Definisi Al-Quran Dan Nama-Nama Lain Bagi Al-Quran

Oleh : Sang Misionaris.
Pendahuluan
    Pada umumnya, kitab suci umat Islam dikenal dengan nama Al-Qur’an. Dan secara terminologi, Al-Quran berarti, “Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw melalui Malaikat Jibril, sampai kepada kita secara mutawatir. Ia dimulai degan surat Al-Fatihah dan diahiri dengan surat An-Nas, dan dinilai ibadah (berpahala) bagi setiap orang (Muslim) yang membacanya.”1 Di kalangan para ulama, telah terjadi perbedaan pendapat tentang asal-usul Al-Quran. Hal tersebut terjadi, karena adanya perbedaan sudut pandang para ulama dalam mengaitkan akar kata dari Al-Quran. Tidak hanya itu, penentuan tentang nama-nama Al-Quran pun mengalami perbedaan pandangan pula di antara para ulama, yang disebabkan karena adanya pengaitan sifat Al-Quran yang pada akhirnya dijadikan sebagai nama lain bagi Al-Quran itu sendiri. Meskipun demikian, dengan adanya perbedaan pendapat di kalangan para ulama, apakah hal tersebut bisa merusak keotentikan Al-Quran itu sendiri sebagai Firman Allah ?

Definisi Al-Quran
    Bagi sebagian para ahli, seperti halnya al-Lihyani (w.215 H) dan al-Zajjaj (w. 311), mereka menilai bahwa nama Al-Qur’an tersebut secara sederhana merupakan kata benda bentukan (mashdar) dari kata kerja (fi’il), yakni qara’a, yang artinya membaca. Menurut al-Zajjaj bahwa kata Qur’an sewazan (sepadan) dengan fu’lan, yang karena hal itulah harus dibaca dan ditulis dengan hamzah. Dengan demikian, maka Al-Qur’an bermakna bacaan atau yang dibaca.2 Dalam manuskrip Al-Quran beraksara kufi yang awal, kata ini ditulis tanpa menggunakan hamzah, yaitu Al-Quran, dan hal tersebut telah menyebabkan sejumlah para ahli seperti al-Syafi’i (150-204 H), al-Farra’ (w. 207 H), dan al-Asy’ari (260-324 H) berkeyakinan bahwa terma tersebut diturunkan dari akar kata qarana yang berarti menggabungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain atau mengumpulkan, dan Al-Qur'an berarti kumpulan atau gabungan.3 Mengenai adanya perbedaan pandangan tersebut, perlu sekiranya untuk menjadi perhatikan kita bahwa  pandangan yang kedua (tanpa menggunakan hamzah) merupakan suatu karakteristik dialek yang berasal dari wilayah Mekkah atau Hijazi. Tentang asal-usul Qur’an, sarjana Barat yang belakangan telah menerima pandangan Friedrich Schwally, yang meyakini bahwa kata Qur’an merupakan derivasi dari bahasa Siria atau Ibrani, yakni qeryana, qiryani (bacaan atau yang dibaca), yang hal tersebut katanya digunakan dalam liturgi Kristen.4 Dalam hal ini, terkait adanya pandangan dari Schwally tentang adanya kemungkinan terjadinya peminjaman dari bahasa tersebut bisa saja dibenarkan, mengingat adanya kontak yang pernah dilakukan oleh orang-orang Arab sebelumnya dengan dunia luar.5
    Tidak hanya itu, para ahli bahasa Arab pun berbeda pendapat mengenai tulisan bacaan kata Al-Qur’an, dan berbeda persepsi pula mengenai asal-usul Al-Qur’an. Adanya perbedaan tersebut, pada dasarnya bisa dibedakan dalam dua kelompok. Kelompok pertama, yang dalam hal ini, pandangan dari al-Syafi’i bisa kita jadikan sebagai acuan yang bersifat kolektif. Menurutnya, kata Qur’an yang kemudian dima’rifatkan dengan alif lam (al), tidaklah diambil dari kata apa pun, mengingat bahwa Qur’an merupakan nama khusus yang diberikan oleh Allah untuk kitab-Nya yang diturunkan bagi Nabi Muhammad saw sebagaimana Zabur, Taurat, dan Injil yang diturunkan kepada Nabi Daud, Musa, dan Nabi Isa. Sedangkan menurut kelompok kedua, kata Qur’an yang dikemudian dima’rifatkan dengan alif lam (al) itu adalah isim musytaq (kata jadian) yang diambil dari kata lain, meskipun diantara mereka sendiri saling berbeda pendapat tentang kepastian dari asal kata Quran tersebut. Misalnya, ada yang menyatakan bahwa Qur’an diambil dari kata qara’in, yang merupakan jamak dari kata qarinah, yang berarti indikator. Dan ada pula yang berpendapat bahwa Qur’an diambil dari qarana dan al-qar’u / al-qaryu, yang masing-masing berarti menggabungkan dan kumpulan/himpunan.
    Kata kerja qara’a, dan berbagai bentuk konjungsinya (tashrif) muncul sebanyak 17 kali dalam Al-Quran. Kata kerja ini, dengan rujukan kepada pembacaan wahyu oleh Nabi Muhammad, muncul dalam beberapa kesempatan (Qs. 17:45; 7:204; 84:21). Namun dalam konteks lainnya (Qs.75:18), disebutkan bahwa Allah sendiri yang membacakan wahyu kepada Nabi Muhammad. Jadi, dalam konteks yang telah dikemukakan di atas, tentunya ada pertalian yang erat antara akar kata qara’a dengan Al-Quran, yang hal tersebut membuktikan bahwa terma Al-Quran memang diturunkan dari akar kata tersebut. Sedangkan qara’a yang bermakna membaca, dalam konteks ayat Alquran lainnya ternyata tidak dikaitkan dengan Qur’an, melainkan dikaitkan dengan kitab, misalnya pada Qs. 17:93. Adapun pada bagian dari ayat lain semisal pada Qs. 17:14, kata kerja tersebut dikaitkan dengan pembacaan kitab rekaman manusia di Hari Penghabisan. Jadi, dalam konteks apapun, kata kerja qara’a digunakan dalam Al-quran dalam pengertian membaca, baik yang dikaitkan dengan Qur’an ataupun dengan kitab.     
    Meskipun tidak adanya keseragaman tentang asal-usul kata Al-Quran dan juga tentang definisi Al-Quran, namun nyatanya bahwa semua para ulama sepakat tentang adanya unsur-unsur yang terdapat di dalam Al-Qur’an itu sendiri. Adapun unsur-unsur Al-Quran yang dimaksud adalah :
  1. Wahyu atau Kalam Allah. Semua definisi yang diberikan oleh para ahli, selalu diawali dengan penyebutan Al-Quran sebagai wahyu atau kalam Allah. Sebagai wahyu Allah, tentu saja Al-Quran mutlak bukan sebuah produk dari hasil puitisasi para pujangga ataupun penyair (Qs. 69:41), bukan pula hasil dari mantera tukang tenung (Qs.  69:42), dan bukan juga dari perkataan Setan yang terkutuk (Qs. 81:25).
  2. Diturunkan kepada Nabi Muhammad (Qs. 6:19; 76:23; 27:6).
  3. Al-Quran disampaikan melalui Malaikat Jibril ( Qs. 2:97; 26:192-193).
  4. Al-Quran diturunkan dalam bentuk lafal Arab (Qs. 12:2; 16:103; 20: 113).

