Siapakah Yang Dimaksud Dengan Ahli Kitab?

Oleh: Sang Misionaris

Pendahuluan
    Adanya persoalan tentang siapakah Ahli Kitab yang dimaksud dalam Al-Qur’an, begitu sangat penting untuk diketahui dan dipahami secara seksama oleh kaum Muslimin, karena persoalan tersebut akan menggiring kita kepada pemahaman apakah semua Ahli Kitab itu Kafir ataukah tidak sama sekali. Dan jika kita memiliki pemahaman yang salah tentang Ahli Kitab, tentunya akan menggiring terhadap keyakinan bahwa semua Ahli Kitab akan masuk surga, sebagaimana yang diyakini oleh pihak pluralis, atau begitu juga sebaliknya akan melahirkan sebuah keyakinan bahwa semua Ahli Kitab masuk neraka. Oleh karena itu, ketika kita membahas tentang siapakah yang dimaksud dengan Ahli Kitab, tentunya kita pun harus merujuk kepada pandangan Ahli Kitab menurut Islam, bukan berdasarkan pada pandangan Yahudi maupun Kristen, karena jika pembahasan yang ada tidak ada tolok ukurnya, tentunya akan menghasilkan pemahaman yang salah kaprah dikarenakan tidak adanya batasan-batasan yang jelas, sebagaimana yang telah terjadi pada pihak pluralis selama ini.

Makna Ahli Kitab
    Dalam Al-Qur'an terdapat banyak ayat yang mengisahkan tentang Ahli Kitab dan juga perbuatannya. Adapun ayat-ayat tentang Ahli Kitab di dalam Al-Qur’an adalah Surat Al-Baqarah:105,109; Ali-Imran:64-65,69; dan lain-lain. Namun sebelum membahas hal tersebut, alangkah baiknya kita pun mengetahui terlebih dahulu tentang makna Ahli Kitab itu sendiri.
    Menurut Muhammad Galib,1 Ahli Kitab terdiri dari dua kata, yaitu Ahl dan Kitab. Kata Ahli terdiri dari huruf alif, ha, dan lam, yang secara literal mengandung pengertian ramah, senang, atau suka. Kata Ahl pun memiliki makna sebagai orang yang tinggal bersama dalam suatu tempat tertentu, di samping memiliki pula makna sebagai masyarakat atau komunitas. Kata tersebut kemudian digunakan untuk menunju kepada sesuatu yang memiliki hubungan yang sangat dekat, seperti ungkapan ahlu al-rijal, yaitu orang yang menghimpun mereka, baik karena hubungan nasab maupun agama, atau hal-hal yang setara dengannya, seperti profesi, etnis, dan komunitas. Bahkan, sebuah keluarga pun disebut pula dengan ahl karena anggota-anggotanya diikat oleh hubungan nasab, termasuk pula komunitas yang mendiami daerah tertentu disebut juga sebagai ahl dikarenakan mereka telah diikat oleh hubungan geografis. Kata ahl telah disebutkan sebanyak 125 kali di dalam Al-Qur’an. Kata tersebut, ditemukan penggunaannya secara bervariasi. Tetapi secara umum, makna yang dikandungnya dapat dikembalikan kepada pengertian kebahasaan. Misalnya, menunjuk kepada suatu kelompok tertentu, seperti ahl al-bayt (Qs. 33:33) yang ditujukan kepada keluarganya Nabi Muhammad . Term Ahli Kitab pun dapat menunjuk pula kepada penduduk (Qs. 28:45), menunjuk kepada penganut suatu paham dan pemilik ajaran tertentu (Qs. 2:105).
    Sedangkan kata al-Kitab yang terdiri atas huruf kaf, ta dan ba, secara literal memiliki pengertian menghimpun sesuatu dengan sesuatu yang lain, seperti menghimpun kulit binatang yang lainnya yang telah disamak dengan menjahitnya. Selain itu, term al-kitab pun diartikan pula sebagai tulisan, karena tulisan itu sendiri menunjukkan rangkaian dari beberapa huruf. Termasuk pula Firman Allah yang diturunkan kepada Rasul-Nya, disebut dengan al-Kitab karena ia merupakan himpunan dari beberapa lafazh. Dalam Al-Qur’an, kata al-Kitab telah disebutkan sekitar 319 kali yang terdiri dari perbedaan variasi, meliputi pengertian tulisan, kitab, ketentuan dan kewajiban. Term al-Kitab yang menunjuk kepada kitab suci yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya, penggunaannya bersifat umum, dalam arti, meliputi semua kitab suci yang telah diturunkan oleh Allah, baik kitab suci yang telah diturunkan kepada Nabi dan rasul sebelum Nabi Muhammad , seperti Nabi Musa dan Nabi Isa. Dengan demikian, term al-Kitab mengacu kepada komunitas atau kelompok pemeluk agama yang memiliki kitab suci yang diwahyukan oleh Allah kepada nabi dan rasul-Nya.

