Menggugat Doktrin Alkitab

Oleh: Sang Misionaris

Pendahuluan
    Doktrin Alkitab merupakan salah satu doktrin yang terpenting dalam keyakinan Kristen, dianggap penting karena tulisan di dalam Alkitab diyakini memiliki otoritas dalam membangun iman mereka, selain adanya tradisi dan magisterium, sebagaimana halnya yang diyakini oleh Katolik. Ketika otoritas Alkitab telah menjadi bagian dalam keyakinan Kristen, tentu saja ineransi Alkitab dan infalibilitas Alkitab pun menjadi bagian dalam keyakinan Kristen bahwa Alkitab adalah Firman Allah yang para penulisnya diyakini pula telah mendapatkan ilham dari Tuhan, meski di sisi lain, Alkitab adalah produk dari suatu kebudayaan. Dan, dari adanya permasalahan-permasalahan dalam Alkitab, dan juga adanya berbagai kontradiksi dalam Alkitab, tentu saja hal demikian bukanlah sebuah permasalahan yang bisa dianggap ringan oleh Kristen, terlebih sejak masa awal penyalinan Alkitab, Kristen tidak memiliki teks yang menjadi rujukan dasar penyalinan Alkitab, selain hanya mendapatkan salinan dari salinannya saja.   
Ineransi Dan Infalibilitas Alkitab
    Para sarjana Kristen sering kali membumbui tulisan-tulisannya dengan menggunakan terminologi ‘inspirasi’, misalnya, P.W. Comfort menyatakan, “Individu-individu tertentu… diberi inspirasi oleh Tuhan untuk menulis penjelasan-penjelasan Injil untuk membakukan tradisi oral.”1 Adanya keyakinan Kristen tersebut mengimplikasikan adanya sebuah keyakinan bahwa Alkitab memiliki otoritas yang layak dianggap sebagai Firman Tuhan, meskipun di sisi lain, keyakinan tersebut menjadi bias ketika didapati berbagai permasalahan yang mengintari Alkitab, semisal kontradiksi, ayat-ayat yang tidak logis, dan lain-laim. Istilah inspirasi, menurut Kristen, secara eksplisit ada dalam Alkitab yang salah satunya terdapat pada tulisannya Paulus dalam 2 Timotius 3:16, yaitu: “Segala tulisan yang diilhamkan Allah bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan, dan untuk mendidik orang dalam kebenaran.” Dalam ayat tersebut, istilah diilhamkan dianggap memiliki makna bahwa tulisan dalam Alkitab bernapaskan Allah atau diberi napas oleh Allah, yang keyakinan tersebut didasari dari adanya keyakinan jemaat yang percaya bahwa Alkitab terus mengkomunikasikan sabda Allah hingga saat ini, yang secara tradisional diberi artian secara pasif, yakni Alkitab diberi napas oleh Allah.2
    Namun, Karl Keating menolak adanya anggapan tersebut, karena menurutnya, “Tidak banyak ditemukan teks-teks yang secara tegas menunjukkan hal itu, dan sebagian besar kitab dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru sama sekali tidak menyatakan hal itu. Sebenarnya, tidak ada penulis Perjanjian Baru yang menyadari bahwa ia menulis atas dorongan Roh Kudus, kecuali penulis Kitab Wahyu. Lagi pula, sekalipun setiap kitab dalam Kitab Suci diawali dengan pernyataan ‘kitab ini diilhami’, pernyataan seperti itu tidak membuktikan apapun. Kitab-kitab suci lain pun mengatakan diilhami. Bahkan, tulisan-tulisan Mary Baker Eddy, pendiri Christian Science, dianggap diilhami.”3
    Selain menggunakan 2 Timotius 3:16, dalam membuktikan bahwa Alkitab itu adalah tulisan yang diilhamkan oleh Allah, ada pula pandangan Kristen lainnya yang lebih ekstrem, sebagaimana halnya yang diungkapkan oleh Kalis Stevanus. Di samping mengutip Mazmur 12:7, 33:4a, 110:105, dan Yosua 23:14 dalam menunjukkan bahwa Alkitab adalah Firman Allah, Kalis Stevanus pun memberikan pula pandangannya, bahwa “Allah mengatakannya—itu sudah cukup! Apabila yang Maha Kuasa membuka mulut-Nya yang kudus, tidak ada ruang untuk berdebat dengan Dia. Kalau Alkitab adalah firman Allah yang diinspirasikan, ia tidak bisa tunduk pada pengadilan yang lebih tinggi di luar dirinya. Kalau Alkitab diinspirasikan Allah berarti ada otoritas secara intrinsik dalam dirinya. Alkitab tidak bisa diuji oleh apa pun karena tidak ada otoritas yang lebih tinggi dari Allah.”4 Pandangan Kalis Stevanus tersebut, tentu saja bisa dinilai sebagai sebuah upaya dalam membungkam suara-suara kritis yang dilontarkan oleh siapa pun, yang sejak awal memang berniat untuk melakukan verifikasi terhadap Alkitab, dan pernyataannya tersebut sekaligus menolak adanya berbagai teori dari sarjana Kristen sendiri dalam menguji keotentikan dan validitas Alkitab.
