Mushaf Ali Bin Abi Thalib

 
Oleh: Sang Misionaris

    Orang pertama yang yang mengumpulkan Al-Quran setelah wafatnya Nabi Muhammad adalah Ali bin Abi Thalib1 dan sebelum Ali, telah ada beberapa para sahabat lainnya yang telah melakukan pengumpulan tersebut,2 misalnya Ibnu Mas'ud, Ubay bin Ka'ab, Ibnu Abbas, dan lain-lain. Mengenai mushaf Ali bin Abi Thalib, Jeffery sendiri mengakui adanya perbedaan pendapat, ada yang berpendapat bahwa mushaf Ali disusun menurut kronologis, namun ada pula yang berpendapat bahwa surat-surat di dalam mushaf Ali disusun menjadi tujuh kelompok.3

    Ali bin Abi Thalib adalah termasuk salah satu sahabat yang menyepakati mushaf Utsmani. Dan empat dari ahli bacaan Al-Qur'an yang tujuh memiliki bacaan yang sanadnya bersambung kepada Ali bin Abi Thalib. Mereka itu adalah:4
1. Bacaan Abu ‘Amr bin ‘Ala dari Nashr bin ‘Ashim dari Yahya bin Ya’mur. Keduanya menerima bacaan dari Abu Aswad ad-Duwali, dan Abu Aswad ad-Duawali menerimanya dari Ali bin Abi Thalib.
2. Bacaan ‘Ashim bin Abi an-Nujud dari Abu Abdurrahman as-Sullami. As-Sullami menerimanya secara langsung dari Ali bin Abi Thalib, dan bacaan ‘Ashim dari jalur Hafsh bin Sulaiman bin Mughirah sekarang populer di negara-negara Timur.
3. Bacaan Hamzah az-Zayyat dari Ja’far ash-Shadiq dari Muhammad al-Baqir dari Ali Zainal Abidin dari Hasan dari Ali bin Abi Thalib
4. Bacaan al-Kisa’i dari Hamzah az-Zayyat dengan jalur sanad seperti jalur sanad pada nomor 3.
    Abu Abdullah Az-Zanjani telah mengutip pernyataan Ibn Nadim dalam kitabnya, Al-Fihrist, dalam kitabnya tersebut, Ibn Nadim mengetengahkan riwayat Ibn Munada yang bersumber dari Hasan bin Abbas, dari Abdurrahman bin Hammad, dari Hakam bin Dhahir as-Sudusi, dari Abdul Khair, dari Ali bin Abi Thalib, bahwa Ali telah menulis mushaf yang ia dapatkan dari hafalannya, yang kemudian disimpan oleh keluarga Ja’far. Bahkan, ia sendiri pernah melihat mushaf Ali pada Abi Ya’la Hamzah al-Hasani, di mana beberapa lembar mushafnya telah hilang. Dan mushaf Ali ini secara turun-menurun diwarisi oleh anak-anak Hasan bin Ali.5   
    Jika Mushaf Utsmani seandainya berisi kesalahan, dan mushaf Ali dianggap sebagai mushaf yang otoritatif, tentu saja Ali bin Abi Thalib yang telah menjadi seorang khalifah, akan melakukan perubahan dan peyesuaian terhadap mushaf tersebut. Namun pada kenyataannya, hal tersebut tidaklah pernah terjadi sama sekali. Bahkan, pada saat terjadinya perang Shiffin, para pengikut Muawiyah yang sedang dalam keadaan terdesak, telah mengangkat mushaf Utsmani sebagai tanda gencatan senjata, yang di saat itu, tidak ada seorang pun dari pengikut Ali yang merasa ragu terhadap mushaf yang telah diangkatnya itu. Bahkan Jeffery sendiri menyatakan, bahwa Ali telah menyetujui adanya kodifikasi yang telah dilakukan oleh Utsman, yang persetujuannya tersebut, secara eksplisit, terlihat dari perkataannya ketika Utsman membakar mushaf-mushaf yang lainnya, “Jika seandainya ia (Utsman) belum melakukannya, maka aku yang akan membakarnya.”6 Lebih dari itu, Mushab bin Sa’ad menyatakan bahwa masyarakat dapat menerima keputusan Utsman dan tidak ada sikap keberatan dari para sahabat lainnya, yang riwayat tersebut mendapatkan pengukuhan atas apa yang telah Ali sampaikan bahwa, “Demi Allah, dia tidak melakukan apa-apa dengan pecahan-pecahan (mushaf) kecuali dengan persetujuan kami semua (tidak ada seorang pun di antara kami yang membantahnya).” 7
