Otentisitas Mushaf Utsmani Bag. 1

Oleh: Sang Misionaris

Pendahuluan
    Pada prinsipnya, proses kodifikasi Al-Qur'an berbeda dengan kanonisasi Alkitab, yang perbedaan tersebut tidak saja menyangkut tentang kepenulisannya, melainkan berbeda pula tentang metode yang digunakannya yang proses kepenulisannya itu telah disaksikan dan disetujui secara serempak oleh para sahabat Nabi Muhammad saw, sebagaimana halnya yang telah terjadi pada Al-Quran, namun tidak terjadi dan dialami oleh Alkitab. Lalu, apa yang paling mendasari Utsman melakukan pengumpulan Al-Quran dan dengan metode seperti apa yang digunakan oleh Utsman dalam menjaga otentisitas Al-Quran, sehingga apa yang dilakukannya itu bisa membuktikan bahwa Al-Quran yang disusunnya sesuai dengan Al-Quran pada zaman Nabi Muhammad dan juga Abu Bakar?     

Penyebab Terjadinya Penghimpunan Al-Qur’an Di Zaman Utsman
    Diberitakan oleh Ibn Syihab al-Zuhri dari Anas bin Malik, yang mengatakan kepadanya:
Hudzaifah ibn al-Yaman menghadap Utsman. Ia tengah memimpin penduduk Siria dan Irak dalam suatu ekspedisi militer ke Armenia dan Azerbaijan. Hudzaifah merasa cemas oleh pertengkaran mereka (penduduk Siria dan Irak) tentang bacaan Al-Quran. Maka berkatalah Hudzaifah kepada Utsman: “Wahai Amir al-Mu’minin, selamatkanlah umat ini sebelum mereka bertikai tentang kitab (Allah), sebagaimana yang telah terjadi pada umat Yahudi dan Nasrani pada masa lalu.” Kemudian Utsman mengirim utusan kepada Hafshah dengan pesan: “Kirimkanlah kepada kami shuhuf yang ada di tanganmu, sehingga bisa diperbanyak serta disalin ke dalam mushaf-mushaf, dan setelah itu akan dikembalikan kepadamu.” Hafshah mengirim shuhuf-nya kepada Utsman, yang kemudian memanggil Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin Ash, dan Abdurrahman bin al-Harits bin Hisyam, dan memerintahkan mereka untuk menyalinnya menjadi beberapa mushaf. Utsman berkata kepada tiga orang Quraisy (dalam tim) itu: “Jika kalian berbeda pendapat dengan Zaid mengenai Al-Qur'an, maka tulislah dalam dialek Quraisy, karena Al-Quran itu diturunkan dalam bahasa (logat) mereka.” Mereka mengikuti perintah tersebut, dan setelah berhasil menyalin shuhuf itu menjadi beberapa mushaf, Utsman mengembalikannya kepada Hafshah. Mushaf-mushaf salinan yang ada kemudian dikirim Utsman kepada Hafshah. Mushaf-mushaf salinan yang ada kemudian dikirim Utsman ke setiap provinsi dengan perintah agar seluruh rekaman tertulis Al-Quran yang ada -baik dalam bentuk fragmen atau kodeks- dibakar habis.”1
    Selain riwayat di atas, ada pula riwayat lain dari Abu Daud yang telah mengeluarkan riwayat dari dari jalur Abu Qatadah, bahwa ia mengatakan: “Pada masa khalifah Utsman, seorang guru mengajarkan qira’at tokoh tertentu, dan guru (lainnya) mengajarkan qira’at tokoh (lainnya). Anak-anak bertemu dan berpecah. Persoalan itu terangkat sampai kepada para guru yang pada gilirannya sampai saling mengkafirkan. Maka hal itu sampai kepada Utsman. Ia berkhotbah dan mengatakan: “Kalian di sisi aku berpecah. Siapakah dari daerah-daerah yang lebih dahsyat perpecahannya daripada menjauh membelakangiku?” Tidak hanya itu, Ibnu al-Atsir dalam al-Kamil pun meriwayatkan pula, bahwa penduduk Himsh menganggap qira’at mereka lebih baik dari qira’at orang lain. Mereka, seperti juga halnya penduduk Damaskus yang mengambil qira’at dari Miqdad, menganggap qira’at penduduk Kufah tidak baik. Sementara itu penduduk Kufah mengambil qira’at dari Abdullah bin