Sejarah Kehidupan Masyarakat Arab Jahiliyah


Oleh : Sang Misionaris.
Pendahuluan
    Di saat berbicara tentang masyarakat Arab jahiliyah pada masa pra-Islam, siapapun bisa menelusuri bahwa mereka telah memiliki peradaban. Peradaban masyarakat Arab jahiliyah pada era pra-kenabian Muhammad, ternyata tidak selaras dengan perilakunya. Perilaku dan penyembahan yang dilakukan oleh bangsa Arab jahiliyah, tentunya tidak sesuai dengan nalar kita yang hidup di era modern saat ini. Walaupun demikian, kuatnya semangat kesukuan dan penyembahan terhadap berhala yang didapatkan secara turun-temurun oleh bangsa Arab jahiliyah, tidak ada yang mampu meruntuhkannya, meskipun kekuasaan dari Kerajaan Byzantium dan Kerajaan Persia telah bercokol di Jazirah Arab. Lalu siapakah yang mampu melakukan perubahan besar terhadap masyarakat Arab jahiliyah ? Seperti apakah kondisi sosial dan keyakinan bangsa Arab jahiliyah pada pra-kenabian Muhammad ?

Kondisi Jazirah Arab Pada Masa Pra-Islam
    Berdasarkan penelitian geologis, pada zaman pembentukan lempeng-lempeng geologis bahwa Jazirah Arab pada awalnya bersatu dengan Afrika. Namun, karena adanya pergerakan lempeng tersebut pada akhirnya menimbulkan patahan dan menghasilkan Laut Merah.1 Wilayah tanah dari sepertiga Jazirah Arab tertutupi oleh pasir, yang di antaranya yang paling besar terkenal dengan nama ar-Rabi’l Khaly. Tidak hanya pasir, wilayah Jazirah Arab pun dipenuhi pula oleh bebatuan yang besar dan juga gunung batu yang tinggi, di antaranya yang paling terbesar dan tinggi, terkenal dengan nama Jabal as-Sarat.2 Meskipun mayoritas wilayah Arab dipenuhi oleh padang pasir, namun lain halnya dengan wilayah Yaman yang terletak di wilayah Arab bagian selatan dan Oman yang berada di sebelah tenggara. Kedua daerah tersebut dikaruniai beberapa kelembapan dari lautan India dan juga air dari gunung.3
    Berdasarkan eksistensinya, orang Arab menurut Al-Usairy terbagi menjadi dua, yakni Arab Baidah dan Arab Baqiyah. Arab Baidah merupakan orang Arab yang sudah tidak ada lagi (musnah), diantaranya seperti ‘Aad, Tsamud, Thasm, Jadis, Ashab ar-Rass, dan penduduk Madyan. Sedangkan Arab Baqiyah merupakan orang Arab yang hingga kini masih ada, seperti Bani Qathan dan Bani Adnan.4 Namun jika dilihat dari asal-usul keturunannya, penduduk Jazirah Arab terbagi menjadi dua golongan besar, yakni Qahthaniyun (keturunan Qathan) yang mendiami wilayah selatan Jazirah Arab, dan juga Adnaniyun (keturunan Ismail ibn Ibrahim), yang mendiami wilayah utara Jazirah Arab. Akan tetapi, lama kelamaan kedua golongan tersebut akhirnya membaur karena perpindahan mereka dari utara ke selatan dan juga sebaliknya.5
    Pada paruh abad terakhir abad ke-6 M, wilayah Mediterania secara politis telah didominasi oleh dua kekaisaran besar, yakni Byzantium atau Kekaisaran Romawi pada sebelah Barat dan Kekaisaran Persia Sassanaid di sebelah Timur. Kala itu, Kekaisaran Byzantium telah mendominasi berbagai wilayah di pantai timur dan selatan Mediterania, sedangkan kekaisaran lainnya yakni Sassania yang berpusat di tanah tinggi pegunungan Iran dan seputar wilayah dataran rendah yang sekarang merupakan wilayah Irak, suatu tempat yang kaya mulai dari Sungai Tigris dan Efrat. Adapun kekuatan lain yang lebih kecil dari kedua kerajaan tersebut yang berada di Timur Dekat adalah Kerajaan Axum atau terkadang disebut juga dengan nama Aksum, yang terkadang kerajaan tersebut bersekutu dengan Kerajaan Byzantium.6