    Oleh karena itu, jika seandainya Syi’ah menggugat otentisitas mushaf Utsmani, dan meyakini bahwa mushaf Ali adalah otoritatif daripada mushaf Utsmani, tentunya argumentasi tersebut tidak bernilai sama sekali dan bahkan tidak bisa diandalkan, dikarenakan tidak adanya penolakan dari Ali atas mushafnya Utsmani dan tidak adanya informasi valid bahwa mushaf milik Ali lebih otoritatif daripada mushafnya Utsman. Dan jika seandainya mushaf Ali ini selamat dari kemusnahan, dengan alasan karena telah diwarisi oleh anak-cucu Ali, tentunya hingga saat ini Syiah akan memilikinya dan akan menjadikan mushaf tersebut sebagai mushaf yang standart dan otoritatif bagi kalangan mereka. Sekalipun berbagai riwayat tentang naskah Al-Quran yang dikumpulkan Ali menyebutkan bahwa surat-surat di dalamnya disusun secara kronologis, dan sekalipun terdapat riwayat yang melaporkan bahwa ia pernah mengajarkan surat al-khal’u dan surat al-hafdu sebagai bagian Al-Quran yang diterimanya dari Rasulullah, al-Ya’qubi mengungkapkan adanya suatu aransemen atas surat-surat yang terdapat dalam mushaf Ali yang sangat berbeda darinya, yakni tidak kronologis dan tidak dimasukkannya surat al-khal dan surat al-hafd ke dalamnya. Aransemen surat-surat ini, hingga taraf tertentu, agak berbeda pula dari susunan surat dalam mushaf Utsmani. Dalam aransemen tersebut surat-surat Al-Quran dikelompokkan ke dalam tujuh bagian (juz), dan tiap bagian, diawali dengan salah satu dari ketujuh surat panjang (surat 2 sampai suarat 8) dan disebut dengan nama surat itu.8 Tentang susunan mushaf Ali, InsyaAllah akan dibahas di kemudian hari.  
    Terkait tentang surat al-khal’u dan al-hafd, yang menurut sebagian Syi’ah, dalam hal ini Syi’ah Ghulat (Syiah ekstrem), bahwa dalam mushaf Utsmani tidak terdapat dua surat tersebut. Adapun isi dari surat al-khal’u yang dimaksud adalah: “Ya Allah, sesungguhnya kami memohon pertolongan-Mu, memohon ampunan-Mu, dan kami memuji-Mu (ya Allah), kami tidak akan mengingkari-Mu. Kami melepaskan dan kamu meninggalkan orang-orang yang berbuat maksiat kepada-Mu.” Sedangkan isi dari surat al-hafdu yaitu: “Ya Allah, hanya kepada Engkau kami beribadah, dan hanya kepada-Mua kami shalat dan sujud, hanya kepada Engkau kami bergegas (menuju) dan bertindak cepat (dalam beramal) serta mengharapkan rahmat-Mu; dan kami takut azhab-Mu. Sesungguhnya azhab-Mu pasti akan menimpa orang-orang kafir.” Dan menurut Muhammad Amin Suma, bahwa kedua surat tersebut tampak jauh berbeda dari uslub bahasa Al-Quran yang lain-lain. Menurutnya, bukan semata-mata dari redaksi kalimatnya, melainkan juga dari jauh isi kandungannya. Sebab, banyak doa dalam Al-Quran yang ungkapannya tidak seperti doa tersebut. Karenanya, mudah dimengerti jika kaum Muslimin, termasuk orang-orang Syi’ah di dalamnya, sesungguhnya tegas-tegas menolak status kequr’anan dua doa tersebut. Dia menambahkan, setelah mengecek beberapa jumlah Al-Quran terbitan Iran, insyaAllah dan alhamdulillah tidak ada yang mencantumkan dua doa di atas di dalam Al-Quran maupun kitab-kitab tafsirnya dalam menuliskan surat-surat Al-Quran.9
    Selain itu, dari sejumlah riwayat yang terdapat dalam perbendaharaan kitab-kitab mashahif dan juga tafsir-tafsir tradisional, kita dapat menemukan adanya jejak-jejak varian bacaan Ali yang relatif tidak memiliki banyak perbedaan dengan bacaan yang terdapat pada mushaf Utsmani edisi Mesir, yang varian bacaan Ali ini telah dihimpun oleh Arthur Jeffery bersama dengan beberapa varian bacaan lainnya dalam mushaf-mushaf pra-Utsmani. Dari segi perbedaan vokalisasi untuk kerangka konsonantal, misalnya, Ali membaca gayra pada Qs. 1:7; lijabrail pada Qs. 2:97; nawwara dalam Qs. 24:35; dan lain-lain. Adapun adanya perbedaan titik-titik diakritis untuk kerangka grafis yang ditemukan pada mushaf Ali, misalnya: dalam Qs. 2:182 disalin dalam mushaf Ali menjadi hayfan; yaqdliya pada Qs. 6:57; di Qs. 49:10 disalin dengan ikhwanikum. Adanya perbedaan dalam kerangka konsonantal yang mengekspresikan sinonim-sinonim pun, terdapat pula pada mushaf Ali, seperti: al-shadafayni dalam Qs. 18:96, menjadi jabalyani; hashabu dalam Qs. 21:98, menjadi hathabu; dan lain-lain. Sedangkan adanya sisipan kata atau kelompok kata dalam teks mushaf Ali, yang fungsinya terlihat sebagai keterangan tambahan, contohnya adalah ihdina dalam 1:6, disisipkan kata tsabbitna; di tengah kata al-mu’minun dalam Qs. 2:285, ditambahkan kata amana, sehingga bacaannya menjadi wa amana al-Mu’mininun; dan lain-lain.10
