Apakah Pembaptisan Bisa Mempengaruhi Keselamatan?

Oleh: Sang Misionaris

Pendahuluan
    Dalam Kekristenan, banyak sekali permasalahan yang masih menjadi polemik hingga saat ini, sebagaimana halnya pembahasan tentang pembaptisan. Misalnya, apakah pembaptisan bisa menyelamatkan orang yang dibaptis ataukah tidak, dan adakah sumber yang valid dalam Kekristenan tentang pembaptisan anak-anak serta adakah fungsi dari pembaptisan yang didapatkan oleh anak-anak. Dalam kesempatan kali ini, kita akan mengulasnya secara proporsional, baik dalam perspektif Katolik maupun Protestan.  

Asal-Usul Sakramen Baptis
    Kata baptisan berasal dari bahasa Yunani, yaitu βαπτω (bapto), yang artinya membenamkan; mencelupkan; mandi; masuk ke dalam air, sedangkan untuk kata kerja βαπτω adalah βαπτιζω (baptizo).1 Asal-usul sakramen baptis, tidaklah bisa terlepas dari adanya gagasan dan pertikaian pada zaman Bapa-bapa Gereja, di mana kala itu, telah terjadi pertentangan antara satu dengan yang lainnya terkait tentang baptisan, seperti halnya tentang pembaptisan bayi atau anak-anak, yang topik tersebut telah dibahas secara sederhana pada artikel sebelumnya, di sini. Doktrin keselamatan dalam Kristen telah disampaikan pada zaman Bapa Gereja dengan tingkat kejelasan yang berbeda-beda, dan sejak awal, sakramen baptis dan Perjamuan Kudus telah dianggap perlu dan penting dalam memperoleh keselamatan. Misalnya, Ignatius dari Antiokhia, ia meyakini bahwa Perjamuan Kudus adalah obat keabadian dan penangkal kematian. Dalam Surat Klemens pun dinyatakan bahwa hidup kekal sebagai sesuatu yang diberikan pada saat baptisan, dan Barnabas juga mengungkapkan bahwa orang percaya dapat memiliki berkat-berkat penebusan melalui baptisan. Namun demikian, pandangan-pandangan tersebut pada kenyataannya tidak disetujui secara bulat, Policarpus, misalnya, ia telah menolak tentang ajaran tersebut dan mengajarkan bahwa manusia hanya diselamatkan oleh imannya.2
    Topik pembaptisan pernah menjadi permasalahan yang sangat pelik pada masa Kristen mula-mula, di mana pada masa itu telah terjadi pertentangan yang sengit antara Cyprianus, Uskup Karthago di Afrika Utara, dengan Uskup Stefanus dari Roma yang pernah melarang adanya pembaptisan ulang bagi orang-orang yang pernah murtad atau tergabung dengan suatu sekte, tetapi kemudian ingin bergabung kembali dengan gereja Katolik. Namun akhirnya, gagasan Uskup Stefanus tersebut ditentang oleh Uskup Cyprianus, karena ia berpendapat bahwa di luar (gereja) tidak ada keselamatan. Dikarenakan Cyprianus tetap melawan kehendaknya, maka Stefanus pun memutuskan hubungannya dengan gereja, dan perselisihan tersebut baru berakhir setelah Stefanus meninggal dunia pada tahun 256 M, dan Cyprianus akhirnya mati dipancung pada tahun 258 M, setelah ia keluar dari tempat persembunyiannya dan sebelum ia meninggal dunia, ia telah disiksa terlebih dahulu.3  
    Pada abad ke-4 M, terdapat aliran yang disebut Donatisme yang muncul dari latar belakang setelah berakhirnya penganiayaan Kaisar Deocletianus terhadap Kristen, yang selama penganiayaan tersebut telah terjadi konflik antara Kristen yang masih setia dalam imannya dengan Kristen yang telah murtad, dan aliran Donatisme ini dipelopori oleh Donatus, seorang Uskup Kartago, yang telah memihak umat Kristen yang setia dalam imannya selama penganiayaan. Donatisme berpendapat, bahwa baptisan yang dilakukan oleh orang-orang yang murtad itu tidaklah sah, yang gagasaan Donatisme tersebut terlihat jelas, bahwa mereka telah mengambil pendapatnya Cyprianus dari Kartago yang telah