Dialog Islam-Kristen: Daftar Perjanjian Baru Pada Zaman Bapa Gereja


Oleh: Sang Misionaris

    Beberapa waktu yang lalu, penulis telah membuat artikel yang memuat tentang daftar Perjanjian Baru pada zaman Bapa Gereja, yang artikelnya itu bisa dilihat di sini, di mana dalam pengelompokan kitab suci Perjanjian Baru di kalangan Bapa-bapa Gereja memiliki perbedaan yang sangat mencolok antara satu dengan yang lainnya. Adanya penyusunan kanonisasi Perjanjian Baru versi tokoh Bapa-bapa Gereja yang memiliki kesamaan dengan jumlah kitab suci Perjanjian Baru Kristen saat ini hanyalah yang berasal dari Anathasius, sedangkan adanya penyusunan Perjanjian Baru dari peran Bapa-bapa Gereja lainnya telah dicampakkan oleh Gereja mula-mula. Dari adanya kondisi itulah, akhirnya penulis membuat suatu tulisan terkait tentang sejarah Perjanjian Baru di zaman Bapa Gereja, yang pada akhirnya mendapatkan tanggapan balik dari seorang Kristen yang bernama Jimmy Jeffry (JJ), di mana ia sendiri telah memberikan tanggapan di akun Facebooknya terkait kanon Perjanjian Baru versi Bapa-bapa Gereja yang telah penulis sajikan sebelumnya. Dan dalam tulisan kali ini, penulis mengutarakan seperti apa tanggapan JJ, di samping memberikan pula sanggahan balik penulis.

TANGGAPAN JJ
    Pertama-tama anda mengangkat masalah pengilhaman dengan mempertanyakan status pengilhaman dengan Bapa Gereja dengan mengajukan data yang sifatnya kontradiktif dalam daftar kitab Perjanjian Baru (PB) di antara Bapa Gereja. Namun, konsep pengilhaman dalam konteks Biblika adalah berkaitan dengan penulisan dari kitab-kitab suci, di mana para penulisnya diilhami Roh Kudus tanpa mengabaikan karakteristik dari penulis tersebut, sehingga memberi warna yang berbeda dalam model dan gaya penulisan. Nah…dalam konteks Bapa Gereja bukan dipahami dengan konsep pengilhaman seperti itu, namun sifatnya lebih umum berupa pernyertaan Allah kepada gerejaNya dalam sebuah proses alami berupa pengajaran yang berkesinambungan (paradosis katakete) dari para rasul ke murid-murid dari para rasul dan terus berlanjut ke generasi-generasi berikutnya. So...kita harus melihatnya secara komprehensif bahwa status kanonik kitab-kitab dalam PB itu telah dikenal sejak awal dan secara umum diakui oleh Bapa-bapa Gereja (homologoumena). Perbedaan pendapat memang tetap ada, namun hanya pada kitab-kitab tertentu yang memang diperdebatkan (antilegomena).
    Dalam Islam, konsep pengilhaman kitab suci berbeda dengan Kekristenan, karena konsep pengilhaman wahyu-wahyu Allah dalam Islam sifatnya verbatim yang didiktekan oleh Jibril kepada Muhammad melalui pertemuan langsung (di Gua Hira), mimpi, penglihatan (vision), dan lain-lain. Sehingga dikatakan Qur’an diturunkan kepada Muhammad demikian pula Nabi-nabi sebelumnya Taurat-Musa, Injil-Isa (Yesus). Yah, ini konsep teologis Islam yang dalam fakta sejarahnya tidak ada bukti bahwa Yesus diberikan kitab Injil atau menuliskan/mengkompilasi isi Injil seperti proses pewahyuan Qur'an kepada Muhammad. Qur’an sendiri belum dibukukan saat Muhammad masih hidup, yang ada masih berupa hafalan-hafalan dari para hafidz-hafidz/quraa yang nanti dibukukan oleh Zaid bin Tsabit atas perintah Abu Bakar setelah berdiskusi dengan Umar. Selanjutnya pada masa Khalifah Uthman dilakukan standarisasi Qur’an dan versi-versi yang berbeda dibakar.
    Anda mencoba menerapkan konsep pengilhaman seperti ini kepada Bapa-bapa Gereja berkaitan dengan kanonisasi PB, maka pertanyaan pertama untuk anda, apakah Uthman memiliki otoritas ilahi atau diilhami Allah untuk menentukan mana bagian Qur’an yang benar dari berbagai versi yang ada? Bagaimana dengan versi yang berbeda dengan mushaf sahabat-sahabat Muhammad lainnya, seperti Ubay bin Ka'ab, Mas'ud, apakah mereka ini juga diilhami? Selain Qur’an, dalam Islam juga dikenal dengan hadits yang berisikan catatan-catatan para perawi mengenai berbagai tindakan atau perkataan Muhammad yang diingat oleh sahabat-sahabatnya dan diteruskan ke beberapa orang secara sambung-menyambung. Selanjutnya, oleh Imam Bukhari dan beberapa perawi terakhir mengoleksinya dalam kumpulan hadits yang berisi matan hadits dan jalur sanadnya. Maka, pertanyaan kedua untuk anda, apakah Bukhari diilhamkan Allah? Lalu, bagaimana dengan bagian-bagian dari hadits Bukhari yang dianggap dhaif oleh ulama lainnya.
