Perilaku Buruk Yahudi Dalam Sejarah

Oleh: Sang Misionaris

    Sebelumnya, kita telah membahas tentang asal-usul nama Yahudi menurut Al-Qur’an dan Alkitab. Untuk membaca asal-usul nama Yahudi dalam perspektif Al-Qur’an dan Alkitab, silahkan klik di sini. Orang-orang Yahudi mengklaim, bahwa bangsa Yahudi adalah bangsa pilihan Tuhan, di mana istilah tersebut menngimplikasikan bahwa orang-orang Yahudi adalah kekasih Allah. Tapi nyatanya, dalam sejarah perjalanan bangsa Yahudi, khususnya tentang sejarah bangsa Yahudi kuno, Al-Qur'an telah menginformasikan kepada kita tentang adanya penyimpangan-penyimpangan yang telah mereka lakukan di masa itu, yaitu melakukan penyembahan kepada berhala dan merubah isi kitab yang diberikan oleh Allah kepada Nabi Musa. Akan tetapi, apakah perilaku buruk Yahudi dalam sejarah hanya sebatas itukah. Lalu, seperti apakah sejarah singkat perjalanan bangsa Yahudi, baik pada masa pra-kenabian Muhammad  hingga sampai saat ini?    

1. Perilaku Yahudi Di Masa Pra-Kenabian Muhammad
    Bangsa-bangsa besar yang menyembah berhala seperti halnya bangsa Babilonia, Persia, Fenesia, Het, dan Filistin, telah benar-benar lenyap dari muka bumi bersamaan dengan lahirnya bangsa Yahudi.1 Namun demikian, penyembahan kepada berhala tidak hanya dilakukan oleh bangsa-bangsa besar tersebut, melainkan dilakukan pula oleh orang-orang Yahudi, dan Al-Qur’an telah menginformasikan perilaku mereka tersebut dalam Surat Al-Baqarah ayat 92-93, bahwa kala itu Yahudi telah melakukan penyembahan kepada anak sapi. Bukan hanya Al-Qur’an saja yang telah menginformasikan tentang perilaku buruk Yahudi tersebut, Alkitab pun mengisahkan pula hal yang sama, sebagaimana yang terdapat dalam Kitab Keluaran 32:19-24 dan 1 Raja-raja 12:28-33, misalnya.
    Dalam sejarahnya, agama Yahudi merupakan agama pertama yang mengajarkan bahwa Tuhan itu adalah Esa, di mana dalam ajarannya itu didasari oleh Taurat yang diwahyukan oleh Allah kepada Musa. Namun menurut Harun Nasution dalam karyanya yang berjudul Filsafat Agama, dalam kepercayaan Yahudi, proses keesaan terhadap Tuhan merupakan hasil perkembangan dari kepercayaan yang henotheis, yaitu adanya kepercayaan yang mengakui keesaan Tuhan, tetapi mengakui pula adanya Tuhan dari agama lain.2 Terkait adanya pengakuan bangsa Israel terhadap ilah-ilah lain, Vriezen memberikan contohnya, bahwa ketika Daud lari dari Saul (1 Samuel 26:19), Daud mengeluh bahwa dia sedang diusir dari masyarakat warisan Yhwh serta disuruhnya pergi beribadah kepada Tuhan lain. Menurutnya, ucapan ini membuktikan adanya anggapan bahwa pada waktu itu Yhwh telah terikat pada wilayah-Nya sendiri, sehingga ada asumsi bahwa di luar batas-batas tanah Israel ada ilah-ilah selain Yhwh yang berwibawa.3   
    Tentang kepercayaan Bani Israil terhadap Yhwh, Morton Smith telah membaginya menjadi tiga fase. Pertama, fase Yhwh sebelum Haikal Sulaeman, di mana dalam fase tersebut, mereka sering menukar kepercayaan dengan anak lembu dan ular yang mereka anggap suci. Pada masa sebelum Sulaeman, penggunaan patung yang diyakini sebagai dewa telah terbiasa disimpan di rumah, sebagaimana patung yang disimpan di rumahnya Daud, di mana patung tersebut telah dijadikan sebagai alat pengecoh Mikhal ketika Saul melakukan penggrebekan di rumahnya Daud (1 Samuel 19:11 dst.).4 Kedua, Yhwh pada waktu Haikal Sulaeman. Sewaktu Sulaiman membangun Haikal