menjadi pendahulunya mereka. Kala itu, Donatisme melakukan pembaptisan ulang terhadap kaum heretik yang telah bertobat. Akan tetapi, praktek ini telah dihukum oleh Sinode di Arles pada tahun 314, karena sinode tersebut mengajarkan bahwa baptisan yang dilakukan dalam nama Tritunggal adalah sah, meskipun diberikan oleh seorang heretik sekali pun. Namun, Donatisme menolak keputusan dari sinode tersebut dan memproklamirkan diri bahwa merekalah satu-satunya gereja yang benar. Dan Augustinus pun memberikan pula perlawanan terhadap kaum Donatisme dengan memberikan penjelasan secara teologis, menurutnya, baptisan kaum heretik memiliki validitas (sah), akan tetapi tidak berbuah dan juga tidak layak. Oleh karena itu, jika kaum heretik ingin masuk ke dalam Katolik, maka mereka tidak perlu untuk mendapatkan baptisan ulang.4    
    Permasalahan tentang liturgi baptis masih terus berlanjut, hingga pada masa Augustinus, yang permasalahan tersebut menyangkut tentang efek dari pembaptisan yang telah dilakukan oleh persekutuan yang dianggap bidat oleh gereja, dan Augustinus, sedikit pun tidak memiliki keraguan bahwa kaum bidat dan mereka yang memisahkan diri dari gereja sungguh-sungguh memiliki sakramen-sakramen dan melaksanakannya dengan sah. Menurutnya, sakramen-sakramen yang diselenggarakan oleh mereka yang memisahkan diri dari kaum bidat itu tidak mempunyai efek sebagai suatu sakramen, sebab gereja-gereja mereka terpisah dari persekutuan dengan Roh Kudus dan juga kasih, hanya apabila seseorang sesat atau bidat menjadi anggota dari gereja Katolik, maka sakramen itu mempunyai efek.5  
    Di Barat, sebenarnya telah banyak orang yang telah menerima pandangan dari Novatianus, ia berpendapat bahwa setelah pembaptisan tidak mungkin lagi ada pengampunan sebab gereja tidak dapat mengampuni dosa-dosa yang dianggap berat. Dari adanya gagasan tersebut telah mengakibatkan banyak orang untuk menunda-nunda pembaptisannya hingga menjelang kematian mereka, terjadinya penundaan dalam baptisan disebabkan karena adanya ketakutan mereka dalam melakukan dosa setelah pembaptisan, dan praktek semacam itu, tidak hanya dilakukan oleh Kaisar Konstantinus, tetapi juga dilakukan oleh Novatianus sendiri yang meminta dibaptis hanya karena ia yakin bahwa dirinya akan segera mati. Pada masa munculnya gereja mula-mula, mayoritas calon baptisan adalah orang-orang dewasa yang bertobat meskipun terdapat pula anak-anak yang dibaptis bersama dengan orang tuanya, dan ayat Alkitab yang selalu dijadikan sebagai rujukan dalam melakukan pembaptisan adalah Kisah Para Rasul 16:15 dan 1 Korintus 1:16. Di masa itu, baptisan anak telah menjadi sebuah ketentuan karena adanya sebuah keyakinan bahwa baptisan bisa menghapuskan dosa asal dan juga perbuatan, sebagaimana yang terdapat pada tulisan Augustinus mengenai baptisan anak yang didasari atas adanya kebutuhan dalam menyingkirkan dosa asal, dan berkali-kali ia mengkritik Pelagius bukan saja karena permasalahan universalitas ketertularan manusiawi yang disebabkan oleh kejatuhan Adam, melainkan juga karena permasalahan Pelagius yang dianggap gagal oleh Augustinus dalam memahami bahwa bayi-bayi harus segera dibaptis dengan maksud agar secepatnya bisa menghapuskan dosa asal dan dosa di masa lampaunya.6 Dari adanya gagasan Augustinus tersebut, maka bisa dikatakan bahwa anak-anak atau bayi yang telah meninggal dunia namun belum sempat dibaptis, maka mereka akan mendapatkan siksaan, yang dari adanya konsepsi tersebut mengimplikasikan bahwa syarat keselamatan seorang Kristen adalah pembaptisan.          
