Benarkah Sanad Tidak Membuktikan Adanya Keotentikan Hadis?

Oleh: Sang Misionaris


Pendahuluan
Secara personal, akun Facebook  Jimmy Jeffry (JJ) telah memberikan sanggahannya kepada akun seorang Muslim, Elia Hanafi (EH), yang kala itu telah menyinggung Alkitab dengan menggunakan pendekatan sanad dalam membuktikan bahwa sumber-sumber dalam Alkitab tidaklah bisa dipercaya dikarenakan tidak adanya jalur isnad yang bisa didapatkannya. Selain memberikan sanggahan kepada EH bahwa jalur sanad tidaklah membuktikan adanya keotentikan hadis, JJ pun menyamakan pula tradisi Islam dengan apa yang terdapat pada Yahudi dan Kristen. Meski sanggahan dan tudingan JJ yang bersifat spekulatif itu ditujukan kepada EH, namun sebenarnya hal itu ia tujukan kepada kaum Muslimin lainnya. Tudingan Kristen terhadap Islam, misalnya tentang ketidakotentikan hadis yang diusung oleh JJ, bukanlah tudingan baru, karena jauh sebelum JJ terdapat orientalis yang telah menuding tentang adanya ketidakotentikan hadits dengan melihat jalur sanad dan juga matannya, seperti Junyboll yang telah mengembangkan dengan detail bagaimana sanad dan matan itu berkembang, tidak statis, namun dinamis dan berubah dari satu generasi ke generasi lainnya (Al-Makin, Antara Barat dan Timur: Hegemoni, Relasi, Dominasi, dan Globalisasi, hlm. 94-95). JJ memberikan tudingan seperti itu terhadap otentisitas hadis, karena sebagai Kristen ia memiliki motif untuk membuktikan bahwa Alkitab asli dan tanpa kesalahan, baik dalam penulisan dan penyusunan Alkitab, serta isi yang terdapat di dalam Alkitab itu sendiri. Namun demikian, benarkah tudingannya JJ terhadap otentisitas hadits? Meskipun yang ia usung bukanlah hal yang baru, namun menjawab tudingan kristen tentang hal tersebut sangatlah diperlukan, agar orang-orang Kristen tidak lagi memberikan tudingan yang serupa yang dilakukannya secara berulang-ulang terhadap Islam. Dan dalam menjawab tudingan Kristen kali ini, di sini akan saya kutip tudingan yang dilontarkan oleh JJ (yang ditandai dengan tanda petik), yang diiringi dengan komentar atau sanggahannya penulis (yang tidak disertai dengan tanda petik).


Menjawab Tudingan Kristen
    Dalam mematahkan argumentasinya EH, JJ menyatakan sebagai berikut: “....Dalam Injil tercatat kehidupan (biografi) Yesus secara kronologis mulai dari kelahiran, awal pelayanan sampai pada kematian, kebangkitan dan kenaikanNya. Model pencatatan secara kronologis seperti ini tidak ada dalam Qur'an & hadits-hadits shahih kecuali dalam kitab Sirah Nabawiyah berupa hadith biografi Muhammad yang ditulis Ibn Ishaq. Adapun kitab lain dalam Perjanjian Baru (PB) selain Injil kanonik terdiri atas surat-surat para rasul seperti Paulus, Petrus, Yohanes, dan lain-lain. Surat-surat para rasul ini bisa dibandingkan dengan pengajaran atau pendapat para sahabat Nabi Muhammad yang tercatat dalam Hadits. Maka perbandingan yang tepat berdasarkan contentnya, Bible PL (Perjanjian Lama) = Quran plus Hadith; dan Bible PB = Quran plus Hadith/Sirah Nabawiyah .... Waktu penulisan atau kodifikasi dilakukan setelah wafatnya Muhammad di tahun 832 dan versi standard yang belum ada tanda bacanya telah ada pada abad ke-7 masih dalam abad yang sama dengan keberadaan Muhammad atau puluhan tahun setelah wafatnya Muhammad. Namun berbeda dengan Hadith yang dikumpulkan dan ditulis nanti pada abad ke-9 yaitu Bukhari (194/255 H/810/869 M), Muslim (204/261 H/819/875M), Tirmidzi (209/279 H/824/892 M), Nasa’i (214/303 H/829/915 M), Abu Dawud (203/275 H/818/888 M) dan Ibnu Majah (209/295 H/824/908 M). Jarak antara penulisan Hadits dengan masa kehidupan Muhammad sekitar 200-an tahun. Masih lebih dekat Sirah Nabawiyah yang ditulis Ibn Ishaq (85/150-159 H 704/761-770 M) yang berada di abad ke-8.