Mas’ud, memandang qira’at penduduk Damaskus dan Himsh tidak baik pula. Dalam hal ini, orang-orang Bashrah berbangga dengan qira’at yang mereka ambil dari Abu Musa al-Asy’ari dengan mushafnya yang biasa disebut dengan Lubabu al-Qulub. Dari adanya perbedaan riwayat tersebut, Jamaluddin Marzuki memberikan komentarnya: “bisa jadi informasi yang diterima oleh Utsman tentang perpecahan umat akibat qira’at, tidak hanya datang dari Hudzaifah. Dan bisa jadi pula, informasi tentang masalah tersebut telah diterima Utsman sebelum ia menerimanya dari Hudzaifah. Marzuki bependapat demikian, karena menurutnya, pemimpin tidak layak untuk menerima suatu informasi yang datang dari seseorang saja. Sehingga begitu Hudzaifah menyampaikan usulannya tersebut, Utsman langsung menyetujuinya.”2  
    Dalam menunjukkan adanya bahaya yang telah terjadi dari adanya perbedaan bacaan dalam Al-Quran, Abdul Shabur Syahin telah mengutip pernyataan dari Mustafa Shadiq ar-Rafi’i, menurutnya, “Segi-segi bacaan Al-Qur’an mereka berbeda seiring dengan perbedaan huruf-huruf yang dengannya Al-Quran diturunkan. Penduduk suatu daerah yang mendengar bacaan ini-apabila mereka bertemu di suatu tempat atau ketika di medan perang-merasa heran dengan perbedaan bacaan tersebut, apakah semua segi bacaan yang berbeda-beda itu berada dalam satu kalam? Bila diketahui semua segi bacaan itu bersumber dari Nabi, maka tidak ada alasan untuk meragukannya. Akan tetapi, ada sebagian orang yang merasa bacaannya lebih baik dan lebih fasih dari yang lain. Sampai-sampai ada sebagian di antara mereka yang mengingkari bacaan yang lain. Ada yang mengatakan, “Bacaan Al-Quran yang kupelajari lebih baik.” Yang lain menjawab, “Tidak, justru bacaan Al-Quran yang kupelajari yang lebih baik.” Akibat perbedaan bacaan Al-Quran ini, maka muncullah pengkafiran.”3 Tidak hanya Mustafa Shadiq saja yang telah memberikan gambaran tentang kekisruhan yang terjadi di antara para sahabat, Muhammad Husain Haikal pun turut pula memberikan gambaran yang serupa dengan Mustafa, menurutnya, “Perselisihan itu sudah mencapai puncaknya, hampir saja terjadi keributan. Mereka berselisih dan saling menuduh, saling melaknat, yang satu mengkafirkan dan yang lain menganggap diri benar (atas satu bacaan yang telah diketahuinya).”4  
    Sebenarnya, adanya perbedaan bacaan (qiraat) di kalangan para sahabat, tidak hanya terjadi pada masa Utsman, melainkan telah terjadi sejak zaman Nabi Muhammad saw. Walaupun kekisruhan yang terjadi di zaman Nabi Muhammad saw, tidak separah pada masa Utsman bin Affan. Adanya informasi tentang adanya perbedaan bacaan di zaman Nabi Muhammad, bisa kita telusuri salah satunya sebagaimana yang telah diutarakan oleh Umar bin Khattab, ia berkata: Aku mendengar Hisyam bin Hakim membaca surat al-Furqan di masa hidup Rasulullah. Aku perhatikan bacaannya. Tiba-tiba ia membacanya dengan banyak huruf yang belum pernah dibacakan Rasulullah kepadaku, sehingga hampir saja aku melabraknya di saat ia shalat, tetapi aku berusaha sabar menunggunya sampai salam. Begitu salam, aku tarik selendangnya dan bertanya: ‘Siapakah yang membacakan (mengajarkan bacaan) surat itu kepadamu?’ Ia menjawab: ‘Rasulullah yang membacakannya kepadaku.’ Lalu aku katakan kepadanya: ‘Dusta kau! Demi Allah, Rasulullah telah membacakan juga kepadaku surat yang aku dengar tadi engkau membacanya (tapi tidak seperti bacaanmu).’ Kemudian aku bawa dia menghadap Rasulullah, dan aku ceritakan kepadanya bahwa ‘aku telah mendengar orang ini membaca Surat al-Furqan dengan huruf-huruf yang tidak pernah engkau bacakan kepadaku.’ Maka Rasulullah berkata: ‘Lepaskanlah dia, wahai Umar. Bacalah surat tadi, wahai Hisyam!’ Hisyam pun kemudian membacanya dengan bacaan seperti ku dengar tadi. Maka kata Rasulullah: ‘Begitulah surat itu diturunkan.’ Beliau berkata lagi: ‘Bacalah, wahai Umar!’ Lalu aku pun membacanya dengan bacaan sebagaimana diajarkan Rasulullah kepadaku. Maka kata Rasulullah: ‘Begitulah surat itu diturunkan.’ Dan katanya lagi: ‘Sesungguhnya Al-Quran itu diturunkan dengan tujuh huruf, maka bacalah dengan huruf yang mudah bagimu di antaranya.’”5
    Utsman bukanlah penggagas pertama dalam melakukan pengumpulan Al-Quran, namun idenya tersebut sebenarnya telah didahului oleh Abu Bakar ketika ia menjadi khalifah. Adapun perbedaan tentang pengumpulan Al-Quran antara zamannya Abu Bakar dengan Utsman, Jalaluddin as-Suyuthi6 telah mengutip pernyataan dari Ibnu at-Tin, menurutnya, “Perbedaan antara penulisan mushaf yang dilakukan Abu Bakar dengan yang dilakukan Utsman adalah apa yang dilakukan Abu Bakar disebabkan kekhawatiran kalau Al-Qur’an itu hilang dengan hilangnya (meninggalnya) para penghafal Al-Qur’an, karena (pada saat itu) Al-Qur’an belum dihimpun dalam satu tempat. Maka Abu Bakar menghimpunnya dalam lembaran-lembaran, dengan urutan ayat-ayat dalam setiap surat-suratnya sebagaimana yang beliau dapatkan dari Nabi saw.” Al-Qadhi Abu Bakar dalam kitabnya, al-Intishar, mengatakan, “Apa yang dimaksud oleh Utsman bukanlah apa yang dimaksud oleh Abu Bakar dengan menghimpun Al-Quran yang sama di antara dua papan. Akan tetapi yang dimaksud oleh Utsman adalah menyatukan kaum Muslimin untuk bersatu pada qira’ah Al-Quran yang standar dan yang telah dikenal dengan jelas dari Nabi saw. Serta menghapus apa saja yang tidak standar. Juga menyatukan dalam satu mushaf yang tidak ada taqdim dan takhir di dalamnya, tidak ada takwil yang telah ditetapkan bersama tanzil, tidak ada yang dihapus tilawahnya, yang ditulis dengan yang telah ditetapkan tulisannya, serta ditentukan untuk membaca dan menghafalnya, karena khawatir adanya kerusakan dan subhat pada generasi umat Islam setelahnya.”7  
    Maka, berdasarkan riwayat-riwayat di atas, bahwa penyebab terjadinya kodifikasi yang dilakukan oleh Utsman disebabkan karena banyaknya informasi yang telah ia terima tentang adanya perbedaan dialek dalam membaca Al-Quran. Kondisi demikian, telah mengakibatkan para sahabat saling mengklaim bahwa bacaannya tersebut lebih bagus daripada yang lainnya dan menyalahkan sahabat lain yang memiliki perbedaan dialek dengan mereka sampai pada akhirnya saling mengkafirkan antara satu sama lainnya. Sedangkan, orang yang yang pertama kali menyusunnya menjadi mushaf adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Oleh karena itu, Abu ‘Abdillah al-Muhasibi berkata di dalam kitabnya, Fahm As-Sunnah, “Penulisan Al-Quran bukanlah sesuatu yang baru, karena Rasulullah pernah memerintahkannya. Hanya saja, saat itu tulisan Al-Quran berpencar-pencar pada pelepah kurma, batu halus, kulit, tulang unta, dan bantalan dari kayu. Dan Abu Bakar kemudian berinisiatif untuk menghimpun semuanya.”8 Ketika Nabi Muhammad masih ada di tengah para sahabat, tentunya beliau menjadi tempat bertanyanya para sahabat, namun karena Nabi Muhammad telah tiada, maka suatu sikap yang tepat jika Utsman melakukan penyeragaman terhadap bacaan Al-Quran.
