Asal-Usul Kata Allah Dalam Pandangan Islam

Oleh: Sang Misionaris
   
Pendahuluan
    Siapakah nama Tuhan yang disembah oleh umat Islam? Dalam membahas siapakah Tuhan yang disembah oleh umat Islam, terdapat oknum Kristen yang selalu mengatakan bahwa Allah yang disembah oleh umat Islam adalah dewa yang disembah dalam paganisme. Mereka mengatakan demikian, karena asal-usul kata Allah telah digunakan oleh orang-orang Arab pagan, jauh sebelum Islam hadir di wilayah Jazirah Arab. Apakah benar Allah adalah dewa pagan, dan mampukah mereka konsisten dengan tudingan mereka ketika dihadapkan kepada orang-orang Kristen dan Yahudi yang hidup di Jazirah Arab, namun telah menggunakan nama Allah sebagai nama sesembahannya mereka? Selain menjawab pertanyaan tersebut, dalam artikel kali ini pun dibahas pula tentang asal-usul nama Allah dalam pandangan Islam dan mengangkat perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang asal-usul kata Allah. Dan untuk menghemat ruang, kami tidak akan mengangkat tentang alasan Kristen menggunakan kata Allah, karena tentang topik tersebut akan dibahas di tempat yang berbeda. 
Nama Allah Yang Telah Diselewengkan
    Untuk mengetahui siapakah Allah dalam pandangan umat Islam, kita bisa merujuk kepada Surat al-Ikhlas pada ayat 1-4, yaitu: “Katakanlah, ‘Dialah Allah Yang Maha Esa’. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan. Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.” Selain menerangkan tentang siapakah Allah, dalam surat tersebut dijelaskan pula tentang perbedaan antara Allah dengan makhluk-Nya. Ketika seorang Muslim meyakini bahwa Allah yang menciptakan, mengurus, dan mengatur alam semesta. Tidak ada yang menandingi-Nya dalam keagungan, kekuasaan, dan keserupaan dalam Dzat dan juga sifat. Sehingga hanya Dia yang berhak untuk disembah, disucikan, dan hanya kepada-Nyalah meminta pertolongan serta memberikan ketundukan, menurut Abas Mansur Tamam, itu adalah salah satu ciri keimanan bagi seorang Muslim, yang sekaligus sebagai pembeda antara Muslim dengan kafir.1  
    Kenapa seorang Muslim harus memiliki perbedaan dengan orang kafir (non-Muslim), meskipun sama-sama sebagai keturunan Adam? Abu A’la Maududi menjelaskan kepada kita, bahwa perbedaan yang besar dalam kedudukan seorang Muslim dengan seorang kafir bukanlah karena soal nama, khitan, dan daging babi, tetapi karena Islam dan kufur. Islam berarti kepatuhan kepada Allah, sedangkan kufur berarti ketidakpatuhan kepada Allah. Lalu, apa yang menjadi penyebab terjadinya perbedaan tersebut? Al-Maududi memberikan jawabannya, bahwa penyebabnya itu adalah karena pengetahuan dan perbuatan. Al-Maududi kembali menjelaskan, bahwa pengetahuan berarti seorang Muslim harus tahu siapa Tuhannya, apa perintah-perintah-Nya, bagaimana cara-cara untuk menurut kehendak-Nya, perbuatan-perbuatan mana yang disukai-Nya dan mana yang tidak disukai-Nya. Bila ia sudah tahu akan hal-hal tersebut, maka langkah keduanya itu ialah bahwa ia harus menjadikan dirinya sebagai budak dari Tuhannya, melaksanakan kehendak-kehendak-Nya, dan mengabaikan kemauan-kemauannya sendiri.2   
    Dalam syahadat Islam bukanlah berbunyi: “Tiada Tuhan selain Tuhan, juga bukan “”Tidak ada Tuhan selain Yhwh”, tetapi “Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.” Dalam monoteisme, memang mengakui adanya Tuhan yang satu. Akan tetapi, monoteisme belum tentu sama dengan tauhid. Dalam konsep Islam, tauhid adalah pengakuan atas Allah sebagai satu-satunya Tuhan, yang disertai dengan keikhlasan dan rela untuk diatur oleh Allah. Oleh karena itu, jika seseorang menyembah Allah, tetapi tidak mau diatur oleh Allah, maka ia tidak bisa disebut bertauhid. Dan iblis pun tidak bisa dikatakan bertauhid, tetapi disebut kafir dikarenakan ia menolak untuk tunduk kepada perintah Allah, meskipun ia sendiri tahu bahwa Allah sebagai satu-satunya Tuhan.3
    Secara alamiah, keyakinan bangsa Arab pagan terhadap Allah mengalami evolusi, di mana perubahan konsepsi tentang Allah telah terjadi selama berabad-abad lamanya. Pada mulanya, Allah dipersepsikan dalam pikiran dan keyakinan yang bentuknya tidak terdefinisikan, dan konsep evolusi ketuhanan bangsa Arab berlanjut ketika mereka mempersepsikan-Nya dalam suatu bentuk yang realistis. Mereka mengandaikan bahwa wasilah patung-patung sebagai manifestasi dari eksistensi Allah, yang pada akhirnya konstruksi teologi mereka menyerupai ajaran paganisme Yunani dan Persia. Selain adanya totemisme, animisme, dinamisme, di kawasan Jazirah Arab juga pernah tumbuh keyakinan ateisme. Meskipun ateisme itu sendiri masih dalam bentuk sederhana, tetapi pandangan tersebut telah dianut oleh sebagian penduduk Mekkah. Dalam Al-Qur'an, Allah telah mensinyalir keberadaan mereka dalam Surat ke-45 ayat 24. Dari adanya kenyataan itulah, kemudian membelokkan ajaran tauhid menjadi ajaran kemusyrikan.4