Bagaimana dgn Bible? Untuk Bible PB yang terdiri atas keempat injil kanonik serta kitab & surat lainnya ditulis pada abad pertama yang jaraknya puluhan tahun sejak kenaikan Yesus ke surga pada sekitar tahun 30an. Dari segi waktu penulisan Bible PB mirip dengan penulisan Quran yaitu ditulis pada saat para saksi mata masih hidup. Menurut catatan sejarah penulis injil kanonik hanya empat orang yang merupakan bagian dari 12 murid Yesus (Matius & Yohanes) dan murid-murid lainnya yaitu Markus berdasarkan Petrus dan Lukas berdasarkan informasi langsung dari para murid & dari kitab sebelumnya (Injil Markus & Matius). Hal ini bisa disejajarkan dengan Ubay bin Ka'ab, Abdullah bin Mas'ud, Abdullah bin Abbas, serta Zaid bin Tsabit dalam pencatatan Quran. Zaid bin Tsabit paling cocok jika disandingkan dengan Lukas karena keduanya melakukan kompilasi atas kitab/mushaf sebelumnya disamping informasi lain yang didapatkanya.”
    Selain melakukan perbandingan terhadap content dan membuat kesimpulan bahwa isi PL memiliki kesamaan dengan Al-Qur’an dan hadist, dan untuk PB ia menyamakannya dengan Al-Qur’an, hadits/sirah nabawiyah. Selanjutnya, ia pun melakukan perbandingan dan menunjukkan tentang adanya perbedaan jarak penulisan yang terdapat dalam hadis dan sirah Nabawiyah dengan Alkitab. Terhadap tradisi Islam, JJ telah membenturkan tentang masa kepenulisan hadis yang dilakukan oleh para tokoh Kutubus Sittah dengan sirah yang ditulis oleh Ibn Ishaq, di mana pola pendekatan yang dilakukan oleh JJ tersebut sebenarnya ingin membangun opini para pembacanya agar menyangsikan adanya keotentikan dan validitas hadis (dalam jalur sanad), dikarenakan adanya masa kepenulisan hadis memiliki jarak yang sangat jauh dengan masa Nabi Muhammad , di samping mencari pembenaran bahwa apa yang terdapat di dalam Alkitab memiliki nilai yang lebih historis dan valid dikarenakan adanya kedekatan jarak yang begitu dekat antara kepenulisan kitab PB dengan masa Yesus.