sebagai tempat beribadahnya Bani Israel dan pusat penyembahan terhadap Tuhan, justru mereka malah menganggap bahwa Yhwh tidak jauh berbeda dengan batu-batu berhala atau patung-patung. Tetapi setelah itu, bersamaan dengan adanya usaha mereka untuk menyatukan pemikiran Yahudi agar kerajaan tetap berdiri dan terpelihara dengan baik, maka mereka pun merasa perlu untuk menjalani hubungan kembali dengan Yhwh. Oleh karena itu, mereka pun meyakini bahwa Yhwh adalah Tuhan Yang Esa, tetapi hanya untuk kalangan mereka sendiri. Berkaitan dengan fase kedua ini, Vriezen menggunakan istilah mono-Yahwisme, di mana Yhwh yang telah dijunjung tinggi sebagai Sang Utama dan diakui sebagai Yang Berdaulat bukan hanya di Sinai, melainkan juga di Mesir dan di Kanaan, bahkan menguasai bintang-bintang dan planet-planet. Tetapi di sisi lain, eksistensi ilah-ilah di luar Israel pun diakui pula oleh mereka.5 Ketiga, Yhwh sesudah Haikal. Sewaktu Haikal yang dibangun Sulaiman dihancurkan oleh Raja Babilonia dan membuang orang Yahudi ke Babilonia, mereka sempat berpikir, adakah Yhwh bersama mereka ataukah bersama kelompok Israel yang masih tetap tinggal di Palestina. Kemudian, mereka meyakini bahwa Yhwh selalu bersama mereka, di mana pun mereka berada. Dengan ini, akhirnya mereka tidak lagi merelakan Tuhan dalam arti yang sangat terbatas.6
    Ketika umat Israel keluar dari Mesir, mereka tidak hanya membawa hewan ternaknya saja, melainkan membawa pula orang-orang asing untuk ikut serta ke luar dari Mesir dengan orang-orang Israel (Keluaran 12:38), dan menurut Morton Smith, terdapat sejumlah orang campuran yang ikut bergabung dengan umat Israel di padang gurun, yaitu orang-orang Midian (Bilangan 10:29) dan Moab (Bilangan 25:1-5).7 Dengan adanya keikutsertaan bangsa kafir (para penyembah berhala) bersama Israel, tentunya hal tersebut telah mengakibatkan orang-orang Yahudi memiliki hubungan yang erat dengan bangsa pagan, di mana keeratan atas hubungan ditandai dengan adanya pernikahan campuran antara bangsa pagan dengan orang-orang Yahudi. Namun, kapan persisnya Bani Israel keluar dari Mesir, masih menjadi perdebatan di kalangan para ahli, dan sebagian orang cenderung memperkirakan pada abad ke-13 SM, di bawah kekuasaan Dinasti XIX, persisnya pada masa Seti I dan Ramses II.8
    Di saat orang-orang Yahudi selamat dari bala tentaranya Fir’aun, mereka pun akhirnya berubah menjadi kaum yang suka menentang dan menolak ajaran yang telah dibawakan oleh Nabi Musa (Qs. 2:51, 92-93). Bahkan pada masa sesudahnya, orang-orang Yahudi telah memfitnah Maryam melakukan zina dikarenakan ia hamil tanpa adanya suami (Qs. 5:110). Orang-orang Yahudi tidak saja memfitnah Maryam, melainkan memfitnah pula anaknya Maryam, Yesus atau Isa, di mana menurut Syalabi bahwa di dalam Talmud, Yesus telah dikisahkan sebagai orang yang berada di dalam neraka di antara minyak panas dan api, dikarenakan ia telah dilahirkan oleh ibunya melalui jalan dosa.9 Tidak cukup dengan hal itu, bahkan orang-orang Yahudi pun melakukan pula pembunuhan kepada para nabi tanpa alasan yang benar, sebagaimana yang telah diungkapkan di dalam Surat Al-Baqarah ayat 61, dan di dalam Alkitab pun pembunuhan terhadap para nabi yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi dikisahkan pula pada Perjanjian Lama (1 Raja-raja 19:10 dan Nehemia 9:26) dan juga Perjanjian Baru (Matius 23:37 dan Lukas 11:48).   