    Meskipun ada perbedaan kecil antara mushaf Ali dengan mushaf Utsmani, sebagaimana yang telah dibahas di atas, namun salah seorang mujtahid Syi’ah modern, Sayyid al-Khaui, tidak setuju terhadap pendapat yang mengatakan bahwa Ali bin Abi Thalib memiliki mushaf khusus yang memuat beberapa kalimat yang tidak sama dengan dengan Al-Quran saat ini, menurutnya, tambahan-tambahan yang terdapat dalam mushaf Ali merupakan sebuah penafsiran yang dianggap sebagai takwil. Menurut Ath-Thabarsi, pendapat senada pun dikemukakan pula oleh sejumlah pengikut Syi’ah Imamiyah. Menurutnya, tidak ada dalam mushaf Utsmani suatu kalimat, ayat atau surat yang dikurangi, kecuali beberapa penafsiran dan takwil yang dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib benar-benar diturunkan kendati bukan termasuk Firman Allah berupa Al-Quran yang mukjizat. Alasannya, sebuah takwil terkadang dianggap sebagai Al-Quran, yang ia sendiri beralasan demikian dengan menjadikan Qs. 20:114 sebagai dasar argumennya.11    
    Di sisi lain, terdapat pengklaiman secara sepihak bahwa dalam mushaf Ali terdapat surat An-Nuraini, dan surat tersebut pernah ditulis oleh seorang orientalis yang bernama Garcin de Tassy dalam Journal Asiatique nomor 13 edisi Januari 1842 halaman 433-436. Namun ketika Ath-Thabarsi, salah seorang ulama Syiah, menukil surat An-Nuraini dari pengarang Bustan al-Madzahib, ia justru malah memberikan komentarnya sebagai berikut: “Dilihat dari pernyataannya pengarang Bustan al-Madzahib, tampak bahwa ia memperoleh suata ini dari kalangan Syiah, tapi saya belum menemukan riwayat tentang surat ini. Syaikh Muhammad bin Ali bin Syahr al-Mazandarani menyebutkan dalam al-Matsalib, bahwa orang-orang yang membukukan Al-Quran sengaja menghapus surat al-Wilayah secara keseluruhan dan kemungkinan besar surat yang dihapus adalah surat ini.” Penelitian yang dilakukan oleh ath-Thabarsi menyimpulkan dua hal point penting:
1. Ia tidak menemukan teks surat palsu ini (Surat An-Nuraini) dalam buku-buku kelompok Syi’ah. Ini merupakan indikator pertama kalau surat tersebut adalah palsu.
2.  Ia meragukan kebenaran surat al-Wilayah, sebagaimana yang diisyaratkan oleh Goldi, seorang orientalis, bahwa surat ini terdiri dari tujuh ayat.
    Selain ath-Thabarsi, seorang orientalis dari Prancis pun melakukan pula penelitian terkait asal-usul surat An-Nuraini tersebut, orang tersebut ialah R. Blachere. Menurutnya, surat tersebut adalah surat palsu yang sengaja dibuat oleh para pemalsu. Surat ini terdapat dalam buku karangan seorang penulis dari Persia yang bernama Muhsin Fani pada abad ke-17 M, dan oleh karena itu, ia menyimpulkan: “Surat An-Nuraini muncul pertama kali di Eropa. Orang pertama yang memunculkannya adalah Garcin de Tassy pada abad ke-17 M. Tahun berikutnya, tepatnya pada tahun 1843 M, teks surat ini dirubah oleh Kazhim Beik. Perubahan tersebut dimuat oleh Journal Asiatique, bagian II, halaman 414. Kazhim Beik memperhalus dan memperindah bahasa yang digunakan pada kalimat-kalimatnya dan kemudian menerjemahkannya ke dalam bahasa Perancis. Nampak sekali pada potongan-potongan kalimat yang terdapat di dalamnya meniru gaya bahasa yang digunakan oleh Al-Quran. Surat tersebut belum muncul sebelum pada abad ke-9 dan 10 M, karena seorang ahli tafsir dari aliran Syi’ah, al-Qamil, yang hidup pada masa itu tidak mendapatkannya.” Dan siapapun orangnya yang melakukan penelitian terhadap surat tersebut, seperti halnya dua orang di atas, maka akan menilai bahwa surat An-Nuraini adalah surat palsu.12      