    Terkait tentang kepenulisan hadis, jauh sebelum para tokoh Kutubus Sittah membukukan hadis, telah ada para sahabat di masa Nabi Muhammad yang telah menuliskannya, seperti Shahifah al-Shadiqah yang telah ditulis oleh Abdullah bin Amr bin Ash, Shahifah Ali bin Abi Thalib, Shahifah Sa’ad bin Ubadah (Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadis, hlm. 35-37). Sedangkan terkait tentang kepenulisan sirah yang dilakukan oleh Ibnu Ishaq, sebagaimana yang diusung oleh JJ, jauh sebelum Ibn Ishaq, sesungguhnya Urwah bin Zubair dan Abban bin Utsman telah menulis sirahnya terlebih dahulu di tahun 40 H. Bahkan, sejarawan lainnya seperti halnya al-Waqidi dan Ath-Thabari telah menggunakan materi sirah yang mereka tulis dari Urwah bin Zubair (Muhammad Babul Ulum, Genealogi Hadis Politis: Al-Mu’awiyat Dalam Kajian Islam Ilmiah, hlm. 104-106). Setelah Urwah dan Abban, lalu muncullah para penulis sirah lainnya seperti: Utsman bin Affan al-Madani (w. 105 H), Wahab bin Munabbih al-Yumma (w. 110 H), ‘Ashim bin Umar bin Qatadah (w. 120 H), Syarhabil bin Sa’ad (w. 123 H), Ibnu Syihab az-Zuhri (w. 124 H), Abdullah bin Hazm (w. 135 H), Musa bin Uqbah (w. 141 H), Muammar bin Rasyid (w. 150 H) (Ibnu Ishaq–Ibnu Hisyam, Sirah Nabawiyah: Sejarah Lengkap Kehidupan Rasulullah , hlm. xvii-xviii). Dengan adanya penjabaran tentang para penulis hadis dan juga sirah di atas, maka kita bisa mengetahui bahwa pendekatan kepenulisan hadis telah dilakukan oleh para sahabat di masa Nabi, sedangkan kepenulisan sirah hanya berpaut 29 tahun dengan masa hidupnya Nabi.
    Namun, bagaimana dengan masa kepenulisan PB? Demi menghemat ruang, untuk mengetahui kapan kepenulisan kitab/surat dalam PB, silahkan untuk merujuk kepada beberapa karya di bahwa ini, dan pada kali ini kita hanya memfokuskan diri pada masa kepenulisan Injil. Saya utarakan 5 pendapat yang berbeda tentang masa kepenulisan Injil, di mana dalam penetapannya masih menggunakan bentuk perkiraan, seperti:
1.) Merril C. Tenney, dalam karyanya yang berjudul Survei Perjanjian Baru, berpendapat bahwa Injil Matius ditulis sekitar tahun 70 M, Markus ditulis 65-68 M, Injil Lukas tahun 60 M, Injil Yohanes ditulis antara tahun 40 hingga 140 M.
2.) Samuel Benyamin Hakh, dengan judul Perjanjian Baru: Sejarah, Pengantar dan Pokok-pokok Teologisnya, menyatakan bahwa Injil Matius, menurutnya, ada yang mengusulkan tahun 85-atau 110 M, ada yang berpendapat tahun 90 M, dan ada juga yang berpendapat antara 80-100 M. Injil Markus ditulis antara 67-70 M. Sedangkan untuk Injil Lukas ditulis sekitar 80 M, dan untuk Injil Yohanes ditulis sekitar 100 M.
3.) Willi Marxsen, dalam karyanya yang berjudul Pengantar Perjanjian Baru: Pendekatan Kritis Terhadap Masalah-Masalahnya, berpendapat bahwa Injil Matius ditulis sekitar tahun 80 M, Markus ditulis antara tahun 67-69 M, Lukas ditulis sekitar tahun 90 M, dan Injil Yohanes hanya dinyatakan ditulis akhir abad ke-1 M.
4.) M.E. Duyverman, dalam karyanya yang berjudul Pembimbing Ke Dalam Perjanjian Baru, mengutarakan bahwa Injil Matius ditulis sekitar 72-85 M, Injil Markus diyakini ditulis sekitar 65 atau 66 M, Injil Lukas ditulis sekitar 75 M, Injil Yohanes ditulis sekitar tahun 100 M.
5.) Dalam Tafsiran Alkitab Wycliffe Vol. 3, dinyatakan bahwa penulisan Injil Matius tidak lebih dari tahun 70 M. Untuk Injil Markus, terdapat dua pendapat: ada yang meyakini penulisan Injil Markus di antara tahun 50-80 M; tapi sejumlah besar pandangan meyakini Injil ini ditulis pada tahun 65-70 M. Injil Lukas diyakini ditulis pada tahun 58 & 70 M, sedangkan Injil Yohanes diyakini ditulis pada tahun 80 & 90 M.
