Siapakah Nama Tuhannya Kristen Yang Sebenarnya?

Oleh: Sang Misionaris

Pendahuluan
    Adanya sebuah pertanyaan tentang siapakah nama Tuhannya orang Kristen merupakan topik yang menarik untuk dibahas. Menarik, karena yang melakukan gugatan terhadap penggunaan nama Allah, ada yang berasal dari kalangan Kristen sendiri. Terlepas apapun aliran atau denomnya, dalam internal Kristen masih terjadi perbedaan pendapat dalam Kristen tentang siapakah nama Diri dari Tuhannya Kristen itu. Nama Diri Tuhannya Kristen menurut Kristen Mesianik (Pengagung nama Yhwh) adalah Yhwh, sedangkan menurut Katolik dan Protestan, nama Diri dari Tuhannya itu adalah Allah. Tetapi menurut Gereja Nasrani Indonesia, nama Tuhannya adalah Maryah Alaha,1 dan menurut Saksi-Saksi Yehovah, nama Tuhannya itu adalah Yehuwa. Namun, bagi Pengagung nama Yesus (Kelompok Wisma Gembala) yang dipelopori oleh Posma Situmorang, nama Tuhannya adalah Yesus.2 Dari sekian banyak nama Diri Tuhan dalam Kristen, lalu siapakah nama Tuhannya Kristen yang sebenarnya? Benarkah nama Tuhannya Kristen itu adalah Allah dan apakah tujuan Kristen dalam menggunakan nama Allah?


Inkonsistensi Kristen Dalam Menggunakan Nama Tuhannya Umat Islam
    Ketika membahas tentang asal-usul kata Allah dalam pandangan Kristen, para teolog Kristen biasanya selalu menggunakan dua pandangan sebagai rujukannya, yaitu pandangan dari Islam dan juga pandangan dari Yahudi, di mana keduanya selalu dijadikan sebagai pembuktian oleh Kristen, bahwa Kristen merupakan ajaran yang berasal dari Nabi Ibrahim, yang sekaligus ingin membuktikan pula bahwa nama Tuhannya Kristen itu sama dengan umat Islam dan juga Yahudi. Lalu, apa yang bisa membuktikan secara historis, bahwa nama Tuhannya Kristen itu adalah Allah? Ketika umat Islam meminta bukti secara historis kepada Kristen terkait penggunaan nama Allah sebagai nama Tuhannya Kristen, mereka kerap kali merujuk kepada orang-orang Kristen yang telah hidup di wilayah Jazirah Arab kala itu, bahwa menurut mereka, bahwa Kristen telah menggunakan nama Allah sebagai nama Tuhannya mereka, jauh sebelum Islam muncul pada abad ke-7 M. Adapun wilayah di Jazirah Arab yang sering dijadikan sebagai pembahasan utama oleh Kristen adalah Syiria. Syria menjadi pembahasan utama mereka, karena kala itu orang-orang Kristen telah ada di sana jauh sebelum kemunculan Islam di Jazirah Arab, meskipun wilayah Syria sendiri adalah basisnya Kristen Nestorian.3 Selain Gereja Nestorian, terdapat pula gereja lain yang berada di Jazirah Arab, seperti: Gereja Yakobit, Gereja Armenia dan Gereja Koptik, di mana Gereja Yakobit dan Armenia dianggap sebagai gereja yang memiliki keyakinan Kristologinya itu adalah monofisit (satu tabiat).4 Dari adanya gereja-gereja yang memiliki perbedaan keyakinan tersebut, Bambang Subandrijo berpendapat, bahwa di Jazirah Arab memang terdapat dua denominasi Kristen yang sangat berpengaruh dan saling bertentangan, yaitu golongan Monofisit dan golongan Nestorian.5
    Selain menggunakan pendekatan historis, Kristen pun melakukan pula pendekatan dari sisi arkeologis dalam membuktikan adanya penggunaan nama Allah oleh orang-orang Kristen, di mana bukti tersebut telah dianggap mampu memberikan legalitas terhadap Kristen dalam menggunakan nama Allah di dalam Alkitab. Menurut Kristen, terdapat sejumlah inskripsi Arab-Kristen dari masa pra-Islam yang menyebutkan adanya kata ilah dan Allah. Pertama, inskripsi kuno yang ditemukan pada tahun 1881 di kota Zabad, sebelah tenggara kota Allepo (Arab: Halab), sebuah kota Syiria sekarang, yang tanggalnya berasal dari zaman sebelum Islam, tepatnya tahun 512 M. Dalam inskripsi itu, terdapat nama tulisan Bism-al-alah, yang kemudian disusul dengan nama-nama orang Kristen Syiria. Kedua, adanya inskripsi lain yang ditemukan di Ummul Jimal dari pertengahan abad ke-6 M, yang dalam inskripsinya itu terdapat tulisan yang berisi kalimat Allah Ghafran.6 Dari adanya bukti historis dan arkeologis itulah, maka Kristen menyimpulkan bahwa nama Tuhannya Kristen itu adalah Allah.