Penulisan kitab-kitab dalam PB terjadi masih di era para rasul, hampir semua Bible scholars dari berbagai spektrum teologis menempatkannya pada abad ke-1. Karena penulisannya terpisah-pisah oleh penulis-penulis yang berbeda, maka pada saat itu pada setiap daerah termasuk Yerusalem belum memiliki salinan lengkap kitab-kitab PB. Namun seiring waktu, terjadilah pertukaran salinan sehingga tiap daerah bisa memiliki beberapa versi Injil termasuk Injil Yohanes pasca penulisannya di akhir abad ke-1. Hal ini bisa terlihat dari tulisan-tulisan Bapa-bapa Gereja awal, seperti Ignatius dan Polycarpus yang telah mengutip bagian-bagian dari kitab PB. Maka, pada abad ke-2 inilah beberapa orang mulai menuliskan daftar koleksi kitab-kitab yang mereka ketahui.
    Paca era rasuli, beberapa murid dari para rasul diakhir abad ke-1 sampai awal abad ke-2 telah menulis surat-surat yang sifatnya penggembalaan kepada jemaat Allah, seperti: surat-surat yang ditulis oleh Igatius, Polycarpus, Clement termasuk Kitab Didakhe yang bersifat pola hidup berjemaat. Kemudian berlanjut dengan tulisan-tulisan Bapa Gereja lainnya seperti Justin Martyr, Irenaeus, Tertullian, dan sebagainya. Namun, muncul juga tulisan-tulisan yang ditulis para bidat khususnya mulai abad ke-2 pasca meninggalnya para rasul dan saksi-saksi mata lainnya. Tulisan-tulisan ini, umumnya mencoba mengisi informasi yang tidak ada dalam Injil Kanonik, misalnya masa kanak-kanak Yesus, termasuk menambah kisah-kisah yang imajinatif, seperti narasi kebangkitan Yesus dengan penuh kemuliaan menampakkan ke banyak orang seperti ditulis dalam Injil Petrus. Secara teologi, tulisan-tulisan ini umumnya sinkretisme Kekristenan dengan Gnostisisme. Dan biasanya, menggunakan nama para rasul untuk nama kitab-kitabnya yang dikenal para scholar sebagai Pseudonimity.
    Anda telah mendaftar berbagai versi daftar koleksi kitab-kitab PB dari beberapa Bapa Gereja yang di antaranya terdapat kitab-kitab yang tidak masuk dalam kanon PB. Anda membuat daftar tersebut tanpa mendalami permasalahan dibalik daftar tersebut. Marcion dan Valentinus telah dikenal oleh Bapa-bapa Gereja sebagai bidat. Marcion hanya memilih Injil Lukas dan hanya pada bagian-bagian tertentu yang dianggap sesuai dengan konsep bidatnya. Valentinus menyertakan Gospel of Truth, namun ditolak oleh Bapa-bapa Gereja seperti Irenaeus dalam bukunya, Adversus Haereses, karena jelas mengandung paham Gnostik, namun Valentinus sendiri telah mengenal keempat Injil Kanonik.
    Point penting dari daftar tersebut, jika anda cermati seksama, begitu jelas semuanya menyebut keempat Injil Kanonik, mulai dari Justin Martyr, Irenaeus, Tertullian, Origenes, Eusebius dan Didimus the Blind. Secara khusus untuk Ignatius dan Polycarpus, walaupun tidak menyebutkan daftar kitab, namun bisa terlihat dari kutipan-kutipannya ke kitab-kitab PB. Saya perlu tambahkan daftar anda, referensi awal yang menyebut keempat Injil Kanonik, di antaranya Muratorium Canon, Konsili Laodekia, Konsili Hippo, Konsili Chartage, Codex Sinaiticus, Peshita dan Latin Vulgata. Jika dianggap ada “Injil Yesus” yang asli, referensi mana yang menyebutkan hal tersebut?