    Jika kelahiran Yesus diyakini pada awal masehi, sebagaimana keyakinan Kristen pada umumnya, tentunya untuk mengetahui berapa rentang waktu antara kepenulisan dengan masa Yesus, maka perkiraan masa kepenulisan Injil di atas tinggal dikurangi 30, dengan asumsi bahwa masa tugas Yesus di dunia hanya sampai berusia 30 tahun. Itu pun jika Yesus diyakini hidup di dunia ini hanya 30 tahun, sebagaimana yang diyakini oleh Kristen pada umumnya. Tetapi, jika Kristen meyakini bahwa Yesus lahir pada tahun 4 SM, sebagaimana keyakinan Tano Simamora, maka masa kepenulisan Injil di atas tinggal dikurangi 26 (S. Tano Simamora, Bibel: Warisan Iman, Sejarah dan Budaya, hlm. 297). Dan setelah kita mengetahui masa kepenulisan PB yang dikurangi masa hidup Yesus di dunia, baik menurut Kristen pada umumnya maupun tidak, maka dibandingkan dengan kepenulisan sirah saja ternyata lebih dekat masa kepenulisan sirah (dengan sumbernya), bila dibandingkan dengan masa kepenulisan Injil-injil.
    Setelah membuat perbandingan masa kepenulisan antara hadis dan sirah dengan kitab-kitab PB, akhirnya JJ berkesimpulan, bahwa suatu tulisan akan bisa dianggap otentik jika kepenulisannya itu memiliki rentang waktu yang dekat dengan sumber, dan begitu pula sebaliknya, suatu tulisan akan disangsikan keotentikannya, jika masa kepenulisannya semakin jauh dengan sumbernya. Akan tetapi, mampukah JJ untuk bersikap konsisten terhadap pendekatan yang ia buat sendiri, dan mengakui adanya keotentikan terhadap kepenulisan hadis dan juga sirah? Karena di atas, telah dibuktikan secara historis bahwa kepenulisan hadis telah dilakukan di masa Nabi Muhammad , sedangkan kepenulisan sirah hanya berpaut 29 tahun dari wafatnya Nabi, di mana rentang waktunya lebih dekat bila dibandingkan dengan kepenulisan Injil-injil. Jika JJ menganggap hadits dan sirah tidak memiliki keotentikkan, tentunya kitab-kitab yang terdapat di dalam PB tidak bisa pula dianggap otentik karena masa kepenulisan PB memiliki rentang waktu yang lebih jauh dibandingkan dengan kepenulisan hadis dan sirah. Dan jika seandainya JJ menjawab iya, maka kepenulisan PB pun tidak bisa dinilai otentik, sebagaimana pendekatan yang ia buat, semakin jauh masa kepenulisan dengan sumber, maka akan semakin kurang bisa diandalkan keotentikannya.
    Dan perlu untuk diketahui, tidak hanya masa masa kepenulisan Injil saja yang masih berpolemik di internal Kristen, kepengarangan Injil pun, misalnya, hingga kini masih terjadi perbedaan pendapat dalam menentukan siapa para penulisnya. Jika JJ meyakini bahwa segala hal yang terdapat di dalam Injil itu adalah sebuah kebenaran, namun nyatanya ia mengabaikan adanya polemik tentang kepenulisan dan kepengarangan dalam Injil di kalangan sarjana (Kristen), tentunya sikap JJ tersebut bisa dianggap mengada-ngada. Karena jika penulisnya saja tidak dikenal dan waktu kepenulisannya pun tidak diketahui secara pasti, maka bagaimana mungkin suatu penelitian isinya bisa dianggap memadai dan diandalkan jika sumber-sumber yang ada pun tidak memiliki kejelasan.