    Jika benar nama Tuhannya Kristen itu adalah Allah, tentunya nama tersebut akan selalu digunakan oleh Kristen di seluruh belahan dunia, terlepas apa pun bahasanya. Namun, yang menjadi persoalannya adalah apakah semua Kristen di berbagai belahan dunia telah menggunakan nama Allah sebagai Tuhannya Kristen ataukah tidak. Oleh karena itu, tidak salahnya jika kita pun memeriksa terjemahan Alkitab dari negara lain untuk mengetahui sejauh mana Kristen bisa konsisten terhadap keyakinannya itu. Dalam Matius 22:32 pada versi King James Version, misalnya, ternyata pada versi Alkitab tersebut bertuliskan kata God dan bukan nama Allah.7 Dalam Matius 3:9 tidak ditemukan pula nama Allah dalam bahasa Belanda, melainkan kata God.8 Begitu pun dengan bahasa Prancis, dituliskan nama Dieu (Tuhan), bukan Allah.9 Padahal dalam Alkitab terjemahan bahasa Indonesia, pada Matius 22:32 ditulis dengan nama Allah,10 yang dalam bahasa Yunaninya itu adalah Ho Theos.11  
    Jika memang nama Tuhannya Kristen itu adalah Allah, tentunya menggunakan bahasa apa pun, tetap saja namanya Allah. Namun, mengapa dalam terjemahan Alkitab dari bahasa lain malah menggunakan kata selain Allah? Menurut Jeff Hammond, kata Allah merupakan kata umum yang digunakan untuk “Yang Disembah”, dan telah digunakan selama 3.500 tahun di kalangan kafir, yang kemudian digunakan pula oleh orang Yahudi dan juga Kristen, dan bukan sebagai nama.12 Dengan mencermati penuturan Jeff tersebut, maka bisa kita simpulkan bahwa nama Allah bukanlah nama Diri Tuhan. Dari adanya anggapan Jeef tersebut tentu saja nama Allah sama halnya dengan nama El yang digunakan oleh bangsa pagan lainnya. Oleh karena Allah bukanlah nama Diri Tuhan, maka tidak mengherankan jika dalam terjemahan Alkitab negara lain kita tidak menemukan nama Allah, melainkan nama Tuhan. Padahal nama Tuhan bukanlah nama Diri Tuhan, melainkan hanya sebagai sesembahan saja. Dan, jika Allah bukanlah nama Diri Tuhan, sebagaimana yang disampaikan oleh Jeff, lalu siapakah nama Tuhannya Kristen yang sebenarnya?   