Asal-Usul Nama Allah   
    Tentang asal-usul nama Allah yang digunakan oleh orang-orang Arab pada masa pra-Kenabian Muhammad, kita bisa merujuk pada ayat-ayat yang terdapat dalam Al-Qur’an, di mana Habil, misalnya, telah menyebutkan nama Tuhan-nya dengan nama Allah (Qs. 5:27), yang Habil sendiri tentu saja mengetahui nama Tuhan-nya tersebut dari Nabi Adam, yang menjadi bapaknya. Kemudian, penggunaan nama Allah disusul oleh orang-orang sesudahnya, seperti Nabi Nuh (Qs. 7:59); Nabi Ibrahim (Qs. 21:66); Nabi Yusuf (Qs. 12:66); Nabi Isa (Qs. 5:72). Bahkan, Allah sendiri telah mengenalkan Diri-Nya secara langsung kepada Nabi Musa dengan menyebutkan sendiri Nama-Nya, sebagaimana yang terdapat pada Qs. 28:30 dan 20:14. Dan suatu hal yang logis, jika pada akhirnya orang-orang di kemudian, yang hidup pada zaman pra-Kenabian Muhammad, pada akhirnya menggunakan nama Allah sebagai nama Tuhan-nya mereka, sebagaimana yang telah diyakini oleh kaum paganisme di Arab, Kristen dan Yahudi.
    Dari adanya penggunaan nama Allah yang telah digunakan oleh orang-orang paganisme, Robert A. Morey telah menuding umat Islam bahwa Allah adalah dewa bulan, yang diklaim telah menikah dengan dewa matahari, dan dari adanya pernikahannya tersebut pada akhirnya melahirkan tiga puteri Allah yang bernama al-Lata, al-Uzza, dan Manat.5 Adanya tiga sesembahan Arab kuno tersebut, menurut Karen Armstrong, merupakan sesembahan yang disenangi oleh orang-orang Arab Hijaz, seperti al-Lata dan al-Uzza, masing-masing memiliki kuil suci di Thaif dan Nakhlah, sebelah tenggara Mekkah, sedangkan Manat, kuil sucinya berada di Qudaid, di pesisir Laut Merah.6 Terkait tentang Bani atau klan yang melakukan penyembahan terhadap tiga sesembahan tersebut, Al-Mu’arif menjelaskan bahwa Lata adalah berhala milik suku Thaif di Tsaqif, yang menjadi juru kuncinya adalah Bani Mu’attib. Adapun berhala Uzza, pada mulanya adalah berhala milik Bani Kinanah dan Bani Mudhar, tetapi kemudian disembah pula oleh suku Khuza’ah dan klan-klan Quraisy. Dan Manat adalah milik suku ‘Aus dan Khazraj di Yastrib.7    
    Dari adanya anggapan bahwa Allah adalah dewa bulan, sebagaimana yang telah ditudingkan oleh orang Kristen, yaitu Robert Morey, tudingan tersebut akhirnya dibantah oleh Kristen lainnya, yakni Bambang Noorsena. Meskipun pandangan teologis antara Islam dan Kristen diyakini Bambang memiliki perbedaan, namun menurutnya, bahwa tudingan Morey tersebut adalah sebuah fitnah, karena menurutnya, nama Allah telah digunakan secara salah pada masa pra-Islam, dan Allah dalam Al-Qur’an sama sekali tidak berhubungan dengan dewi al-Lata. Dia menambahkan, justru ayat-ayat Al-Qur'an terawal telah menyerang penyembahan dewi-dewi pra-Islam ini, dan secara bertahap memutuskan hubungannya dengan nama Allah (Qs. An-Najm/53:19).8 Adanya bantahan terhadap tudingan bahwa Allah adalah dewa bulan, bukan saja datang dari pihak Katolik, sebagaimana yang telah disampaikan oleh Bambang Noorsena, melainkan datang pula dari pihak Protestan, yaitu Herlianto. Menurut Herlianto, tulisan Morey bahwa Allah adalah murni istilah Arab berkaitan dengan dewa Arab atau Moon God, didasarkan pada anggapan bahwa Arab adalah klan yang terisolir, dan mengabaikan bahwa kata ‘Arab’ sendiri berarti ‘nomad’ (pengelana), sehingga hubungan dengan negara tetangga sudah lama terjadi baik dengan Babel, Mesir, dan juga Palestina.9 Indrawan Eleeas berpendapat, bahwa di tengah zaman jahiliyah masih dijumpai sekelompok kecil masyarakat yaitu Arab Kristen, Yahudi Kristen dan sejumlah kecil orang Arab yang tidak mengartikan Allah sebagai dewa atau berhala. Kelompok kecil ini masih tetap menggunakan istilah Allah dengan pengertian murni bahwa Allah yang mereka sembah adalah sama dengan Allah umat Israel.10  
    Dari adanya penjelasan di atas, maka bisa kita simpulkan bahwa tidak semua orang yang tinggal di Jazirah Arab meyakini bahwa Allah adalah sebagai dewa, sedangkan adanya keyakinan yang bersifat kuantitatif bahwa Allah sebagai dewa tertinggi yang memiliki anak perempuan yang dipresentasikan di kuil-kuil mereka, menurut Karen Armstrong, tidaklah dengan potret atau patung personal, melainkan dengan batu-batu besar yang kokoh, yang lebih mirip simbol-simbol kesuburan yang digunakan oleh kaum Kana’an, sebagaimana yang digambarkan dalam Injil. Lebih lanjut, Karen menjelaskan, bahwa ketika bangsa Arab memuliakan batu-batu itu, mereka bukannya memuja batu dalam cara yang mentah dan sederhana, tetapi melihatnya sebagai fokus keagungan, yang diperkirakan bahwa tiga dewi tersebut berhubungan dengan dewi-dewi kesuburan Semit seperti Anat dan Ishtar. Selanjutnya, Karen menyimpulkan, bahwa pengkultusan mereka mungkin telah mulai sebelum bangsa Arab menjalani kehidupan nomaden, yaitu ketika mereka masih bertani dan hidup di daratan.11  