    Selain adanya keyakinan bahwa Alkitab merupakan tulisan yang memiliki suasana dari kebudayaan di masa lalu, Kristen pun meyakini pula bahwa apa yang terdapat di dalamnya itu bersifat ilahi yang para penulisnya telah mendapatkan ilham dari Allah. Dan Alkitab dianggap sebagai kitab yang unik oleh Kristen karena memiliki keunikkan dalam kontiunitas, yang ditulis dalam jangka waktu 1.500 tahun dan ditulis oleh lebih dari 40 generasi dengan latar belakang budaya, bangsa, dan bahasa yang berbeda.5 Dari adanya pandangan tersebut, tentu saja pernyataan Erwin W. Lutzer setidaknya bisa dianggap mewakili keyakinan Kristen selama ini, karena menurutnya, Alkitab adalah kitab yang amat manusiawi yang memantulkan gaya para penulisnya dan suasana kebudayaan pada zaman itu. Ia menambahkan, bahwa kitab itu pun bersifat ilahi, yang diilhami oleh Allah, dan oleh sebab itu naskah-naskah aslinya bebas dari kesalahan.6 Jika isi Alkitab diyakini secara dogmatis oleh Kristiani, dan menolak adanya berbagai upaya dalam melakukan pengklarifikasian dan juga verifikasi atas apa yang terdapat di dalamnya, sebagaimana gagasannya Stevanus, maka tidak mengherankan jika Alkitab pada akhirnya mengalami berbagai benturan dengan disiplin ilmu modern saat ini. Dan, ketika Alkitab diyakini secara dogmatis, maka sama saja Kristen sedang hidup dalam masa jahiliyah, meski pada kenyataannya hidup di dunia modern.
    Terjadinya benturan antara Alkitab dan sains, misalnya, telah mengakibatkan Kristen yang memiliki pandangan yang berbeda dengan gereja akan mendapatkan ekskomunikasi, sebagaimana halnya yang terjadi pada Galileo. Dia dianggap subversif oleh gereja, karena kala itu gagasan heliosentrisnya dianggap telah bertentangan dengan teori geosentrisnya Ptolemeus yang kala itu telah mendapatkan dukungan penuh dari gereja, dan adanya sikap arogansi gereja terhadap Galileo terjadi karena ilmu pengetahuan kala itu masih didominasi oleh sekolah-sekolah biara, gereja dinilai sebagai masyarakat yang sempurna dan gereja belum mengenal adanya ilmu tafsir lain seperti halnya kritik-historis.7
    Meski peristiwa Galileo adalah fakta sejarah, namun hingga saat ini, Kristen masih meyakini adanya doktrin Alkitab seperti halnya ineransi dan infalibilitas Alkitab, sebagai bagian yang menunjang lahirnya otoritas Alkitab, meski dengan adanya keyakinan tersebut, Kristen seolah-olah telah melupakan apa yang telah menimpa Galileo kala itu. Lalu, apa yang dimaksud dengan ineransi dan infalibilitas Alkitab? Infallible adalah bahwa Alkitab memiliki otoritas yang absolut dan tidak bercacat, tidak akan gagal dalam setiap penghakiman dan pernyataannya, dan setiap pengajarannya tidak dapat digugat bersalah, tidak menyesatkan dan tidak dapat dikontradiksikan serta disangkal kebenarannya. Sedangkan kata inerrant berasal dari kata kerja dari bahasa Latin, yakni errare, mengimplikasikan adanya sesuatu yang menjauhi kebenaran, sehingga inerrant menyatakan kualitas yang bebas dari kesalahan. Jadi, doktrin ineransi Alkitab berarti Alkitab adalah firman yang diwahyukan oleh Allah sendiri dan diilhamkan Roh Kudus kepada para penulisnya sehingga naskah aslinya memiliki kualitas yang bebas dari kesalahan, bukan hanya dalam hal yang berkaitan dengan moral dan kerohanian tetapi juga termasuk hal yang berkaitan dengan sejarah, geografi, dan ilmu pengetahuan.8  