 
Metode Penghimpunan Al-Quran Di Zaman Utsman
    Pada masa Abu Bakar, ayat-ayat Al-Quran masih tercecer dari berbagai media, seperti daun, tulang, dan lain-lain, karena perang Yamamah yang terjadi pada tahun 12 Hijriah9 telah memakan banyak korban dari para penghafal Qur’an, dan dikhawatirkan ayat-ayat Qur’an pun ikut raib seiring banyaknya para penghafal Al-Quran yang wafat, maka pada masa Abu Bakar terdapat kebutuhan terhadap shuhuf. Dan suatu hal yang tepat atas apa yang telah dikatakan oleh Ali bin Abi Thalib mengenai Abu Bakar: “Orang yang paling besar jasanya dalam mengumpulkan Qur’an adalah Abu Bakar. Semoga Allah memberi rahmat kepada Abu Bakar. Dialah (orang) yang pertama kali menghimpun Qur’an menjadi dua loh.”10 Setelah Abu Bakar tiada, maka shuhuf tersebut pun beralih kepada Umar bin Khathab sampai pada akhirnya berada ke tangan Hafshah. Di masa itu, belum ada kebutuhan masyarakat terhadap publikasi shuhuf secara luas, dan adanya perbedaan-perbedaan dalam bacaan Al-Quran di zaman Utsman pun masih belum nampak. Namun, setelah banyaknya perbedaan bacaan dalam Al-Quran itu terjadi, sebagaimana yang telah diriwayatkan di atas, barulah Utsman melakukan penyatuan dialek dengan menggunakan dialek Quraisy sebagai standar mushafnya.11   
    Dalam melakukan penyeragaman dialek, Utsman telah membentuk kepanitiaan yang terdiri dari pihak Muhajirin dan juga Anshar, yang pelaksanaannya tersebut terjadi pada tahun ke-24 H.12 Namun, di kalangan ulama telah terjadi perbedaan pendapat tentang jumlah kepanitiaan yang bertugas dalam melakukan pengumpulan Al-Quran yang telah dibentuk oleh Utsman. Selain adanya pendapat yang menyatakan bahwa jumlah kepanitiaan Utsman hanya berjumlah 4 orang, ada pula yang berpendapat lain, yaitu 25 orang dari Quraisy dan 50 orang dari Anshar, sebagaimana yang telah diyakini oleh al-Ya’qubi.13 Sedangkan menurut Suyuthi, pendapatnya yang diyakini secara mayoritas, bahwa kepanitiaan yang dibentuk oleh Utsman hanyalah berjumlah 12 orang dari Quraisy dan juga Anshar.14 Tentang adanya perbedaan jumlah kepanitiaan yang dibentuk oleh Utsman tersebut, bukanlah suatu permasalahan yang sangat krusial, karena apa yang dilakukan oleh Utsman, tidak ada seorang sahabat pun yang telah menentangnya, selain Abdullah bin Mas’ud, yang sejak awal telah misinterpretasi atas apa yang telah dilakukan oleh Utsman. Isu tersebut pada akhirnya dimanfaatkan oleh pihak Syi’ah untuk melancarkan fitnahan terhadap Utsman, menurut mereka, Utsman telah memukul Abdullah bun Mas'ud yang disebabkan karena adanya penolakan Ibnu Mas’ud untuk menyerahkan mushafnya kepada Utsman.
    Terkait metode kodifikasi yang dilakukan oleh Utsman dan hubungannya dengan shuhuf Hafshah, terdapat dua teori yang telah disuguhkan oleh Emsoe Abdurrahman dan Arpiyanto Ranoedarsono, yaitu:15  
1. Utsman bin Affan menyalin shuhuf yang berada di tangan Hafshah. Pada saat itu, ia memerintahkan Zaid bin Tsabit, bersama Abdullah bin Zubair, Abdurrahman bin Harits, dan Sa’id bin Ash untuk melakukan proses penyalinan catatan Al-Quran hasil pengumpulan tahap pertama, yang shuhufnya disimpan oleh Hafshah. Kemudian, salinan itu dikirim ke Kufah, Bashrah, Damaskus, dan Madinah. Naskah yang asli disimpan oleh Utsman bin Affan sendiri, yang kemudian dinamakan Mashaful Imam. Sedangkan catatan-catatan Al-Quran yang lain dimusnahkan.