    Terkait tentang adanya keyakinan Yahudi terhadap Taurat, Rabbi Dov Berkovits mengemukakan, bahwa secara tradisional, orang Yahudi telah menerima kewibawaan tertinggi Kitab Taurat seperti apa adanya dan mewariskan kepada seluruh generasi sebagai Sabda Tuhan.10 Tentu saja, pernyataan Rabbi Dov tersebut, dan juga keyakinan Yahudi lainnya, ditentang keras oleh Al-Qur’an, dikarenakan kitab yang mereka imani, termasuk pula Injil, adalah kitab yang sebelumnya sudah mendapatkan perombakan terhadap isinya, sebagaimana halnya yang termaktub pada Qs. 2:79. Sedangkan istilah Perjanjian lama yang digunakan oleh Kristen yang merupakan sekumpulan kitab yang dipelihara oleh orang-orang Yahudi dan diambil alih oleh sebagian besar denominasi Kristen, yang biasanya dirujuk sebagai Kitab Suci Ibrani, adalah kumpulan tulisan yang disahkan oleh para rabi yang menjadi penerus kelompok Farisi, yang kira-kira pada akhir abad pertama Masehi, isinya telah diterima sebagai tulisan kudus. Dan ketika Perjanjian Lama mengalami proses penyalinan, Morton Smith secara jujur mengakui tentang adanya perbedaan antara satu salinan dengan salinan sebelumnya.11
    Setelah orang-orang Israel memasuki kembali tanah mereka untuk kedua kalinya pada abad ke-5 SM, menurut Rabbi Dov, bahwa orang-orang Yahudi akhirnya memisahkan diri mereka dari berhala untuk menjadi kaum berkitab, yang kemudian menciptakan rumusan ajaran spiritual baru, yaitu Talmud.12 Sedangkan menurut Max Isaac Dimont, yang telah dibesarkan dalam keluarga Yahudi, menyatakan bahwa Talmud melahirkan Yahudi yang dapat menyesuaikan diri secara universal dan melengkapinya dengan suatu kerangka kerja yang tidak tampak untuk menguasai manusia.13
    Terkait kedudukan Talmud dengan Taurat bagi orang-orang Yahudi, Ahmad Syalaby mengemukakan perbedaan pendapat di kalangan orang Yahudi bahwa kebanyakan kaum Yahudi, Talmud dianggap sebagai kitab yang turun dari langit dan mereka meletakkannya setingkat dengan Taurat. Bagi orang-orang Yahudi yang setuju dengan anggapan tersebut berargumen bahwa Allah telah menurunkan Taurat kepada Musa dalam keadaan tertulis, dan juga diberikan kepadanya Talmud secara lisan. Namun, ada pula orang Yahudi yang tidak merasa puas dengan kedudukan yang diberikan kepada Talmud, bahkan di antara mereka telah meletakkan riwayat dari lisan ke lisan ini lebih tinggi daripada Taurat. Di samping itu, ada pula yang mengatakan bahwa seseorang tidak akan selamat, jika ia meninggalkan Talmud dan mengutamakan Taurat. Menurut mereka, kata-kata ulama (para rabbi) itu lebih utama dari apa yang tersurat dalam syariat Musa.14    
    Selain melakukan perubahan terhadap kitab, orang-orang Yahudi dan Kristen pun telah menyembunyikan pula atas apa yang ada di dalam kitab mereka (Qs. 5:15). Namun, hal yang paling mendasar atas kehidupan keagamaan mereka, baik Yahudi maupun Kristen, adalah akidah tauhid, yang dalam kaitannya tentang hal ini, Al-Qur’an menyatakan bahwa orang-orang Yahudi telah mengubah akidah tauhid dengan menyatakan bahwa Uzair adalah anak Allah. Sedangkan orang-orang Nashrani pun telah melakukan perubahan yang sama dengan mengatakan bahwa Nabi Isa atau Yesus adalah Anak Allah, di mana hal tersebut telah Al-Qur’an sampaikan secara gamblang pada Qs. 9:30. Baik Yahudi maupun Nashrani, menurut ayat tersebut, bahwa mereka telah mengubah dari akidah tauhid kepada keyakinan yang berbau syirik. Meskipun demikian, di antara para pakar Al-Qur’an terdapat perbedaan pendapat tentang keyakinan Yahudi dan Nashrani, di mana kenyataan itu didasarkan pada kenyataan bahwa adanya pemahaman tentang Uzair sebagai putra Allah tidak berlaku secara umum di kalangan orang Yahudi, melainkan sebatas yang dianut oleh Yahudi Arab.15

2. Perilaku Yahudi Di Masa Nabi Muhammad ﷺ