    Sedangkan menurut Jerry Rumahlatu, inspirasi adalah pengaruh atau tuntunan supranatural dari Roh Kudus Allah dalam diri para penulis Alkitab yang memimpin mereka menjadi instrumen Allah bagi komunikasi infalibel yang menghasilkan tulisan-tulisan berotoritas dan progresif dari penyataan dan kehendak-Nya. Adapun kepercayaan terhadap Alkitab yang ineran merupakan sebuah kepercayaan atas apa yang tertulis dalam Alkitab adalah karya inspirasi Allah sehingga Alkitab dapat diandalkan dan ineran adanya.9 Dari adanya penjelasan Jerry dan juga yang lainnya, maka bisa kita simpulkan bahwa tulisan-tulisan yang ada di dalam Alkitab tidak mungkin akan ditemukan kesalahan sedikit pun dikarenakan para penulisnya telah mendapatkan ilham dari Roh Kudus. Namun, masihkah doktrin Alkitab diyakini sebagai tulisan-tulisan yang tidak pernah salah, jika di kemudian hari, ternyata di dalam Alkitab ditemukan berbagai permasalahan, seperti halnya kontradiksi, ayat-ayat yang tidak logis, dan lain-lain? Lalu, contoh-contoh seperti apa yang dimaksud? Mari, kita telusuri secara seksama.

Permasalahan Dan Kontradiksi Dalam Perjanjian Lama  
    Dalam Perjanjian Lama Yunani terdapat sebuah tradisi yang diyakini bahwa para penulisnya itu berjumlah tujuh puluh atau tujuh puluh dua orang, yang dari jumlah tersebut, diyakini bahwa mereka telah menulis ditempat yang berbeda dengan menghasilkan terjemahan yang sama. Namun saat ini, keyakinan tersebut telah dianggap sebagai sebuah legenda,10 meski pernah sempat terkenal pada abad ke-2 M, dan menurut Tano Simamora, dalam karyanya, ia telah memberikan keterangan terkait tentang hal itu dalam bentuk catatan kaki bahwa kisah tersebut merupakan kisah fiktif yang diambil dari surat Aristeas kepada Philorates. Dan orang Kristen mula-mula dari abad ke-1 M menggunakan nama Septuaginta (LXX) sebagai judul global bagi terjemahan ini.11
    Pada awalnya, Kristen hanya mengenal Codex Leningradensis sebagai teks standar yang menjadi dasar terjemahan-terjemahan Alkitab modern, dan teks ini merupakan salinan teks Masoret yang berbahasa Ibrani yang dijadikan sebagai patokan dalam penerjemahan. Namun, setelah ditemukannya sebuah naskah pada tahun 1047 dalam 11 gua Wadi Qumran, ternyata naskah itu merupakan kumpulan dari kitab Perjanjian Lama, salah satunya adalah kitab naskah Yesaya. Setelah dilakukan perbandingan dengan teks sebelumnya, yakni Masoret, ternyata terdapat perbedaan dengan teks Qumran, dan terdapat pula teks yang tidak tercantum pada teks Masoret, namun ditemukan dalam teks Qumran.12
    Terkait tentang teks Septuaginta ternyata memiliki perbedaan dengan teks Ibrani, yang dikenal dengan nama Teks Masoret. Misalnya, dalam Keluaran 4:24 dalam teks Masoret tertulis: Tuhan bertemu dengan dia (Musa), tetapi dalam teks Septuaginta ditulis: Malaikat Tuhan bertemu dengan dia (Musa). Adapun contoh lainnya adalah Ayub 42:17. Dalam teks Masoret tertulis: Maka matilah Ayub, tua dan lanjut umur. Sedangkan dalam teks Yunani (Septuaginta) ditulis: Matilah Ayub dengan umur tua dan memenuhi hari-hari [1] dan telah dituliskan bahwa dia akan dibangkitkan kembali dengan mereka yang dibangkitkan oleh