Siapakah Ahli Kitab Itu?   
    Meskipun secara eksplisit istilah Ahli Kitab telah digunakan di dalam Al-Qur’an, di mana dari istilah tersebut merujuk kepada Yahudi dan Nasrani, beberapa kalangan masih berbeda pendapat terkait para pemeluk agama yang dikategorikan sebagai Ahli Kitab. Muhammad Ibnu Idris al-Shafi’i telah memberikan batasan tentang istilah Ahli Kitab, di mana menurutnya, hanya kepada keturunan Bani Israel saja, yaitu Yahudi dan Kristen yang memiliki garis keturunan Israel. Sedangkan masyarakat yang yang bukan dari keturunan Israel, menurutnya, tidaklah dikategorikan sebagai Ahli Kitab, walaupun mereka mempunyai keimanan yang sama dengan Yahudi dan Nasrani. Asy-Syafi’i menjelaskan, bahwa Ahli Kitab hanya terbatas kepada Yahudi dan Kristen yang berasal dari keturunan Israel, karena nabi mereka yang bernama Nabi Musa dan Nabi Isa hanya diutus kepada mereka dan bukan kepada kaum yang lainnya. Karena Taurat dan Injil diwahyukan kepada mereka, maka Al-Qur’an pun membenarkan kedudukan mereka dengan menamakannya sebagai Ahli Kitab, dan golongan Syafi’iyah dan Hanabilah, seperti Abu Ishaq Ibrahim Ibn Ali al-Sharazi asy-Syafi’i dan Abu Muhammad ‘Abdullah Ibu Ahmad Ibnu Qudamah al-Maqdisi al-Hanbali, telah sependapat dengan Imam Asy-Syafi’i. Menurut mereka, bahwa istilah al-tai’fataini (dua kelompok) yang terdapat dalam Surat Al-An’am ayat 156, telah mengindikasikan bahwa ayat tersebut adalah Yahudi dan Nasrani sebagai keturunan Israel. Oleh sebab itu, ini adalah sebuah bukti bahwa hanya mereka sajalah yang dikenal sebagai Ahli Kitab.2
    Berbeda dengan Imam Syafi’i, Ath-Thabari (224-310 H) yang meyakini Ahli Kitab sebagai ideologis, di mana ia telah meyakini bahwa istilah Ahli Kitab menunjuk kepada agama Yahudi dan juga Nasrani, meskipun pemeluknya itu bukan dari kalangan keturunan Israel.3 Abu Hanifah al-Nu’man Ibnu Thabit, dalam menyikapi Ahlul Kitab, beliau telah menawarkan suatu pertimbangan. Menurutnya, Ahlul Kitab tidak hanya dari Yahudi dan Kristen keturunan Israel, melainkan orang-orang yang telah menerima lembaran-lembaran wahyu Nabi Ibrahim dan Shith atau Kitab Zabur Nabi Daud. Adapun yang sependapat dengan Abu Hanifah adalah Abu Muhammad Ali Ibnu Hazm, golongan Hanafiyah, dan segolongan dari Hanabilah. Bahkan Ibnu Hazm, telah memperhatikan golongan Zoroaster dan Sabian (al-Sabi’un) sebagai Ahli Kitab.4 Sedangkan menurut Thabathaba’i, salah seorang pemuka agama Syiah, disamping menganggap Yahudi dan Kristen sebagai Ahli Kitab, ia pun telah memasukkan pula Majusi dan Shabi’in sebagai Ahli Kitab. Karena menurutnya, mereka telah memiliki nabi, yaitu Zoroaster dan kitab sucinya, yaitu Avesta, meskipun ia sendiri mengakui bahwa sejarah hidup dan masa kemunculan agama ini sangat tidak jelas. Dalam uraiannya yang lain, ia pun menjelaskan pula bahwa Majusi memiliki nabi, tetapi kemudian nabi tersebut mereka bunuh dan juga telah memiliki kitab, tetapi kemudian kitab yang terdiri dari 12.000 jilid tersebut dibakar.5