    Kata Allah memang telah digunakan sejak lama, selain digunakan oleh Kristen dan Yahudi yang bertempat di Jazirah Arab, kata Allah pun dijadikan pula sebagai sesembahan orang-orang Arab, di samping adanya ratusan berhala, yang di mana nama Allah itu telah dibawa ke Jazirah Arab oleh Nabi Ibrahim dan Ismail sejak ratusan tahun sebelum Nabi Muhammad menjadikan Allah sebagai monoteistis. Namun, sepeninggal Nabi Ibrahim dan Ismail, dalam kehidupan orang-orang Arab kepercayaan pada Allah yang monoteistis telah mengalami kemerosotan, kerusakan, dan dicampuradukan dengan kepercayaan lokal yang politeistis, sehingga Allah menjadi salah satu dari banyak dewa yang bersifat politeistis dan menjadi Tuhan yang tertinggi di antara beranekaragaman dewa yang ada. Meskipun, kedatangan Nabi Muhammad dalam hal ini bukanlah untuk memperkenalkan nama Allah yang baru, melainkan untuk meluruskan dan memurnikan Allah Ibrahim dan Ismail yang telah dirusak dan dicampuradukan dengan dewa-dewi lokal oleh orang-orang Arab politeis itu.12 Dalam Surat Al-Ankabut ayat 61, misalnya, kita mendapatkan informasi bahwa orang Arab pagan sebenarnya telah mempercayai Allah sebagai penciptanya, meskipun kepercayaan mereka itu cenderung mengakui Allah dalam keadaan yang terdesak, seperti saat mereka sedang dalam keadaan bahaya maut atau terancam, misalnya.13 Sayyid Qutub telah membenarkan adanya kepercayaan Arab pagan yang meyakini bahwa Allah itu adalah pencipta alam semesta, ia berpendapat bahwa pada dasarnya masyarakat Arab pra-Islam mempunyai keyakinan monoteistik dalam konsep Tuhan seperti yang diungkapkannya sebagai berikut: “Ayat-ayat tersebut (al-Ankabut) merupakan sebuah fenomena mengenai keyakinan masyarakat Arab pra-Islam ada waktu itu dan diketahui bahwa pada diri masyarakat Arab pra-Islam sudah ada struktur kemurnian mengenai monotesitik.”14   
    Berdasarkan uraian di atas, meskipun di kemudian hari nama Allah telah mengalami penyelewengan, namun sebenarnya asal-usul penggunaan nama Allah bukanlah berasal dari kaum pagan Arab, melainkan telah digunakan sejak awal oleh para Nabi sebelum diutusnya Nabi Muhammad saw. Jika dikatakan bahwa kaum pagan adalah kaum yang pertama kali mengenalkan dan menggunakan nama Allah, tentunya anggapan tersebut tidak bisa dianggap memadai. Karena justru dari adanya anggapan tersebut mengimplikasikan adanya penegasian hubungan silsilah dari suku-suku Arab dengan keturunannya Nabi Ibrahim. Padahal, suku-suku di tanah Arab, selain adanya suku Ba’idah yang telah melahirkan kaum ‘Ad, Tsamud, Tasam, dan lain-lain yang memang pada saat ini telah punah, ada pula suku besar lainnya yang bernama Baqiyah, di mana suku tersebut telah melahirkan Arab Qathan dan juga Arab Adnan. Dari kategori pertama adalah suku-suku Arab yang silsilahnya bertemu dengan Ya’rub bin Yasyjub bin Qathan (suku Jurhum), di mana orang-orang Arab Qathan merupakan bangsa tertua dalam silsilah keturunan Nabi Ismail. Adapun kategori kedua merupakan suku-suku yang memiliki silsilah yang bertalian langsung dengan sosok Adnan, yaitu keturunan Nabi Ismail.15  
    Tidak sedikit, orang Kristen yang menuding bahwa sesembahan kaum Muslimin itu adalah dewa pagan, mereka menyatakan demikian, karena sebelum Islam menggunakan nama Allah, kaum pagan telah menggunakannya terlebih dahulu. Jika para penuding yang menuding bahwa Tuhan-nya umat Islam adalah dewa, seharusnya mereka pun konsisten pula dengan menyatakan bahwa orang-orang Kristen dan Yahudi yang hidup sebelum atau sesudah Nabi Muhammad, Tuhan-nya adalah dewa pagan, termasuk pula yang diyakini oleh orang-orang Kristen dan juga Yahudi yang hingga kini hidup di Jazirah Arab dan masih menggunakan kata Allah sebagai nama sesembahannya mereka. Namun, apakah mereka akan bersedia menyatakan bahwa orang-orang Kristen dan Yahudi yang telah menggunakan nama Allah sebagai sesembahannya mereka, dikatakan bahwa Tuhannya mereka itu adalah dewa?   