Tuhan. Dari dua contoh tersebut, kita bisa melihat adanya perbedaan yang sangat signifikan dalam teks Septuaginta, yang di dalamnya terdapat tambahan kata dan kalimat yang tidak kita temukan sama sekali dalam teks Masoret.13 Selain adanya perbedaan teks antara Masoret dan Septuaginta, terdapat pula perbedaan teks dari versi terjemahan yang sama antara satu kitab dengan kitab yang lainnya, misalnya Yosua 7:1. Dalam versi Septuaginta dan Pesshitta Siria, nama Akhan dicatat sebagai Ahar (bandingkan 1 Tawarikh 2:7), sedangkan nama kakeknya, Zabdim dalam Septuaginta adalah Zimri (bandingkan 1 Tawarikh 2:6). Jadi mana yang lebih tepat, apakah Akhan cucunya Zabdi, ataukah ia adalah cucunya Zimri?14
    Selain contoh-contoh di atas yang membuktikan adanya permasalahan dalam teks Alkitab, ada pula contoh lain semisal kontradiksi dalam Perjanjian Lama. Salah satu tentang kontradiksi dalam Perjanjian Lama adalah adanya perbedaan rute terkait adanya peristiwa keluarnya orang-orang Israel dari Mesir (Keluaran: 13:17-22). Menurut para ahli, terdapat dua rute yang telah dilalui oleh orang-orang Israel ketika mereka hendak keluar dari Mesir, yaitu jalur Utara dan Selatan. Menurut rute Utara, ketika orang Israel keluar dari Mesir, mereka pergi langsung ke Timur, artinya mereka melewati bagian Utara di Semenanjung Sinai menuju Kadesh Barnea. Namun, tradisi E dalam ayat 17, mencatat bahwa orang Israel tidak melewati daerah orang Filistin, yaitu jalan sepanjang Laut Tengah yang berkaitan dengan rute Utara. Rute kedua, yakni jalur Selatan. Menurut jalur ini, orang-orang Israel yang meninggalkan Mesir menuju ke Selatan atau Tenggara ke arah bagian Selatan Semenanjung Sinai. Di sana, orang-orang Israel mengadakan perjanjian di Gunung Sinai, dan ini adalah jalan padang gurun yang disebutkan oleh tradisi E dalam ayat 18. Dari adanya perbedaaan jalur tersebut apakah orang-orang Israel yang keluar dari Mesir dipecah menjadi 2 jalur, tidak ada bukti otentik yang bisa diandalkan dalam membuktikan hal itu, yang tentu saja dari adanya perbedaan jalur yang ada dalam ayat-ayat tersebut mengimplikasikan adanya dua tradisi yang mencatat dua pengalaman keluaran yang berbeda.15
    Selain itu, ada pula dalam Perjanjian Lama yang mengisahkan suatu peristiwa yang tidak logis. Misalnya, cerita pada Keluaran 27:1-8, dalam ayat itu dijelaskan tentang cara-cara membuat mezbah kurban bakaran, yang bahan bakunya menggunakan kayu dan juga tembaga. Mezbah tersebut dibuat menyerupai kotak kayu yang pada bagian dasar diberi lubang, yang ukuran panjangnya 7,5 kaki, lebar 7,5 kaki, dan tinggi 4,5 kaki, dilapisi dengan tembaga.16 Kini timbul pertanyaan, bagaimana mungkin tempat pembakaran tersebut bisa digunakan dengan baik dan kokoh, ketika bahan baku dari tempat pembakaran tersebut berbahankan kayu yang dilapisi oleh tembaga. Jika ayat-ayat tersebut memang merupakan sebuah fakta sejarah, tentunya kisah tersebut tidaklah logis, kecuali jika kisah tersebut dinilai sebagai kisah yang fiktif, karena bagaimana mungkin tempat yang berbahankan kayu bisa tahan dari api, ketika kayu pun memiliki sifat yang mudah terbakar ketika mendapatkan panas atau terkena api, apalagi saat kayu tersebut dilapisi oleh tembaga yang sifatnya sebagai penghantar panas.