    Menurut Syalaby, agama Yahudi lebih mengutamakan amalan daripada keimanan, yang tentu saja dalam hal ini agama Yahudi memiliki perbedaan dengan agama Masehi (Kristen) yang lebih mengutamakan keimanan dan meletakkannya lebih tinggi daripada amalan.16 Meskipun demikian, ayat-ayat yang terdapat di dalam Al-Qur’an telah banyak mengisahkan tentang kaum Yahudi pada masa pra-kenabian Muhammad ﷺ, di mana dalam ayat-ayat tersebut mengisahkan tentang asal-usulnya dan juga sikap mereka terhadap Nabi Musa, Maryam dan Isa. Pada masa pra-kenabian Muhammad ﷺ, kaum Yahudi telah menjadikan kota Yastrib (Madinah) dan daerah-daerah sekitarnya sebagai daerah tempat mereka hijrah, yang sekaligus menjadi tempat tinggal mereka. Perhatian Al-Qur'an terhadap kaum Yahudi di Madinah begitu besar, yang tersebar di berbagai ayat dan juga surat, terutama dalam Surat Al-Baqarah, Ali-Imran, al-Nisa dan al-Maidah. Di mana perhatian besar Al-Qur’an terhadap kaum Yahudi tersebut, tidak terlepas dari adanya sikap mereka yang telah sejak awal telah memusuhi Nabi Muhammad ﷺ dan kaum Muslimin di Madinah.17
    Kedatangan Nabi Muhammad ﷺ ke Madinah berawal dari adanya undangan untuk menjadi pihak penengah antar suku yang telah lama bertikai,18 dan ketika beliau telah berada di Madinah, akhirnya membuat kesepakatan dengan suku-suku yang tengah bertikai serta memberikan jaminan keselamatan atas nyawa dan harta mereka. Namun nyatanya, Yahudi Qainuqa menjadi pihak pertama yang mengingkari perjanjian dengan Rasulullah, yang pemicunya itu disebabkan karena adanya pelecehan terhadap Muslimah yang dilakukan oleh pihak Yahudi di pasar, yang mengakibatkan kaum Muslimin dan Yahudi saling membunuh antar satu dengan yang lainnya. Terkait tentang insiden tersebut, Martin Lings berkomentar, “Keadilan sebenarnya dapat ditegakkan dengan mudah dan persoalan itu dapat diselesaikan secara proporsional, jika kaum Yahudi meminta Nabi sebagai juru damai sesuai dengan perjanjian. Akan tetapi, mereka justru menolaknya dan malah menganggap peristiwa itu sebagai kesempatan untuk memberi pelajaran kepada mereka yang turut campur. Mereka meminta bala bantuan sekutu mereka dari Khazraj, Ibnu Ubay dan Ubadah ibn Shamit, sementara mereka sendiri justru menarik diri menuju benteng.”19     
    Orang-orang Yahudi tidak saja ingkar terhadap janji yang telah mereka sepakati bersama, melainkan mengingkari pula terhadap ajaran yang telah dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ. Hal tersebut terjadi karena disebabkan adanya sifat eksklusivisme dan rasa superioritas yang menonjol dalam diri mereka, khususnya karena adanya kedengkian dan iri hati (Qs. 2:109). Sebelumnya, mereka menduga bahwa nabi yang akan diutus itu berasal dari kalangan Bani Israil, tetapi ternyata nabi yang datang berasal dari golongan Arab yang menjadi seterunya mereka,20 kondisi demikianlah yang pada akhirnya menambah keingkaran mereka terhadap risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ. Karena adanya keingkaran mereka itulah, berbagai upaya telah dilakukan mereka untuk melakukan pembunuhan kepada beliau, sebagaimana misalnya yang terjadi ketika Rasulullah pergi ke Bani An-Nadhir untuk meminta ganti rugi kriminal (diyat) dua orang Bani Amir yang telah membunuh Amr bin Umayyah Adh-Dhamri. Ketika itu, orang-orang Yahudi melakukan makar untuk melakukan pembunuhan kepada Nabi Muhammad dengan cara menjatuhkan batu di atas atap rumahnya. Namun, karena makar mereka tersebut cepat diketahui oleh Nabi, akhirnya beliau pun bergegas pergi meninggalkan mereka. Atas adanya kejadian tersebut, Allah pun akhirnya menurunkan Surat Al-Maidah ayat 11.21  