Perbedaan Pendapat Para Ulama Tentang Nama Allah
    Di kalangan para ulama, tidak ada keseragaman tentang asal-usul nama Allah, di mana perbedaan tersebut terdiri dari dua pendapat, yaitu:
1.    Nama Allah Berasal Dari Kata Ilah
    Bagi yang sependapat dengan argumen ini, nama Allah diyakini berasal dari kata ilah, di mana ilah dalam tata bahasa Arab mengikuti wazan fi’al, yang secara maknawi mengandung juga arti sebagai objek (maf’ul). Muhammad Taqi Mishbah Yazdi menganalisis secara linguistik asal kata “ilah”. Menurutnya, kata “ilah” memiliki kandungan makna “kelayakan”, sehingga kata “ilah”, di samping sebagai arti “sesembahan”, juga mengandung arti sebagai “sesuatu yang layak disembah”. Hanya saja, ketika kata “ilah” telah mendapatkan tambahan “al” sebagai tanda makrifat (definitif), maka kata tersebut memiliki kekhususan arti. Mu’arif kembali menjelaskan, menurutnya, dalam tradisi Arab, mengucapkan kata “ilah” dengan tambahan “al” terasa sulit sekali, seperti ketika orang Arab mengucapkan kalimat “Bi-Ismillah” (Dengan Nama Allah). Kalimat “Bi-Ismillah” kemudian lebih mudah diucapkan dengan cara “Bismillah”. Demikian juga proses perubahan kata “ilah” yang mendapat tambahan “al” berubah menjadi Allah, artinya adalah “sesuatu yang layak disembah”, tetapi memiliki kekhususan arti. Atau, kata “Allah” bisa juga dipahami sebagai “Tuhan yang khusus”. Oleh karena itu, dalam tradisi Arab yang telah diwarnai oleh ajaran Islam, lebih mempertahankan kata “Allah” untuk menyebut nama “Tuhan yang khusus”. Maka, bagi bangsa Arab, kata “Allah” kemudian menjadi nama untuk menyebut nama Tuhan.16  
    Menurut Ahmad Sahidah, Kata Allah bisa dibandingkan dengan kata Yunani, ho theos, yang artinya Tuhan. Lebih jauh, Sahidah berpendapat, bahwa pada tingkat abstrak kata tersebut telah dikenal oleh semua puak Arab. Namun, kata ini terbatas pada Tuhan atau dewa setempat. Meskipun dalam sejarahnya, akhirnya masyarakat puak ini menunjuk pada dewa setempat dengan bentuk abstrak Tuhan yang membuka jalan bagi munculnya gagasan abstrak tentang Tuhan, tanpa adanya suatu klasifikasi lokal, dan kemudian bagi kepercayaan terhadap Tuhan tertinggi yang umum bagi semua puak. Lebih-lebih setelah adanya hubungan yang terus-menerus dengan kaum Yahudi dan Kristen yang telah menggunakan kata yang sama, yaitu Allah untuk menunjukkan Tuhan mereka dalam dalam kitab Injil. Lebih jauh, Sahidah menjelaskan, bahwa di luar agama Semitik, sebenarnya kata Allah dalam tradisi Arab kuno mempunyai makna kaitan, dan kenyataan ini berarti berhubungan dengan pandangan hidup jahiliyah. Bahkan, tradisi tersebut terus hidup pada awal masa kerasulan Nabi Muhammad di Mekkah, berupa penyembahan berhala dan tetap bertahan dalam sistem konsep-konsep tradisional jahiliyah. Artinya, orang-orang pagan Arab tidak mungkin memahami kata Allah, selain mengaitkannya dengan semua unsur semantik yang ada di dalam pemikiran mereka, di antaranya pengakuan terhadap eksistensi Tuhan lainnya, sekalipun Allah itu adalah Tuhan tertinggi.17  