2. Ustman membuat mushaf tersendiri kemudian dibandingkan dengan shuhuf yang ada di tangan Hafshah. Untuk merealisasikan hal itu, beliau membentuk tim pengumpulan naskah Al-Quran yang terdiri dari dua belas sahabat, yaitu Sa’id bin Ash, Nafi bin Zubair bin Amr bin Naufal, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka'ab, Abdullah bin Zubair, Abdurrahman bin Hisham, Kathir bin Aflah, Anas bin Malik, Abdullah bin Abbas, Malik bin Abi ‘Amir, Abdullah bin Umar, dan Abdullah bin Amru bin Ash.16
    Tidak ada yang berbeda dalam penyusunan mushaf Utsmani dengan metode yang telah dilakukan oleh Abu Bakar, yang implikasi tersebut terlihat dari adanya ceramahnya Khalifah Utsman dalam memberikan instruksinya, “Orang-orang telah berbeda dalam bacaan mereka, dan aku menganjurkan kepada siapa saja yang memiliki ayat-ayat yang dituliskan di hadapan Rasulullah hendaklah diserahkan kepadaku.” Orang-orang pun segera menyerahkan ayat-ayat Al-Quran yang dimilikinya, yang ditulis di atas kulit dan tulang serta daun-daun, dan siapa saja yang menyumbangkan naskah, mula-mula akan ditanya oleh Utsman, “Apakah kamu belajar ayat-ayat ini (seperti yang dibacakan) lansung dari Nabi sendiri?” Semua penyumbang menjawab disertai dengan sumpah, dan semua bahan yang dikumpulkan telah diberi tanda atau nama satu per satu yang kemudian diserahkan kepada Zaid bin Tsabit. Setelah terkumpul, disusunlah shuhuf-shuhuf itu menjadi mushaf (buku). Kemudian naskahnya diverifikasi, dibandingkan dengan mushaf Hafshah. Lalu dibacakan kepada para sahabat di depan Utsman.17
    Dalam membuktikan adanya kehati-hatian Utsman dalam melakukan proyek ini, al-A’zami telah menukil riwayat dari seorang sejarawan ulung yang bernama Ibnu Asakir, dalam bukunya History of Damascus, yaitu: Dalam ceramahnya, Utsman mengatakan, “Orang-orang telah berbeda dalam bacaan mereka, dan saya menganjurkan kepada siapa saja yang memiliki ayat-ayat yang dituliskan di hadapan Nabi Muhammad hendaklah diserahkan kepadaku.” Maka orang-orang pun menyerahkan ayat-ayatnya, yang ditulis di atas kulit dan tulang serta daun-daun, dan siapa saja yang menyumbangkan memperbanyak kertas naskah, mula-mula akan akan ditanya oleh Utsman, “Apakah kamu belajar ayat-ayat ini (seperti bacaan) langsung dari Nabi sendiri?” Semua penyumbang telah diberi tanda atau nama satu per satu yang kemudian diserahkan kepada Zaid bin Tsabit.