    Ketika pasukan Romawi mendapatkan pelajaran besar dalam peristiwa Perang Mut’ah, mereka segera membenahi diri untuk perang selanjutnya. Adanya persiapan besar-besaran yang dilakukan oleh pasukan Romawi, sempat membuat penduduk Madinah gelisah dikarenakan mereka mengetahui jika Romawi telah mempersiapkan diri tentunya mereka telah siap untuk memerangi bangsa lain. Kondisi tersebut semakin diperparah dengan adanya sikap munafik orang-orang Yahudi yang bermain dari belakang, dari adanya sikap munafik mereka tersebut, mereka telah memberikan informasi-informasi penting tentang umat Islam dan kota Madinah kepada pasukan Romawi. Bahkan orang-orang Yahudi telah mendirikan Mesjid Dhirar, yang dibangun untuk menampung dan mengakomodasi barisan sakit hati yang tidak senang kepada Rasulullah . Untuk memuluskan dan mendapat legitimasi atas rencana mereka tersebut, orang-orang Yahudi pun meminta kepada Rasulullah untuk shalat di mesjid tersebut, agar umat Islam semakin terpecah belah.22   
    Dalam Al-Qur’an, Allah telah menyingkap tipu daya mereka yang telah berpura-pura membenarkan Al-Qur’an dan beriman kepadanya, tetapi pada saat orang lain telah menerima keimanan mereka, mereka pun mulai menampilkan hal-hal yang meragukan terkait dengan beberapa masalah keagamaan (Qs. 3:69-73). Demi menyimpan kedustaannya tersebut, mereka pun menampakkan keimanan dan selalu bersilat lidah (Qs. 3:77-78). Selain itu, Al-Qur’an pun menyingkapkan pula tipu daya kaum Yahudi yang telah berusaha memecah belah suku Khazraj dan suku Aus.23 Namun, karena pengkhianatan dan makar yang dilakukan oleh Yahudi terus berlanjut, maka pada akhirnya sejumlah kabilah Yahudi pun mendapatkan pengusiran dari Madinah. Yahudi Bani Qainuqa diusir dari Madinah dan kemudian menetap di daerah Syam. Yahudi Bani Nadhir diusir pula dari Madinah, karena telah mengingkari Perjanjian Madinah. Mereka tidak mau ikut dalam Perang Uhud, bahkan malah aktif memprovokasi penduduk Madinah agar tidak ikut Perang Uhud. Sedangkan hukuman paling keras diterima oleh Yahudi dari Bani Quraidhah, di mana kelompok Yahudi ini telah bersekutu dengan kaum Quraisy dan menikam kaum Muslimin dari belakang dalam Perang Ahzab.24
    Menurut Al-Qur’an, terdapat perbedaan mendasar antara sikap orang-orang Yahudi dengan Kristen. Dalam Surat Al-Maidah ayat 82, misalnya, Allah telah menjelaskan bahwa orang-orang Yahudi dari dahulu sudah memperlihatkan permusuhan yang keras terhadap umat Islam dibandingkan dengan kaum Nashrani yang lebih dekat hubungannya dengan umat Islam. Selain ayat tersebut, dalam Surat al-Baqarah ayat 120 pun menjelaskan pula tentang adanya sikap negatif orang Yahudi dan Kristen secara bersama-sama. Terkait tentang ayat tersebut, Ahmad ibn Faris ibn Zakariya menjelaskan bahwa kata lan digunakan untuk menafikan perbuatan pada masa yang akan datang. Sementara kata la, menurut Raghib al-Asfahani, digunakan untuk menafikan bisa pada masa lalu, sekarang, atau yang akan datang. Sekiranya tidak terdapat perbedaan sikap antar keduanya, tentunya dalam ayat 120 tidak akan menggunakan kata lan dan juga la. Dalam hal ini, Quraisy Shihab menyatakan, “Ayat di atas (Qs. 2:120), secara tegas menyatakan bahwa selama seseorang itu Yahudi (ingat bukan al-ladzina hadu atau ahl al-kitab), maka ia pasti tidak akan rela terhadap umat Islam hingga umat Islam mengikuti agama/tata cara mereka. Dalam arti, menyetujui sikap dan tindakan serta arah yang mereka tuju.” Meskipun dalam Al-Qur’an term al-yahud semuanya bernada sumbang, tapi berbeda halnya apabila menggunakan term al-ladzina hadu, di samping ada yang bernada kecaman, ada juga yang bernada positif.25     

3. Perilaku Yahudi Pasca Wafatnya Nabi Muhammad
    Adanya serangan-serangan pihak Yahudi dalam memadamkan cahaya Allah tidak saja terjadi di masa Nabi Muhammad ﷺ, melainkan terus terjadi hingga di zaman modern saat ini, yang semuanya itu, menurut penulis, diawali oleh para orientalis. Para orientalis tidak saja terdiri dari orang-orang Kristen, melainkan terdapat pula orang-orang Yahudi di dalamnya. Abraham Geiger, misalnya, ia adalah seorang rabbi, sekaligus pendiri Yahudi Liberal di Jerman. Pada saat usianya 22 tahun, Geiger mengikuti kompetisi masuk ke Universitas Bonn tahun 1832 dengan menulis sebuah essai dalam bahasa Latin. Dalam essainya tersebut, Geiger menyimpulkan bahwa kosa kata Ibrani cukup berpengaruh terhadap Al-Qur’an, seperti Tabut, Taurat, Jannatu ‘And, Jahannam, Taghut, Malakut, dan lain-lain, yang dinilainya bahwa itu semua berasal dari bahasa Ibrani. Selain itu, Geiger pun berpendapat bahwa cerita-cerita yang ada di dalam Al-Qur’an pun tidak terlepas dari pengaruh agama Yahudi.26      