    Dalam riwayat-riwayat bacaan mushaf Ali, terdapat corak dialek yang asing dari corak dialek Quraisy, seperti membaca kasrah, namun mushaf yang telah dinisbatkan kepada Ali dibaca dengan dhammah, padahal ia sendiri adalah orang Quraisy. Adapun contoh yang dimaksud adalah Ali membaca Qs. 1:5 (ayyaka na’budu) dengan memfathahkan huruf hamzah; QS. 2:168 dibaca khuthu’at asy-syaithan dengan hamzah, dan mendhammahkan huruf tha; Qs. 3:146 dibaca rubbiyun dengan mendhammahkan huuf ra; Qs. 6:99 dibaca quwwanun dengan mendhammahkan huruf qaf; Qs. 13:4 dibaca shunwanun dengan mendhammahkan huruf shad; dan lain-lain. Dari adanya riwayat bacaan yang didhammahkan seperti halnya di atas, menurut Abdul Syabur Syahin, itu adalah corak dialek yang dinisbatkan ke suku Tamim, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Jinni, sedangkan bacaan lainnya, ada yang berasal dari suku Asad dan juga Qais, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Hayyan.
    Untuk menguatkan argumentasinya tersebut, Abdul Syabur Syahin mengutip pernyataan dari Ibrahim Anis, “Secara umum, suku-suku nomaden lebih cenderung membaca dengan dhammah. Sebab, bacaan dhammah merupakan salah satu corak dari kehidupan pedalaman yang kasar. Sedangkan suku-suku urban lebih cenderung membaca dengan kasrah. Bila ditinjau dari aspek bunyi, bacaan dhammah dan kasrah adalah sama. Sebab keduanya termasuk bunyi huruf layyin yang sempit. Karenanya, bacaan kasrah terkadang menempati bacaan dhammah dan bacaan dhammah menempati bacaan kasrah dalam corak-corak dialek tertentu. Akan tetapi, bacaan kasrah merupakan simbol dari kehidupan urban di sebagian besar wilayah. Bacaan kasrah merupakan harakt muannats dalam bahasa Arab. Menjadikan muannats biasanya simbol dari kelembutan. Tidak diragukan lagi kalau orang urban lebih condong pada bacaan semacam ini.” Tidak berhenti di sini saja, Syahin pun memberikan bukti lain dalam menguatkan argumentasinya tersebut, bahwa Ali telah membaca na’budu dengan mengisybakan dhammah hingga timbul bunyi huruf wa. Ibnu Khalawaih mengatakan, “Khalil bin Ahmad dalam al-‘Ain-nya menyebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib membaca ayyaka na’budu wa iyyaka nasta’in. Padahal, Ali sendiri adalah orang Arab murni. Dan diriwayatlkan dari Warsy bahwa Ali telah membaca hal tersebut.13  
    Dari adanya perbedaan dialek yang digunakan oleh Ali, padahal ia sendiri adalah orang Quraisy, Syahin memberikan alasannya, bahwa satu sisi Ali membaca Al-Quran dengan dialek Quraisy, tapi di sisi lain, ia membaca dengan dialek Arab nomaden dalam bidang pengajaran. Dan adanya bacaan seperti itu, menurutnya, banyak dijumpai dalam bacaan-bacaan mushaf Ibnu Mas’ud. Lebih lanjut, Syahin menjelaskan bahwa ada satu tradisi yang berkembang di masyarakat urban saat itu, mereka menyusukan anak-anak mereka ke daerah-daerah Arab pedalaman. Tujuannya, agar anak-anak mereka terpelihara dari lahn (kesalahan dalam tatabahasa). Dan bisa jadi, inilah yang telah diisyaratkan oleh Nabi Muhammad dalam sabdanya, “Saya adalah orang Arab yang paling fasih di antara kalian. Saya adalah orang Quraisy. Dan, saya pernah menyusu di Bani Sa’ad.”14
    Selain adanya dialek asing dalam mushaf Ali bin Abi Thalib, terdapat pula contoh riwayat bacaan yang bercorak penafsiran, misalnya: Ali membaca Qs. 7:26 dengan wa riyasyan dengan alif, sedangkan masyarakat umum membacanya dengan wa risyan; dalam Qs. 12:30 Ali telah membaca qad sya’afaha, namun dalam masyarakat umum membacanya dengan syaghafaha; pada Qs. 36:62 Ali telah membaca jiyillan dengan huruf ya, tetapi masyaraka umum membacanya jiblillan; dan lain-lain. Selain itu, di dalam bacaan-bacaan Ali pun tidak ditemukan pula adanya penambahan ayat.15
    Dari adanya pemaparan di atas, tentu saja bahwa dalam mushaf Ali bin Abi Thalib tidak terdapat permasalahan yang berarti. Bahkan, secara substansialnya, mushaf Ali memiliki persamaan dengan mushaf Utsmani. Adanya perbedaan dialek yang digunakan oleh Ali atau pun adanya corak penafsiran dalam mushafnya, hal itu bukanlah bagian dari Firman Allah, dan kondisi demikian, ternyata memiliki kesamaan pula dengan mushaf dari para sahabat lainnya, semisal mushaf Ibnu Mas'ud, mushaf Ubay bin Ka'ab, mushaf Ibnu Abbas, dan lain-lain. Bahkan, sebagaimana alasan yang yang telah dikemukakan di atas, adanya penambahan dua surat dalam mushaf Ali pun, sesungguhnya tidak bisa diandalkan.