    Memang dalam proses kanonisasi PB ini terdapat beberapa kitab yang diperdebatkan. Beberapa yang diperdebatkan akhirnya diterima masuk dalam kanon PB, seperti 7 kitab dalam PB antara lain: Wahyu, Yakobus, Yudas, Ibrani, 2 Petrus, 2 dan 3 Yohanes. Namun ada juga yang tidak masuk dalam kanon PB, seperti Sheperd of Hermas dan 1 Clement yang disebutkan oleh Irenaeus. Bruce Metzger, seorang ahli Textual Criticism dan pakar tentang kanon PB yang menulis buku teks (Metzger, Bruce M. The Canon of the New Testament: Its Origin, Development, and Significance. Clarendon Press,Oxford. 1987), saat diwawancarai oleh Lee Strobel, menyatakan terlambatkan kitab-kitab itu masuk dalam kanon PB menunjukkan betapa hati-hatinya gereja mula-mula, mereka tidak langsung begitu saja menerima kitab-kitab tersebut, tetapi memastikannya dengan teliti. Berbeda dengan 20 kitab lainnya, termasuk keempat Injil Kanonik tidak ada yang mempertanyakannya.
    Kitab-kitab seperti Sheperd of Hermas, 1 Clement, dan lain-lain, hanyalah berupa surat-surat penggembalaan yang ditulis setelah era para rasul. Kemungkinan Irenaeus terkesan dengan surat-surat tersebut, sehingga dia memasukkan dalam daftar kanon versinya, karena isi surat tersebut dianggap bermanfaat. Surat-surat ini sejajar dengan surat-surat yang ditulis oleh Ignatius dan Polycarpus, namun surat-surat semacam ini, walaupun bermanfaat tetap tidak dimasukkan ke dalam kanon PB, karena tidak berasal dari era para rasul. Sangat berbeda dengan Injil Apokrif, seperti Injil Petrus, Injil Maria, Gospel of Truth, dan lain-lain yang memang tidak dipertimbangkan masuk ke dalam kanon PB. Karena jelas-jelas produk abad belakangan bukan dari era para rasul dan ajarannya sudah berbau Gnostisisme, dan lain-lain. Bahkan, beberapa gerja menentang keras, seperti Irenaeus yang mengkritik Valentinus dengan kitab Gospel of Truth yang dirujuknya.

Kesimpulan
    Tidak adanya beberapa kitab PB dalam kutipan atau daftar kitab beberapa Bapa Gereja, bukan berarti mereka tidak menerima kitab-kitab lainnya, melainkan kemungkinan kitab-kitab itu yang salinannya dimilikinya, seperti Ignatius di awal abad ke-2. Mengingat pada masa itu, proses sirkulasi dan pertukaran kitab antar daerah atau pemimpin jemaat masih berlangsung. Namun sesudah itu, daftar kitab semakin lengkap terutama keempat Injil Kanonik. Beberapa kitab lain yang tidak ada di daftar, bukan karena mereka tidak menerimanya, melainkan kitab-kitab itu masih sedang didiskusikan, namun pada akhirnya Bapa-bapa Gereja menyepakati semua kitab PB dalam Konsili Laodekia, Hippo dan Kartago. Berbeda dengan beberapa bidat, seperti Marcion yang memang tidak menerima kitab lainnya, karena kitab yang dipilihnya (Injil Lukas) sesuai dengan pengajarannya dan itu pun sudah dimodifikasi. Hal serupa juga pada bidat Ebionites yang hanya menerima Injil Matius. Sedangkan bidat lainnya, seperti Valentinus memasukkan Injil lain (Gospel of Truth), itu pun dikritik Bapa Gereja lainnya, namun tidak ada Bapa Gereja yang menerima Injil Apokrif lain, seperti Injil Petrus, Injil Thomas, dan lain-lain. Beberapa surat yang dimasukkan seperti Sheperd of Hermas oleh Irenaeus, karena surat penggembalaan itu bermanfaat, namun tidak masuk dalam kanon PB karena tidak berasal dari para rasul. Silahkan simak juga tulisan lainnya tentang kanonisasi PB http://apologiakristen.blogspot.com/2013/02/debat-historis-injil-penyaliban-yesus_3.html Ok, sebagai feedback untuk anda sebagai Muslim yang mencoba merekonstruksi ulang kanon PB sesuai dengan pemahaman anda. Maka pertanyaan ketiga untuk anda, silahkan buatkan daftar kitab PB yang sesuai dengan sistem teologi Islam? Anda bisa mengambilnya dari Injil-injil Apokriph yang ada. Pertanyaan ini penting untuk eksistensi Qur’an dihadapan data sejarah.    