    Sepanjang abad ke-6 M, kedua kekuatan besar saling mencari cara alternatif di perbatasan padang pasir. Oleh karena itu, mereka mempercayakan wilayah kekuasaannya kepada kerajaan-kerajaan kecil di bawah kekuasaannya mereka masing-masing, termasuk mengharapkan pula adanya perluasan wilayah kekuasaan di wilayah Jazirah Arab. Pihak Kerajaan Byzantium, mempercayakan wilayah kekuasaannya kepada Dinasti Ghassanid, sedangkan Kerajaan Persia mempercayakan kekuasaannya kepada orang-orang Lakhmid yang menganut Kristen sebagaimana Ghassanid.7 Meskipun di beberapa wilayah Jazirah Arab telah dikuasai oleh dua kerajaan besar tersebut, namun nyatanya wilayah Mekah tidak bisa mereka kuasai dan bahkan masih menjadi wilayah yang eksklusif. Tidak hanya medannya yang menyebabkan Mekah sulit untuk dikuasai oleh orang luar, masyarakatnya pun masih memiliki semangat kesukuan yang begitu tinggi dengan segala keyakinan terhadap keberhalaan yang mereka dapatkan secara turun-temurun. Sampai pada akhirnya, Mekah berhasil dikuasai oleh orang Mekah itu sendiri yang bernama Muhammad. Bahkan ketika Mekkah akan dikuasai, penduduk Mekah tidak memberikan perlawanan sama sekali kepada Nabi Muhammad, dan kejadian tersebut terkenal dengan nama Futtuh Mekah.8
Kehidupan Sosial Masyarakat Arab Jahiliyah
    Pada umumnya, era jahiliyah merupakan era kultural yang ditetapkan antara 50 hingga 100 tahun sebelum Islam, dan pemikiran Arab baru mencapai kemajuan bermula dari awal munculnya Islam. Pada umumnya, masyarakat Arab jahiliyah selalu disangkut-pautkan di mana pada zaman tersebut masyarakatnya belum mengenal baca tulis, yang tentu saja hal tersebut merupakan sebuah anggapan yang tidak bisa kita andalkan, karena tidak sesuai dengan historisitas masyarakat Arab jahiliyah kala itu. Di lihat dari sudut pandang Al-Quran, masyarakat Arab pada pra-Kenabian Muhammad yang disebut sebagai masyarakat jahiliyah, bukan berarti bahwa jahiliyah (bodoh) di sana menyangkut tentang rendahnya baca tulis (buta huruf/ummi),9 melainkan karena daya nalar mereka sendiri yang telah mengakibatkan mereka jatuh ke dalam kondisi jahiliyah. Kebodohan berpikir yang terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat jahiliyah, telah mengakibatkan mereka jatuh kepada penyembahan berhala, memiliki akhlak yang tercela, dan tenggelam dalam syahwat duniawi, yang pada akhirnya mereka melupakan kehidupan akhirat.10   
    Ketika Muhammad  sebelum diangkat menjadi Nabi, telah banyak orang-orang Quraisy atau sekitarnya yang telah mengenal baca tulis, seperti halnya Abu Bakar, Umar bin Khathab, Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, al-Arqam bin Abil Arqam, Khalid bin Asad, Thalhah bin Ubaidillah, Jahm bin Sa’ad, Hanzhalah ibnu Rabi’, Malik ibnul Ajlan, dan lain-lain. Jadi, dengan adanya sikap mengeneralisasikan label ummi terhadap masyarakat Arab pada zaman pra-Islam bahwa mereka tidak bisa membaca dan menulis, tentu saja hal tersebut tidak bisa dibenarkan. Apalagi mengaitkan penyebutan jahiliyah dengan kaum yang bodoh, yang tentu saja hal tersebut menyeret kepada pemahaman bahwa mereka tidak mengenal kebudayaan baca tulis alias buta huruf. Ketika hal itu terjadi dan pada akhirnya menjadi sebuah kerangka berpikirnya umat Islam, sudah barang tentu sikap demikian telah membenarkan tesis sebagian orientalis yang menyatakan bahwa sunnah Nabi Muhammad saw belum dikodifikasikan sebelum masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz. Dan