Pengaruh Helenisme Dalam Prolog Injil Yohanes

Oleh: Sang Misionaris

Pendahuluan
    Pada mulanya adalah Firman, yang terdapat dalam Injil Yohanes 1:1 telah membentuk keyakinan Kristen bahwa Yesus adalah Firman yang menjadi manusia atau Firman yang hidup, yang keyakinan tersebut didasari karena adanya keyakinan bahwa Allah telah menjadi manusia yang bertujuan untuk menyelamatkan manusia dari dosa. Dari adanya keyakinan itu, justru sebenarnya pemikiran logos Kristen telah terpengaruh oleh pemikiran logosnya Philo, yang dimana kala itu, ia meyakini bahwa logos adalah perantara Tuhan dengan dunia. Suatu hal yang absurd, jika sekiranya Kristen menegasikan atau menyangkal adanya pengaruh paganisme dalam ajaran Kristen. Padahal, Bapa-bapa Gereja di masa itu, hidup dalam dunia helenistik, di mana pemikiran-pemikiran logos telah menjadi gagasannya para filosof, jauh sebelum lahirnya Kristen. Bahkan, orang-orang Kristen mula-mula awalnya adalah seorang kafir yang berasal dari Yunani dan Romawi, yang tentu saja dengan masuknya mereka ke dalam Kristen telah ikut pula mewarnai ajaran-ajaran Kristen selama ini.     

Sejarah Latar Belakang Helenisme
    Awal mula lahirnya helenisme atau sejarah latar belakang hellenisme bermula dari adanya penaklukan di wilayah Asia Barat Daya oleh Aleksander Agung (323-323 SM), di mana kondisi tersebut telah dianggap sebagai sebuah permulaan dari suatu zaman yang baru, yang disebut dengan zaman helenis, atau disebut pula dengan helenisme. Adapun yang dimaksud dengan istilah helenisme ini ialah pergerakan kebudayaan sejak zaman Aleksander, di mana bahasa Yunani dan peradaban Yunani telah mendapatkan tempat yang tertinggi dalam kehidupan orang di masa itu, khususnya dalam kalangan orang-orang terkemuka di kota-kota. Namun, tidak berarti bahwa dengan datangnya Aleksander ke Asia Barat Daya seakan-akan helenisme muncul begitu saja tanpa mengalami adanya suatu proses. Sebelum kedatangan Aleksander, di daerah-daerah pesisir Laut Tengah di bagian Asia sudah lama terdapat kota-kota yang merupakan koloni Yunani, dan dari tempat itulah kebudayaan Yunani mulai menanamkan pengaruhnya, yang proses tersebut dipercepat ketika datangnya helenisme. Dengan adanya kemenangan-kemenangan yang telah didapatkan oleh Aleksander Agung, hal tersebut telah memberikan kemajuan yang berarti bagi helenisme di negara asalnya, yakni Yunani, khususnya di Makedonia, sedangkan perang yang melawan bangsa Persia telah memberikan kesan seakan-akan ada perang Troya kedua, di mana Aleksander Agung telah dianggap sebagai Akhiles baru. Dari adanya mata rantai di atas, hal tersebut telah mendorong orang-orang Yunani untuk memikirkan kembali tentang sumber-sumber kebudayaannya mereka sendiri.1
    Menurut Dunning, masyarakat helenistik terbentuk dari adanya komunitas yang terisolasi di lembah-lembah dan gunung-gunung di Semenanjung Yunani. Komunitas tersebut memiliki karakter yang berbeda-beda yang kemudian disatukan oleh kontrak sosial di antara mereka, yang sekaligus membedakannya dengan masyarakat Barbar. Komunitas tersebut dengan cepat tersebar di Semenanjung Yunani dengan suatu ajakan untuk membentuk tatanan politik yang lebih besar, baik antara komunitas yang berdampingan atau dengan cara penguasaan komunitas yang kuat terhadap yang lemah.2 Namun, setelah Aleksander Agung meninggal pada tahun 323 SM, kerajaan besar yang ditinggalkannya itu terpecah menjadi tiga: Kerajaan Macedonia yang dikuasai oleh Dinasti Antigonid; Asia yang dikuasai oleh Dinasti Seleucid; dan Mesir yang dikuasai oleh Dinasti Lagid.3 Dengan adanya politik, Aleksander telah menyatukan kebudayaan Yunani dan Persia, yang kemudian dilanjutkan oleh para pewarisnya, sehingga timbullah pusat-pusat kebudayaan Yunani di Timur, sedangkan pusat-pusat helenisme yang terkenal kala itu adalah Alexandria di Mesir, Antiok di Suria, Harran dan Jundisyapura dekat Baghdad serta Baktra di Persia.4  