SANGGAHAN TERHADAP KLAIM JJ
    Pada Tanggal 27 Juni tahun 2016, saya telah membuat note di FB dengan mengusung: Merekonstruksi Ulang Kanon PB (Perjanjian Baru). Namun, pada Tanggal 19 Januari 2019 ternyata tema yang diusung telah mendapatkan sanggahan dari seorang Kristen yang bernama JJ alias Jimmy Jeffry, dengan topik Menjawab Problematika Kanonisasi Perjanjian Baru. Namun demikian, setelah saya cermati secara seksama argumentasi yang diberikan oleh JJ, ternyata masih bernilai spekulatif dan jauh dari basis historis yang memadai. Tidak hanya itu, dalam beradu argumen JJ pun tidak menampakkan sama sekali sumber-sumber yang menguatkan argumentasinya itu, kecuali Bruce M. Merzger. Lalu seberapa kuatkah argumentasi yang kelak akan diberikan oleh JJ dalam memberikan sanggahan balik dan mampukah JJ memberikan sanggahan yang memadai dengan menyertakan sumber-sumber yang ia kutip ketika kelak memberikan sanggahan balik?
    JJ telah mengklaim bahwa pola pengilhaman dalam Kekristenan hanya bersifat umum yaitu pengajaran (apapun) yang ada di dalamnya memiliki kesinambungan dari para rasul kepada murid-muridnya dan terus berlanjut hingga ke generasi selanjutnya. Dari adanya pernyataannya tersebut, tentu saja hal itu telah mengisyaratkan bahwa pengajaran dari satu generasi dengan generasi lainnya dalam Kekristenan, mereka hidup sezaman dan pernah bertemu dalam penyampaian ajaran yang diberikannya. Namun demikian, argumentasinya itu terlihat memaksakan diri dalam berargumen dikarenakan tidak adanya bukti historis yang bisa JJ berikan dalam membenarkan argumentasinya tersebut. Namun demikian, saya akan mengambil contoh dalam Kekristenan, liturgi, misalnya. Dalam sejarah gereja pada abad ke-5 M, ada 2 rumpun tradisi besar dalam liturgi, yaitu liturgi Roma dan liturgi Gallia. Selain itu, ada pula beberapa rumpun tradisi kecil, seperti tradisi Aleksandria, Syiria Barat, Syria Timur, Santo Basilius dan Byzantium. Liturgi Gallia telah berkembang ke wilayah Barat, yang sebelumnya telah menggunakan liturgi Roma. Kedua liturgi tersebut saling berbeda, bahkan sebagian di Italia menggunakan liturgi Roma dan sebagian lagi menggunakan liturgi Gallia. Dari adanya perbedaan liturgi yang ada, mengisyaratkan bahwa sejak semula liturgi dalam Kekristenan tidaklah pernah seragam, di mana kondisi tersebut terjadi karena adanya pencampuran liturgi dengan unsur-unsur pribumi yang sering kali terjadi secara otomatis atau terjadi dengan sendirinya, atau dengan urusan politis dan kuasa gerejawi (Rasid Rachman, Pembimbing Ke Dalam Sejarah Liturgi, hlm. 79-80). Adapun hal lain yang bisa dijadikan contoh adalah tentang perkembangan dan penetapan sakramen. Pada abad ke-6 sampai ke-11 M, telah terjadi perubahan besar dalam teologi sakramen, di mana baptisan berubah ke dalam pengertian sederhana sebagai ritus air dan firman. Namun, setelah abad ke-11 ada penetapan sejumlah sakramen, meskipun tidak pernah dilakukan secara tegas. Bahkan pada abad ke-16, konsili Trente telah menetapkan tujuh sakramen dalam menghadapi gerakan Protestan (Rasid Rachman, hlm. 96-98).
    Jika pengajaran dalam Kristen memiliki kesejajaran dengan tradisi Islam atau memiliki perjumpaan antara sipengajar dengan yang diajar, maka dari dua contoh di atas, tentunya JJ bisa angkat suara tentang tradisi manakah di atas yang benar-benar layak dianggap sebagai pengajaran yang sesuai dengan Yesus dan murid-muridnya, di kala liturgi satu dengan yang lainnya pun saling berbeda? Bahkan dalam sakramen, Katolik telah menetapkan 7 sakramen, namun pada akhirnya hanya dua sakramen yang diterima oleh pihak Protestan seperti Luther, yaitu pembaptisan dan perkawinan. Dari adanya perbedaan jumlah sakramen antara Katolik dan Protestan tersebut, pihak manakah yang dianggap mewarisi tradisi dan mana yang dianggap tidak mewarisi tradisi? Dari adanya dua contoh di atas telah membuktikan, bahwa terbentuknya pengajaran dalam Kekristenan telah didominasi oleh adanya permasalahan sosio-politik kala itu, bukan karena adanya pengilhaman sebagaimana yang diklaim oleh Kristen selama ini. Dan suatu hal yang tepat, jika penjelasan yang diberikan oleh Karl Keating terkait pengilhaman kitab-kitab PB dinilai telah mementahkan keyakinan Kristen selama ini tentang pengilhaman, menurutnya, “Sebenarnya, tidak ada penulis Perjanjian Baru yang menyadari bahwa ia menulis atas dorongan Roh Kudus….sekalipun setiap kitab dalam Kitab Suci diawali dengan pernyataan ‘kitab ini diilhami’, pernyataan seperti itu tidak membuktikan apa pun. Kitab-kitab suci lain pun mengatakan diilhami. Bahkan, tulisan-tulisan Mary Baker Eddy, pendiri Christian Science, dianggap diilhami” (Karl Keating, Katolik dan Fundamentalis: Menjawab 13 Serangan Pokok Terhadap Gereja Katolik, hlm. 3).  