    Seperti halnya ritus atau ritual Kristen lainnya, pembaptisan pun sebenarnya merupakan sisa-sisa dari peradaban pagan kuno yang telah menyebar di sekitar kawasan Mediterania, yang ritus tersebut telah ada pada agama Brahma, Persia, Mesir, dan juga Yunani. The Rationalist Encyclopedia mencatat: “Pembaptisan biasa dilakukan pada agama-agama Brahma dan Persia, serta digunakan pada misteri-misteri Mesir dan Yunani. Dari ajaran-ajaran ini, orang-orang Yahudi pada periode berikutnya mengadopsi praktik pembaptisan pengikut-pengikut baru, dan dari kedua sumber tersebut, Yunani dan Yahudi, orang-orang Kristen awal mengadopsi kebiasaan (mereka) tersebut.”7 Terkait tentang adanya pengaruh luar yang telah memberi warna atau pengaruh terhadap ritus dan unsur-unsur liturgi dalam Kekristenan, Rasid Rachman, mengungkapkan: “Ritus dan unsur-unsur liturgi dewasa ini adalah hasil pembentukan selama berabad-abad. Akar-akarnya telah ada sejak zaman gereja mula-mula, bahkan sejak umat Yahudi di dalam Perjanjian Lama. Pengaruh terkuat dalam liturgi awal datang dari ibadah Yahudi. Kemudian budaya Helenistik memberikan warna di balik ritus-ritus tertentu.”8 Dari adanya pernyataan seorang pendeta tersebut, yang sekaligus pernah menjadi seorang dosen di STT Jakarta dengan mata kuliah liturgika, tentu saja Kristen tidak bisa mengelak bahwa budaya Helenistik telah memberikan pengaruh yang sangat kuat dalam liturgi Kristen, termasuk pula tentang pembaptisan, dan tanpa adanya pengaruh dari helenistik, tentu saja liturgi Kristen tidak akan pernah mengalami pengembangan dan kemapanan, sebagaimana halnya saat ini.

Makna Pembaptisan Menurut Katolik
    Selain persoalan tentang apakah pembaptisan bisa menyelamatkan orang yang dibaptis, pembaptisan anak pun hingga saat ini masih menjadi topik yang selalu diperdebatkan dalam Kekristenan, yakni antara Katolik dan Protestan, bahkan dalam internal Protestan sendiri masih menjadi polemik yang tidak berkesudahan karena masing-masing pihak dalam Protestan tidak ada keseragaman dalam pemahamannya.