    Syekh Muhammad Abduh dan Abu al-‘Aliyah pun memiliki pendapat yang senada dengan Thabathaba’i, meskipun mereka berdua tidak memasukkan Majusi sebagai Ahli Kitab, di mana argumen dari kedua orang tersebut didasari oleh Surat Al-Baqarah ayat 62. Sedangkan menurut Abdul Hamid, tidak saja Yahudi dan Kristen yang termasuk sebagai Ahli Kitab, agama Majusi pun termasuk pula di dalamnya, yang argumentasinya itu didasari oleh Surat al-Hajj ayat 17. Berbeda dengan semua pendapat di atas, Maulana Muhammad Ali berpendapat, bahwa agama yang termasuk sebagai Ahli Kitab adalah Kristen, Yahudi, Budha dan Hindu (termasuk Sikh). Bahkan, Maulana Muhammad Ali pun telah memberikan kritikan kepada para fuqaha, di mana menurutnya, suatu hal yang aneh jika kaum Majusi tidak diakui sebagai kaum Ahli Kitab. Padahal dalam kitab Hidayah (Al-Qur’an), dikatakan secara terang-terangan bahwa kaum Shabi’un diakui sebagai Ahli Kitab. Jika mereka diakui sebagai Ahli Kitab karena mereka menganut agama Shabi’un dan mempunyai kitab suci, maka tidak ada alasan untuk tidak mengakui Majusi, kaum Hindu, dan penganut agama lain yang sama-sama mempunyai kitab suci, sebagai Ahli Kitab. Dan pendapat yang senada pun dikemukakan pula oleh Muhammad Rasyid Ridha, yang menurutnya, selain agama Yahudi dan Kristen, agama Majusi dan Shabi’un pun termasuk ke dalam Ahli Kitab. Bahkan di luar itu, menurutnya, masih ada kelompok lain yang termasuk sebagai Ahli Kitab, yaitu Hindu, Budha, Kong Fu Tse, dan Shinto.6
    Menurut Syekh Nawawi al-Bantani, bahwa agama yang termasuk Ahli Kitab adalah Yahudi dan Nasrani. Hal itu telah ia tegaskan ketika menyebutkan kalimat Ya Ahlul Kitab pasti diikuti dengan kalimat al-Yahud wa al-Nashara, atau al-Yahud saja, atau pun al-Nashara saja, sesuai dengan konteks ayat dengan tidak menyebutkan umat yang lain. Misalnya, ketika Syekh Nawawi menyebutkan Ahlul Kitab yang diikuti dengan kalimat al-Yahud wa al-Nashara dalam Surat Ali-Imran ayat 65; yang diikuti dengan kata al-Yahud saja terdapat pada Surat Al-Baqarah ayat 105; dan yang diikuti dengan al-Nashara saja terdapat pada Surat An-Nisa ayat 171. Selain itu, ia pun berpendapat bahwa kaum al-Shabi’in dan al-Majusi tidaklah termasuk sebagai Ahli Kitab, melainkan termasuk sebagai kaum musyrikin. Maka tidaklah benar, jika ada yang berpendapat bahwa Majusi dari golongan Ahli Kitab dengan menukil pendapatnya dari Yusuf Qardhawi, bahwa jizyah adalah pajak tahunan yang diambil dari setiap orang Ahlul Zimmah berupa sejumlah kecil uang yang dikenakan atas kaum pria yang baligh dan memiliki kemampuan, dengan besarannya itu disesuaikan dengan kekayaannya masing-masing. Sedangkan adanya pendapat bahwa Majusi, Zoroaster, Sabi’in, Hindu, Budha dan Konfusius sebagai kelompok Ahlul Kitab adalah pendapat yang lemah dan tanpa didasari oleh dalil syara’ ataupun dari hadits Nabi Muhammad . Dan pendapat itulah yang selalu diangkat oleh pihak Liberal, sehingga pada akhirnya mereka memperbolehkan kaum Muslimin dari laki-laki untuk menikah dengan wanita dari agama-agama tersebut.7 Bahkan lebih dari itu, Legenhausen, yang dianggap sebagai seorang inklusivis Ahli Kitab, telah meyakini bahwa orang-orang saleh seperti halnya orang-orang Hindu dan Budhis, kelak akan mendapatkan keselamatan di akherat nanti.8 Senada dengan Legenhausen, Fazlur Rahman pun meyakini pula adanya kebajikan universal atau teologi universal di dalam agama Islam, meski tidak memberikan sedikit pun batasan terhadap penerima keselamatan itu sendiri. Bahkan, ia telah menganggap para ulama salah ketika mereka menafsirkan Surat Al-Baqarah ayat 62 dan Al-Maidah ayat 69. Karena menurutnya, siapa pun yang telah mempercayai Allah dan hari kiamat serta melakukan amal kebajikan, maka mereka akan mendapatkan keselamatan.9