    Tentang adanya akar kata dalam lafazh Allah, Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib, yang kemudian dikenal dengan Imam Ath-Thabari, mengutip suatu riwayat dari Abu Karib bahwa secara pendengaran tidak ada, namun secara indikasi ada. Dalam menguatkan pendapatnya itu, ia telah mengutip berbagai riwayat, di antaranya adalah riwayat dari Ismail bin Fadhl bahwa kata atau lafazh Allah berasal dari perkataan orang Arab: اﻹله, yang huruf hamzahnya dibuang, dan huruf lam yang asli bertemu dengan huruf lam tambahan, lalu keduanya melebur menjadi satu dan jadilah lafazh ﷲ.18  
    Selain ada yang berpendapat bahwa kata Allah berasal dari ilah, ada pula yang berpendapat lain bahwa kata Allah berasal dari lāh (ﻻَﻩٌ), di mana kata tersebut sebagai bentukan (derivasi) dari lāha yalīhu atau lāha yalūhu yang berarti terhijab dan tinggi. Menurut pendapat ini, pengertian tersebut dianggap sesuai dengan sifat Tuhan yang terhijab dari jangkauan indera manusia, dan Maha Tinggi yang tidak terjangkau dari apa pun.19   
    Dari semua versi pembentukan di atas, baik yang kata dasarnya berasal dari ilah maupun lah, merupakan kata Allah yang ditetapkan sebagai bahasa Arab. Di antara alasannya adalah karena Al-Qur’an telah dinobatkan sebagai Kitab Suci berbahasa Arab, dan hal itu telah dinyatakan secara eksplisit dalam beberapa ayat (Qs. 12:2; 13:37; 16:103, dan lain-lain), karena itu setiap kata di dalamnya adalah bahasa Arab.20  
2.    Allah Tidak Memiliki Asal Kata
Pendapat kedua yaitu kata Allah adalah kata murtajal atau kata jamid, artinya, kata Allah adalah kata yang tidak memiliki kata asal. Yang menurut pendapat ini, Allah tidak memiliki asal kata, sama halnya seperti kata sungai atau atau kata jalan, dan kata ini berbeda dengan kata perbuatan yang memiliki memiliki kata dasar buat atau kekuasaan. Karena kata Allah tidak memiliki asal kata, maka tidak perlu dicari kata dasarnya dan tidak boleh pula dihilangkan alif dan lam yang ada di depan kata Allah. Para ulama yang berpendapat bahwa Allah tidak memiliki kata dasar adalah Ibnu Arabi, Abul Qasim as-Suhail, Ar-Razi, dan banyak di kalangan ahli ushul dan merupakan salah satu pendapat Sibawaih. Mereka berkeyakinan demikian, karena jika kata Allah memiliki kata dasar berarti kata ini adalah kata turunan, sementara sesuatu yang qadim tidak memiliki asal.21  
    Sejumlah ulama seperti Imam Syafi’I, al-Khathabi, Imam Haramain, Imam al-Ghazali, dan lain-lain, bahkan menyatakan bahwa lafal Allah adalah isim jamid dan tidak memiliki akar kata. Menurut para ulama ini, kata Allah bukan musytaq (turunan dari kata asal). Salah satu bukti bahwa lafal Allah tidak musytaq adalah jika ditambahkan huruf nida (huruf panggilan, seperti huruf ya nida’), maka tidak berubah menjadi Yaa Ilah, tetapi masih tetap Yaa Allah.22

