Pandangan Orientalis Terhadap Hadis Nabi

Oleh: Sang Misionaris

Pendahuluan
    Selain Al-Qur’an, hadits pun merupakan sumber ajaran Islam yang memiliki kedudukan penting bagi umat Islam, baik secara struktural maupun fungsional. Hadits memiliki kedudukan secara struktural, karena posisinya berada dibawah Al-Qur’an, sedangkan secara fungsional, hadits merupakan penjelas Al-Qur’an yang bersifat umum dan mutlak, di samping sebagai landasan hukum bagi keputusan hukum yang belum diatur di dalam Al-Qur’an. Itulah kedudukan hadis dalam Al-Qur’an, hal ini mengingat bahwa pribadi Nabi Muhammad ﷺ merupakan perwujudan dari Al-Qur’an yang ditafsirkan untuk manusia, serta ajaran Islam yang dijabarkan dalam kehidupan sehari-hari, di mana hal tersebut tentunya didasari oleh dalil naqli maupun aqli.1 Selain mempermasalahkan otentisitas Al-Qur’an, pihak orientalis hadits pun telah mempermasalahkan otentisitas hadis, seperti: Ignaz Glodziher, Joseph Schacht, Junyboll, dan lain-lain. Para orientalis tersebut telah mempermasalahkan otentisitas hadits, karena menurut keyakinan mereka, hadits tidak memiliki bukti otentik yang secara historis telah terbentuk di masa Kenabian Muhammad ﷺ, melainkan telah diproduksi pada abad ke-2 H. Implikasi tersebut tidak saja menegasikan adanya Nabi Muhammad ﷺ sebagai sumber hadits, melainkan adanya tudingan yang secara langsung ditujukan kepada para ahli hadits yang dianggap bertanggungjawab dalam memproduksi hadits, di samping telah mengabaikan pula tentang adanya proses kodifikasi hadis dan syarat otentisitas hadis dalam tradisi Islam. Lalu, seperti apakah pandangan orientalis terhadap hadits Nabi dan bagaimanakah meluruskan pandangan orientalis tersebut?  

Tudingan Para Orientalis Terhadap Otentisitas Hadits
    Menurut Charles J. Adams, dalam Islamic Religious Tradition, ada empat sarjana Barat yang respek terhadap kajian hadits (adanya upaya melakukan tudingan terhadap otentisitas hadis), yaitu Ignaz Goldziher, Joseph Schacht, Nabia Abbot dan Fuad Sezgin. Selain memasukkan nama mereka, ia pun telah memasukkan pula Fazlur Rahman yang dianggap telah merekonstruksi dan mengembangkan kajian hadits, di mana metodenya tersebut terekam pada karyanya yang berjudul Islamic Methodology in History. Adams menambahkan, Ignaz Goldziher telah mempertanyakan keaslian hadits, Joseph Schacht mempermasalahkan hadits shahih, Nabia Abbot membahas keberadaan hadits dan sunnah pada abad pertama, eksistensi pengumpulan dan penulisan hadis pada masa awal, kelangsungan periwayatan hingga abad ketiga Hijriah, perdebatan keaslian hadis dan studi tentang kodifikasi hadits (tadwin al-hadits). Lebih dari itu, menurutnya, banyak karya di dalam negara Islam yang telah mempertanyakan tentang posisi hadits dalam pemikiran keagamaan Islam yang ditandai dengan adanya pembatasan peran hadits, antara lain karya Mahmud Abu Rayyah, yang berjudul “Adwa ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyah”. Sedangkan para sarjana Barat yang telah mempersoalkan masalah otentisitas hadits, antara lain: G.H.A Junyboll yang menghasilkan karya “The Authenticity of the Tradition Literature: Discussions in Modern Egypt”, dan William Paul Mclean dalam karya “Jesus in the Quran and Hadits Literature”.2    