    Aleksander adalah orang yang telah dibina oleh seorang filsuf Yunani, Aristoteles, dan penyebaran luas akan pengetahuan filsafat Athena pada abad ke-4 barangkali merupakan prestasi Aleksander yang terbesar. Perpustakaan yang didirikan di Aleksandria, kota yang diberi nama untuk menghormatinya, sesudah ia meninggal merupakan salah satu monumen terbesar untuk memperingatinya, dan diskusi-diskusi yang diadakan di sana dan di tempat lain dalam rangka pemikiran filsafat Yunani sangatlah berpengaruh. Pengetahuan-pengetahuan dunia mulai terkumpul, dan pengetahuan itu dipahami menurut dasar-dasar filsafatnya Yunani. Plato yang hidup di Athena antara abad ke-5 dan ke-4 SM, merupakan orang yang termasuk sebagai pemikir yang berpengaruh pada masa itu, dan ia telah mengembangkan suatu teknik yang sebelumnya telah dipakai oleh gurunya, Sokrates. Dalam cara ini, diajukannya pertanyaan-pertanyaan yang kemudian dijawab melalui interaksi penalaran dari sudut pandang yang berbeda-beda. Secara implisit, teknik tersebut telah menjadikan logika sebagai tolok ukur dalam menghadapi berbagai perselisihan pendapat, dan sumbangan khusus dari Plato adalah pembelaannya yang rasional atas idealisme, di mana filsafat idealisme telah menempatkan realitas inti dunia tidak pada apa yang dirasakan oleh panca indera, tetapi pada gagasan-gagasan yang persepsi-persepsi yang ada dihubungkan dengannya.5
    Tentang sumber ilmu yang didapatkan oleh Plato, seorang cendekiawan Muslim yang berasal dari India, Maulana Abul Kalam Aza, telah menulis artikel The Meaning of Philosophy, sebagai Introduction atas buku yang Sarvepalli Radhakrishnan menjadi editornya, yang berjudul History of Philosophy Eastern and Westren (jilid I-II). Azad menerangkan, bahwa: “Kita mengetahui bahwa Mesir dan Irak telah mengembangkan tingkat peradaban yang tinggi jauh sebelum Yunani. Kita pun mengetahui pula bahwa filsafat Yunani yang mula-mula amat dipengaruhi oleh hikmat purba Mesir. Plato dalam tulisan-tulisan menimba hikmat (maxims) para pendeta Mesir dengan cara menunjukkan betapa otoritasnya mereka itu sebagai sumber pengetahuan yang tidak dapat disangkal. Bahkan, Aristoteles maju lebih jauh lagi dan mengatakan bahwa para pendeta Mesir purba adalah para filsuf yan pertama di dunia ini… Hal ini menjadi mungkinnya untuk mencari jejak filfasat pada satu periode yang lebih dahulu daripada Yunani purba dan menentukan hakekat dan ruang lingkup perkembangannya pada tingkat dan masa itu.” Dari adanya penjelasan Azad tersebut, maka jelaslah bahwa perintis ilmu filsafat bukanlah berasal dari orang-orang Yunani, meskipun kata filsafat itu sendiri diambil dari bahasa Yunani.6
    Ketika memasuki dunia Imperium Romawi, warisan helenisme dalam bidang filsafat, yakni metafisika Plato dan Aristoteles, sudah tidak lagi menarik minat banyak orang, karena filsafat yang tengah digandrungi pada masa itu adalah filsafat tentang masalah hidup manusia, persisnya filsafat tentang perilaku dan kebahagiaan manusia yang bersifat humanistis. Di kemudian hari, orang Kristen mula-mula lebih bersifat eklektis yaitu memilih unsur-unsur dari aneka sistem filosofis yang ada, dan menurut Tano Simamora, unsur filosofis yang paling mempengaruhi orang Kristen mula-mula adalah filsafat Epikurisme dan Stoisisme.7 Dalam aliran Stoisisme yang dipelopori oleh Zeno, misalnya, ketika membahas tentang siapakah yang telah menciptakan hukum alam, menurutnya itu adalah logos atau akal dunia. Logos ini sama dengan Tuhan atau Zeus, dewa yang disembah oleh masyarakat Yunani pada masa itu. Di sini, kaum Stoa telah bertentangan dengan kaum Epikurean yang meyakini bahwa Tuhan tidak ikut campur tangan dengan kehidupan yang ada di dunia ini. Lebih jauh, Simamora mengungkapkan, bahwa Zeno meyakini bahwa Tuhan tidak terpisah dari dunia, karena Tuhan merupakan substansi dari dunia jasmani, dan seluruh alam semesta merupakan manifestasi dari substansi Tuhan. Karena Tuhan tidak terpisahkan dengan alam, maka manusia termasuk pula ke dalam bagian dari alam dan termasuk pula bagian dari Tuhan. Oleh karena itu, dalam diri manusia terdapat jiwa ilahi.8 Pandangan Zeno tersebut, ternyata memiliki kesamaan dengan keyakinannya Kristen tentang logos, dimana logos telah diyakini oleh Kristen sebagai Tuhan yang telah menciptakan alam semesta, yang sekaligus dianggap pula sebagai perantara Tuhan dan manusia.