    Tidak hanya Geiger, seorang Yahudi lainnya yang bernama Hartwig Hirschfeld (m.1934), telah memfokuskan dirinya pada pelacakan kosa kata asing di dalam Al-Qur’an. Ia mendapatkan gelar doktor pada usia 24 tahun, dan membuat disertasi doktoralnya yang berjudul Judische Elemente im Koran. Ein Beitrag zur Koranforschung (Elemen-elemen Yahudi dalam Al-Qur’an. Sebuah Sumbangan untuk Penelitian Al-Qur’an). Hirschfeld menegaskan bahwa pengaruh Bibel dalam Al-Qur’an begitu erat, dan mengatakan: “Kitab kuno (Bible bahasa Ibrani) itulah yang berbicara melalui mulut Muhammad.” Menurutnya, sebelum menjadi nabi, Muhammad telah menjalani kursus pelatihan Bible. Tetapi kursus tersebut tidak berjalan secara sistematis karena tidak mengikuti instruksi para guru secara teratur. Muhammad lebih banyak otodidak. Hasilnya, Al-Qur’an mengkhianati Bible.27
    Tidak cukup menyerang Al-Qur’an, orientalis pun mulai memperluas serangannya terhadap Islam di mana otentisitas hadits pun diragukan pula oleh mereka. Joseph Schacht, misalnya, ia adalah seorang orientalis Yahudi yang telah meragukan otentisitas hadits, khususnya hadits yang berhubungan dengan hukum Islam. Menurutnya, konsep dan kaidah yang berasal dari hukum Romawi, Bizantium, hukum Kanon Gereja Timur, hukum Talmud dan Rabbinik dan hukum Sassaniyah, selama masa inkubasinya telah merembes ke dalam hukum agama Islam yang baru.28 Tidak hanya Schacht yang meragukan otentisitas hadits, Ignaz Goldziher pun meyakini hal yang sama dengan ungkapan hal yang sama pula, sebagaimana pernyataannya Schacht. Adapun penuturannya Goldziher tersebut sebagai berikut: “Bukan saja hukum dan adat kebiasan, tetapi doktrin politik dan teologi pun mengambil bentuknya dalam hadits, apa saja yang dihasilkan Islam sendiri ataupun yang dipinjam dari luar diberi wadah dalam hadits. Bagian-bagian dari Perjanjian Lama dan Baru, kata-kata dari Rabbi, kutipan Injil, doktrin-doktrin Yunani, bahkan doa bapa kami pun ada. Untuk semua itu pintu dibuka oleh Islam dan tampil kembali sebagai ucapan-ucapan Nabi.”29
    Para orientalis yang terdiri dari agama Kristen dan Yahudi, begitu sangat kritis terhadap agama, di mana sikap mereka tersebut merupakan bagian dari pemberontakan mereka terhadap dominasi agama pada masa lalu di Eropa, di mana sikap kritis dan negatifnya mereka terhadap Islam, telah sejak semula diterapkan pada agama sebelumnya, yaitu Kristen dan Yahudi. Sejarah dua agama sebelumnya, telah didekonstruksi oleh mereka, sama halnya saat mereka menghadapi agama Islam.30 Sumber kepentingan orientalis terhadap Islam, menurut Anwar al-Jundi, bukanlah semata-mata karena tujuan ilmiah dan mencari kebenaran, melainkan untuk mengetahui rahasia kekuatan dunia Islam dari segi psikologis dan kemayarakatan, yang memiliki tujuan untuk meruntuhkannya demi melestarikan kekuasaan mereka agar tetap senantiasa lestari.31
    Selama ratusan tahun, orang-orang Kristen sangat represif terhadap kaum Yahudi, karena menurut Kristen, Yahudi dianggap sebagai pihak yang harus bertanggung jawab atas terbunuhnya Yesus di masa silam.32 Bahkan pada masa Abad Pertengahan, orang-orang Yahudi di Eropa mengalami banyak penderitaan, yang mengakibatkan Yahudi dimarjinalkan dalam berbagai aspek kehidupan Eropa. Mardedeq dan Roger Garaudy menyebutkan: “Orang-orang Katolik fanatik yang menguasai Kerajaan Spanyol dan Portugis telah berusaha memusnahkan penganut agama di luar agama Katolik, terutama Islam, dan akhirnya Yahudi. Pada tanggal 2 Agustus 1492, sekitar 30.000 bangsa Yahudi harus segera meninggalkan Spanyol, diikuti dengan ancaman hukuman mati yang mengerikan seperti dibakar hidup-hidup, disula, dicincang, direbus, dan sebagainya seperti yang telah mereka lakukan terhadap orang-orang Islam. Hukuman ini merupakan hukuman Gereja Katolik yan diberlakukan di Spanyol dan Portugis. Dalam lingkungan Kerajaan Spanyol sendiri terdapat beberapa orang Yahudi tersamar yang telah siap menyelamatkan bangsanya dari pengadilan darah. Diantara mereka yaitu: Louis de Santagel, seorang saudagar Valenesia; Gabriel Sanchez, bendahara Ratu Isabella; dan Yuan Cabero, pengurus istana.”33