Kesimpulan
    Jika umat Kristiani menuding bahwa Allah yang disembah oleh umat Islam adalah dewa pagan yang telah memiliki anak perempuan, tentunya tudingan mereka tersebut tidaklah sesuai dengan realitas, baik secara teologis maupun historis. Tidak sesuai dengan teologia Islam, karena memang Allah yang disembah oleh umat Islam hingga saat ini bukanlah dewa pagan, dan dinyatakan tidak sesuai secara historis, karena sebelum kaum pagan dari bangsa Arab, Yahudi dan Kristen telah menggunakan nama Allah, namun mereka menyelewengkan tauhid, terlebih sebelum mereka para Nabi telah menggunakan nama Allah. Umat Islam tidaklah berspekulasi tentang nama Tuhan, karena nama tersebut telah ada di dalam Al-Qur’an dan juga hadits Nabi. Dan dengan datangnya Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad, justru hal tersebut telah mengalihkan dari paganisme dan monoteisme kepada tauhid, yang di mana dalam tauhid tidak saja membersihkan sifat-sifat yang tidak semestinya dinisbahkan kepada Allah, namun dilarang pula adanya pembuatan berhala, baik dalam artian sebagai wasilah maupun untuk Allah sendiri.   

Catatan Kaki
1. Abas Mansur Tamam, Islamic Worldview: Paradigma Intelektual Muslim, (Jakarta: Spirit Media Press, 2017), Hal. 35.
2. Abul A’la Maududi, Dasar-Dasar Islam, terj. Achsin Mohammad, (Bandung: Pustaka, 2010), hal. 11.
3. Adian Husaini, Kerukunan Beragama Dan Kontroversi Penggunaan Kata “Allah” Dalam Agama Kristen, (Jakarta: Gema Insani Press, 2015), hal. 62-63.
4. Mu’arif, Monoteisme Samawi Autentik, (Yogyakarta: Ircisod, 2018), hal. 228-230.
5. Robert A. Morey, The Islamic Invasion (Islam Yang Dihujat), terj. Sadu Suud, (Bekasi: Focus Muslimedia, 2004), hal. 248.
6. Karen Armstrong, Sejarah Tuhan: Kisah 4.000 Tahun Pencarian Tuhan Dalam Agama-Agama Manusia, terj. Zaimul Am, (Bandung: Mizan, 2012), hal. 233.
7. Mu’arif, op.cit., hal. 227.
8. Bambang Noorsena, The History of Allah, (Yogyakarta: Andi, 2006), hal. 101.
9. Herlianto, Nama Allah: Nama Tuhan Yang Dipermasalahkan, (Bandung: Mitra Pustaka dan Yabina Ministry, 2006), hal. 43.
10. Indrawan Eleeas, Isu Masa Kini Tentang Nama Allah, (Malang: Gandum Mas, 2014), hal. 87-88.  
11. Karen Armstrong, Muhammad Sang Nabi: Sebuah Biografi Kritis, terj. Sirikit Syah, (Surabaya: Risalah Gusti, 2006), hal. 69.
12. Bambang Ruseno Utomo, dalam topik “Terjemahan Alkitab Dalam Konteks Lintas Bahasa Dan Budaya: Menerjemahkan Nama Allah”, Satu Alkitab Beragam Terjemahan, (Jakarta: LAI, 2005), hal. 74.  
13. Ahmad Sahidah, God, Man, and Nature, (Yogyakarta: Ircisod, 2018), hal. 222.
14. Hendri Wijayatsih et.al (ed.), Memahami Kebenaran Yang Lain Sebagai Upaya Pembaharuan Hidup Bersama, (Yogyakarta: Pustaka Kristen, 2010), hal. 105.  
15. Mu’arif, op.cit., hal 122-123.
16. Ibid., hal. 222-223.
17. Ahmad Sahidah, God, Man, and Nature, (Yogyakarta: Ircisod, 2018), hal. 220-221.
18. Abu Ja’far Muhamad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, terj. Ahsan Askan, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2011), hal. 211-213.
19. Hendri Wijayatsih et.al (ed.), op.cit., hal. 101.
20. Ibid., hal. 102.
21. http://konsultasisyariah.com/33970-asal-kata-allah.html telah di akses pada  13 Februari 2019.
22. Adian Husaini, op.cit., hal. 113-115.
    