   
Inkonsistensi Kristen Dalam Menggunakan Nama Tuhannya Umat Yahudi
    Ketika membahas tentang teologi Perjanjian Lama, Walter C. Kaiser berkomentar, bahwa perbedaan antara penampakan diri-Nya kepada para bapak leluhur sebagai EL Shaddai dan manifestasi-Nya sekarang kepada Musa sebagai Yhwh terus menjadi sumber perdebatan dan sumber dugaan para pakar.13 EL Shaddai (Tuhan Yang Maha Kuasa), menurut Elmer, merupakan nama yang dikenal oleh Abraham, yang nama tersebut akhirnya dikenalkan pula kepada keturunannya.14 Apa yang dikemukakan oleh Kaiser bukanlah tanpa alasan, karena memang sejak awal nama Tuhan yang dikenal terlebih dahulu oleh Abraham, sebagaimana yang dikisahkan pada Perjanjian Lama, bukanlah Yhwh, melainkan nama EL. Pendapat ini diperkuat dengan adanya pendapat dari Marthinus yang menyatakan bahwa, “Umat Israel menggunakan nama‘EL’ untuk menyebut Allah yang telah menyatakan diri-Nya kepada para leluhur mereka sebagai Allah Abraham, Allah Ishak, dan Allah Yakub. Hal ini dapat dimengerti dengan memperhatikan adanya hubungan kekeluargaan yang erat antara bangsa Israel dengan bangsa Aram (Ulangan 26:5-6), salah satu dari bangsa-bangsa Kanaan.”15 Dari adanya kedekatan sosial budaya tersebut, maka tidak mengherankan jika pada akhirnya EL digunakan oleh Israel, di samping digunakan pula oleh bangsa Aram yang memang dalam keyakinannya itu telah menggunakan nama EL sebagai sesembahan atau dewanya.16    
    Selain El Shaddai, terdapat pula nama-nama lain yang diawali dengan EL, seperti: El elyon, El Olam, dan lain-lain. Nama-nama Tuhan dengan awal kata EL pertama kali dikenal oleh Abraham, Ishak, dan Yakub, yang kemudian pada masa Musa, nama Yhwh muncul. Dan nama EL, tidak memiliki kejelasan tentang sejauh mana nama tersebut bisa berfungsi sebagai nama Tuhan.17 Karena dengan adanya kemunculan kata Yhwh yang dianggap sebagai nama diri Tuhan, namun pada kenyataannya tidak serta-merta pula menghapus kata EL (jamak: Elohim), karena nama EL tersebut ternyata masih tetap digunakan bersamaan dengan kata Yhwh (Keluaran 5:1).18 Lalu, apakah Yhwh dan EL sebenarnya satu Tuhan ataukah memang dua Tuhan yang saling berbeda? Menurut De Moor, “…EL and Yhwh were designation of the same God”, sedangkan menurut Anton Wessels merumuskannya, “One could say that EL has been fused with Yhwh in one way or another.” 19 Jika nama El dan Yhwh adalah Tuhan yang sama atau yang melebur menjadi satu, tentunya pandangan tersebut telah membenarkan hasil study yang dilakukan oleh Blommendaal. Karena menurutnya, sebelum Yhwh berhadapan langsung dengan Baal, El telah lebih dahulu menjalani proses adaptasi terhadap Baal pada masa pra-Yebusit. Selanjutnya, ia menjelaskan, ketika nama Yhwh dihubungkan dan disamakan dengan nama EL atau El Elyon, maka secara tidak langsung unsur-unsur maupun motif-motif Baal ikut terserap pula.20   
    Terkait nama EL yang dianggap sebagai asal-usul kata ilah, Bambang Nooersena telah mengutip pernyataan dari Spencer Trimingham, bahwa suku Arab Nabatea memiliki perbedaan dengan suku-suku Aram lainnya, di mana Arab Nabatea masih mempertahankan jati diri Arab mereka, meskipun sejumlah nama-nama mereka mengadopsi nama-nama dewa mereka, sebagaimana kebiasaan orang Israel mencantumkan nama EL atau Yah (bentuk singkat Yhwh). Ia menambahkan, di antara dewa-dewa lokal itu, ada sembahan yang lebih universal yang dikenal dengan EL yang secara tegas dieja dalam bentuk‘alh. Orang Yahudi membacanya dengan Eloah, Eloh (im), yang dalam bahasa Aram akar kata itu dibaca Elah, Alaha, sedangkan orang Arab membacanya dengan ilah, al-ilah, al-Lah. Menurutnya, kata Allah ini telah muncul dalam sejumlah nama diri Arab, jauh sebelum bahasa Arab sendiri berkembang dalam bentuk bahasa tulisan pada masa Kristen, yang selanjutnya diuniversalkan pada zaman Islam.21 Dari adanya akar kata dan pelafalan itulah, maka pada akhirnya orang-orang Kristen dan juga sebagian umat Islam meyakini bahwa asal-usul nama Allah berasal dari kata ilah, di mana ilah sendiri merupakan kata yang memiliki arti atau makna yang sama dengan EL dalam bahasa Ibrani, dan juga kata Alaha atau Elah dalam bahasa Aram. Dan, di kalangan para ahli Kristen, akar kata tersebut telah diinterpretasikan secara berbeda-beda, dikarenakan tidak adanya kesepakatan di antara mereka dalam menyepakati arti etimologis akar katanya itu.22  