    Pada abad ke-19, adanya pertanyaan tentang otentisitas, orisinalitas, authorship, asal-muasal, keakuratan serta kebenaran hadits muncul, dan menjadi isu pokok dalam studi Islam, khususnya yang menyangkut tentang hukum Islam, di mana pertanyaan tersebut muncul tidak saja dari sarjana Barat, melainkan juga dari sarjana Muslim. Abu Rayyah, misalnya, ia berpendapat bahwa hadits Nabi ﷺ telah rusak dan kata-kata persisnya telah hilang karena riwayah bi al-ma’na. Bahkan, Gustav Weil sendiri menyarankan agar para sarjana Barat untuk melakukan penolakan terhadap separuh hadits yang terdapat pada Shahih Bukhari. Tantangan serius pertama terhadap autentisitas hadis oleh sarjana Barat dimulai oleh Alois Sprenger, yang menyatakan keragu-raguannya terhadap ketepercayaan hadis sebagai sumber sejarah, dan sikap tersebut akhirnya diikuti oleh William Muir, yang juga mempertahankan sikap kritisnya terhadap autentisitas hadits. Dan akhirnya, kesarjanaan Eropa pun mulai mencapai puncaknya dalam karya Ignaz Goldziher, yang karyanya tersebut dianggap sebagai karya kritik hadis terpenting pada abad ke-19 M.3    
    Tentang adanya berbagai pandangan orientalis terhadap hadits, Umma Farida berpendapat,4 bahwa Ignaz Goldziher adalah seorang pelopor yang telah meragukan adanya otentisitas hadits sebagai sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad ﷺ. Menurutnya, dalam karyanya Ignaz Goldziher, yang berjudul Muslim Studies Vol. II, dinyatakan bahwa fenomena hadis berasal dari zaman Islam yang paling awal. Akan tetapi, karena materi hadits yang terus bertambah pada era selanjutnya dan berjalan paralel dengan doktrin-doktrin fiqh dan teologi yang sering kali saling bertentangan, maka dapat disimpulkan bahwa sangat sulit untuk menentukan hadits-hadits orisinil yang berasal dari Nabi ﷺ. Lebih lanjut, Ignaz berpendapat bahwa sebagian besar materi hadits dalam koleksi kitab hadits, merupakan hasil pengembangan keagamaan, historis, dan sosial Islam selama dua abad pertama, atau refleksi dari kecenderungan-kecenderungan yang tampak pada masyarakat Muslim selama masa-masa tersebut. Akibatnya, produk-produk kompilasi hadits yang ada saat ini tidak dapat dipercaya secara keseluruhan sebagai sumber ajaran dan perilaku Nabi ﷺ sendiri.
    Selain mengungkapkan pandangan Ignaz Golodziher tentang hadits, Umma Farida pun mengemukakan pula pandangan orientalis lainnya, seperti David Samuel Margoliouth. Dalam bukunya yang berjudul Early Development of Islam, David Samuel mempertahankan pandangannya tentang hadits bahwa: (1) Nabi ﷺ tidak meninggalkan pedoman-pedoman ataupun keputusan-keputusan keagamaan, yakni beliau tidak meninggalkan sunnah ataupun hadis, selain Al-Qur'an saja; (2) bahwa sunnah sebagaimana yang dipraktekkan oleh masyarakat Muslim awal sepeninggal Muhammad ﷺ sama sekali bukanlah sunnahnya Nabi ﷺ, melainkan kebiasaan bangsa Arab sebelum Islam yang telah mengalami modifikasi dalam Al-Qur’an; dan (3) bahwa generasi-generasi pada abad ke-2 H/8 M, dalam usaha memberi otoritas dan normatifitas bagi kebiasaan tersebut, lalu mengembangkan konsep sunnah Nabi ﷺ dan menciptakan sendiri mekanisme hadis untuk merealisir konsep tersebut.