    Selanjutnya JJ menuding saudara EH dengan menyatakan, “….Elia Hanafi begitu mengunggulkan sistem periwayatan Hadits melalui Isnad (chain of transmission). Namun setelah kita melihat jarak antara masa hidup Muhammad dengan proses kompilasi dan pembukuan hadith ini yang jaraknya 200an tahun dibandingkan dengan Bible khususnya PB yang hanya puluhan tahun atau pada masa para saksi mata masih hidup, maka point "Isnad" yang diajukan Elia Hanafi menjadi tidak relevan. Point "Isnad" ini mengacu pada Oral Tradition yang juga ada dalam budaya Israel. Namun dalam penulisan injil kanonik dan kitab/surat lainnya ditulis oleh para saksi mata langsung, kecuali Markus berdasarkan kesaksian Petrus dan Lukas dari para murid. Penulisan kitab PB yang mengacu pada Oral Tradition jelas masih dekat dengan lingkaran saksi mata seperti kata Paulus dlm 1 Kor 15 "... telah kusampaikan kepadamu, yaitu apa yang telah kuterima sendiri...", tidak seperti hadith yg berdasarkan informasi dari a, a dari b, b dari c dan seterusnya.”
    Selanjutnya JJ menuding, bahwa point isnad yang diajukan oleh EH menjadi tidak relevan, karena menurutnya, selain kepenulisan hadis memiliki jarak yang jauh dengan masa hidup Nabi Muhammad , ia pun berasumsi bahwa point isnad hanya mengacu pada tradisi oral, sebagaimana yang terdapat dalam tradisi Israel. Di sini, tradisi Islam kembali dibenturkan oleh JJ dengan tradisi Israel, bukan dengan tradisi Kristen sendiri, padahal JJ sendiri adalah seorang Kristen. Terkait tradisi Israel yang menggunakan tradisi oral, perlu adanya pembuktian lebih lanjut sebagaimana yang diklaim oleh JJ, karena sepanjang yang saya (penulis) ketahui, tidak ada kejelasan tentang sumber oral yang bisa diandalkan dalam kepenulisan PL, baik dari kitab Kejadian sampai kepada Maleakhi. Dan jika menurutnya ada tradisi oral dalam kepenulisan PL, tentunya JJ mesti memberikan terlebih dahulu bukti yang memadai dan otentik untuk menunjukkan jalur para perawinya minimal 1 ayat dari setiap kitab yang terdapat pada PL. Dan untuk mengetahui adanya bukti bahwa penyampaian hadis yang terdapat dalam periwayatan tidak saja mengacu pada tradisi oral, melainkan menggunakan pula tradisi tulisan, bisa dibaca pada link ini.
    Selanjutnya JJ mengklaim, bahwa Injil-injil Kanonik dan kitab/surat telah dibuat ditulis oleh para saksi secara langsung. Untuk menghemat ruang, silahkan untuk membaca artikel yang sudah saya muat di blog untuk mengetahui siapakah para penulis Injil Kanonik, seperti Matius, Markus, Lukas dan Yohanes. Sedangkan tentang kitab/surat dalam PB, dipersilahkan untuk merujuk kepada karyanya Merril C. Tenney hingga M.E. Duyverman, di mana karyanya mereka telah disertakan di atas, di samping menggunakan pula Tafsiran Alkitab Wycliffe Vol. 3.
    Dalam tradisi Islam, Al-Qur’an telah diriwayatkan secara mutawatir dan bahkan banyak para sahabat yang menuliskannya di hadapan Nabi sendiri, sedangkan tentang hadis selain menggunakan tradisi oral, diiringi pula dengan tulisan sama halnya dengan Qur’an. Bahkan para sahabat sendiri, yang telah menulis dan yang meriwayatkannya, sebelum hadis itu disampaikan kepada generasi sesudahnya, mereka telah hidup sezaman dan bertemu secara langsung dengan Nabi Muhammad . Tidak hanya itu, di masa Khalifah Utsman, misalnya, dalam melakukan kodifikasi Al-Qur’an, selain memberikan hafalan dan tulisan yang dimiliki oleh para sahabat, maka untuk membuktikan yang disampaikannya itu benar, mereka pun diharuskan untuk memberikan saksinya sebanyak 2 orang. Sedangkan dalam kepenulisan Injil dan kitab/surat dalam PB, tidak ada data yang otentik yang bisa diterima bahwa para penulis PB adalah para muridnya Yesus, apalagi menuliskannya di hadapan Yesus, terlebih para penulis PB pun tidak ada yang mampu menyajikan 2 orang saksi (yang sezaman dengan mereka) dalam membenarkan bahwa apa mereka yang tulis itu sesuai dengan apa yang telah disampaikan oleh Yesus dan sesuai pula dengan yang dilakukan oleh Yesus.