    Lalu, bagaimana dengan Yhwh? Menurut Mu’arif, Yhwh merupakan kata yang memiliki padanan dengan kata “Yahoo”, di mana kata “Yahoo” berasal atau sama dengan “Yah”. Kedua kata itu sama maknanya, yaitu suatu nama yang menunjukan nama dewa bagi bangsa Kanaan. Selain itu, Yah pun sejajar dengan Dewa Ba’al, yang pada akhirnya diadopsi oleh Israel sebagai nama Tuhannya mereka.23 Meskipun di kemudian hari, Israel mengalami kesulitan dalam mengucapkan tetragramaton (Yhwh) tersebut, maka pada akhirnya nama itu pun diubah dengan nama Hashem atau Adonai, yang disebabkan adanya larangan untuk tidak mengucapkan nama Yhwh dengan sembarangan (Keluaran 20:7 dan Ulangan 5:11). Dari adanya penggunaan nama Adonai yang menggantikan nama Yhwh, maka lama kelamaan nama Yhwh pun tidak lagi digunakan sama sekali, yang hal tersebut terbukti dengan adanya nama Septuaginta yang tidak lagi menggunakan nama Yhwh, tetapi menggantikannya dengan nama Kurios.24 Sedangkan menurut Karen Armstrong, Kurios adalah gelar,25 dan jika Kurios adalah gelar, maka tentu saja nama Kurios bukanlah nama Tuhan.
    Adanya anggapan bahwa kurios bisa diartikan sebagai Tuhan yang seharusnya bermakan tuan, menurut Prof.Dr.A. Gianto SJ, bahwa kata Tuhan sebenarnya muncul sebagai ucapan hiperkorek dari huruf H dalam T-W-H-N, satu bentuk penulisan yang kurang lazim dari kata TUAN dalam ejaan Arab Melayu. Penulisan yang sesuai dengan kaidah ialah T-W-N (huruf W di situ mewakili bunyi “u” dalam silaba penultima yang terbuka, ini kaidah standart). Gianto kembali menjelaskan, bahwa huruf H dalam T-W-H-N itu sebetulnya upaya dalam penulisan pra-standart untuk memproduksi huruf (h) beraspirasi lemah yang masih terdengar di antara suku kata (tu) dan (an). Ucapan hiperkorek (tu-han) dengan (h) beraspirasi keras itu kemudian dipakai khusus untuk menyebut Tuhan dan selanjutnya makin dikembangkan pemakaiannya di kalangan Kristen dan masuk dalam kosa kata umum bahasa Melayu dan bahasa Indonesia. Demikianlah kata TUHAN menjadi kata tersendiri, yang makin terpisah dari TUAN.26   
    Dalam internal Kristen, terlepas apa pun aliran atau denomnya, ada di antara mereka yang mengklaim bahwa mereka mengetahui tentang bagaimana cara pengucapan tentang nama Yhwh, seperti: Yehovah, Yehuwa, dan juga Yahweh. Dari adanya pengklaiman Kristen tersebut, I.J. Satyabudi, seorang penulis Kristen, telah mengkritik keras sejumlah kelompok Kristen yang mengklaim bahwa Kristen lebih mengetahui cara pengucapan nama Yhwh daripada umat Yahudi sendiri. Ia menulis, “Orang-orang Yahudi di seluruh dunia tertawa terbahak-bahak ketika menyaksikan orang-orang Kristen mengklaim diriya lebih mengetahui cara pengucapan nama Yhwh dibandingkan umat Yahudi.” Jadi, bagaimana seharusnya orang Kristen memanggil nama Tuhan mereka? Dalam buku yang berjudul Waspadalah Terhadap Sekte Baru: Sekte Pengagung Yahweh, Pendeta Parhusip menuliskannya sebagai berikut: “Lalu mungkin ada yang yang bertanya: Siapakah Pencipta itu dan bagaimanakah kalau kita mau memanggil Pencipta itu? Jawabnya: Terserah pada anda! Mau panggil: Pencipta! Boleh! Mau panggil: Perkasa! Silahkan! Mau panggil: Debata! Boleh! Mau panggil: Allah! Boleh! Mau panggil: Elohim atau Theos atau God atau Lowalangi atau Tetemanis…! Silahkan! Mau memanggil bagaimana saja boleh, asalkan tujuannya itu memanggil Sang Pencipta, yang menciptakan langit dan bumi… Ya, silahkan menyebut dan memanggil Sang Pencipta itu menurut apa yang ditaruh oleh Pencipta itu di dalam hati anda, di dalam hati kita masing-masing. Lihat Roma, 2:14-15.”27   
   
Apa Tujuan Kristen Menggunakan Nama Allah?