    Dari adanya berbagai pandangan para orientalis tentang hadis, sebagaimana yang telah diutarakan di atas, maka akhirnya pandangan tentang hadis mengalami pengembangan lebih lanjut, sebagaimana yang dilakukan oleh Jopseph Schacht (1902-1969) yang menyatakan, bahwa isnad berawal dari bentuk sederhana, lalu diperbaiki sedemikian rupa dengan cara mengaitkan doktrin-doktrin aliran fiqh klasik kepada tokoh yang lebih awal, seperti sahabat dan akhirnya kepada Nabi ﷺ. Dan dikarenakan isnad merupakan rekayasa sebagai akibat dari pertentangan antara aliran fiqh klasik dan ahli hadis, maka tak satu pun dari hadits Nabi ﷺ - terlebih yang berkenaan dengan persoalan hukum - dapat dipertimbangkan sebagai hadist shahih. Sehingga dalam pandangannya, Schacht meyakini bahwa hadits-hadis sebenarnya tidaklah berasal dari Nabi ﷺ, tetapi berasal dari generasi tabi’in.
    Dari adanya tudingan para orientalis di atas, tentu saja mereka ingin menciptakan keraguan kepada umat Islam, bahwa hadis yang selama ini diyakini oleh kaum Muslimin dianggap tidak sah untuk ditaati dan tidak layak pula untuk dijadikan sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an. Leopold Weiss, seorang orientalis Austria yang telah menganut agama Islam, yang kemudian berganti nama menjadi Mohammad Asad, telah memberikan perumpamaan yang cukup menyentuh emosi umat Islam, terkait pandangan Barat kepada Islam. Menurutnya, Islam itu tertuduh dan bersalah, yang diadili oleh hakim-hakim orientalis. Dalam pandangan orientalis, hadis sebagai interpretasi dan penjelasan bagi ayat-ayat Al-Qur’an yang sangat penting dalam pandangan umat Islam. Melihat status ini menimbulkan perhatian yang besar bagi kaum orientalis untuk melihat dan mengetahui sejauh mana hadis Nabi ﷺ tahan uji, dan seberapa jauh kebenarannya. Mereka telah gagal merongrong Al-Qur’an sebagai sumber utama ajaran Islam dengan segala cara dan tindakannya, berusaha mencari-cari kelemahan hadis Nabi ﷺ.   
    Selanjutnya Mohammad Asad menyatakan, jika penjajah melakukan pendudukan terhadap negara-negara Timur dan Islam, maka orientalis-orientalis dengan propagandis Kristennya yang bertindak secara ilegal memutarbalikan fakta dari ajaran Islam, merongrong Al-Qur’an, begitu juga dengan hadis Nabi ﷺ. Hanya dengan cara demikian, menurut mereka, Islam akan hancur luar dan dalam, sebab akan menimbulkan kekeliruan yang berakibat salah dalam mengambil suatu nilai ajaran. Jika air di hulu sudah keruh, maka ke hilir pun akan keruh pula. Jika tempat berpijak sudah tidak benar, sebagaimana yang dipergunakan orientalis dan oksidentalis dalam menilai hadis, maka akan tidak benar pula penglihatan dan pandangan serta konklusi yang dihasilkannya.5 Oleh karena itu, suatu hal yang sangat penting bagi kita sebagai umat Islam untuk terus memperbanyak bahan bacaan tentang permasalahan dunia Islam, baik yang dikemukakan oleh pihak insider maupun outsider, agar kita pun tidak terjangkit penyakit skepsitisisme, karena jika seorang Muslim telah skeptis terhadap sumber-sumber Islam itu sendiri, tentunya ia pun akan mudah menggadaikan aqidahnya dan menempatkan akalnya di atas Al-Qur’an dan hadits. Jika itu telah terjadi, maka Islam tidak akan jauh berbeda kondisinya dengan Kristen, di mana akal telah memporak-porandakan Alkitab dalam berbagai sisi yang pada akhirnya Alkitab pun hanyalah sebuah kitab yang hanya bisa diimani tanpa mampu membuktikan adanya otentisitas dan validitas yang terdapat di dalamnya.    