    Terkait tentang persoalan Al-Qur’an, JJ berkomentar sebagai berikut: “Qur’an sendiri blm dibukukan saat Muhammad masih hidup yang ada masih berupa hafalan-hafalan dari para hafidz/quraa yang nanti dibukukan oleh Zaid bin Tsabit atas perintah Abu Bakar setelah berdiskusi dengan Umar. Selanjutnya pada masa khalifah Uthman dilakukan standarisasi Qur’an dan versi-versi yang berbeda dibakar.” Selain memberikan komentar tersebut, JJ pun memberikan pula pertanyaan terkait tentang adanya berbagai perbedaan yang terdapat dalam mushaf para sahabat, seperti Ubai bin Ka’ab, Ibnu Mas’ud, dll. Terlihat sekali bahwa JJ tidak mengetahui apa-apa tentang sejarah kodifikasi Al-Qur’an, dan adanya signifikansi tentang kodifikasi di zaman Abu Bakar hingga Utsman pun ia sendiri tidak mengetahui sama sekali, bahkan JJ sendiri malah menekankan bahwa para sahabat hanya mengandalkan hafalannya dalam menerima firman Allah yang telah disampaikan oleh Nabi Muhammad . Dan untuk menghemat ruang, silahkan untuk membaca jawaban terkait apa yang dipertanyakan oleh JJ pada blog pribadi saya dengan alamat http://sangmisionaris.blogspot.com. Selain hal itu, perlu untuk diketahui, bahwa seorang khalifah tidak saja bertanggung jawab tentang kesejahteraan hidup rakyatnya, melainkan bertanggung jawab pula tentang permasalahan agama. Karena Islam mengatur segala hal, maka sudah barang tentu permasalahan kodifikasi Al-Qur’an pun merupakan permasalahan khalifah pula, terlebih ia sendiri memiliki otoritas dalam menjauhkan rakyatnya dari segala bentuk penyesatan dan kesalahan dalam pengamalan agama, dan kondisi demikian tidaklah kita temukan dalam tradisi Kristen, justru karena adanya kehadiran Kristenlah pada akhirnya negara yang berada di bawah kekuasaannya menjadi sekuler dan melepaskan ikatannya dengan gereja.          
    Setelah menyinggung Al-Qur’an, JJ pun menyinggung pula tentang hadits dengan menyatakannya sebagai berikut: “Selain Al-Qur’an dalam Islam juga dikenal Hadits yang berisikan catatan-catatan para perawi mengenai berbagai tindakan atau perkataan Muhammad yang diingat oleh sahabatnya dan diteruskan ke beberapa orang secara sambung menyambung. Selanjutnya oleh Imam Bukhari & beberapa perawi hadits yang berisi matan dan jalur sanadnya.” Dalam komentarnya, JJ telah berkesimpulan bahwa hadis yang disampaikan oleh para perawi hanya berpijak pada ingatannya saja, tudingan tersebut memiliki kesamaan ketika ia sedang mempersoalkan Al-Qur’an seperti halnya di atas. Padahal, istilah sama’ (mendengar) dan hadassana telah dipakai pula untuk menulis hadis, di mana para perawi tidak saja mendengarkan hadits, melainkan mencatat pula atas apa yang ia dengar. Salah satu bukti bahwa para perawi tidak saja mengandalkan ingatannya saja, melainkan menuliskan atas apa yang ia dengar ialah Abdullah ibn Salih, sekretaris al-Lais (93/94-175 H), ia mengatakan, bahwa Mu’awiyah ibn Salih datang kepadanya, lalu duduk bersama al-Lais untuk mengajarkan hadis. Al-Lais lalu menyuruh Abdullah untuk menulis hadis yang ia imlakan oleh Muawiyah. Setelah selesai, Muawiyah pun mendekat kembali kepada al-Lais untuk membaca hadisnya. Maka, kata Abdullah, saya mendengarkan hadis dua kali dari Muawiyah. Di sini, Abdullah menggunakan istilah sama’, padahal ia memperoleh hadis itu dari Muawiyah dengan cara menuliskannya berdasarkan imla (Umma Farida, Kontribusi Pemikiran Muhammad Mustafa Al-A’Zami Dalam Studi Hadis, hlm. 70). Bahkan, pada saat Said bin Jubair menyertai Ibnu Abbas sekalipun, selain mendengarkan hadis, Said pun mencatat pula atas apa yang ia dengar dari Ibnu Abbas (Muhammad Muhammad Abu Syuhbah, Kitab Hadis Sahih Yang Enam, hlm. 17). Jadi, adanya tudingan JJ yang menyatakan bahwa para perawi hadis hanya mengandalkan hafalannya saja, argumentasi tidak bisa diandalkan karena tidak ada data historis yang menunjang anggapan tersebut. Justru, para perawi telah menuliskan hadis yang telah ia terima dari orang lain, di samping telah mendengarkannya secara langsung. Dan perlu untuk diketahui, jika suatu hadis yang dihafalkannya salah, tentunya apa yang diamalkannya pun akan salah pula. Maka untuk menjaga hafalan dan pengamalannya, sebuah langkah yang tepat jika para perawi pada akhirnya memadukan hafalannya itu dengan menulis kembali hafalannya, dan adanya penjagaan hafalan dengan sistem seperti itu, ternyata dipelopori oleh tradisi Islam dan belum pernah ada tradisi lain yang telah mempraktekkannya, termasuk Kristen sekalipun.