    Dalam melakukan penerjemahan, pihak Belanda yang masuk ke Indonesia sebagai negara penjajah telah melakukan penerjemahan Alkitab, di mana penerjemahan pertama yang dilakukan oleh pihak Protestan adalah menerjemahkan Injil Matius ke dalam bahasa Melayu yang dilakukan oleh Albert Corneliusz Ruyl pada tahun 1629, kemudian disusul dengan penerjemahan Injil Markus pada tahun 1639 dalam dwibahasa Melayu-Belanda. Selanjutnya, pihak pegawai  VOC lainnya, Jan Van Hasel menerjemahkan Injil Lukas dan Yohanes, sedangkan untuk Kisah Para Rasul diterjemahkan oleh Pendeta di Batavia, Justus Heurnius.28 Sedangkan penggunaan nama Allah yang terdapat di dalam Alkitab merupakan sebuah keputusan yang diambil oleh penerjemah yang disebabkan karena adanya kebingungan yang dialami ketika akan melakukan penerjemahan Alkitab. Terlebih, sebelum Kristen masuk ke Indonesia, telah banyak istilah atau kata yang diperuntukan atau dinisbahkan kepada Tuhan, misalnya Tuhan, Dewa, Dewi, Sang Hyang, Sang Hyang Widi, Sang Hyang Widi Wasa, Bethara, Bethari, dan Allah. Dari banyaknya nama-nama Tuhan itulah, orang-orang Kristen awal yang berada di Indonesia dan para penerjemah Alkitab harus memilih, apakah harus menggunakan nama dari bahasa awal Alkitab ataukah dari padanan kata-kata yang sudah ada di wilayah Indonesia. Akhirnya, para penerjemah Alkitab pun menerjemahkan kata Yhwh dengan kata Tuhan, sedangkan kata Elohim diterjemahkan dengan kata Allah.29 Selain itu, hasil penerjemahan yang dihasilkan oleh penerjemah, itu semua tidak terlepas dari adanya pemikiran para penerjemah yang mengikuti seleranya masing-masing, dari adanya kondisi tersebut, tentu saja antara penerjemah yang satu dengan yang lainnya akan menghasilkan perbedaan dalam penggunaan istilah atau kata yang diterjemahkannya. Misalnya, untuk orang dan tempat yang juga muncul dalam Al-Qur'an, Leijdecker dan Klinkert lebih memilih nama dalam bahasa Arab. Sedangkan Bode lebih memilih jalan lain; ia lebih menyukai penggunaan nama Jesus daripada Isa, memilih Abraham daripada Ibrahim.30  
    Perlu di pahami, bahwa agama yang memiliki misi untuk menyebarkan ajarannya kepada orang lain adalah agama Islam, dan selain Islam, agama Kristen pun termasuk pula sebagai agama misi. Salah satu metode pendekatan yang digunakan dalam melakukan misi Penginjilan adalah AIDAS, di mana metode ini merupakan metode yang telah digunakan di dalam dunia pekabaran Injil, dianggap sebagai langkah strategis untuk menawarkan keselamatan kepada seseorang (non-Kristen), dan terminologi AIDAS adalah gabungan lima kata yang terdiri dari Attention (menarik perhatian), Interest (menarik minat), Desire (membangkitkan rasa ingin tahu), Action (melakukan tindakan), dan Statisfaction (mendapatkan kepuasan atas keputusan yang diambil).31 Adapun ayat-ayat Alkitab yang mengharuskan Kristen melakukan penginjilan kepada orang lain di antaranya adalah Matius 28:19, di mana dalam melakukan penginjilan, seorang Kristen harus cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati (Matius 10:16).