Malik bin Abi Amir mengaitkan, Saya salah seorang dari mereka yang menulis mushaf (dari sumber yang tertulis), dan jika ada kontroversi mengenai ayat-ayat tertentu mereka akan bertanya, “Dari mana si penulis? Bagaimana Nabi Muhammad saw mengajarkan dia tentang ayat ini secara tepat?” Dan mereka akan meringkas tulisan, dan meninggalkan sebagian tempat kosong dan mengirimkannya kepada orang itu disertai pertanyaan untuk mengklarifikasi tulisannya.”18  
    Berdasarkan riwayat-riwayat di atas, selain menggunakan shuhufnya Hafshah, Zaid pun memeriksa pula tulisan-tulisan dan hafalan-hafalan dari para sahabat lainnya. Dengan adanya metode yang telah digunakan tersebut, tentu saja hal itu telah menegasikan tudingan yang dilontarkan oleh pihak orientalis dan juga Islamophobia bahwa Al-Quran yang terdapat pada masa Utsman mengalami perbedaan dengan zaman Nabi Muhammad saw dan juga Abu Bakar. Di samping itu, metode yang telah digunakan oleh para panitia Utsman telah membuktikan adanya kecerdasan yang dimiliki oleh para panitianya dalam melakukan klarifikasi dan verifikasi demi menjaga otentisitas dan validitas Al-Quran, yang metode tersebut, tidaklah dimiliki oleh para penulis Alkitab
    Meskipun demikian, para orientalis pada umumnya, telah menyalahkan sikap Utsman yang telah menutup adanya perbedaan bacaan. Bahkan menurut Jeffery, apa yang dilakukan oleh Utsman tidak terlepas dari adanya alasan-alasan politis. Tentu saja, tudingan tersebut dibantah oleh Adnin Armas, menurutnya, sikap Utsman tersebut bukanlah karena sikap politis, melainkan hanya melakukan pelurusan atas kesalahan yang (telah) terjadi dan akan terjadi pada Kitab Allah (Al-Quran).19 Jadi, dengan adanya tudingan bahwa sikap Utsman itu adalah politis merupakan suatu argumen yang tidak bisa diandalkan sama sekali. Bahkan, tudingan tersebut terkesan mengada-ngada karena apa yang dilakukan Utsman telah mendapatkan persetujuan dari para sahabat lainnya, termasuk disetujui pula oleh menantunya Nabi Muhammad, yaitu Ali bin Abi Thalib.20  

Bersambung.



Catatan Kaki:
1. Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Quran, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2013), hlm. 218-219.
2. Kamaluddin Marzuki, ‘Ulum Al-Qur’an, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), hlm. 74-75.
3. Abdul Shabur Syahin, Saat Al-Qur’an Butuh Pembelaan, terj. Khoirul Amru Harahap dan Akhmad Faozan, (Jakarta: Erlangga, 2011), hlm. 201.
4. Muhammad Husain Haekal, Usman bin Affan: Antara Kekhalifahan Dengan Kerajaan, terj. Ali Audah, (Jakarta: Tintamas Indonesia, 2015), hlm. 125.
5. Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, terj. Mudzakir AS, (Bogor: Litera AntarNusa, 2016), hlm. 225-227.
6. Imam Suyuthi, Studi Al-Qur’an Komprehensif jilid. 1, terj. Tim Editor Indiva, (Solo: Indiva Media Kreasi, 2008), hlm. 252.
7. Ibid., hlm. 252.
8. Rosihon Anwar, Ulum Al-Quran, (Bandung: Pustaka Setia, 2017), hlm. 40.
9. Ibid.,
10. Muhammad Husain Haekal, op.cit., hlm. 126.
11. Abdul Shabur Syahin, op.cit., hlm. 206-207.
12. Mohammad Aly Ash-Shabuny, Pengantar Studi Al-Qur’an (At-Tibyan), terj. M. Chudlori Umar dan M. Matsna, (Bandung: Alma’arif, 1996), hlm. 95.
13. M. Yudhie Haryono (ed.), Nalar AlQuran: Cara Terbaik Memahami Pesan Dasar Dalam Kitab Suci, (Jakarta: Nalar dan Intimedia Cipta nusantara, 2002), hlm. 15.
14. Imam Suyuthi, op.cit., hlm. 251.
15. Emsoe Abdurrahman dan Arpiyanto Ranoedarsono, The Amazing Stories of Al-Quran: Sejarah Yang Harus Dibaca, (Bandung: Salamadani, 2009), hlm. 46-47.
16. M.M. al-A’Zami, Sejarah Teks Al-Qur’an: Dari Wahyu Sampai Kompilasi, terj. Sohirin Solihin, dkk., (Jakarta: Gema Insani Press, 2014), hlm. 90.
17. Emsoe Abdurrahman dan Arpiyanto Ranoedarsono, op.cit., hlm. 46-47.
18. M.M. al-A’Zami, op.cit., hlm. 91.
19. Adnin Armas, Metodologi Bibel Dalam Studi Al-Quran: Kajian Kritis, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), hlm. 103-104.
20. Abu Abdullah az-Zanjani, Wawasan Baru Tarikh Al-Quran, (Bandung: Mizan, Tanpa Tahun), hlm. 93. 

Comments