bahkan, hal itu akan membawa kepada suatu kesimpulan bahwa sanad dan teks hadits telah disesuaikan oleh para ulama belakangan, yang pada akhirnya akan melahirkan sebuah anggapan bahwa tidak ada sunnah Nabi yang memiliki keotentikan.11 Banyaknya masyarakat Arab pada pra-Islam yang telah melek huruf, hal tersebut telah dibuktikan dengan adanya berbagai penemuan arkeologis, semisal inkripsi, yang membuktikan bahwa masyarakat Arab jahiliyah memang benar-benar telah melek huruf. Misalnya, inkripsi aksara Arab tertua yang ditemukan di kota Umm al-Jimmal dari tahun 250 atau 271 M. Inkripsi tersebut, memuat berita dalam bahasa Aram namun menggunakan aksara Nabati-Arab. Inkripsi tersebut menceritakan tentang keunggulan yang dimiliki oleh orang Arab dalam peperangan.12 Tidak hanya inkripsi Umm al-Jimmal saja yang secara fakta sejarah telah membuktikan bahwa masyarakat Arab telah melek huruf sebelum Muhammad  menjadi Nabi, inkripsi-inkripsi lainnya pun seperti inkripsi Zabad (tahun 512 M),13 dan inkripsi Harran al-Laja (568 M)14 telah memberikan kejelasan tentang meleknya baca tulis di dalam masyarakat Arab kala itu.
    Sedangkan sisi kehidupan sosial masyarakat Arab jahiliyah telah terjadi perbedaan sesuai dengan daerahnya masing-masing, baik itu di Mekah, Madinah maupun Thaif dan tempat-tempat lainnya. Namun pada umumnya, masyarakat pada masa pra-kenabian telah terbagi menjadi dua peradaban, yakni peradaban masyarakat di kota dan juga peradaban masyarakat badui.15 Dengan adanya perbedaan peradaban pada pra-kenabian, tentunya kondisi tersebut telah mengakibatkan pula perbedaan dari berbagai unsur kehidupan yang dijalani oleh mereka.16 Adapun perbedaan unsur-unsur yang dimaksud tersebut, diantaranya :
  1. Kehidupan Dalam Berkeluarga
    Dalam kehidupan masyarakat Arab jahiliyah, seorang laki-laki diyakini memiliki posisi yang tertinggi dan juga dianggap sebagai orang yang istimewa. Anak laki-laki di nilai sebagai orang yang mampu memimpin, bertanggungjawab, penjaga, dan bahkan sebagai orang yang memiliki otoritas dalam memutuskan segala sesuatu dalam keluarganya. Oleh karena itu, mereka akan marah dan membunuh anak perempuannya ketika mereka memiliki anak perempuan, yang menurut anggapan mereka bahwa anak perempuan merupakan orang yang lemah dan tidak memiliki otoritas dalam hal apa pun, yang pada akhirnya, mereka menjadi korban dari tindakan sewenang-wenang kaum laki-laki, seperti dalam urusan perkawinan dan ekonomi, mereka tidak dihargai. Karena dasar itulah, ketika mereka memiliki anak perempuan, mereka menganggap bahwa anak perempuan tersebut adalah anak perempuan Allah. Dan perilaku masyarakat Arab jahiliyah tersebut telah dikisahkan oleh Al-Qur'an pada Qs. 16:57-59, 43:16-19, 37:149-152.
    Dalam pernikahan, dua perempuan yang bersaudara, atau pun menikahi anak perempuannya sendiri dan bahkan menikahi ibu yang telah melahirkannya, dinilai sebagai suatu hal yang wajar dilakukan dalam kehidupan sosial masyarakat jahiliyah, namun pada akhirnya, ketika Islam datang ke tengah-tengah mereka, perilaku tersebut akhirnya mendapatkan larangan untuk mereka lakukan (Qs. 4:23, 4:22). Dan wanita pada zaman kehidupan Arab jahiliyah, sudah terbiasa dinikahi oleh seorang laki-laki tanpa adanya batasan dalam jumlah,17 namun saat Islam datang, lagi-lagi hal tersebut mendapatkan larangan. Dan demi menjaga harga diri wanita, akhirnya seorang laki-laki diperbolehkan menikahi perempuan sampai 4 orang saja (Qs. 4:3).