    Dengan mencermati realitas Kekristenan, baik dalam perspektif lingustik-historis maupun metode penginjilan, penulis meyakini bahwa tujuan Kristen dalam menggunakan nama Allah dalam Alkitab terjemahan sebagaimana yang terjadi di Indonesia, Malaysia dan juga di negara-negara Arab lainnya, serta adanya penggunaan nama Allah sebagai nama Tuhannya Kristen, itu semua tidak terlepas dari adanya misi penginjilan (Kristenisasi) yang mereka emban selama ini. Meski dalam kenyataannya, penggunaan istilah misi dan penginjilan masih terjadi silang pendapat di kalangan para sarjana Kristen terkait tentang pendefinisian dan juga cakupannya. Namun, menurut David J. Bosch, gerakan evangelikal Protestan serta Katolik Roma lebih menyukai penggunaan istilah evangelisasi, sedangkan kaum Protestan oikumenis lebih menyukai istilah penginjilan (evangelisme). Meskipun penggunaan istilah di dalam Kristen berbeda, namun secara substansialnya memiliki makna yang sama, yaitu sama-sama mengacu tentang adanya upaya melakukan penginjilan kepada orang-orang non-Kristen.32
    Dalam Majalah Sahabat Gembala dijelaskan bahwa, untuk menjadi pemberita Injil (penginjil) ke daerah di mana bahasanya berbeda, maka seorang penginjil harus belajar bahasa daerah di mana ia akan diutus atau bahasa nasional. Selain itu, bagi seorang penginjil pun diperlukan pula melakukan pengamatan terhadap sosial budaya, di mana Injil bisa diharapkan masuk sesuai dengan budaya setempat.33 Adanya penyesuaian pola penginjilan dengan dengan bahasa dan budaya setempat, hal tersebut telah diproyeksikan dengan adanya penerjemahan Alkitab ke berbagai suku, sebagaimana yang terdapat pada suku-suku yang ada di Indonesia, di mana penerjemahan Alkitab ke berbagai suku telah menggunakan nama Tuhan yang disesuaikan dengan nama yang sudah biasa digunakan oleh suku-suku tersebut. Misalnya, untuk terjemahan Alkitab bagi suku Dayak Ngaju, untuk nama Tuhan menggunakan istilah Hatalla,34 yang hal tersebut bisa anda lihat pada Matius. 3:15. Masih dalam Injil yang sama, nama Tuhan untuk bahasa Bugis pun menggunakan istilah Allataala,35 sedangkan istilah Tuhan dalam bahasa Napu, digunakanlah istilah kata Pue Ala.36 Jika Kristen konsisten terhadap keyakinannya bahwa nama sesembahan mereka selama ini adalah Allah, tentunya Alkitab yang diterjemahkan ke berbagai bahasa pun seharusnya menggunakan kata Allah. Namun, mengapa Alkitab yang telah diterjemahkan ke berbagai bahasa mengalami perubahan nama terkait nama Tuhannya Kristen?    