    Di samping memberikan kesimpulan, JJ pun memberikan pula analogi terkait sistem sanad dalam membuktikan adanya kelemahan transmisi. Adapun pernyataannya yang ia sampai adalah sebagai berikut: “Kita analogikan dengan ilustrasi permainan telepon-teleponan, pesan dari pengirim awal bisa berbeda dengan penerima akhir karena terjadi distorsi diantara beberapa orang perantara. Hal ini bisa terjadi dengan hadith buktinya ada begitu banyak hadits yang dikategorikan dhoif. Misalnya hadits shahif Bukhari, dari 600.000 hadist, Bukhari hanya memilih sekitar 2.761 hadits. Demikian juga hadits shahih Muslim hanya 4.000 dari 300.000 dan hadits shahih lainnya. Silahkan dikoreksi kalau datanya keliru. Salah satu indikator hadits shahih yaitu periwatnya yang dapat dipercaya, lalu bagaimana seandainya keterangan tentang profil dari periwayat itu tidak valid atau justru dari data yang sedang dibuktikan keshahihannya, ini menjadi circular reasoning. Selain itu hadith biografi Muhammad oleh Ibn Ishaq yang lebih awal dibanding hadits shahih seperti Bukhari dan lain-lain, justru dalam detail dipertanyakan dalam hadits-hadist sahih tersebut. Bukannya beberapa detail dalam Sirah Nabawiyah itu problematik dengan data sejarah lainnya. Berdasarkan hal ini maka point Isnad dalam hadith untuk memeriksa shahih tidaknya sebuah hadith dari ribuan detail hadith yang ada, tidak relevan diterapkan ke Bible PB. Karena proses kompilasi Bible PB telah terjadi pada abad pertama oleh para saksi. Kalau begitu apa yang menjadi dasar menyatakan Bible PB yang ditulis pada abad ke-1 itu tetap sama pada abad berikutnya bahkan sampai saat ini? Jawabannya Manuscript PB & tulisan Bapa-bapa Gereja! Yaitu bertumpu pada written tradition dibanding oral tradition.”
    Dengan menggunakan penganalogian telpon-telponan layaknya permainan anak kecil, JJ telah menuding bahwa hadis yang disampaikan dari generasi ke generasi bisa terjadi pendistorsian narasi, yang asumsinya itu berpijak pada hafalan hadis Imam Bukhari dengan hadis-hadis yang dinilai shahih oleh Bukhari. Perlu diketahui, bahwa penerimaan hadis terjadi ketika si pemberi periwayat dan yang menerima riwayat, keduanya sama-sama bertemu muka, sebagaimana yang dilakukan oleh Jabir, misalnya, di mana ia pergi ke Syam untuk menemui Abdullah ibnu Unais al-Anshary untuk menanyakan sebuah hadis yang belum pernah ia dengar dari para sahabat lainnya. Dan begitu pula Abu Ayyub al-Anshari yang pernah ke Mesir untuk menemui Uqbah ibn Amr karena ingin menanyakan tentang sebuah hadis (Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah Dan Pengantar Ilmu Hadits, hlm. 45-46). Selain itu, para perawi pun menuliskan pula hadis atas apa yang ia dapatkan dari orang lain, di mana hal itu sudah disampaikan pula di artikel ini. Untuk menjaga keaslian hadis yang diterima, tidak saja menemui orang yang meriwayatkannya, dan tidak juga hanya menuliskan hadis yang ia dapatkan, melainkan mengetes wawasan para perawi yang sekaligus mengecek kedustaan seorang perawi terkait hadis yang disampaikannya itu. Sebagai contoh, ‘Ufair ibn Ma’dan dan al-Kala’i bercerita, “Umar ibn Musa mendatangi kami di Hims, lalu kami berkumpul dengannya di suatu mesjid, dan dia berkata, ‘Syaikh anda yang salih telah menyampaikan kepada kami demikian… dan demikian.’ Ufair pun bertanya, ‘Siapa yang anda maksud dengan syaikh kami yang salih itu? Beritahukan namanya supaya kami mengetahuinya.’ Umar menjawab, ‘Khalid ibn Ma’dan.’ Ufair pun kembali bertanya, ‘Pada tahun berapa anda bertemu dengannya?’ Umar menjawab, ‘Saya bertemu dengannya pada tahun 108 H.’ Ufair bertanya, ‘Di manakah engkau bertemu dengannya?’ Umar menjawab, ‘Saya bertemu dengannya dalam peperangan Armenia.’ Ufair pun berkata, ‘Bertaqwalah kepada Allah, wahai syaikh dan janganlah anda berdusta. Khalid ibn Ma’dan wafat pada tahun 104 H, dan engkau mengaku bertemu dengannya setelah kematiannya empat tahun. Saya beritahukan kepadamu satu hal lagi bahwa Khalid tidak pernah terlibat dalam peperangan Armenia, melainkan ikut berperang melawan Romawi” (Umma Farida, Kontribusi Pemikiran Muhammad Mustafa Al-A’Zami Dalam Studi Hadis, hlm. 115).
    Di sini bisa kita ketahui, bahwa dalam meriwayatkan suatu hadis, para perawinya tidaklah langsung menyebarkannya kepada orang lain, melainkan memeriksanya terlebih dahulu wawasan dan daya ingat si perawi lainnya, di samping melakukan pelawatan dan juga menulis hadis. Namun, bagaimana dengan permasalahan tentang adanya jumlah hafalan Bukhari yang pada akhirnya mengalami penyusutan dikarenakan adanya hadis-hadis yang dianggap shahih oleh Bukhari. Seharusnya, JJ pun memberikan contoh-contoh hadis yang dianggap oleh Bukhari tidak masuk ke dalam kriteria shahih, apakah riwayat itu karena dianggap dhaif, dan dhaifnya itu apakah termasuk ke dalam wilayah sanadnya ataukah matannya, karena untuk masalah hadis dhaif sendiri, misalnya, ada berbagai macam kriteria yang termasuk ke dalam dhaif (Fatchur Rahman, Ikhtishar Mushthalahul Hadis).
    Setelah JJ memberikan banyak asumsinya dalam memberikan sanggahan kepada EH, JJ pun akhirnya menganggap bahwa point isnad yang terdapat dalam tradisi Islam untuk memeriksa keotentikan dan validitas hadis dinilai tidak relevan jika diterapkan pada PB, dikarenakan proses kompilasi Bible PB, menurutnya, telah terjadi pada abad pertama yang ditulis oleh para saksi. Dan ia berspekulasi bahwa terjaganya isi PB dari abad ke-1 hingga kini, hal tersebut dibuktikan dengan adanya manuskrip PB dan tulisan-tulisan dari Bapa-bapa Gereja, yang bertumpu pada tradisi tulisan dibandingkan dengan tradisi oral. Namun, benarkah demikian? Padahal menurut dosen Sejarah Gereja yang mengajar di STT Jakarta dan sekaligus seorang Pendeta di GKPI, yaitu Jan S. Aritonang, menyatakan bahwa sebelum terjadinya proses penulisan dan penyusunan PB, telah beredar secara lisan berbagai kisah yang dinisbatkan kepada Yesus. Dan secara berangsur-angsur, ucapan-ucapan dan cerita tersebut yang sudah beredar luas, pada akhirnya dibuat dalam bentuk tulisan. Aritonang menambahkan, para penulis yang terdapat dalam Alkitab, khususnya para penulis Injil, mereka tidaklah membayangkan, apalagi merencanakan, bahwa tulisan-tulisan mereka itu kelak akan menjadi, atau bagian dari, kitab suci umat Kristen (Weinata Sairin et.al (peny.), Persebaran Firman Di Sepanjang Zaman, hlm. 25-26).