Comments

  1. Nama Allah pertama kali diucapkan oleh Nabi Ibrahim. Sebelum nabi Ibrahim mengucapkan nama ALLAH, maka umat manusia sebelumnya belum pernah mengucapkan kata ALLAH. bahkan bangsa Arab sebelum kedatangan Ibrahim juga belum mengenal nama ALLAH. Sebelum Ibrahim datang ke Arab, maka bangsa Arab menyebut Tuhannya dengan nama RABBY.
    Sedangkan klaim bahwa nabi-nabi terdahulu telah menggunakan nama ALLAH itu adalah vcuma pengakuan atau cuma ucapan Nabi MUHAMMAD saja dan bukan ucapan langsung dari nabi -nabi terdahulu.
    Jika umat MUSLIM menyangkal pendapat saya ini, maka pembuktiannya adalah mari kita tanya pada nabi-nabi yang bersangkutan secara langsung , bisa sekarang juga atau kelak di alam kubur atau kelak di akerat.
    jadi kesimpulannya adalah keyakinan umat MUSLIM itu hanya keyakinan yang belum terbukti dan belum dikonfirmasi pada orang ynag bersangkutan ( para nabi-nabi dan umat -umat terdahulu ).Dengan demikian dapat dikatakan bahwa keyakinan Muhammad dan umat MUSLIM itu cuma keyakinan sepihak saja.

    ReplyDelete
  2. Kata ALLAH berasal dari kata AL dan kata ILLAH. Kata AL artinya segenap atau seluruh atau semua. Sedangkan kata ILLAH artinya sesembahan. Maka kata ALLAH dapat diartikan segenap sesembahan atau seluruh sesembahan atau semua sesembahan.
    Nama ALLAH itu bukan sebagai nama diri , bukan sebagai nama pribadi , bukan sebagai nama sebuah subjek dan bukan nama sebuah objek. Tapi nama ALLAH itu adalah sebagai nama gelar atau nama sebutan atau nama kehormatan.
    Jika nama ALLAH itu sebagai nama diri , maka konsekuensinya adalah harus ada penjelasan tentang diri ALLAH. Maka diri ALAH harus diketahui secara jelas tentang :
    1. Siapakah yang memberi nama diri pada ALLAH itu ?
    2. Kapan lahirnya ( ada pertama kali ) meliputi hari, tanggal bulan dan tahun
    3. Di mana tempat pertama kali diberi nama diri itu ?
    4. Apakah yang memberi nama diri ALLAH itu lebih tua dari ALLAH ?
    5. Siapa saksinya adanya pertama kali nama diri ALLAH itu ?
    Dan masih banyak lagi pertanyaan yang harus dijawab.
    Sebaliknya jika nama ALLAH itu sebuah sebutan atau sebuah gelar atau sebuah kehormatan maka tidak perlu ada penjelasan tentang kapan ALLAH pertama kali ada.
    Jadi harus dibedakan kata ALLAH sebagai nama diri ataukah kata ALLAH itu sebagai gelar atau sebagai sebutan saja.

    ReplyDelete
  3. ALLAH ARAB memang anak DEWA PAGAN yang berjenis PEREMPUAN yang mewakili IBU SITI HAWA. Buktinya umat MUSLIM berkibalt pada Kakbah ARAB dan LUBANG HAJAR ASWAD . LUBANG HAJAR ASWAD itu melambangkan vagina perempuan . Vagina perempuan itu sangat penting dalam kehidupan. Jika tidak ada lubang vagina perempuan , lalu bagaimana nasib venis lelaki ? Jika penulis artikel ini seorang laki -laki , apakah penulis akan bahagia jika istrimu tidak punya lubang VAGINA ? Inilah makna lambang dan pralambang dari kakbah ARAB.
    Maka kelak harus di bangun juga KAKBAH INDONESIA yang ada LINGGA YONInya sebagai lambang VENIS nabi ADAM. Jika lambang VAGINA di ARAB disembah -sembah , maka lambang VENIS di INDONESIA juga harus disembah-sembah. Sebab kedua alat itu sangat penting dalam perkembang biakan umat manusia dari jaman ADAM sampai hari kiamat.
    Fenomena adanya virus CORONA sehingga KAKBAH ARAB SEPI , melambangkan bahwa sudah saatnya umat manusia menyembah-nyembah lambang VENISnya ADAM ( lelaki ) di INDONESIA . Sebab sudah 1500 tahun lebih umat MUSLIM nyembah-nyembah lambang VAGINAnya HAWA ( perempuan ) di ARAB. Ibaratnya ada wanita maka harus ada pria , ada siang maka harus ada malam. TIDAK ADA TUHAN ( ARAB ) , maka harus pula ADA TUHAN ( INDONESIA ).