Nama-Nama Lain Bagi Al-Quran
    Dalam teks Al-Quran, terdapat penyebutan nama lain bagi Al-Quran yakni Al-Kitab, dan nama tersebut pertama kali muncul pada Qs 38:29. Tentu saja, Alkitab yang dimaksud oleh penulis bukanlah Alkitab yang diimani oleh umat Kristen, melainkan Alkitab yang merupakan nama lain dari Al-Quran. Menurut Nasr Hamid Abu Zaid,6 ada makna penting di balik penamaan teks dengan sebutan Al-Kitab, yaitu terkait dengan adanya situasi keagamaan di Jazirah Arab pada pra-Islam; masa jahiliyah. Pada saat itu, sebutan ahli kitab dikontraskan dengan sebutan ummi. Yang ditujukan kepada orang-orang Yahudi dan juga Nasrani. Sementara yang kedua ialah menunjuk kepada orang-orang musyrik Arab penyembah berhala. Oleh karena itu, konsep tulisan atau alkitabah dalam kebudayaan sebelum teks pada pra-Islam, memiliki keterkaitan dengan sifat rahasia sebagaimana yang terkandung dalam konsep wahyu menurut bahasa. Dan pengarang kamus Lisanul ‘Arab telah menempatkan tulisan sebagai bagian dari makna wahyu. Meskipun demikian, makna tulisan sebagai bagian dari makna wahyu, tidak kita dapati dalam pemakaiannya dalam teks. Justru yang muncul adalah kitabah dalam pengertian kodifikasi, pencatatan, dan penetapan, atau dengan makna keharusan dan ijab. Dan kita dapatkan pula kata kitabah dengan arti wahyu atau tepatnya wahyu dengan arti kitabah dalam puisi jahiliyah, sebagaimana yang telah disampaikan Lubaid dalam mu’allaqat-nya berkata, “Tulisan Madafi ar-Rayyan itu telah lenyap sama sekali sebagaimana tulisan (wahyu) dapat menjamin kelestariannya.”
    Tidak saja nama Al-kitab yang menjadi nama lain bagi Al-Quran, Abu al-Ma’ali ‘Uzaizi bin Abdul Malik (w. 495 H), yang lebih populer dengan sebutan Syaidzalah, mengemukakan pendapatnya bahwa sesungguhnya Al-Quran memiliki 55 macam nama.7 Sedangkan  Abu Hasan al-Harali (w. 647 H) sendiri berpendapat bahwa Al-Quran memiliki lebih dari 90 macam nama. Dan untuk menghemat ruang, puluhan nama dari Al-Quran tersebut tidak penulis sampaikan, dikarenakan di tempat lain telah banyak para penulis lain yang telah mengutarakan tentang hal itu. Namun lain halnya menurut Ibn Jazzi al-Kilabi (741-792 H), yang secara tegas menyatakan bahwa Al-Quran memiliki empat macam nama, yakni Al-Qur’an, al-Kitab, al-Furqan, al-Dzikr.8 Sedangkan menurut al-Qattan bahwa nama Al-Quran memiliki nama lain yang 16 nama, seperti : Kitab, Furqan, Zikr, Tanzil, Nur, Huda, Syifa’, Rahmah, Mau’izah, Mubin, Mubarak, Busyra, ‘Aziz, Majid, Basyir, Nazir.9 Dengan banyaknya para ulama yang memberikan berbagai nama bagi Al-Quran, Shubhi al-Shalih pernah melontarkan pandangannya bahwa sebagian ulama, menurutnya, ada yang bersikap berlebih-lebihan dalam menghitung nama-nama Al-Quran, hal tersebut terjadi karena mereka tanpa sadar telah mencampuradukkan antara nama Al-Quran di satu pihak dengan sifat-sifat Al-Quran di pihak lainnya.10 Terlepas dari adanya perbedaan pendapat di antara para ulama tentang nama-nama lain dalam Al-Quran, namun pada kenyataannya, hal tersebut mempunyai ketepatan tentang isi dan juga fungsi dari Al-Quran itu sendiri, yang tentu saja hal tersebut tidak merusak atau menghilangkan keotentikan Al-Quran sebagai Firman Allah.