    Penggunaan nama Allah oleh Kristen, baik dalam penggunaan dalam Alkitab maupun dalam pengklaiman mereka bahwa kata Allah bukanlah milik umat Islam saja, melainkan kata tersebut sudah umum digunakan oleh siapa pun kala itu, hal tersebut patut kita waspadai secara dini oleh umat Islam. Karena jika kita mengiyakan pendapat mereka, tentunya suatu saat akan ada nama-nama gereja yang bertuliskan Gereja Abdullah, Gereja Nuh, Gereja Ibrahim, Gereja At-Tin, dan lain-lain. Bahkan, istilah maulid pun akan mereka gunakan pula, sebagaimana alasan mereka saat menggunakan nama Allah. Dan jika itu terjadi, dikhawatirkan pula mereka akan mendorong umat Islam supaya menggunakan Mesjidnya dengan nama Mesjid Haleluyah, Mesjid Yahweh, Mesjid Yesus Kristus, dan lain-lain. Kaum Muslimin sejak dulu hingga kini konsisten dalam menggunakan nama Diri Tuhannya, yaitu Allah, di mana kondisi tersebut tidak di alami oleh kaum Kristiani, yang hal tersebut terbukti dari adanya perbedaan penerjemahan Alkitab di berbagai negara, di samping masih adanya pihak-pihak Kristen yang berbeda pendapat dalam menggunakan nama Diri Tuhannya.  

Kesimpulan
    Tentang siapakah nama Tuhannya Kristen yang sebenarnya, hingga saat ini masih terjadi perbedaan pendapat dalam internal Kristen, yang secara umum terpecah menjadi dua kelompok besar. Kelompok pertama, meyakini bahwa nama Tuhannya Kristen adalah Allah. Namun di sisi lain, Alkitab terjemahan dari bahasa negara lain pun tidak menggunakan nama Allah. Kedua, nama Tuhan Kristen itu dalah Yhwh. Padahal, orang Yahudi pun tidak mampu mengucapkan atau melafalkan nama Yhwh. Lalu, bagaimana caranya Kristen mengucapkan nama Yhwh yang tidak bisa diucapkannya itu? Tetapi, jika nama Tuhannya Kristen itu adalah EL, tentunya nama Tuhannya Kristen sama dengan bangsa pagan di wilayah Kanaan. Lalu, siapakah nama Tuhannya Kristen yang sebenarnya?    
    Kristen selalu berupaya sekuat mungkin untuk melakukan Kristenisasi terhadap kaum Muslimin. Dengan melakukan pendekatan secara sosial-budaya, mereka berharap akan ada banyak dari kaum Muslimin yang terkecoh dan akhirnya masuk ke dalam agama Kristen, dan hal tersebut terbukti, selain adanya penggunaan nama Allah oleh Kristen, Kristen pun telah lama pula melakukan penyebaran kaos yang bertuliskan dengan kalimat Doa Bapa Kami dengan menggunakan bahasa Arab. Penggunaan nama Allah oleh Kristen, hal tersebut bukanlah karena alasan teologis, namun lebih mengarah pada pendekatan sosial-budaya dalam upaya untuk memurtadkan umat Islam sebanyak mungkin.


Catatan Kaki
1. http://nasraniindonesia.org/12490-2/ di akses pada tanggal 18 Februari 2019.
2. Herlianto, Nama Allah: Nama Tuhan Yang Dipermasalahkan, (Bandung: Mitra Pustaka dan Yabina Ministry, 2006), hal. 47.
3. Jonathan E. Culver, Sejarah Gereja Asia, (Bandung: Biji Sesawi, 2014), hal. 23.
4. Ibid., hal. 42-50.
5. Bambang Subandrijo, Yesus Sang titik Temu Dan Titik Tengkar: Sebuah Studi Tentang Pandangan Kristen dan Muslim Di Indonesia Mengenai Yesus, (Jakarta: Unit Publikasi dan Informasi STT Jakarta dan BPK Gunung Mulia, 2016), hal. 202.
6. Hendri Wijayatsih et.al (ed.), dalam judul Kata Allah Dalam Tradisi Agama Semitik, Memahami Kebenaran Yang Lain Sebagai Upaya Pembaharuan Hidup Bersama, (Yogyakarta: Pustaka Kristen, 2010), hal. 108-109.   
7. http://www.biblestudytools.com/kjv/matthew/22.html   di akses pada tanggal 17 Februari 2019.
8. www.online-bijbel.nl/bijbelboek/Mattheus/22/  di akses pada tanggal 17 Februari 2019.
9. http://www.biblestudytools.com/lsg/matthieu/22.html  di akses pada tanggal 17 Februari 2019.