    Tidak hanya dengan permasalahan di atas untuk kita bahas, ada pula permasalahan lainnya yaitu adanya perbedaan nama antara satu kitab dengan kitab lainnya. Misalnya, dalam 1 Tawarikh 2:6 di catat nama-nama anak Zerah yaitu Zimri, Etan, Heman, Kalkol dan Dara. Namun dalam 1 Raja-raja 4:31, anak-anak Zerah itu adalah Etan, Herman, Khalko, dan Darda. Dari adanya perbedaan nama anak Zerah tersebut, kenapa nama Zimri tidak disebutkan dalam 1 Raja-raja 4:31? Selain adanya permasalahan nama Zimri yang tidak disebutkan dalam 1 Raja-raja 4:31, ada pula permasalahan lain terkait rentang waktu yang berbeda antara Zerah dengan nama anak-anaknya tersebut. Dan jika memang Etan, Heman, Kalkol dan Dara adalah anaknya Zerah, padahal Zerah tercatat dalam daftar nama 70 anggota keluarga Yakub yang pindah ke Mesir, tentunya antara Zerah dengan ke-4 orang memiliki rentang waktu lebih dari 900 tahun.17 Jika keadaannya demikian, tentunya terdapat beberapa generasi dari keturunan Zerah yang dihilangkan, baik yang dilakukan oleh penulis Raja-raja ataupun yang dilakukan oleh penulis Tawarikh, kecuali jika nama-nama tersebut adalah sebuah nama yang fiktif dalam sejarah, maka selesai sudah pembahasan kita terkait adanya keganjilan dari anak-anak Zerah tersebut.

Permasalahan Dan Kontradiksi Dalam Perjanjian Baru
    Jika dalam Perjanjian Lama ditemukannya perbedaan teks antara satu salinan dengan yang lainnya, termasuk pula adanya kontradiksi dan kisah yang tidak masuk di akal, lalu bagaimana dengan nasib Perjanjian Baru? Pada artikel sebelumnya, penulis telah membahas ayat-ayat terakhir dalam Injil Markus, yang ternyata di dapatkan adanya sisipan-sisipan dalam Injil tersebut, dan hal tersebut terbukti ketika kita membandingkan antara satu naskah dengan naskah lainnya. Namun, hal itu mungkin tidaklah dirasa cukup oleh Kristen, dalam membuktikan bahwa Alkitab bukanlah tulisan yang diilhamkan oleh Tuhan, yang tentu saja masih diperlukannya berbagai bukti lain dalam menggugat otoritas Alkitab.
    Sebelumnya, perlu untuk dipahami bahwa naskah Perjanjian Baru yang tertua hanyalah berupa secarik kertas yang berisi Yohanes 18:31-38 (P52), yang salinan tersebut diklaim telah diproduksi sekitar tahun 130 M. Dan, ada juga salinan yang lebih panjang yang diklaim sebagai salinan yang telah diproduksi sekitar abad ke-2 sampai 3 M, semisal P46, P66, dan P75,18 yang salinan tersebut termasuk sebagai Proto-Aleksandria, yang masuk ke dalam tipe salinan Aleksandria.19 Selain itu, dibandingkan dengan salinan yang lain ada pula salinan yang cukup lengkap, meskipun tidak semua ayatnya sama seperti halnya sekarang ini, misalnya Codex Sinaiticus. Dari banyaknya salinan yang memiliki perbedaan tahun produksiannya, di samping berbeda pula dalam segi  kuantitatifnya, tentu saja keadaan tersebut membuat kita untuk menarik kesimpulan bahwa salinan yang disalin secara terus-menerus tanpa adanya teks utama yang dijadikan sebagai acuan dasarnya, ditambah tidak adanya metode yang baku dalam melakukan klarifikasi dan verifikasi dari suatu ayat yang didapatkannya, maka sudah barang tentu tidak akan menghasilkan jaminan bahwa salinan di kemudian hari akan menghasilkan salinan yang sama dengan salinan yang lebih tua. Artinya, bahwa berbagai salinan yang memiliki rentang waktu yang berbeda akan menghasilkan permasalahan dalam teks, semisal adanya penambahan, pengurangan, atau pun perubahan.