Kesimpulan
    Dengan adanya gagasan yang telah dikemukakan oleh para ulama terkait tentang asal-usul Al-Quran dan juga nama-nama lain bagi Al-Quran, pada dasarnya mereka merujuk kepada Al-Quran itu sendiri, yang telah menjadikan satu-satunya sumber penggalian informasi dalam membangun gagasan mereka. Namun ketika terjadi perbedaan pendapat, tentunya saja perbedaan tersebut tidak memiliki pengaruh sedikit pun atau pun mengurangi keotentikan Al-Quran sebagai Firman Allah, melainkan menambah wawasan kita tentang studi Al-Quran, yakni Ulumul Qur’an. Dalam menggambarkan tentang luasnya ilmu tentang Ulumul Quran; apa yang sedang kita bahas merupakan bagian dari ilmu tersebut, Az-Zakarsyi pernah menyebutkan dalam karyanya yang berjudul Al-Irfan fi ‘Ulum Al-Quran pada jilid 1 bahwa ulumul Quran mencakup 77.450 ilmu sesuai dengan bilangan kata-katanya.11 Tentu saja apa yang disampaikan oleh Az-Zakarsyi tersebut, secara definitif telah menandaskan tentang luasnya ilmu yang Allah miliki, yang luas-Nya ilmu tersebut tidak bertepi.

Catatan Kaki :
  1. Dr. Kadar M. Yusuf. M.Ag., Studi Alquran.
  2. Muhammad Ali al-Khuli, A Dictionary of Theoretical Linguistics.
  3. Muhammad Badr al-Din al-Zarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an.
  4. The Ecnyclopedia of Islam.
  5. Subhi al-Shalih, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an.
  6. Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur’an.
  7. Imam Jalaludin As-Suyuthi, Studi Al-Qur’an Komprehensif.
  8. Muhammad Ibn Ahmad Ibn Jazzi al-Kilabi, Kitab al-Tashil li-‘Ulum al-Tanzil.
  9. Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an.
  10. Shubhi al-Shalih, Shafwah al-Tafasir, jilid 3.
  11. Dr. Kadar M. Yusuf. M.Ag., Studi Alquran.

Comments