  1. Adanya Sikap Ashabiyah
    Ketika komunitas sosial semakin tumbuh pesat dan persaingan di antara komunitas pun tidak bisa dielakkan. Kondisi tersebut mendorong lahirnya sikap fanatisme di zaman jahiliyah. Adapun penyebab yang mendasari lahirnya sikap fanatisme golongan di kalangan masyarakat Arab jahiliyah, adalah18 : Pertama, terjadinya ashabiyah yang didasari oleh adanya hubungan kekerabatan dan kekeluargaan. Kedua, disebabkan karena faktor kabilah. Ketiga, adanya persekutuan dengan kabilah atau faksi lain. Keempat, adanya perwalian atau kesetiaan. Kelima, disebabkan karena mendapatkan perlindungan dari kabilah lain. Keenam, adanya tradisi yang pada akhirnya melahirkan sikap taklid.
    Perlu diketahui bahwa stuktur masyarakat Arab jahiliyah terdiri dari berbagai kabilah-kabilah, suku bangsa, lapisan sosial, berbagai kelompok dan keluarga, yang di antara mereka saling bekerja sama dan tolong-menolong dalam meraih kemaslahatan bersama. Sikap ashabiyah ini, begitu kuat dan memiliki pengaruh yang besar dalam setiap babak perkembangan pada peristiwa sejarah Arab dan juga sejarah kenabian. Sedangkan ketika Islam datang ke tengah-tengah mereka, akhirnya persoalan ashabiyah tersebut mampu dipecahkan oleh Nabi Muhammad saw, yang hal tersebut terbukti dengan dibuatkannya sistem kekerabatan antara orang-orang Anshar dengan pihak Muhajirin di bawah ikatan aqidah Islamiyyah, yang mengakibatkan orang-orang Yahudi dan munafik semakin membenci umat Islam.19
  1. Sistem Pengaturan Dalam Masyarakat Arab Jahiliyah
    Mekkah pada zaman pra-kenabian Muhammad saw, telah dikuasai oleh para pembesar dan orang-orang kaya di antara mereka, dan manusia akhirnya bisa mereka perbudak. Namun dengan datangnya Islam, perlahan tapi pasti, akhirnya sistem perbudakan tersebut bisa terhapuskan (Qs. 4:92, 5:89). Meski terdapat perbedaan kelas sosial ketika zaman pra-Islam, ternyata masyarakat jahiliyah telah mengenal pola kepemimpinan dan perpolitikan. Dan hal tersebut terbukti dengan adanya Dar al-Nadwah, yang menjadi tempat berkumpulnya para pembesar Arab dalam memecahkan pelbagai permasalahan mereka, baik yang berkaitan dengan urusan perang, perkawinan, dan sebagainya.
