Perspektif Perempuan, (Jakarta: Fidei Press, 2012), hlm. 33.
19. Bambang Noorsena, Menuju Dialog Teologis Kristen-Islam, (Yogyakarta: Andi, 2013), hlm. 119.
20. Charles F. Pfeiffer dan Everett F. Harrison (ed.), op.cit., hlm. 566.
21. Conrad Gempf, Tafsiran Alkitab Abad Ke-21: Jilid 3 Injil Matius Wahyu, terj. A. Munthe, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2017), hlm. 278.   
22. Everett Ferguson, Backgrounds of Early Christianity, terj. Merry Debora, (Malang: Gandum Mas, 2017), hlm. 722.
23. M.M. Al-Azmi, Sejarah Teks Al-Qur’an Dari Wahyu Sampai Kompilasi: Kajian Perbandingan Dengan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, terj. Sohirin Solihin dkk, (Jakarta: Gema Insani Press, 2014), hlm. 272.
24. Everett Ferguson, op.cit., hlm. 718.
25. Ibid.,

Comments