    Dan dalam sejarah yang panjang, 633 tahun (1289-1922), Utsmani telah menjadi tempat perlindungan bagi kaum Yahudi, di mana selama ratusan tahun lamanya, Utsmani menjadi tempat pelarian Yahudi yang telah diusir dan dibantai oleh Kristen Eropa. Namun, keharmonisan itu harus berakhir setelah adanya gerakan Zionis Yahudi pada abad ke-19 M,34 yang gerakan tersebut mengakibatkan adanya imigrasi besar-besaran Yahudi yang pada akhirnya menguasai wilayah kekuasaannya Utsmani, yaitu Palestina. Dan perlu diketahui, bahwa selain karena adanya kebijakan Sultan Abdul Hamid II yang kurang efektif dan lambat dalam menangani permasalahan internal, peran serta orang-orang Yahudi dalam menjatuhkan kekhalifahan Utsmani pun memiliki pengaruh yang sangat kuat. Bahkan, pada akhirnya Sultan Abdul Hamid II pun harus tersingkirkan dengan sendirinya.35
    Dalam karyanya orang-orang Yahudi, kita bisa menemukan nada-nada sumbang terhadap Islam, khususnya ketika mereka sedang membahas tentang Nabi Muhammad . Max Isaac Dimont, misalnya, ia menyatakan bahwa di saat Malaikat Jibril menemui Nabi Muhammad, ia menunjukkan sebuah selembaran untuk dibaca oleh beliau. Namun, karena beliau tidak bisa membaca, akhirnya Malaikat Jibril pun membantu membacakannya untuk beliau. Selain itu, Isaac pun telah menggunakan pula istilah Muhammadisme dan Muhammadan, yang ditujukan bagi siapa pun yang telah menerima Muhammad sebagai nabinya, ketimbang menggunakan istilah kaum Muslimin.36 Penggunaan istilah tersebut, mengindikasikan adanya ketidaksenangan dirinya terhadap Nabi Muhammad dan juga Islam. Dan jika seandainya sikapnya tersebut tidak berangkat dari adanya kesentimenan dirinya terhadap Nabi Muhammad dan Islam, tentunya ia pun akan menggunakan pula istilah Yesusisme, di mana istilah tersebut ditujukan bagi orang-orang Kristen. Penggunaan istilah yang tidak semestinya tersebut, sebenarnya telah ada orang-orang sebelumnya yang telah menggunakan istilah lain seperti halnya yang telah digunakan oleh Isaac. Misalnya, dalam karya Barthelemy d’Herbelot, Bibliotheque Orientals, selain telah terang-terangan menghina Nabi Muhammad , ia pun telah menggunakan pula istilah Mohammedan. Di mana penggunaan istilah tersebut merupakan penamaan yang dianggap relevan oleh orang Eropa terhadap Islam, sekaligus sebagai bentuk penghinaan. Kata Islam yang pada hakikatnya merupakan nama yang sudah benar, diturunkan derajatnya dengan menggunakan istilah Mohammedan.37

Kesimpulan
    Sejak dulu hingga kini, sikap ingkarnya Yahudi, baik kepada Tuhannya maupun kepada sesama, telah menjadi ciri khasnya orang-orang Yahudi. Sikap ingkarnya mereka tersebut, tak tanggung-tanggung telah ditunjukkan dengan berbagai cara, meski harus menjadi seorang pembunuh sekalipun. Pengklaiman orang-orang Yahudi bahwa mereka adalah bangsa pilihan Tuhan, telah membuat mereka lupa diri dan ingkar terhadap ayat-ayat Allah serta ingkar kepada apa yang telah didakwahkan oleh Nabi Muhammad . Atas adanya sikap mereka tersebut, justu Al-Qur’an telah menyindir mereka dengan mengibaratkan mereka layaknya keledai yang membawa kitab-kitab (Qs. 62:5), dan bahkan Allah telah menantang mereka agar mereka mengharapkan kematian, jika memang mereka adalah benar-benar kekasih Allah (Qs. 62:6), sebagaimana pengklaiman mereka selama ini. Oleh karena itu, sikap orang-orang Yahudi perlu mendapatkan perhatian lebih dari kita, dikarenakan adanya permusuhan mereka terhadap kaum Muslimin begitu sengit, sebagaimana yang telah Allah informasikan di dalam Al-Qur’an (Qs. 2:120).  