Meluruskan Tudingan
    Berbagai pendapat orientalis yang telah dikemukakan di atas, pandangan mereka bagaikan suatu virus yang perlu mendapatkan penanganan secara khusus, di samping memberikan pula obat penawarnya agar tidak menjangkiti siapa pun dan di manapun. Jika John Wansbrough telah menimbulkan kecenderungan dalam bentuk skeptisisme Al-Qur’an, maka karya-karya Ignaz Glodziher dan Joseph Schacht telah membawa pengaruh yang nyata dalam bentuk skeptisisme hadits.6 Salah satu yang menyebabkan Ignaz memiliki keraguan terhadap otentisitas hadis dikarenakan ia merasa sulit untuk mendapatkan data otentik tentang hadits. Kesulitan tersebut terjadi, menurutnya, karena diakibatkan oleh kondisi masyarakat Islam pada abad ke-1 H yang sama sekali tidak mendukung budaya pemeliharaan data tersebut. Ketika membahas perkembangan hadits pada masa Umayyah dan Abbasiyah, atau lebih umumnya pada abad ke-1 H, ia menggambarkannya sebagai kondisi masyarakat yang belum memiliki kemampuan cukup untuk memahami dogma-dogma keagamaan, memelihara ritus-ritus keagamaan dan mengembangkan doktrin agama yang komplek. Lebih dari itu, menurutnya, pada saat itu buta huruf masih merajalela di mana-mana, dan kebudayaan yang berpusat pada lingkungan istana serta kebiasaan di kota-kota besar ternyata masih bersifat sekuler dan lepas dari agama.7
    Ketika itu, para sahabat telah antusias dalam menuntut ilmu kepada Nabi Muhammad ﷺ yang dibuktikan dengan adanya kunjungan para sahabat yang dilakukan secara bergilir, dan bagi yang tidak menghadirinya, maka mereka akan mendapatkan hadis dari orang-orang yang telah mendapatkan hadis secara langsung dari Nabi, di mana kondisi tersebut telah dituturkan oleh Umar bin Khathab, “Aku dan seorang temanku (tetanggaku) dari golongan Anshar bertempat di kampun Umayyah ibn Yazid, sebuah kampung yang jauh dari kota Madinah. Kamu berganti-ganti datang kepada Rasul. Kalau hari ini aku yang turun, esok tetanggaku yang pergi. Kalau aku yang turun, aku beritakan kepada tetanggaku apa yang aku dapati dari Rasulullah. Demikian juga, ketika dia pergi…”8 Dari adanya keantusiasan para sahabat tersebut, dan demi menjaga agar ayat-ayat Al-Qur’an tidak bercampur dengan sabda Nabi, maka beliau pun melarang para sahabat untuk tidak menuliskan hadis, sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudri: “Janganlah kamu menulis dariku, barangsiapa menulis dariku selain Al-Qur’an, maka hendaklah untuk menghapusnya..”9 Namun, pelarangan tersebut tidaklah bersifat mutlak, karena ada hadits lain yang mengisahkan tentang diperbolehkannya menulis hadis, sebagaimana permintaannya Abu Syah kepada Nabi Muhammad ﷺ agar beliau menuliskan isi pidatonya itu untuk Abu Syah yang berkenaan tentang pembunuhan seorang laki-laki dari bani Laits yang dilakukan oleh bani Khuza’ah.10 Selain hadits tersebut, adapula hadits lain yang memperbolehkan sahabat lain untuk menuliskan hadits, sebagaimana yang terjadi pada Abdullah bin ‘Amru, ketika ia mengisahkan kepada Nabi tentang adanya larangan yang ia dapatkan dari orang-orang Quraisy agar tidak menuliskan hadits, dan setelah mendengar hal itu Nabi pun bersabda: “Tulislah, demi jiwaku yang ada ditangan-Nya, tidaklah keluar darinya (mulut) kecuali kebenaran.”11