    ReplyDelete
  4. Umat MUSLIM itu cuma mengerti makna tersurat saja dalam Al;-Quran dan Hadist. Sedangkan dalam dalam kehidupan di dunia , juga di alam kubur juga di akerat kelak itu manusia harus faham dengan berbagai makna ( arti ). Makna -makna yang harus difahami sebagai bekal adalah makna tersurat , juga makna tersirat, juga makna lambang, juga makna pralambang , juga makna transisi, juga makna implikasi.
    Penulis sendiri menulis artikel ini cuma menyontek atau berdasar referensi dari tulisan orang lain saja. Maka sangat berbahaya bagi penulis sendiri akibatnya kelak. jika tuylisan terdahulu salah , maka penulis juga akan salah.
    Jika menulis ulasan tentang TUHAN atau ALLAH ataupun hal -hal ghaib , maka penulis harusnya punya bekal utama tentang hal itu. Kemampuan minimal penulis adalah bisa berkomunikasi dengan NURIULLAHinya sendiri, syukur bisa komunikasi dengan para NURILLAHI dan SIRRILLAHI.
    Jika menulis tentang TUHAN ALLAH yang MAHA GHAIB , kok modalnya cuma mencontek tanpa konfirmasi pada YANG GHAIB... maka akan berkibat FATAL...dan MENYESATKAN...
    Pada umumnya umat MUSLIM bisanya cuma CONTEK -MENYONTEK pada ucapan MUHAMMAD yang sudah WAFAT dan belum bisa komunikasi dengan NURILLAHI dan SIRRILLAH apalagi komunikasi dengan ALLAH..
    Umat MUSLIM cuma menghapal dan menghapal ucapan MUHAMMAD saja... sangat IRONIS..

    ReplyDelete
  5. Pada SANGMISIONARIS......Setahu saya MISIONARIS itu sebutan untuk tokoh KRISTEN. Tapi tulisanmu kok membela MUSLIM . Hal itu membuktikan bahwa kamu itu MUNAFIK....alias TIDAK JUJUR.... alias TIDAK KESATRIA...alias..MENIPU TUHANMU.....alias menipu NURILLAHI dalam hatimu.... HATI..HATI... bisa saya analisa .. jika seseorang sepertimu ini.. maka yang bersemayam dalam hatimu BUKAN NURILLAHI ( CAHAYA TUHAN )... tapi dalam hatimu ada bisikan SETAN untuk menjerumuskanmu....
    Tidak ada rumusnya mengaku seekor ayam, kok selalu berbunyi MEONG-MEONG...Jika demikian bagi orang berpengalaman, kedokmu akan terbongkar.
    Kamu membela ALLAH kok dengan cara menipu /tidak jujur .... berarti ALLAHmu itu ALLAHPALSU....

    ReplyDelete
  6. ALLAH dalam kakbah bukan ALLAH TERTINGGI. ALLAH dalam AL-QURAN bukan Allah tertinggi. ALLAH dalam hadist bukan ALLAH tertinggi. ALLAH MUHAMMAD ( MUSLIM ) bukan ALLAH tertinggi.
    Buktinya ALLAH MUHAMMAD cuma selalu dalam kakbah ARAB ( muslim harus berkiblat ke kakbah ARAB ).
    Buktinya ALLAH MUHAMMAD cuma bisa bahasa ARAB sehinggga umat MUSLIM waktu sholat wajib menggunakan bahasa ARAB supaya ALLAH ARAB bisa faham.
    ALLAH MUHAMMAD sudah WAFAT dan tidak bisa memberi WAHYU atau
    lagi.
    Sekarang ALLAH yang berkuasa adalah ALLAH INDONESIA yang bisa bahasa apa saja dan menempati SURGA. Dengan password ( kata kunci ), : "SAYA IMAN ADA TUHAN YAITU GUSTI ALLOH DI SURGA DAN SAYA IMAN ADAMMAKNA ITU UTUSAN TUHAN GUSTI ALOOH DI SURGA. Kalimat tauhid keimanan inilah sebagai password masuk surga.

    ReplyDelete

Post a Comment