10. http://alkitab.sabda.org/verse.php?book=mat&chapter=22&verse=32  di akses pada tanggal 17 Februari 2019.
11. http://textusreceptusbibles.com/TRNTV/40/22  di akses pada tanggal 17 Februari 2019.
12. Tabloid Reformata, dalam Laporan Khusus dengan topik: Mengapa Harus Memakai Allah, Edisi 172, Tahun X 1-28 Februari 2014, hal. 18.
13. Walter C. Kaiser, Jr., Teologi Perjanjian Lama, (Malang: Gandum Mas, 2013), hal. 144.
14. Elmer L. Towns, Nama-Nama Allah, terj. Lee Roy Robertson dan Hariyono, (Yogyakarta: Andi, 2008), hal. 61.
15. Marthinus Theodorus Mawene, Perjanjian Lama Dan Teologi Kontekstual, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), hal. 28.
16. TH.C. Vriezen, Agama Israel Kuno, terj. I.J. Cairns, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), hal. 51.
17. Tom Jacobs, Terjemahan Dalam Konteks Lintas Bahasa Dan Budaya: Menerjemahkan Nama Allah, Satu Alkitab Beragam Terjemahan, (Jakarta: LAI, 2005), hal. 55.
18. Hendri Wijayatsih et.al (ed.), op.cit., hal. 106.
19. Andar Ismail (ed.), Mulai Dari Musa Dan Segala Nabi: Buku Perayaan / Festschrift Dr. Arie de Kuiper, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), hal. 4.
20. Marthinus Theodorus Mawene, op.cit., hal. 38.
21. Bambang Noorsena, The History of Allah, (Yogyakarta: Andi, 2006), hal. 65-66.
22. S. Tano Simamora, Bibel: Warisan Iman, Sejarah dan Budaya, (Jakarta: Obor, 2014), hal. 196.
23. Mu’arif, Monoteisme Samawi Autentik, (Yogyakarta: Ircisod, 2018), hal 275.   
24. Tom Jacobs, op.cit., hal 57.
25. Karen Armstrong, Sejarah Tuhan: Kisah 4.000 Tahun Pencarian Tuhan Dalam Agama-Agama Manusia, terj. Zaimul Am, (Bandung: Mizan, 2012), hal 149.
26. Lihat cataan kaki, ketika Tom Jacobs sedang menyampaikan kata kurios, sebagaimana informasi yang ia dapatkan dari Gianto (Tom Jacobs, op.cit., hal 63).
27. Adian Husaini, Kerukunan Beragama Dan Kontroversi Penggunaan Kata “Allah” Dalam Agama Kristen, (Jakarta: Gema Insani Press, 2015), hal 94-95.
28. Aco Manafe et.al, Menabur Firman Di Nusantara, (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2004), hal. 109.
29. Bambang Ruseno Utomo, Terjemahan Alkitab Dalam Konteks Lintas Bahasa Dan Budaya: Menerjemahkan Nama Allah, Satu Alkitab Beragam Terjemahan, (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2005), hal. 72.
30. J.L. Swellengrebel, Mengikuti Jejak Leijdecker Jilid 2 (1900-1970): Satu Setengah Abad Penerjemahan Alkitab Dan Penelitian Bahasa Dalam Bahasa-Bahasa Nusantara, terj. A. Hadiwiyata dan Th. Van den End, (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2006), hal. 305.
31. Majalah Sahabat Gembala, dalam Rubrik Realita dengan tema Metode Aidas Dalam Menginjili, Edisi Agustus-September 2009, hal 19.
32. David J. Bosch, Transformasi Kristen: Sejarah Teologi Misi Yang Mengubah Dan Berubah, terj. Stephen Suleeman, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), hal. 627.
33. Majalah Sahabat Gembala, dalam Rubrik Ensi dengan tema Evangelis, Edisi Agustus-September 2009, hal 23.
34. http://alkitab.mobi/ngaju/Mat/3/  di akses pada tanggal 18 Februari 2019.
35. http://alkitab.mobi/bugis/Mat/3/  di akses pada tanggal 18 Februari 2019.
36. http://alkitab.mobi/napu/Mat/3/  di akses pada tanggal 18 Februari 2019.

Comments