    Lalu, seperti apakah makna pembaptisan dalam perspektif Gereja Katolik Roma? Keyakinan Katolik tentang baptisan memiliki pandangan yang bertolakbelakang dengan pemahaman Protestan, yaitu Katolik meyakini bahwa pembaptisan sebagai sebuah sakramen yang memiliki fungsi dalam mendapatkan keselamatan, bagi anak-anak berfungsi sebagai penghapusan dosa asal, sedangkan pembaptisan bagi orang dewasa sebagai penghapusan dosa asal dan juga dosa perbuatan. Selain pembaptisan berfungsi sebagai penghapusan dosa, pembaptisan dalam pandangan Katolik pun berfungsi pula sebagai jalan masuknya rahmat, yang rahmat tersebut bermanfaat bagi jiwa orang yang dibaptis untuk hidup secara rohani serta sanggup menikmati kebahagiaan surgawi, dan manfaat lainnya adalah sebagai penghapusan hukuman yang pantas atas dosa-dosa dan hak untuk mendapatkan rahmat-rahmat khusus yang penting yang memampukan orang yang dibaptis untuk memenuhi janji-janji baptisnya.9  
    Secara eksplisit, Katolik mengakui bahwa di dalam Alkitab tidak ada dasar yang jelas untuk melakukan melakukan pembaptisan bayi. Namun demikian, Katolik masih berupaya mencari pembenaran di dalam Alkitab bahwa dalam Kisah Para Rasul 16:15 dan 33 mengindikasikan adanya pembaptisan bayi. Meskipun kedua ayat tersebut bukanlah sebagai bukti tentang pembaptisan bayi, melainkan hanya sekedar indikasi, namun Katolik terlihat berupaya keras dalam mencari bukti-bukti eksternal biblikal tentang pembaptisan tersebut, yaitu dengan cara mengutip pernyataan Polikarpus, misalnya. Pada saat penguasa Romawi memaksa Polikarpus untuk menyangkal Yesus dan untuk menyembah kaisar Roma, ia berseru, “Delapan puluh enam tahun saya menjadi hamba-Nya, dan Ia tidak pernah berbuat yang tidak baik kepadaku, bagaimana mungkin saya dapat menghujat Rajaku yang telah menebusku?” Menurut Katolik, kesaksian Polikarpus tersebut mengimplikasikan bahwa Polikarpus sudah dibaptis sejak ia masih bayi atau anak-anak, yakni sekitar tahun 70-an.10
    Meski tidak adanya dalil dalam Alkitab yang secara eksplisit mengimplikasikan adanya pembaptisan anak, namun pada masa Konsili Trente (1545-1563) praktek pembaptisan anak sudah mulai terlihat umum dilakukan, dan bahkan diwajibkan karena disebabkan adanya beberapa sekte yang menolak pembaptisan tersebut. Karena di masa itu, ada yang mengajarkan bahwa pembaptisan hanya satu kali pembaptisan yaitu pada masa dewasa, dan ada pula yang mengajarkan dua kali pembaptisan: satu kali pada masa anak-anak dan satu kali lagi pada saat dewasa. Dalam hal ini, Karl Barth, seorang teolog Protestan, telah mengkritik praktek pembaptisan pada anak-anak, dan ia tidak mempermasalahkan tentang sahnya pembaptisan anak, melainkan secara pastoral ia mempertanyakan manakah yang lebih baik: membaptis hanya anak-anak saja atau orang dewasa juga? Namun, Karl justru memberikan pelawanan terhadap praktek pembaptisan anak, dan karena adanya kritikan dari Karl Barth, maka Katolik pun memperhatikan sisi pastoral pembaptisan anak.11
    Adapun aturan tentang pembaptisan anak menurut Katolik telah dibahas dalam Konsili Vatikan II, misalnya dalam Ad Gentes no. 13, adapun ringkasannya adalah sebagai berikut: “Pembaptisan merupakan inisiasi sakramental meriah yang dilakukan khususnya pada malam Paskah, dan didahului oleh suatu katekumenat yang isinya sangat padat dan berlangsung cukup lama. Secara kuat tersirat, meskipun tidak dituntut, bahwa yang menerima inisiasi hendaknya orang dewasa atau sekurang-kurangnya anak yang sudah akil balik. Konsili sungguh menekankan segi kedewasaan dalam kaidah inisiasi Kristen, yang diturunkan dari ajaran Perjanjian Baru mengenai tobat. Meskipun dalam keputusannya konsili sama sekal tidak mencela pembaptisan kanak-kanak, tetapi juga tidak menyarankan bahwa pembaptisan