Catatan Kaki:
1. M. Yudhie Haryono (ed.), Nalar Alquran: Cara Terbaik Memahami Pesan Dasar Dalam Kitab Suci, (Jakarta: Nalar dan IntiMedia Ciptanusantara, 2002), hlm. 20.
2. Ibrahim Al-Abyadi, Sejarah Al-Qur’an, terj. Halimuddin, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), hlm. 64.
3. Adnin Armas, Metodologi Bibel Dalam Studi Al-Qur’an: Kajian Kritis, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), hlm. 102.
4. Abdul Shabur Syahin, Saat Al-Qur’an Butuh Pembelaan: Sebuah Analisis Sejarah, terj. Khoirul Amru Harahap dan Akhmad Faozan, (Jakarta: Erlangga, 2011), 269-270.
5. Abu Abdullah Az-Zanjani, Wawasan Baru: Tarikh Al-Quran, (Bandung: Mizan, tanpa tahun), hlm. 94.
6. Adnin Armas, op.cit., hlm. 102.
7. M.M. Al-Azmi, Sejarah Teks Al-QUr’an Dari Wahyu Sampai Kompilasi: Kajian Perbandingan Dengan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, terj. Sohirin Solihin dkk, (Jakarta: Gema Insani Press, 2014), hlm. 95.
8. Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Quran, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2013), hlm. 149.
9. Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, (Jakarta: Rajawali Press, 2013), hlm. 63.
10. Ibid., hlm. 153.
11. Abdul Shabur Syahin, op.cit., hlm. 280.
12. Abdul Shabur Syahin, op.cit., hlm. 282-284.
13. Ibid., hlm. 286-288.
14. Ibid., hlm. 289-290.
15. Ibid., hlm. 291-292. 

Comments

  1. imam ali tdk menginginkan perpecahan di tengah2 umat nya yg mayoritas awwam,, makanya dimasa ke khalifahan nya dia tdk merombak musaf ustmani, krn pertimbangan perpecahan di tengah masyaralatnya yg kebanyakan dari mereka awwam dan tolol seperti anda... jika memang musaf ustmani tdk ada kekeliruan padanya lantas mengapa ada perbedaan dng musaf ali..?? bukan kah kebenaran itu hanya 1..?? jika lebih dari satu maka yg selainnya pastilah bathil...

    skarg, kamu cek cek sejarah bagaimana ustman trhadap masyarakat nya, apakah dia sdh berbuat adil terhadap masyarakat nya?? sungguh ustman sama saja dng sahabat2 lainnya seperti umar dan abu bakar yg merampas hak imam ali, merampas hak ummat, menyelewengkan kebenaran dng kebathilan, termasuk juga anda..

    ReplyDelete

Post a Comment