    Jika seandainya pelarangan menulis hadits itu bersifat mutlak, tentunya para sahabat yang lainnya pun tidak akan menulis dan membuat koleksi tentang hadits-hadits, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Abdullah ibn ‘Amr ibn ‘Ash, yang shahifahnya disebut al-Shadiqah, dan Ali bin Abi Thalib, yang telah menulis hadis tentang hukum diyat; hukum keluarga; dan lain-lain.12 Menurut Fathur Rahman, bahwa naskah hadits Ash-Shadiqah berisikan 1.000 hadis yang dihafal dan dipelihara oleh keluarganya sepeninggal Abdullah ibn ‘Amr. Cucunya, ‘Amr bin Syu’aib telah meriwayatkan hadits-hadits tersebut sebanyak 500 hadis.13 Dari adanya berbagai keterangan di atas, tentu saja hal itu telah menegasikan anggapan Goldziher, terkait adanya buta huruf yang merajalela di masa dinasti Umayyah dan Abbasiyah, karena bagaimana mungkin buta huruf dianggap merajalela pada kedua dinasti tersebut ketika di zaman Nabi saja telah banyak para sahabat yang bisa baca-tulis, di samping adanya para sahabat yang telah membuat koleksi tentang hadis-hadis Nabi. Selain itu, adanya pelarangan Nabi ﷺ agar para sahabat tidak menuliskan hadis, tentunya telah mengisyaratkan pula bahwa di zaman Nabi ﷺ telah banyak para sahabat yang bisa baca-tulis, karena tidak mungkin adanya larangan menulis disampaikan ketika para sahabat pun tidak memiliki kecakapan dalam menulis.    
    Al-A’zami telah melakukan penelitian terhadap para sahabat dan tabi’in yang telah meriwayatkan hadis tentang adanya larangan menulis hadis. Adapun hasilnya adalah semua orang yang meriwayatkan hadis tersebut, ternyata mereka pun meriwayatkan pula hadis yang menganjurkan adanya penulisan hadis, kecuali satu atau dua orang saja. Tentang hal ini, al-A’zami dalam karyanya, Studies in Early Hadith Literature, telah menyajikan lima puluh nama-nama sahabat yang memiliki tulisan hadis dan tulisan lain yang berasal dari mereka, sedangkan dalam bukunya, Dirasat fi al-Hadis an-Nabawi wa Tarikh Tadwinih, ia menyajikan lima puluh dua nama, dengan adanya dua nama tambahan, yaitu As-Sa’ib ibn Yazid dan Umm al-Mu’minin Maimunah binti al-Hatis al-Hilaliyyah. Nama-nama sahabat yang memiliki tulisan hadis dari Nabi, sekaligus pernah diangkat menjadi sekretaris Nabi di antaranya adalah: Abu Ayyub al-Anshari, Abu Bakar as-Siddiq, Ubay bin Ka'ab, Usaid Ibnu Hudair, Zaid bin Arqam, Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Thalib, dan lain-lain. Sedangkan para sahabat yang hanya memiliki tulisan Nabi saja ialah: Abu Umamah al-Bahili, Abu Bakrah as-Saqafi, Abu Rafi’, Abu Sa’id al-Khudri, Abu Syah, Musa al-Asy’ari, Abu Hurairah, Abdullah ibn Abbas, Abdullah ibnu Mas'ud, dan lain-lain.14
    Dalam tradisi Islam terdapat dua hal yang menyebabkan diterima atau ditolaknya suatu hadits, yaitu adanya keshahihan isnad dan juga matannya. Tentang adanya kritik sanad dan juga matan, Umma Farida menjelaskan, bahwa untuk mengkritisi sanad diperlukan adanya pengetahuan tentang kehidupan, pekerjaan dan karakter pribadi yang membentuk rangkaian yang bervariasi dalam rantai sanad yang berbeda-beda, sedangkan untuk memahami untuk memahami signifikansi yang tepat dari matan, juga untuk menguji keasliannya diperlukan pengetahuan tentang berbagai makna ungkapan yang digunakan dan kajian terhadap hubungannya dengan lafaz, matan pada hadis-hadis yang lain, baik yang memiliki kesamaan atau bertolak belakang dengan matan tersebut.15  