  Dari adanya pandangan yang telah memasukkan semua agama lain sebagai Ahli Kitab, tentunya telah berdampak pada keselamatan yang akan mereka peroleh di akherat nanti, sebagaimana yang telah diyakini oleh Legenhausen dan Fazlur Rahman di atas. Dari adanya pandangan tersebut, termasuk pula pandangan pihak pluralis tentang adanya keselamatan di luar Islam, dalam arti bahwa semua agama dianggap sebagai Ahlul Kitab dan tidak ada bedanya antara Islam dengan agama-agama lain, maka semua akan sama-sama mendapatkan keselamatan di akherat kelak. Tentu saja, pandangan itu telah bertentangan dengan Surat Al-Maidah ayat 3, di mana dalam ayat tersebut dinyatakan bahwa agama yang diridhai oleh Allah hanyalah Islam. Di samping pandangan tersebut telah bertentangan dengan Al-Qur’an, pandangan mereka pun telah bertentangan pula dengan para mufassir klasik, seperti halnya al-Thabary, al-Qurthuby dan Ibnu Katsir yang telah mengatakan bahwa term Ahli Kitab hanya tertuju kepada komunitas Yahudi dan Nashrani saja.10   
    Suatu hal yang masuk akal, baik ditinjau dari mereka yang diberi lembaran suci (suhuf) Nabi Ibrahim dan Shith, atau Kitab Zabur Nabi Daud digolongkan sebagai Ahlul Kitab. Namun demikian, posisi mereka tidaklah sepenting agama Yahudi dan Kristen, dikarenakan kitab yang mereka imani hanya berisi tentang nasehat-nasehat keagamaan dan petuah-petuah keteladanan, sedangkan Taurat dan Injil berisikan hukum atau undang-undang yang harus dilaksanakan oleh Yahudi dan Kristen. Dan suatu hal sangat janggal, jika kita pun menganggap bahwa setiap masyarakat yang mempunyai agama dan kitab suci seperti Hindu, Budha, Sikh, Taoisme dan Kong Hu Chu sebagai Ahli Kitab. Walaupun mereka mengklaim beragama dan menerima kitab suci, namun itu tidaklah berarti bahwa mereka menganut agama samawi dan kemudian dikategorikan sebagai Ahli Kitab.
    Sebagai contoh adalah agama Hindu. Abu Rayhan Muhammad Ibnu Ahmad al-Biruni (w.443/1051), pernah melakukan riset yang mendalam tentang agama Hindu, dan ia tidak pernah menyatakan bahwa penganut agama tersebut sebagai Ahli Kitab. Bahkan, ia menilai bahwa orang-orang tersebut mempercayai adanya Tuhan (deist). Hal tersebut tentunya sejalan dengan pandangannya Ibnu Hazm dan al-Shahrastani. Ibnu Hazm menganggap agama Hindu, khususnya Brahman, sebagai golongan yang mempercayai adanya Tuhan dan mengkategorikannya sebagai tradisi-tradisi keagamaan India dan Timur jauh pada umumnya sebagai bentuk penyelewengan dari agama Sabian. Demikian juga Al-Shahrastani, ia berpandangan bahwa Hindu dan Budha adalah golongan yang mempercayai adanya Tuhan yang mempunyai kitab suci dan hukum yang tetap. Walaupun penelitian akhir-akhir ini menunjukkan bahwa agama Hindu berasal dari agama monoistik dan sebagian teks-teks suci mereka, seperti Weda, Purana dan Mahabrata menyebutkan tentang adanya Kenabian Nabi Muhammad , sifat penelitian tersebut masih belum dapat dipastikan dan memerlukan studi kritis lebih lanjut. Bahkan agama Sikh, yang didirikan oleh Guru Nanak, lebih krusial karena ia adalah agama-budaya yang maju dengan kombinasi antara Islam dan Hindu. Begitu juga dengan agama Taoisme dan Kong Hu Cu adalah agama yang tersusun dari keyakinan dan ritual campuran.11