kanak-kanak menggambarkan kaidah tradisi Katolik. Demikian pula, konsili sama sekali tidak pernah mengatakan bahwa inisiasi orang dewasa harus dilihat sebagai suatu pengecualian atau suatu yang tidak lazim. Dalam hal ini, apa yang normal menurut tradisi tidak sama dengan yang biasa dilaksanakan atas dasar kesepakatan. Gagasan bahwa pembaptisan kanak-kanak harus dilihat sebagai sesuatu yang kurang normal tidak mudah dimengerti oleh banyak orang Katolik, awam maupun rohaniwan, yang tidak pernah mengetahui pola yang lain. Tetapi ketidakwajaran itu tidak harus diartikan bahwa pembaptisan kanak-kanak itu tidak sah. Tradisi jelas mengenal pembaptisan kanak-kanak sejak awal.”12
    Pembaptisan dewasa dan kanak-kanak telah diyakini dan dipraktekkan dalam ajaran Katolik, yang pembaptisan tersebut bertujuan sebagai penghapus dosa bagi orang yang dibaptisnya. Namun, pada usia berapa tahun seseorang bisa dikatakan sudah dewasa dan masih kanak-kanak sehingga ia bisa dikatakan telah memenuhi salah satu syarat pembaptisan dalam pandangan Katolik? Seseorang dianggap dewasa menurut Katolik adalah orang yang berusia 18 tahun ke atas, sedangkan yang berusia 0 sampai dengan 6 tahun disebut bayi atau kanak-kanak. Selain itu, seseorang dianggap masih remaja jika ia masih berumur 7-11/13 tahun.13  

Makna Pembaptisan Menurut Protestan
    Dari adanya pemahaman Katolik di atas, ternyata sakramen baptis merupakan persoalan yang sangat fundamental, karena dalam pandangan Katolik, pembaptisan bisa menyelamatkan orang yang telah dibaptis. Namun, seperti apakah keyakinan Protestan tentang sakramen baptis, apakah pembaptisan bisa menyelamatkan orang yang dibaptis pula, sebagaimana halnya Katolik? Baptisan adalah sebuah kata yang terkenal bagi setiap orang Kristen yang merupakan sebuah acara dalam agama Kristen, di mana seseorang yang telah bertobat dan percaya kepada Yesus akan dibenamkan ke dalam air kemudian dibangkitkan lagi, dan upacara tersebut melambangkan sebagai hidup yang lama atau hidup dalam keadaan berdosa itu dikuburkan yang kemudian dibangkitkan dalam hidup yang baru.14 Sedangkan menurut Robert C. Anderson, pembaptisan diyakini sebagai gambaran dari kematian manusia lama yang dikuburkan, kemudian dibangkitkan dalam Kristus. Hal itu juga merupakan wujud nyata dari ketaatan serta kerendahan hati. Robert menambahkan, bahwa dalam kehidupan gereja mula-mula, baptisan merupakan persyaratan awal untuk menjadi muridnya Yesus.15 Ketika pembaptisan telah diyakini sebagai sebuah lambang, maka sakramen baptis pun tidaklah dinilai oleh Protestan sebagai sebuah sakramen yang memiliki sedikit pun pengaruh dalam keselamatan, sebagaimana halnya yang diyakini oleh Luther, misalnya.
    Berkenaan dengan pemahaman Lutheran atas sakramen baptisan, menurut Aritonang, pada dasarnya sama dengan Gereja Katolik Roma dan juga Calvinis, karena mereka sama-sama memahami bahwa pembaptisan memiliki kesetaraan dengan sunat yang terdapat dalam Perjanjian Lama, yang sama-sama diyakini sebagai tanda perjanjian Allah dengan umat-Nya, dan dinilai berlaku juga bagi anak-anak mereka. Pemahaman Luther tentang baptisan, Aritonang menambahkan, “Pandangan Luther[an] tentang Baptisan Kudus penting diperhatikan menyangkut pertikaiannya dengan kaum Anabaptis (harfiah: baptis-ulang). Kaum Anabaptis menilai bahwa Luther memang telah dengan baik memulai reformasi gereja, tetapi ia tidak menyelesaikannya dengan tuntas. Menurut mereka, Luther mestinya juga menolak ajaran Gereja Katolik Roma tentang baptisan anak, yang membuat seseorang otomatis menjadi Kristen setelah ia lahir, dan yang membuat tidak adanya pemisahan antara status sebagai warga gereja dan sebagai warga negara. Menurut Anabaptis, baptisan adalah tanda atau meterai yang memperlihatkan bahwa seseorang