    Dari adanya kondisi di atas, maka analisis Frederic Kenyon, dalam karyanya yang berjudul Our Bible and the Ancient Manuscript, bisa dikatakan sebagai komentar yang tepat ketika ia menyatakan, bahwa “Di samping ketimpangan-ketimpangan yang lebih besar,,, jarang sekali terdapat satu ayat yang tidak berbeda dalam ungkapannya. Tidak seorang pun yang bisa mengatakan bahwa tambahan dan pengurangan atau perubahan tersebut bukan sebagai masalah yang penting.” Perbedaan ini hanyalah dalam manuskrip yang masih ada, dan tidak ada seorang pun yang bisa membayangkan apa yang telah terjadi dalam manuskrip yang telah beredar di gereja selama abad kedua dan ketiga. Joseph Wood dalam bukunya, The Bible: What it is and is not, telah mengutip pernyataan Origen yang telah membuktikan kepada kita bahwa persoalan tersebut memang merupakan persoalan yang paling mendasar, yang dampaknya bisa dirasakan hingga saat ini, menurutnya, “Sebagai masalah yang mendasar, itu jelas bahwa perbedaan antara salinan yang dipakai, sebagian berasal dari kecerobohan para penulis sendiri, sebagian dari kenekatan seseorang untuk mengoreksi apa yang dituliskannya itu, dan sebagian lagi berasal dari orang-orang yang menambah dan mengurangi apa yang dilihatnya baik bagi mereka dalam proses pengoreksian.”20  
    Pandangan Origen di atas, setidaknya mewakili tentang adanya suatu keadaan dimana telah terjadinya carut-marut penyalinan di masa itu, yang disebabkan tidak adanya teks asli yang menjadi acuan dalam penyalinan, dan tidak ada pula metode baku yang digunakan dalam melakukan verifikasi atas informasi yang didapatkannya kala itu. Dan kondisi demikian, ternyata jauh berbeda dengan metode yang telah digunakan oleh para sahabat Nabi Muhammad saw dalam melakukan penyusunan (kodifikasi) Al-Qur'an. Ketika terjadi perbedaan metode yang digunakan, maka sudah barang tentu hasil yang akan didapatkannya pun berbeda pula. Lalu, bukti nyata seperti apa yang mampu membuktikan bahwa Perjanjian Baru mengalami kondisi yang tidak jauh berbeda dengan apa yang dialami oleh Perjanjian Lama?