    Dar al-Nadwah adalah rumahnya Qussyai bin Kullab yang tempatnya diperuntukkan khusus bagi perkumpulan Bani Hasyim, Umayyah, Makhzum, Juma’, Sahm, Tim, ‘Adi, Asad, Naufal, Zuhrah, dan sepuluh kelompok lainnya dari sepuluh suku. Dan siapa pun diperbolehkan masuk ke dalam tempat tersebut, dengan syarat telah berusia 40 tahun ke atas. Kekuasaannya Qussyai begitu besar pengaruhnya, sehingga perkataannya pun seolah-olah menjadi agama bagi masyarakat Arab.20 Dan untuk menjaga Mekkah, khususnya Kabah, Qussyai secara inisiatif membuat aturannya sendiri, baik yang berkenaan dengan urusan hijabah (pemegang kunci Kabah), siqayah (tukang penyedia minuman bagi jamaah haji), rifadah (tukang pemberi makanan kepada jamaah haji), alqiyadah (yang berkaitan dengan peperangan), dan lain-lain.21

Berbagai Keyakinan Dalam Masyarakat Arab Jahiliyah
    Jahiliyah adalah istilah dalam Islam di mana yang dimaksud pada term ini tidak hanya kebodohan dalam arti tidak memiliki pengetahuan, melainkan berkenaan pula dengan segala hal yang menyertai dan diakibatkan oleh kebodohan yakni adanya kekacauan atau tidak adanya keteraturan sosial baik secara politik atau pun dalam akhlak dan juga dalam keyakinannya (agama). Tentu saja, jahiliyah bisa dikatakan sama dengan masa kegelapan, sedangkan Islam adalah cahaya. Tidak ada seorang pun yang meragukan bahwa kondisi Arab setelah hadirnya Islam sangat berbeda dengan kondisi di saat mereka sedang mengalami kegelapan (masa jahiliyah). Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail merupakan nenek moyang masyarakat Arab, yang keduanya membawa ajaran monoteisme. Sebagai keturunan dari Nabi Ibrahim dan juga Ismail, orang Arab pada masa pra-Kenabian Muhammad tidak hanya mengenal dan meyakini keberadaan Allah, melainkan meyakini pula bahwa Allah Maha Kuasa, dan mengakui-Nya sebagai sesembahannya mereka. Masyarakat Arab jahiliyah, mengakui ke-rububiyah-an dan ke-uluhiyah-annya Allah, namun dalam praktiknya, mereka telah menyekutukan Allah dengan sesuatu yang lain.
    Pada awalnya, Nabi Ibrahim dan Ismail membawa ajaran monoteisme dan orang-orang Arab yang menjadi keturunannya telah meyakini bahwa Allah adalah Tuhan-nya, dan tidak menyekutukan apa pun dengan-Nya. Namun dalam perjalanannya, kondisi tersebut berubah yang mengakibatkan mereka jatuh kepada kondisi dimana mereka telah mensyirikkan Allah. Adapun orang yang pertama kali mengubah keyakinan tauhid (monoteisme) masyarakat Arab pra-kenabian Muhammad kepada perilaku syirik dan politeisme adalah Amr bin Luhay dari kabilah Khaza’ah. Dia meminta masyarakat untuk menyembah patung yang ia simpan di Ka’bah, yang patung tersebut ia dapatkan sebelumnya dari Syam. Tidak hanya itu, ia pun merubah pelafalan dalam ibadah haji yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim dan Ismail dengan mengucapkan kalimat  “labbaikallahumma labbaik, labbaika la syarika laka, illa syarika huwa laka, tamlikuhu wa ma laka.” Ungkapan tersebut, telah digunakan oleh orang-orang Arab jahiliyah yang berhaji sampai datangnya kenabian Muhammad.22
    Perilaku syirik lainnya yang dilakukan oleh orang Arab di masa jahiliyah ialah menyekutukan  dengan Malaikat. Mereka beranggapan bahwa Allah Malaikat adalah anak Allah yang tentu saja dengan Malaikat menjadi anak Allah, Malaikat akan mampu memberikan syafaat atau pertolongan kepada mereka. Dari adanya keyakinan tersebut, akhirnya mereka meminta syafaat kepada Malaikat, menyembah dan bertawasul kepadanya.23 Tidak hanya itu, mereka pun membuat patung dan mengambil Lata, Uzza, dan Manat sebagai simbol jasadi Malaikat di muka bumi. Uzza merupakan Tuhan milik kamum Quraisy dan Kinanah, sedangkan Manat milik suku Auz dan Khazraj, dan Lata milik masyarakat dari Bani Tsaqif dari Thaif.