telah sungguh-sungguh memahami imannya serta dengan sadar menyatakan pengakuan imannya bahwa Yesus Kristus adalah jurus elamatnya. Karena itu, baptisan hanya boleh dilayankan bagi orang dewasa, karena hanya merekalah yang telah memenuhi syarat-syarat tersebut. Karena itu pula, mereka yang sudah sempat dibaptis waktu anak-anak harus dibaptis ulang, sebab baptisan anak-anak itu tidak sah. Luther menolak pemahaman ini berdasarkan keyakinan bahwa janji Allah, sebagaimana dimeteraikan melalui baptisan itu, juga berlaku bagi anak-anak dalam keluarga Kristen…”16
    Dengan mencermati pandangan Luther di atas, ternyata sakramen baptisan telah mengalami pergeseran, yang sejak awal telah diyakini bahwa pembaptisan bisa mempengaruhi keselamatan, namun menurut Luther, pembaptisan hanyalah sebuah meterai yang diasumsikan sebagai janji Allah, sebagaimana halnya sunat. Dan Protestan, selalu menggunakan istilah lain untuk baptisan, yaitu sunat hati dengan menjadikan Kolose 2:11-12 sebagai rujukannya. Dan, sama halnya seperti Gereja Katolik Roma, Luther pun telah mempertahankan pembaptisan anak-anak atau bayi, menurut Christiaan de Jonge, Luther menerima baptisan bayi disebabkan karena adanya praduga bahwa anak kecil sudah mempunyai iman. Oleh karena itu, orang tua yang memberikan bayi mereka untuk dibaptis boleh percaya bahwa Allah akan memberikan anak mereka iman yang diperlukan untuk menikmati rahmat baptisan, bahkan mereka boleh percaya bahwa benih iman sudah ditanamkan Allah dalam anak mereka.17   
    Namun, bagaimana dengan pandangan Calvin terkait baptisan? Menurut Calvin, “Dikatakan bahwa baptisan anak-anak kecil lebih didasarkan pada ketetapan gereja daripada perintah langsung Kitab Suci (Alkitab). Sungguh merupakan sumber yang miskin dan lemah, jika dalam membela baptisan anak-anak kecil, kita hanya bisa sekedar mengacu kepada otoritas gereja, tetapi akan terlihat … bahwa keadaannya sebenarnya tidaklah demikian.” Berbeda dengan Luther dan Katolik Roma, komentar Calvin tersebut mengimplikasikan adanya penolakan Calvin terhadap baptisan anak, karena menurutnya, baptisan anak tidaklah didasari secara Alkitabiah, dan sikap penolakannya tersebut bukanlah sebagai orang pertama yang melakukan penolakan terhadap pembaptisan anak, karena Zwingli dan Bucer telah melakukannya terlebih dahulu sebelum Calvin.18
    Meskipun Calvin memberikan penolakannya terhadap baptisan anak-anak, namun gagasannya tersebut terlihat bias, ketika ia memberikan pernyataannya sebagai berikut: “Janganlah dipahami seakan-akan saya telah mengatakan bahwa iman mereka telah ada sejak dari rahim ibu, sedangkan Allah memanggil orang-orang dewasa sendiri kadang-kadang lambat dan kadang-kadang lebih cepat; saya hanya menegaskan bahwa semua kaum pilihan Allah masuk dengan iman ke dalam kehidupan kekal, berapa pun usia mereka pada saat mereka dikeluarkan dari penjara kebinasaan.” Sikap biasnya Calvin begitu tampak dari argumentasi yang diberikannya tersebut, karena menurutnya, baptisan anak dinilai olehnya sebagai ketetapan Ilahi, yang Tuhan sendiri menghendaki agar mereka dibiarkan datang kepada-Nya, sebagaimana yang termaktub dalam Matius 19:14. Calvin semakin terlihat abu-abu ketika terjadi serangan yang terus-menerus dari kaum Anabaptis, diskusi yang dilakukan Calvin dengan mereka di Jenewa dan kemudian di Strasbourg, dan akhirnya mencermati tulisannya Brucer, telah membuat Calvin melakukan modifikasi yang cukup banyak dalam uraiannya tersebut dan setelah diterbitkannya edisi tahun 1539.19         