    Saat kita membuka Perjanjian Baru, maka kita akan dihadapkan terlebih dahulu dengan tulisan-tulisan yang berisi tentang silsilah Yesus yang terdapat pada Injil Matius. Meski Injil Matius ditempatkan yang paling awal dalam Perjanjian Baru, namun para sarjana Kristen tidak semuanya sepakat bahwa Injil Matius adalah Injil yang pertama, karena ada sebagian dari mereka yang meyakini bahwa Injil Markus adalah Injil yang pertama. Berkaitan tentang silsilah Yesus yang terdapat dalam Injil Matius, dan melakukan perbandingan dengan apa yang tertulis dalam Perjanjian Lama, maka akan kita dapati bahwa silsilah Yesus yang terdapat dalam Injil Matius, terdapat beberapa generasi yang telah dihilangkan. Misalnya, dalam Matius 1:8, antara Yoram dam Uzia terdapat nama-nama raja yang dihilangkan dari silsilah Yesus, yaitu Ahazia (1 Tawarikh 3:11), Atalya (2 Raja-raja 11:1-3, 2 Tawarikh 22:12), Yoas (1 Tawarikh 3:11), dan Amazia (1 Tawarikh 3:12). Dan begitu pula dengan silsilah yang terjadi antara Yosia dan Yekhonya (Matius 1:11) terdapat generasi yang dihilangkan, yakni Yoahas (2 Raja-raja 23:31, 2 Tawarikh 36:1-2) dan Yoas (2 Raja-raja 23:36, 1 Tawarikh 3:15, 2 Tawarikh 36:4). Dan yang terakhir, generasi yang dihilangkan dari silsilah Yesus antara Yekhonya dan Sealtiel (Matius 1:12) adalah Zedekia (2 Raja-raja 24:18, 1 Tawarikh 3:16).21
    Selain adanya penghilangan nama-nama generasi dalam silsilah Yesus, terdapat pula penambahan dalam Perjanjian Baru, yakni dalam Injil Yohanes 7:39b pada frasa “…. Sebab Roh itu belum datang, karena Yesus belum dimuliakan.” Kata “Roh itu” dalam Injil Yohanes 7:39b disalin secara berbeda yang sedikitnya oleh 5 kelompok salinan kuno, yaitu:22
1. Roh: P66c, P75, ҅  , K, T, Θ, Π, Ψ, 1079, 1546, Copbo,Arm.
2. Roh Kudus: P66*, L, W, X, Γ, Δ, Λ28, 33, 565, 700.
3. Roh Kudus atas mereka: D, ƒ, Goth.
4. Roh telah diberikan: a, b, c, e, ƒƒ2, g, l, Vulg, Syr s, c, p, Euesebius.
5. Roh Kudus telah diberikan: B, 053, 1230, e, q, Syr sah, h.
Dari adanya perbedaan dalam 5 kelompok salinan di atas, tentu saja Yohanes 7:39b yang ditulis saat ini pun berdasarkan penyesuaian kalimat, dan terjadinya penyesuaian dalam penyalinan, disebabkan karena tidak adanya naskah asli yang seharusnya menjadi patokan Kristen dalam melakukan penyalinan Alkitab.
    Selain adanya permasalah di atas, terdapat pula berbagai permasalahan lainnya yang terdapat dalam Injil, khususnya tentang perubahan-perubahan yang terdapat dalam teks, yang mengakibatkan terjadinya keragaman terhadap bagian-bagian yang sensitif. Dengan menjadikan karya P.W. Comfort yang judul Early Manuscript and Modern Translation of the New Testament sebagai rujukan, al-A’zami telah mengutip contoh-contoh perubahan yang terjadi pada Injil, diantaranya:23
1. Yohanes 1:18. Baris an only One, God (satu-satunya Tuhan) mempunyai sebuah varian, the only begotten Son (Anak tunggal).
2. Yohanes 9:35. Sebutan Anak Tuhan mempunyai varian dari bukti dokumenter besar, Anak manusia (suatu istilah pengganti Yesus).
3. Lukas 24:6 dan 24:12. Frasa: Ia tidak ada di sini, ia sudah bangkit dan seluruh ayat 12 (di mana Petrus menemukan kain kafan Yesus tanpa bodi) tidak terdapat dalam beberapa manuskrip yang lebih tua.
4. Lukas 24:51 dan 24:52. Frasa: Dan (Yesus) diangkat ke surga dan mereka menyembahnya, tidak terdapat dalam manuskrip-manuskrip awal.