    Selain memberikan komentar sebagaimana di atas, JJ pun melanjutkan komentarnya, “Apakah Bukhari diilhamkan Allah? Lalu bagaimana dengan bagian-bagian dari hadist Bukhari yang dianggap dhaif oleh ulama lainnya.” Di sini perlu ditekankan terlebih dahulu, bahwa dalam Islam tidak mengenal istilah ilham atau inspirasi, sebagaimana yang telah diyakini Kristen selama ini. Jadi, jika Kristen mempertanyakan ilham kepada seorang Muslim dan juga teknisnya itu seperti apa, di mana dalam jawaban tersebut Kristen berharap adanya kesamaan dengan apa yang diyakini oleh Kristen, maka bisa dikatakan bahwa JJ telah salah alamat. Dan untuk mengetahui permasalahan tentang ilham atau inspirasi menurut pandangan Kristen, silahkan untuk membaca artikelnya di alamat ini.  Jika JJ memang bersikap fair dalam berdialog dan sebelumnya telah mendalami topik yang ia angkat seperti saat ini, selain menyampaikan siapa saja para ulama yang telah mendhaifkan hadis yang telah diriwayatkan oleh Bukhari, seharusnya ia pun mampu pula menyertakan hadis yang ia maksud, di samping memberikan pula isnadnya. Hal tersebut bernilai penting, agar apa yang ia tuduhkan tersebut bisa dibuktikan dengan data yang valid. Namun nyatanya, ia hanya bisa menuding tanpa mampu memberikan bukti-bukti yang valid. Namun bagaimana dengan status hadis dhaif, para ahli hadis memperbolehkan periwayatannya, asal tidak berkenaan dengan permasalahan aqidah dan hukum-hukum yang berkaitan dengan halal-haramnya, seperti periwayatan hadis untuk kisah-kisah, dan nasehat selama bukan hadis palsu dan yang menyerupainya (Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadis, hlm. 302-303).
    Setelah membahas tentang Al-Qur’an dan hadis, JJ pun akhirnya beralih kepada pembahasan PB dan memberikan penjelasan terkait penggunaan kitab-kitab PB oleh Kristen mula-mula. Namun nyatanya, ia sendiri tidak memberikan penjelasan yang berbasis historis dan ilmiah, melainkan hanya sebuah pengklaiman semata yang bersifat spekulatif. Lebih dari itu, dalam adu argumen pun JJ tidak menyertakan sama sekali sumber yang ia kutip selama ini, selain hanya mengandalkan pandangan dari Bruce M. Metzger. Dan argumentasi JJ begitu terlihat sangat minim sumber, khususnya saat ia sedang memberikan penjelasan tentang PB.