    Dalam kehidupan yang dijalani oleh orang-orang Arab jahiliyah, mereka telah melakukan berbagai kemusyrikan, walaupun mereka sendiri mengakui bahwa Allah adalah Tuhan mereka dan mengakui pula bahwa Allah lebih besar dari semua yang mereka sembah.24 Tiap-tiap kabilah Arab memiliki dewanya masing-masing untuk mereka sembah, dan setiap dari dewa yang mereka sembah, mereka buatkan patungnya dan ditempatkan di sekeliling Kabah. Dari politeisme ini, akhirnya keyakinan Arab jahiliyah mulai berkembang menjadi henoteisme, yakni sebuah keyakinan tentang adanya hierarki dalam dewa-dewi, di mana Allah diyakini oleh mereka sebagai dewa tertinggi. Ketika di wilayah Arab Selatan, khususnya Mekkah, Allah diyakini sebagai dewa tertingginya mereka. Namun di wilayah Arab Utara, Lata menjadi dewa tertingginya mereka dan bahkan tidak menyertakan sebutan Allah dengan dewa-dewi lainnya.25 Meskipun demikian, Islam tetap menolak adanya aspek asosiasionitik dan juga politeisme tersebut, dan mengajarkan tentang ketauhidan bahwa Allah itu Esa. Esa di sini, tidak hanya mengesakan Allah pada Zat-Nya, melainkan mengesakan pula dalam sifat dan perbuatan-Nya. Mengesakan Allah dalam Zat-Nya, maksudnya adalah Zat Allah tidak tersusun dari beberapa bagian. Sedangkan mengesakan Allah dalam sifat berarti meyakini bahwa sifat Allah tidak sama dengan sifat-sifat yang lain (pada makhluk), dan tidak seorang pun yang mempunyai sifat sebagaimana sifat-Nya Allah. Dan mengesakan perbuatan-Nya berarti tidak ada seorang pun yang memiliki atau melakukan perbuatan sebagaimana perbuaatan Allah.26   
    Tidak hanya Malaikat yang dijadikan objek dalam menyekutukan Allah, masyarakat Arab jahiliyah pun ternyata telah menjadikan jin sebagai objek lain dalam menyekutukan Allah. Mereka menilai adanya kesamaan antara Jin dan Malaikat, yang keduanya diyakini memiliki kesamaran atau kegaiban fisik yang menjadi tolok ukurnya mereka, dan di sisi lain, mereka hanya memberikan perbedaan sifat bagi keduanya, selain meyakini pula tentang adanya hubungan antara jin dan Allah. Adapun bukti bahwa mereka menjadikan jin sebagai objek dalam kemusyrikan, telah Allah singgung di dalam Al-Quran yang secara eksplisit dikisahkan pada Qs. 16:100, 112, 128; 34:41.   
    Tidak hanya keyakinan di atas yang telah mewarnai Jazirah Arab kala itu, komunitas Yahudi yang memiliki keyakinan yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya pun, sudah ada di wilayah tersebut. Komunitas Yahudi yang berbicara bahasa Arab dapat ditemukan hampir pada semua wilayah bagian Arab, khususnya Yaman, dan kota-kota oasis Arab di bagian barat laut, seperti Tabuk, Tayma’, Khaibar, Yathrib (Madinah), dan lain-lain. Disamping Yahudi, agama Kristen pun ditemukan pula di Arab, khususnya Yaman, Irak, dan lain-lain.27 Meski Yahudi dan Kristen sudah ada pada zaman pra-Islam, namun perkembangan keduanya mengalami kestagnasian dalam menarik masyarakat Jazirah Arab untuk mengikuti apa yang mereka yakini, dan keyakinan terhadap berhala masih menjadi sebuah keyakinan yang dominan kala itu, bahkan sampai dengan datangnya Islam, keduanya masih menjadi kaum minoritas di Jazirah Arab.