Catatan Kaki:
1. Max Isaac Dimont, Yahudi, Tuhan, Dan Sejarah, terj. Joko S. Kahar, (Yogyakarta: Ircisod, 2018), hlm 13.
2. M. Ali Imran, Sejarah Terlengkap Agama-Agama Di Dunia, (Yogyakarta: Ircisod, 2015), hlm 364.
3. TH.C. Vriezen, Agama Israel Kuno, terj. I.J. Cairns, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), hlm 75.
4. Morton Smith, Demi Tuhan: Berbagai Aliran Dan Kelompok Politik Di Palestina Kuno Yang Memengaruhi Pembentukan Perjanjian Lama, terj. Liem Sien Kie, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), hlm 24.
5. Ibid., hlm 75-76.
6. M. Ali Imran, op.cit., hlm 365-366.
7. Morton Smith, op.cit., hlm 17.
8. S. Tano Simamora, Bibel: Warisan Iman, Sejarah dan Budaya, (Jakarta: Obor, 2014), hlm 35.
9. Ahmad Syalaby, Perbandingan Agama: Agama Yahudi, terj. A. Wijaya, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hlm 218.
10. Kelly James Clark (ed.), Anak-Anak Abraham: Kebebasan Dan Toleransi Di Abad Konflik Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 2018), hlm 58.
11. Morton Smith, op.cit., hlm 1-2.
12. Kelly James Clark (ed.), op.cit., hlm 61.
13. Max Isaac Dimont, op.cit., hlm 212.
14. Ahmad Syalaby, op.cit., hlm 278.
15. Muhammad Galib M, Ahl Al-Kitab, (Yogyakarta: Ircisod, 2016), hlm 148-149.
16. Ahmad Syalaby, op.cit., hlm 194.
17. Aksin Wijaya, Sejarah Kenabian Dalam Perspektif Tafsir Nuzuli Muhammad Izzat Darwazah, (Bandung: Mizan Pustaka, 2016), hlm 425-426.
18. Joseph Schacht, Pengantar Hukum Islam, terj. Joko Supomo, (Bandung: Nuansa, 2010), hlm 37.
19. Martin Lings, Muhammad: Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik, terj. Qamaruddin SF, (Jakarta: Serambi, 2012), hlm 250.
20. Muhammad Galib, op.cit., hlm 183-184.
21. Ibnu Ishaq, Sirah Nabawiyah: Sejarah Lengkap Kehidupan Rasulullah , terj. Samson Rahman, (Jakarta: Akbarmedia, 2018), hlm 346.
22. Herry Nurdi, Belajar Islam Dari Yahudi, (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2006), hlm 59.  
23. Aksin Wijaya, op.cit., hlm 439.
24. Adian Husaini, Tinjauan Historis Konflik Yahudi-Kristen-Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), hlm 71.
25. Muhammad Galib, op.cit., hlm 186-190.
26. Adnin Armas, Metodologi Bibel Dalam Studi Al-Quran: Kajian Kritis, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), hlm 131-132.
27. Ibid., hlm 137-138.
28. Joseph Schacht, op.cit., hlm 51.
29. Wahyudin Darmalaksana, Hadits di Mata Orientalis: Telaah atas Pandangan Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht, (Bandung: Benang Merah Press, 2004), hlm 95-96.
30. Al-Makin, Antara Barat dan Timur: Hegemoni, Relasi, Dominasi, dan Globalisasi, (Yogyakarta: Suka Press, 2017), hlm 58-59.
31. Anwar al-Jundi, Pembaratan Di Dunia Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991), hlm 20.  
32. Adnin Armas (peny.), Pluralisme Agama: Telaah Kritis Cendekiawan Muslim, (Jakarta: Insists, 2013), hlm 89.
33. Nanat Fatah Natsir dan Mulyana, Yahudi Versus Islam: Konflik Agama Dan Politik, (Bandung: Sega Arsy, 2010), hlm 99-100.
34. Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen Ke Dominasi Sekuler-Liberal, (Jakarta: Gema Insani, 2005), hlm 67.
35. Ibid., hlm 67-70.
36. Max Isaac Dimont, op.cit., hlm 247.
37. Edward W. Said, Orientalisme: Menggugat Hegemoni Barat dan Mendudukkan Timur Sebagai Subjek, terj. Achmad Fawaid, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm 98.   

Comments