    Kembali kepada bantahan yang dikemukakan oleh JJ, yang selanjutnya ia mengemukakan pendapatnya sebagai berikut: “Penulisan kitab2-kitab dalam Perjanjian Baru terjadi masih di era para rasul, hampir semua bible scholars dari berbagai spektrum teologis menempatkannya pada abad ke-1. Karena penulisannya terpisah-pisah oleh penulis-penulis yang berbeda maka pada saat itu pada setiap daerah termasuk Yerusalem belum memiliki salinan lengkap kitab-kitab Perjanjian Baru. Namun seiring waktu terjadilah pertukaran salinan sehingga tiap daerah bisa memiliki beberapa versi injil termasuk injil Yohanes pasca penulisannya di akhir abad ke-1. Hal ini bisa terlihat dari tulisan bapa-bapa gereja awal seperti Ignatius dan Polycarpus yang telah mengutip bagian-bagian dari kitab Perjanjian Baru. Maka pada abad ke-2 inilah beberapa orang mulai menuliskan daftar koleksi kitab-kitab yang mereka ketahui.” Berbeda dengan JJ yang tidak memiliki kejujuran dalam berdialog dan bahkan menutupi adanya kebobrokan dalam kanonisasi PB, William W. Klein dan penulis lainnya telah mengakui secara jujur bahwa para penulis di Alkitab tidak bisa diketahui secara pasti, bahkan mereka sendiri meyakini, bahwa sejumlah kitab mungkin merupakan hasil karya sejumlah penyunting atau sejumlah redaktur yang telah memasukkan sentuhan-sentuhan pribadi mereka ke dalam kitab-kitab hingga beberapa poin dari kitab-kitab tersebut seperti yang diterima dalam bentuk kanon. Bahkan lebih dari itu, mereka berkomentar, bahwa para penulis Injil bukanlah saksi mata dari pernyataan-pernyataan Yesus, di mana mereka dapat dianggap telah menerima materi dari sumber-sumber yang lain (William W. Klein et.al, Introduction to Biblical Interpretation: Pengantar Tafsiran Alkitab, hlm. 322-323).
    Dalam menguatkan argumentasinya tersebut, JJ telah mengutip nama Ignatius dan Polycarpus, yang menurut keyakinannya, mereka telah mengutip bagian-bagian dari PB. Kendati demikian, apakah argumen JJ tersebut bisa dianggap memadai dan memiliki basis historis? Terkait adanya bapa-bapa gereja yang dianggap mengutip kitab-kitab PB, Duyverman mengemukakan pendapatnya, bahwa “Kutipan-kutipan yang terdapat dalam karangan pemuka-pemuka Gereja Lama, seperti Irenaeus, Tertullianus, Cyprianus, Origenes, dan lain-lain merupakan sumber yang penting sekali….Tentulah kesaksian dari sumber-sumber ini tidak boleh digunakan begitu saja. Sebab, karangan itu pun hanya dalam salinan-salinan terpelihara bagi kita. Malah timbul satu kesulitan yang baru, yaitu belum terjamin bahwa kutipan itu bersifat kutipan secara harfiah, atau hanya sesuai dengan maksud dan tujuan nas yang bersangkutan” (M.E. Duyverman, Pembimbing Ke Dalam Perjanjian Baru, hlm. 24). Oleh karena itu, jika JJ yakin bahwa keduanya telah mengutip bagian-bagian yang terdapat dalam PB, seharusnya ia pun memberikan bukti secara otentik dengan menggunakan basis historis bahwa Ignatius dan Polycarpus memang benar-benar telah mengutip bagian-bagian dalam kitab PB. Tapi nyatanya, saya tidak mendapatkan hal itu dari keterangan JJ.
    Patut untuk diketahui bahwa Irenaeus adalah orang pertama yang mengatakan secara jelas bahwa Alkitab orang Kristen terdiri dari Perjanjian Lama (PL) dan Perjanjian Baru (PB) (Hasan Susanto, Hermeneutik: Prinsip dan Metode Penafsiran Alkitab, hlm. 133). Bukti ini didukung dengan adanya bukti historis, di mana kala itu Alkitab Kristen yang dimaksud hanyalah PL, namun karena lawan Irenaeus kala itu adalah pihak Gnostisisme yang tidak menerima PB, maka dalam mematahkan argumentasi Gnostisisme, ia pada akhirnya melakukan pembelaan yang secara terpaksa menggunakan tradisi dan tulisan-tulisan yang terdapat pada PB (Tony Lane, Runtut Pijar: Tokoh dan Pemikiran Kristen Dari Masa Ke Masa, hlm. 10-11). Meskipun kala itu, kitab-kitab PB tidaklah disusun berdasarkan susunan yang lazim seperti halnya Alkitab yang diyakini oleh pihak Kristen saat ini. Dalam memberikan teori tentang adanya alasan kenapa hanya 4 Injil, Irenaeus mengemukakan sebagai berikut alasannya: “Tidak mungkin kitab-kitab Injil dapat berjumlah lebih banyak atau lebih sedikit daripada yang ada sekarang ini. Karena di dunia ini ada 4 wilayah di mana kita tinggal, dan 4 penjuru angin, dan karena gereja tersebar di seluruh dunia, dan tonggak serta dasar gereja adalah Injil serta roh kehidupan, maka sudah sepantasnyalah bahwa gereja mempunyai 4 tonggak, yang meniupkan kehidupan kekal dari ke-4 sisinya, dan menyegarkan hidup manusia.” Dari adanya alasan tersebut, Merrill C.Tenney memberikan komentarnya bahwa alasan Irenaeus tersebut terkesan hanya dibuat-buat dan menyatakan pula bahwa isi dari catatan Injil sudah diperdebatkan orang sejak zaman Irenaeus, di samping ia pun ingin membela kitab-kitab kanonik dengan mengatakan, “Tetapi, hanya Injil-Injil inilah yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan, tidak boleh ada yang ditambahkan dan tidak boleh ada yang dikurangkan darinya, seperti yang telah kunyatakan dan kubuktikan berkali-kali” (Merril  C.Tenney, Survei Perjanjian Baru, hlm. 169-170).  