    Kritik sanad tidaklah dibentuk oleh para ulama kemudian, sebagaimana yang telah ditudingkan oleh para orientalis, melainkan pijakan dasarnya telah dibentuk oleh para sahabat. Meski demikian, pada zaman para sahabat belumlah sistematis sebagaimana para ulama kemudian, karena kala itu jika ada perbedaan pendapat di kalangan para sahabat mereka langsung menanyakannya kepada Nabi ﷺ, baik tentang perbedaan isi yang disampaikannya maupun tentang sumber penyampaiannya. Pada masa Abu Bakar ash-Shadiq, ia pernah didatangi oleh seorang nenek-nenek yang menanyakan tentang bagian warisnya. Namun Abu Bakar menjawabnya, bahwa dalam Al-Qur’an tidak ada bagian untuk nenek tersebut, termasuk juga dalam sunnah Rasulullah ﷺ. Dan akhirnya, ia pun menyuruh nenek tersebut untuk kembali esok hari, agar ia pun bisa menanyakan hal tersebut kepada para sahabat lainnya. Permasalahan tersebut, akhirnya disampaikan kepada para sahabatnya dan al-Mughirah ibnu Syu’bah mengatakan, “Saya pernah menghadap Rasulullah ﷺ beliau menentukan bagian seperenam untuk nenek.” Namun nyatanya, Abu Bakar pun tidak serta merta langsung percaya kepada al-Mughirah atas apa yang telah disampaikannya itu, bahkan Abu Bakar langsung menanyakan kepadanya saksi atas apa yang telah ia sampaikan tersebut.16 Dari adanya peristiwa itu, maka bisa kita ketahui bahwa di kalangan para sahabat telah terbentuk kritik sanad, yang pada akhirnya dikembangkan menjadi ilmu kritik sanad oleh para ahli hadis.
    Dalam menjaga otentisitas hadis, tidak saja berhubungan dengan sanad, melainkan dengan matannya, di mana kritik matan pun telah terjadi pada masa Nabi Muhammad dan juga di zaman para sahabat. Adapun kritik matan di zaman para sahabat, misalnya, terkait tentang adanya riwayat akan diazabnya seorang mayat ketika keluarga menangisinya.17 Ketika riwayat itu disampaikan oleh Ibnu Abbas kepada Siti ‘Aisyah, maka ‘Aisyah pun berkata dan sekaligus meluruskannya, “Semoga Allah merahmati Umar. Tidak, demi Allah, Rasulullah ﷺ tidak pernah mengatakan bahwa Allah menyiksa orang mukmin karena tangisan seseorang. Yang sebenarnya, beliau bersabda seperti ini: ‘Sesungguhnya Allah menambah siksaan tehadap orang kafir, karena tangisan keluarga atasnya.’” Dan untuk membaca selengkapnya tentang persoalan itu, silahkan untuk merujuk kepada karyanya A. Hassan.18 Oleh karena itu, kritik matan sangatlah diperlukan dalam menghasilkan otentisitas hadis dan dalam hal ini, Salahudin ibn Ahmad al-Adlabi telah mengemukakan tentang urgensinya kritik matan: (1) Menghindari sikap semborno dan berlebihan dalam meriwayatkan suatu hadis karena adanya ukuran-ukuran tertentu dalam metodologi kritik matan. (2) Menghadapi kemungkinan adanya kesalahan pada diri para periwayat. (3) Menghadapi musuh-musuh Islam yang memalsukan hadis dengan menggunakan sanad hadis, tetapi matannya tidak shahih. (4) Menghadapi kemungkinan terjadinya kontradiksi antara beberapa riwayat.19  

Kesimpulan