    Jika Tano Simamora menganggap adanya dua aliran filsafat yang telah mempengaruhi Kristen mula-mula, namun lain hanya dengan Tony Lane. Menurut Tony Lane, terdapat tiga aliran filsafat yang telah mempengaruhi Kristen mula-mula, yaitu Platonisme, Aristotelianisme dan Stoa. Ketiganya merupakan kelompok pemikir yang berbeda antara satu dengan yang lainnya, namun pada awal era Kristen mula-mula, banyak yang saling mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya. Seorang Platonis, misalnya, ia akan berpegang pada semacam campuran ajaran ketiga kelompok tersebut dengan Platonisme sebagai aliran yang dominan. Pada abad ke-3, Platonisme yang sudah ditinjau kembali dan dikenal dengan sebutan Neo-Platonisme, telah dibeberkan oleh Ammonius Sakkas dan Plotinus. Ajaran Neo-Platonisme lebih menekankan tentang sifat Allah yang transenden, melebihi batas-batas dunia yang tampak. Tony Lane menambahkan, ajaran ini menjadi alternatif bagi kaum kafir untuk menandingi agama Kristen yang tumbuh dengan cepat, dan mempunyai pengaruh yang mendalam bagi para pemikir Kristen di abad ke-4.9  
    Sistem metafisika Plotinus ditandai dengan adanya konsep transenden, menurutnya, di dalam pikiran terdapat tiga realitas: The One, The Mind, dan The Soul. Dan menurut Ahmad Tafsir, teori Plotinus tersebut memiliki banyak sekali persamaannya dengan Trinitas yang dianut oleh Kristen, meskipun teologi Trinitas pada masa Plotinus masih dalam proses perumusan.10 Di akhir abad pertama, terdapat dua rival Kristen, yaitu adanya kepercayaan pagan seperti Mitraisme yang memiliki konsep ketuhanan Triadik dan Trinitarian, dan di sisi lain ada Yudaisme yang berpegang pada monoteisme murni. Dalam kepercayaan paganisme, Triad Romawi memiliki tiga oknum, yaitu Yupiter, Yuni dan Minerva, sedangkan pada agama Hindu memiliki Trimurti Brahma, Wisnu dan Syiwa. Selain itu, terdapat pula kepercayaan Trinitas pada agama lain, seperti Mesir, Khaldea, dan Persia. Hopkins menyatakan: “Tiga Trinitas adalah ekspresi keagamaan yang sama-sama identik. Masing-masing memiliki ajaran adanya Penguasa Tunggal dan Tuhan Bapa menjadi kepala Trinitas; anggota kedua adalah Roh Suci yang kemudian berwujud manusia dan menjadi anggota ketiga dalam Trinitas… Tiga menjadi satu.”11  
    Perlu untuk diketahui, selain adanya orang-orang Yahudi yang telah terpengaruh oleh sinkretisme, orang Kristen mula-mula sebelumnya pun adalah orang-orang Yunani dan Romawi yang berasal dari bangsa kafir, yang tentu saja dengan masuknya mereka ke dalam agama Kristen sedikit banyaknya telah membawa pengaruh dari pemikiran-pemikiran helenistik, yang pada akhirnya keyakinan tersebut dikembangkan dan dimapankan dalam ajaran Kristen. Yustinus Martir, misalnya, yang lahir dari keluarga Yunani di Palestina. Sebelum menjadi Kristen, ia pernah menjadi pengikut filsafat aliran Stoa, Aristoteles dan juga Pythagoras. Dan ketika ia telah menjadi Kristen, ia menggunakan pendekatan antara agama Kristen dan filsafat Yunani.12 Menurut Yustinus, wahyu dari logos, Kristus yang hidup, merupakan sumber dari iman yang menyelamatkan. Yustinus adalah orang yang pertama kali melibatkan filsafat lain di dalam terminologi Kristen, yang mengkomunikasikan ajaran Kristen sesuai dengan bahasa para pendengarnya. Di kemudian hari, Pemikiran-pemikiran Yustinus telah memberikan pengaruh yang cukup kuat dalam Kekristenan, yang hal tersebut tampak pada pemikir-pemikir Kristen lainnya, seperti Irenaeus, Tertullianus, Origen, dan Athanasius.13    