    Dalam proses pengkanonisasian PB, bapa-bapa gereja telah memasukkan 4 Injil dalam kanon pribadinya masing-masing, namun tidak ada bukti historis yang memadai bahwa 4 Injil tersebut adalah 4 Injil yang diyakini oleh Kristen saat ini, di samping tidak adanya bukti yang otentik bahwa bapa-bapa gereja telah mengutip secara harfiah atas apa yang ada di dalam kitab-kitab PB, khususnya Injil. Berbagai Injil yang terdapat dalam PB tidak diketahui pula secara pasti, baik penulisnya; tahun; dan tempat kepenulisannya, karena semua jawaban yang dikemukakan oleh para sarjana Kristen hanya bersifat probabilistik, dan untuk mengetahui bukti yang telah saya singgung tersebut, silahkan untuk merujuk kepada karyanya Willi Marxsen, Pengantar Perjanjian Baru: Pendekatan Kritis Terhadap Masalah-Masalahnya. Sedangkan terkait tentang ditolaknya surat-surat dan Injil-Injil lain yang tidak dimasukkan ke dalam kanon PB, JJ dengan penuh keyakinan menyatakan bahwa hal itu disebabkan karena tulisan-tulisan tersebut tidak berasal dari era para rasul. Padahal, tidak ada jawaban yang memadai dan meyakinkan yang bisa diberikan terkait alasan tidak dimasukkannya tulisan-tulisan tersebut ke dalam kanon PB. Namun demikian, terdapat jawaban yang memiliki nilai logis yang bisa jadi mendekati kebenaran tentang ditolaknya tulisan-tulisan tersebut ke dalam kanon PB, sebagaimana yang telah disampaikan oleh seseorang yang memiliki gelar Doktor Teologi di bidang Kitab Suci dari Jesuit School of Theology, Berkeley, California, Amerika Serikat. Orang yang dimaksud tersebut ialah Deshi Ramadhani, Dosen Tafsir Kitab Suci di Sekolah Tinggi Filsafat Driyakara, menurutnya, “Tulisan yang dialami sebagai tulisan yang mengembangkan iman akan terus digunakan, disalin dan disebarluaskan. Sebaliknya, tulisan yang dirasa membingungkan atau menyesatkan, ditambah dengan pernyataan-pernyataan tegas daru beberapa pemimpin gereja yang melawan kesesatan tulisan tersebut, akhirnya tidak lagi digunakan. Karena dirasa tidak begitu berguna, mungkin kemudian tidak disimpan dengan baik, tidak disalin, tidak disebarluaskan, atau bahkan dengan sengaja dibakar dan dimusnahkan. Meskipun demikian, pada kenyataannya, tidak semua tulisan tersebut telah sama sekali musnah ditelan sejarah. Sejumlah teks kuno tersebut akhirnya sampai juga kepada kita” (Deshi Ramadhani, Menguak Injil-Injil Rahasia, hlm. 26).
    Dengan demikian, suatu pertanyaan yang tidak tepat diajukan ketika JJ meminta kepada saya (Muslim) untuk membuatkan daftar atau susunan PB yang otoritatif dalam perspektif Islam, karena adanya artikel yang saya usung terkait tentang acak-kadutnya kanonisasi PB, itu semua berangkat dari hasil penelusuran sumber-sumber internal Kristen sendiri. Namun jika JJ mengatakan bahwa Islam tidak memiliki sumber apapun terkait tentang Kekristenan, khususnya tentang pengkanonisasian PB, dan menganggap bahwa sumber-sumber dalam Kristen dianggap memadai atau otoritatif, tentunya Kristen maupun Muslim tidak akan pernah mendapati adanya polemik dalam internal Kristen terkait permasalahan kanonisasi PB dan tidak akan pernah pula ditemukan pernyataan-pernyataan negatif dari pihak Kristen sendiri terkait tentang minimnya data yang terdapat pada Kristen, khususnya dalam menelusuri kepengarangan Injil. Dan apa yang telah saya singgung tersebut, selain memeriksa sumber-sumber Kristen yang telah dikemukakan di atas, silahkan JJ dan Kristen lainnya untuk merujuk kepada karyanya Everett Ferguson, Backgrounds of Early Christianity, terkait minimnya berbagai sumber internal Kristen dalam berbagai hal.   

Comments