    Ketika para orientalis gagal dalam menggugat otentisitas Al-Qur'an, mereka lalu beralih menggugat otentisitas hadis, yang upaya tersebut mereka lakukan agar kaum Muslimin pada akhirnya menjauhi dan meninggalkan Al-Qur’an dan hadis sebagai sumber hukumnya. Meskipun demikian, Allah telah menjaga kaum Muslimin dengan memberikan bimbingan keilmuan dan cahaya-Nya, di mana para ulama yang ada telah memberikan banyak sanggahan kepada para orientalis. Tanpa adanya kritik sanad dan matan, tentunya hadis akan mengalami kondisi yang sama seperti halnya Alkitab. Di mana di dalamnya akan berisi pelbagai pengisahan yang dinisbatkan kepada Nabi tanpa pernah diketahui apakah penceritaan tersebut memang benar-benar dari Nabi ataukah di dalamnya telah terjadi interpolasi ataukah hanya sebuah kisah palsu yang telah dinisbatkan kepada Nabi. Oleh karena itu, tanpa adanya kontribusi para sahabat dalam meletakkan dasar-dasar ilmu kritik sanad dan matan, tentunya para ahli hadis tidak akan pernah mampu mengembangkan ilmu tersebut dalam menjaga otentisitas hadis, di mana kedua kritik tersebut belum pernah digunakan oleh umat manapun sebelum Islam.        
   
Catatan Kaki:
1. Wahyudin Darmalaksana, Hadits Di Mata Orientalis: Telaah atas Pandangan Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht, (Bandung: Benang Merah Press, 2004), hlm. 25.
2. M. Arfan Mu’ammar et.al, Studi Islam Perspektif Insider/Outsider, (Yogyakarta: Ircisod, 2013), hlm. 94.
3. Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis, (Jakarta: Hikmah, 2009), hlm. 2.
4. Umma Farida, Kontribusi Pemikiran Muhammad Mustafa Al-A’Zami Dalam Studi Hadis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2018), hlm. 5-6.
5. Badri Khaeruman, Otentisitas Hadis: Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer, (Bandung: Rosdakarya, 2004), hlm. 34-35.
6. Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Quran, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2013), hlm. 288.
7. M. Rikza Chamami, Studi Islam Kontemporer, (Semarang: Pustaka Rizki Putra dan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 2002), hlm. 68-69.
8. Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah Dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), hlm. 26-27.
9. Hr. Muslim dari Abu Said al-Khudri, hadis no. 5326 (versi Lidwa).
10. Hr. Bukhari dari Abu Hurairah, hadis no. 6372 (versi Lidwa).
11. Hr. Abu Daud dari Abdullah bin ‘Amru, hadis no. 3161 (versi Lidwa).
12. Endang Soetari Ad, Ilmu Hadits: Kajian Riwayah Dan Dirayah, (Bandung: Mimbar Pustaka, 2008), hlm. 36.
13. Fatchur Rahman, Ikhtishar Mushthalahul Hadis, (Bandung: Al-Ma’arif, 1974), hlm. 48.
14. Umma Farida, op.cit., hlm. 77-79.
15. Ibid., hlm. 14-15.
16. Untuk membaca secara lengkap riwayat tersebut, silahkan baca Hr. Malik dengan no. hadits 953 (versi Lidwa).
17. Untuk membaca secara lengkap riwayat tersebut, silahkan baca Hr. Muslim dengan no. hadits 1544; An-Nasa’I no 1834 (Versi Lidwa).
18. A. Hassan, Soal-Jawab: Tentang Berbagai Masalah Agama Jilid 1-2, (Bandung: Diponegoro, 2007), hlm. 481-485.
19. Salahudin ibn Ahmad al-Adlabi, Metodologi Kritik Matan Hadis, terj. Qodirun Nur dan Musyafiq, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004), hlm. 7-11.

Comments