    Oleh karena itu, maka sangat jelas jika istilah Ahli Kitab hanya ditujukan kepada Yahudi dan Kristen dari keturunan Israel, sebagaimana yang telah dipaparkan oleh Imam Syafi’i dan juga Syekh Nawawi al-Bantani di atas, karena dari kedua agama tersebut, Al-Qur’an telah menyebutkan mereka dengan nama ini untuk menunjukkan bahwa mereka adalah pemegang kitab-kitab yang memiliki ajaran-ajaran yang hanya dikhususkan bagi mereka saja. Meskipun demikian, orang-orang yang pindah kepada Yahudi dan Kristen, tidak bisa dianggap sebagai Ahli Kitab, dikarenakan mereka bukanlah orang-orang yang berasal dari keturunan Israel. Di samping itu, agama-agama selain agama Yahudi dan Kristen, tidaklah termasuk pula sebagai Ahli Kitab dikarenakan tidak adanya basis data yang memadai bahwa para pemeluk agama-agama tersebut layak untuk dianggap sebagai Ahli Kitab, sebagaimana yang telah diutarakan di atas.

Kesimpulan
    Para ulama sepakat bahwa para pemeluk agama Yahudi dan Nasrani termasuk sebagai Ahli Kitab, terjadinya kesepakatan di kalangan ulama tentang agama-agama tersebut merupakan sebuah alasan yang logis, dikarenakan di dalam Al-Qur’an telah banyak ayat-ayat yang mengisahkan tentang Ahli Kitab, di mana ayat-ayat yang ada selalu menunjukkan kepada keduanya atau salah satu dari agama tersebut. Adanya penunjukkan bahwa Majusi, Budha, Hindu, dan lain-lain adalah termasuk Ahli Kitab, sesungguhnya pendapat tersebut tidaklah berdiri di atas basis data yang memadai, di samping analisa tersebut masih bersifat spekulatif. Hal tersebut terjadi karena tidak ada pengisahan mereka di dalam Al-Qur’an, baik secara eksplisit dan juga implisit, yang telah menunjukkan bahwa para pemeluk agama tersebut termasuk sebagai Ahli Kitab, di samping kitab-kitab yang mereka yakini selama ini bukanlah berasal dari Allah. Oleh karena itu, sebuah kesalahan yang fatal, ketika tidak adanya basis data yang memadai bahwa agama-agama non-Yahudi dan Kristen dianggap sebagai Ahli Kitab, apalagi menganggap mereka akan mendapatkan keselamatan seperti halnya kaum Muslimin, sebagaimana halnya keyakinan pluralis.

Catatan Kaki:
1. Muhammad Galib M, Ahl Al-Kitab, (Yogyakarta: Ircisod, 2016), hlm. 39-43.
2. Adnin Armas (peny.), Pluralisme Agama: Telaah Kritis Cendekiawan Muslim, (Jakarta: Insists, 2013), hlm. 157-158.   
3. Muhammad Galib M, op.cit., hlm. 59.
4. Adnin Armas (peny.), op.cit., hlm. 159.
5. Waryono Abdul Ghafur, Persaudaraan Agama-Agama: Millah Ibrahim Dalam Tafsir Al-Mizan, (Bandung: Mizan Pustaka, 2016), hlm. 137-138.
6. Muhammad Galib M, op.cit., hlm. 61-65.
7. http://insists.id/syekh-nawawi-al-bantani-tentang-ahlul-kitab/ diakses pada Tanggal 29 April 2019.  
8. Mohammad Hassan Khalil, Islam Dan Keselamatan Pemeluk Agama Lain, terj. Chandra Utama, (Bandung: Mizan, 2016), hlm. 252.
9. Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-Qur’an, terj. Anas Mahyuddin, (Bandung: Pustaka, 1996), hlm. 239.
10. http://insists.id/siapa-ahlul-kitab/ diakses pada Tanggal 29 April 2019.
11. Adnin Armas (peny.), op.cit., hlm. 162.
   
   
     

Comments