    Tidak hanya itu, Calvin pun menolak adanya baptisan darurat, yaitu pelayanan baptisan kepada anak yang terancam maut oleh siapa saja (bidan, warga gereja lainnya yang bukan pendeta), meskipun baptisan darurat sejak zaman gereja kuno diterima oleh gereja, karena dianggap lebih baik dilanggar peraturan yang menetapkan bahwa hanya pelayan gereja yang boleh membaptis, daripada seorang anak meninggal tanpa keselamatan yang terkandung dalam baptisan. Luther menyetujui adanya baptisan darurat dan juga baptisan di rumah pribadi, karena ia menganggap bahwa baptisan sangat diperlukan untuk keselamatan. Meskipun Calvin menolak adanya baptisan darurat yang telah diyakini oleh Luther dan gereja kuno, namun saat masuk ke dalam persoalan tentang bayi yang meninggal, tetapi belum sempat dibaptis, Calvin meyakini bahwa anak atau bayi tersebut mendapatkan keselamatan, karena menurutnya, bayi yang baru lahir sudah menjadi anak Allah.20  
    Jika kita melacak ritus pembaptisan yang dilakukan dalam Kekristenan, tentunya kita tidak akan mendapati informasi yang valid terkait adanya pembaptisan yang dilakukan oleh Kristen mula-mula, yakni dari abad ke-1 hingga 3 M. Karena pada masa abad ke-4 M, selain pembaptisan dilakukan karena alasan teologis, pembaptisan pun dilakukan pula atas dasar politis. Menurut Lutzer, setiap anak yang dibaptis menjadi orang Kristen dan anggota Kerajaan Romawi sekaligus, karena anak-anak kecil dapat menjadi warga negara kerajaan tanpa keputusan apa pun pada pihak mereka, demikian pulalah mereka dapat menjadi orang Kristen. Lutzer kembali menambahkan, bahwa pembaptisan anak kecil menjadi praktik yang hampir universal dalam beberapa dekade. Dalam memperkuat argumentasinya tersebut, Lutzer menjadikan gagasannya Augustinus sebagai rujukan, menurutnya, Augustinus memiliki keyakinan tentang bersatunya gereja dan negara dengan menandaskan bahwa hak gereja untuk menggunakan negara dalam pelaksanaan Kekristenan. Jadi dalam hal ini, penganut ajaran sesat dapat dibunuh dan para pengingkar bisa dibantai. Dan yang kedua, pembaptisan anak kecil diharuskan.21
    Lutzer kembali melanjutkan komentarnya, “pembaptisan anak kecil telah memainkan peranan penting dalam penggabungan gereja dan negara. Itulah sebabnya golongan Anabaptis dianiaya dengan begitu kejam. Perselisihannya bukan sekedar teologis, tetapi juga karena masalah politis. Pada masa Raja Karel Agung (dinobatkan pada tahun 800), orang-orang yang dibaptis ulang setelah secara pribadi percaya kepada Kristus dibunuh. Yang dikhawatirkan adalah jika gereja hanya dianggap sebagai suatu kelompok dalam masyarakat dan bukan sejajar dengan masyarakat, maka seluruh kesatuan gereja dan negara akan terpecah-pecah. Pembaptisan anak kecil adalah perekat yang menyatukan gereja dan negara.” Dan Lutzer menambahkan, “Bahkan Karl Barth, teolog yang terkenal dari Swiss, mengakui bahwa motivasi sesungguhnya di balik pembaptisan anak kecil adalah Konstantinisme, yaitu kesatuan gereja dan negara.”22   

Kesimpulan
    Dari adanya uraian di atas, maka bisa kita simpulkan bahwa menurut Katolik pembaptisan diperlukan untuk keselamatan orang yang dibaptis, baik pembaptisan yang dilakukan terhadap anak-anak maupun dewasa. Selain pembaptisan diperlukan untuk penghapusan dosa, pembaptisan pun memiliki beberapa manfaat lainnya, sebagaimana halnya yang telah dijelaskan di atas. Sedangkan pembaptisan menurut Protestan, seperti halnya pandangan Luther dan Calvin, memiliki kesamaan dalam gagasannya bahwa pembaptisan hanyalah sekedar lambang yang tidak memiliki pengaruh sedikit pun bagi keselamatan orang yang dibaptis. Walaupun kedua tokoh Reformasi tersebut memiliki perbedaan pandangan tentang baptisan anak. Oleh karena itu, sakramen baptis merupakan tata cara ibadah (liturgi) Kristen yang sejak awal dihasilkan oleh adanya pertikaian dalam Kekristenan, dan tanpa adanya pandangan dari Cyprianus, Donatisme, Augustinus, tentunya baptisan tidak akan memiliki penjelasan secara teologis, selain hanya bersifat politis.    