Kesimpulan
    Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, jadi suatu hal yang tidak benar, ketika jahiliyah yang disematkan kepada bangsa Arab jahiliyah memiliki pengertian bahwa mereka buta huruf. Meskipun Jazirah Arab mengalami kondisi jahiliyah, nyatanya mereka telah menjadi bangsa yang memiliki peradaban tersendiri yang hal tersebut terbukti dengan adanya berbagai penemuan arkeologis berupa inkripsi. Adapun Yahudi dan Kristen yang telah ada di zaman pra-kenabian, ternyata tidak mampu menyerap banyak pengikut masyarakat jahiliyah atau pun merubah moral dan keyakinan bangsa Arab jahiliyah. Bahkan, dua kerajaan yang memiliki kekuatan besar sekalipun seperti halnya Kerajaan Byzantium dan juga Kerajaan Persia, ternyata tidak mampu menguasai sepenuhnya wilayah Jazirah Arab, apalagi mengubah perilaku dan keyakinan mereka. Kristen pada masa kelahiran dan pertumbuhannya ternyata permasalahan teologisnya telah diwarnai oleh keyakinan dari masyarakat Romawi-Yunani, dan bahkan Kristen tidak mampu mewarnai keyakinan masyarakatnya kala itu (untuk mengetahui ulasan tersebut, silahkan untuk membaca artikel ini ). Namun lain halnya dengan Islam yang pertama kali muncul di wilayah Jazirah Arab, tepatnya di Mekah, dan bahkan Islam berada di tengah-tengah masyarakat jahiliyah, secara perlahan tapi pasti, ternyata Islam mampu memperbaiki perilaku bangsa Arab jahiliyah, keyakinan politeisme dan henoteisme mereka berubah kepada monoteisme, semangat kesukuannya dicairkan dengan semangat ukhuwah yang didasari oleh aqidah. Berdasarkan fakta sejarah tersebut bahwa Islam mampu membawa perubahan yang lebih baik bagi masyarakat Arab jahiliyah dan bahkan untuk dunia sekalipun, apakah menurut anda Islam masih layak dituding sebagai produk dari bangsa Arab ?   

Catatan Kaki :
  1. Tutik Hasanah, S.Th.I, Islamic Golden Perspective : Benang Merah Sejarah Islam.
  2. K.H. Moenawar Chalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad Saw.
  3. Fred M. Donner, Muhammad dan Umat Beriman : Asal-Usul Islam.
  4. Ahmad Al-Usairy, Sejarah Islam-Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX.
  5. Dr. Badri Yatim, M.A., Sejarah Peradaban Islam.
  6. Fred M. Donner, Muhammad dan Umat Beriman : Asal-Usul Islam.
  7. Hugh Kennedy, Penaklukan Muslim Yang Mengubah Dunia.
  8. Muhammad Haekal, Sejarah Hidup Muhammad.
  9. Abdul al-Sattar al-Haluji, al-Makhthuth al-‘Arabi.
  10. Untuk mengetahui tentang nalar bangsa Arab pada zaman pra-Islam, silahkan untuk membaca karya dari Muhammad Abed al-Jabiri, Formasi Nalar Arab.
  11. Prof. Dr. Muhammad Mustafa Azami, 65 Sekretaris Nabi Saw.
  12. D. Sirojuddin AR, Seni dan Kaligrafi Islam.
  13. J. Spencer Trimingham, Christianity Among the Arabs in Pre-Islamic Times.
  14. Sir William Muir, The Apology of al-Kindi.
  15. Muhammad Said al-Asymawi, al-Khilafah al-Islamiyyah.
  16. Khalil Abdul Karim, al-Judzur al-Tarikhiyyah.
  17. Syed Amir Ali, Api Islam : Sejarah Evolusi dan Cita-cita Islam Dengan Riwayat Hidup Nabi Muhammad Saw.
  18. Muhamad Izzat Darwazah, ‘Ashr al-Nabi.
  19. Muhammad Haikal, Sejarah Hidup Muhammad.
  20. Ibnu Hisyam, Sirah Nabawiyyah.
  21. Abu Hasan ‘Ali al-Hasani al-Nadwi, al-Sirah al-Nabawiyyah; Muhammad Said al-Asymawi, al-Khilafah al-Islamiyah.
  22. Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyah, jilid 1; Muhammad Said al-Asymawi, al-khilafah al-Islamiyah; Hasan Hanafi, Sirah al-Rasul.
  23. Al-Sasi bin Muhammad al-Dlaifawi, Mithologia Alihah al-‘Arab Qabla al-Islam.
  24. Ahmad Zaki, Kitab al-Ashnam.
  25. F.E. Peters, Muhammad and The Origin of Islam.
  26. Hj. Irena Handono, et al., Islam Dihujat : Menjawab Buku The Islamic Invasion.
  27. Fred M. Donner, Muhammad dan Umat Beriman : Asal-Usul Islam.

Comments