    William W. Klein dan yang lainnya berpendapat, bahwa para penulis Injil bukanlah saksi mata dari pernyataan-pernyataan Yesus, oleh karena itu mereka dapat dianggap telah menerima materi tersebut dari sumber-sumber yang lain (William W. Klein, Craig L. Blomberg, Robert L. Hubbard, Jr., Introduction to Biblical Interpretation: Pengantar Tafsiran Alkitab, hlm. 323). Bahkan, karena adanya kesamaan yang terdapat dalam Injil Sinoptik, para sarjana Kristen telah melahirkan berbagai teori untuk mengetahui sumber-sumber yang mereka gunakan, seperti Teori Tradisi Lisan, teori Independen, Teori Injil Primitif, Teori Fragmentaris, Teori Dua Dokumen, Teori Empat Dokumen (Paul Enns, The Moody Handbook of Theology, Revised and Expanded (1), hlm. 84-85). Para sarjana Kristen banyak menghasilkan berbagai kritik dan pendekatan, di mana hal itu dilakukan karena tidak adanya sumber utama Kristen, selain hanya salinan dan salinan yang mereka dapatkan, di samping tidak diketahui pula siapa para penulisnya, masa dan tempat kepenulisannya. Jika banyaknya manuskrip dan tulisan-tulisan Bapa Gereja menjadi andalannya JJ dalam membuktikan adanya kesamaan isi PB antara masa bapa gereja dengan PB saat ini, silahkan JJ membuktikan bahwa para Bapa Gereja yang memiliki versi kitab PB-nya masing-masing untuk dibuktikan bahwa semua yang dimiliki oleh mereka isinya sama dengan PB yang diimani oleh Kristen saat ini? Jika JJ menjawab iya, tentunya ia mampu memberikan bukti dari setiap kitab PB yang ada dari setiap Bapa Gereja, minimal 1 ayat saja, disamping menyertakan sumber-sumber yang ia kutip.

KESIMPULAN
    Melakukan perbandingan masa kepenulisan, dalam tradisi Islam, hal tersebut merupakan bagian dari kritik Matan. Dan jika dipandang dalam perspektif Islam, tentunya pendekatan yang dilakukan oleh JJ dalam memberikan sanggahan kepada EH, tidaklah bisa dianggap relevan. Karena apa yang diusung sejak awal oleh EH adalah kritik sanad, sedangkan JJ hanya menitikberatkan pembahasannya pada matan. Akan tetapi, bisakah JJ bersikap konsisten terhadap pendekatan yang ia buat sendiri untuk mengakui adanya keotentikan atas kepenulisan hadis dan sirah, serta menganggap tidak adanya keotentikan atas kepenulisan PB? Karena sejak awal, ia berasumsi bahwa semakin dekat masa kepenulisan dengan sumber, maka akan semakin bisa dianggap bernilai dan otentik, dan begitu juga sebaliknya. Dan ternyata, setelah dibuktikan di atas, kepenulisan hadis telah terjadi di masa hidupnya Nabi, dan kepenulisan sirah pun hanya berselang 29 tahun dari masa wafatnya Nabi. Sedangkan kepenulisan PB, memiliki masa kepenulisan yang lebih jauh bila dibandingkan dengan hadis dan juga sirah. Tidak hanya itu, dalam tradisi Islam, Qur’an dan hadis tidaklah mengacu kepada tradisi oral, melainkan mengacu pula pada tradisi tulisan, yang hal itu dibuktikan dengan adanya para sahabat yang telah menulis di masa Nabi, baik Qur’an maupun hadis.

Comments

Post a Comment