 
Catatan Kaki:
1. Ade Kolinus TB, Baptisan Roh Kudus: Menurut Ajaran Kharismatik, (Bandung, Kalam Hidup, 2000), hal. 9.
2. Erwin W. Lutzer, Teologi Kontemporer: Berbeda Namun Satu Tubuh, (Malang: Gandum Mas, 2005), hal. 67-68.
3. H. Berkhof-I.H. Enklaar, Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), hal. 37-38.  
4. Albertus Sujoko, Militansi dan Toleransi: Refleksi Teologis Atas Rahmat Sakramen Baptis, (Yogyakarta: Kanisius, 2016), hal. 72-73.
5. Bernhard Lohse, Pengantar Sejarah Dogma Kristen: Dari Abad Pertama Sampai Dengan Masa Kini, terj. A.A. Yewangoe, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015), hal. 175.
6. Linwood Urban, Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen, terj. Liem Sien Kie, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), hal. 351-353.
7. Hamid Qadri, Awan Gelap Dalam Keimanan Kristen: Pengaruh Kepercayaan Kuno dan Filsafat Pada Agama Kristen, terj. Masyhur Abadi dan Lis Amalia R, (Surabaya: Pustaka Da’i, 2004), hal. 118-119.
8. Rasid Rachman, Pembimbing Ke Dalam Sejarah Liturgi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015), hal. 13.
9. Karl Keating, Katolik dan Fundamentalis: Menjawab 13 Serangan Pokok Terhadap Gereja Katolik, (Jakarta: Fidei Press, 2010), hal. 57-58.
10. Pidyarto, Mempertanggungjawabkan Iman Katolik, Edisi Revisi, (Malang: Dioma, 2012), hal. 226-227.
11. Albertus Sujoko, op.cit., hal. 97-98.
12. Ibid., hal. 98-99.
13. Herman Yosef Ga I, Sakramen dan Sakramentali Menurut Kitab Hukum Kanonik Vol. 1 (Sakramen-Sakramen Inisiasi: Baptis, Penguatan dan Ekaristi), (Jakarta: Obor, 2014), hal. 74-75.
14. R.P. Chavan, Mengenal Agama Kristen, (Bandung: Kalam Hidup, 1998), hal. 38.
15. Majalah Sahabat Gembala, dengan topik: Perjamuan Kudus dan Baptisan Bagian 2, edisi Agustus/September 2001, hal. 33.
16. Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran Di Dalam Dan Di Sekitar Gereja, Edisi Revisi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), hal. 52-53.
17. Christiaan de Jonge, Apa itu Calvinisme, (Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2015), hal. 191-192.
18. Francois Wendel, Calvin: Asal-Usul dan Perkembangan Pemikiran Religiusnya, terj. Ichwei G. Indra dkk, (Surabaya: Momentum, 2015), hal. 369.
19. Ibid., hal 370.
20. Christiaan de Jonge, op.cit., hal. 195-196.
21. Erwin W. Lutzer, op.cit., hal. 104.
22. Ibid., hal. 105. 

Comments