Kesimpulan
    Ketika membahas tentang permasalahan dan kontradiksi dalam Perjanjian Lama dan juga Perjanjian Baru seperti halnya di atas, memang tidaklah cukup untuk dibahas seluruhnya dalam artikel ini. Meskipun demikian, dari adanya beberapa contoh yang telah dipaparkan di atas, setidaknya telah membuktikan tentang adanya kelemahan dalam doktrin Alkitab yang selama ini diyakini oleh Kristen, dan jika keadaannya seperti itu, lalu validitas informasi seperti apa yang mampu diberikan oleh Kristen bahwa ineransi Alkitab dan infalibilitas Alkitab telah memiliki kemapanan sejak awal Kekristenan. Dan, ketika dalam proses penyalinan Alkitab terjadi perbedaan dan kesalahan dalam penyalinannya, apakah hal tersebut sebagai bagian dari kehendak Tuhan dan masihkah para penyalinnya itu dinilai sebagai orang yang telah diilhami oleh Tuhan. Ketika doktrin Alkitab yang selama ini diyakini oleh keyakinan Kristen ternyata telah mengalami kelemahan, maka tidak mengherankan jika dengan mudahnya kita akan mendapatkan permasalahan tentang doktrin-doktrin Kristen lainnya yang telah bertolakbelakang dengan ayat-ayat lainnya yang terdapat di dalam Alkitab.       

Catatan Kaki:
1. M.M. Al-A’Zami, Sejarah Teks Al-Qur’an Dari Wahyu Sampai Kompilasi, terj. Sohirin dkk, (Jakarta: Gema Insani Press, 2014), hal. 278.
2. Dianne Bergant dan Robert J. Karris (ed.), Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, (Yogyakarta: Kanisius, 2010), hal. 12.
3. Karl Keating, Katolik dan Fundamentalis: Menjawab 13 Serangan Pokok Terhadap Gereja Katolik, (Jakarta: Fidei Press, 2010), hal. 3.
4. Kalis Stevanus, Apologetika: Benarkah Yesus Itu Tuhan, (Yogyakarta: Andi, 2016), hal. 109.
5. Majalah Sahabat Gembala, dalam rubrik Apologetika dengan topik: Keunikan Alkitab Bag. 1., edisi November/Desember 1999, hal. 37.
6. Erwin W. Lutzer, Teologi Kontemporer: Berbeda Namun Satu Tubuh, (Malang: Gandum Mas, 2005), hal. 123.
7. G. Tulus Sudarto, Pemikir-Pemikir Bandel: Daftar Hitam Gereja Katolik, (Jakarta: Fidei Press, 2009), hal. 2-3.
8. www.buletinpillar.org/artikel/apakah-alkitab-tidak-bisa-salah di akses pada tanggal 10 Januari 2019.
9. Jerry Rumahlatu, Hermeneutika Sepanjang Masa, (Tanpa Kota: CV. Cipta Varia Sarana, 2011), hal. 84-86.  
10. Dianne Bergant dan Robert J. Karris (ed.), op.cit., hal. 17.
11. S. Tano Simamora, Bibel: Warisan Iman, Sejarah dan Budaya, (Jakarta: Obor, 2014), hal. 18.
12. Majalah Sahabat Gembala, dalam rubrik Instropeksi dengan topik: Mengapa Terjemahan Alkitab Berbeda, edisi Januari 2010, hal. 35-36.
13. S. Tano Simamora, op.cit., hal. 19 dan 21.
14. Hasan Susanto, Hermeneutik: Prinsip dan Metode Penafsiran Alkitab, (Malang: Departemen Literatur SAAT, 2007), hal. 240.
15. Dianne Bergant dan Robert J. Karris (ed.), op.cit., hal. 95-96.
16. Ibid., hal. 109.
17. Abraham Park, Imam Besar Kekal Yang Dijanjikan Dengan Sumpah, (Jakarta: Grasindo dan Yayasan Damai Sejahtera Utama, 2016), hal. 52.
18. David L. Baker dan John J. Bimson, Mari Mengenal Arkeologi Alkitab: Sebuah Pengantar, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), hal. 205.
19. Hasan Susanto, op.cit., hal. 255.
20. Hamid Qadri, Awan Gelap Dalam Keimanan Kristen: Pengaruh Kepercayaan Kuno dan Filsafat Pada Agama Kristen, terj. Masyhur Abadi dan Lis Amalia R, (Surabaya: Pustaka Da’i, 2004), hal. 193-194.
21. Abraham Park, Pelita Perjanjian Yang Tak Terpadamkan, (Jakarta: Grasindo dan Yayasan Damai Sejahtera Utama, 2016), hal. 88-89.
22. Hasan Susanto, op.cit., hal. 259-260.
23. M.M. al-A’zami, op.cit., hal. 282-284. 

Comments