Pengaruh Helenisme Terhadap Logos
    Menurut Tony Lane, adapun tugas Bapa-bapa Gereja Kristen purba pada waktu itu ialah mengungkapkan iman Kristen dalam hubungannya dengan warisan kebudayaan Yunani mereka. Ini berarti menjelaskannya dengan istilah Yunani tanpa mengubah isinya. Lambat-laun pemikiran Yunani berkembang menjadi pemikiran Kristen. Tony menambahkan, selama proses perubahan ini sebagian besar unsur-unsur pemikiran Yunani yang bertentangan dengan pemikiran Kristen disingkirkan. Akan tetapi, prosesnya itu tidak selalu satu arah. Bukan filsafat Yunani saja yang berubah, agama Kristen pun pada gilirannya dilihat melalui kacamata Yunani. Unsur-unsur pendekatan Yunani yang masih tertinggal dan bertentangan dengan Kekristenan, telah mempengaruhi hasil akhir dari ungkapan iman Kristen tersebut.14 Pendapat Tony Lane itu memang benar apa adanya sesuai dengan realitas Kekristenan, dan kebenaran yang telah disampaikannya itu bisa kita telusuri dari adanya gagasan-gagasan Bapa-bapa Gereja tentang logos dan juga penafsiran alegoris, misalnya.
    Menurut Ahmad Tafsir, teori-teori dalam agama Kristen telah mengalami pengembangan dimana Platonisme telah menjadi salah satu sumber pengembangan dalam filsafat Kristen. Plato telah menentang relativisme kaum sofis, dimana argumen-argumennya itu telah digunakan dalam filsafat Kristen. Ajaran Plotinus, yang disebut dengan neo-Platonisme, dijadikan pula sebagai sumber dalam pengembangan filsafat Kristen. Ajaran Plotinus tentang transenden, tidak pentingnya eksplanasi ilmiah tentang alam semesta, dan adanya tiga realitas pun digunakan pula oleh Kristen dalam mengembangkan filsafat Kristen. Begitu pun tentang metodenya Aristoteles, yaitu deduksi logis, digunakan pula oleh Kristen. Dalam menguatkan pendapatnya tersebut, Ahmad Tafsir menyampaikan gagasannya Clement sebagai contohnya, menurutnya, Clement adalah salah seorang tokoh yang telah ikut mengembangkan teologi Kristen. Ia berpendapat bahwa Tuhan itu transenden, Tuhan berada di luar ruang dan waktu. Menurut Clement, hubungan antara manusia dan Tuhan dilakukan melalui logos. Melalui logos itulah, Tuhan memperlihatkan kuasa-Nya, yaitu menciptakan alam semesta, dan oleh Clement, logos dijadikan sebagai jembatan antara dunia materi dengan dunia spirit (roh).15 Sikap Kristen yang memadukan antara teologi Kekristenan dengan filsafat Yunani, bukan saja dilakukan oleh Yustinus Martir, melainkan dilakukan pula oleh Bapa Gereja lainnya, seperti Origen, misalnya. Origen telah dipengaruhi oleh ide-ide Plato, dan ia percaya bahwa Alkitab dapat dimengerti dalam tiga tingkatan. Pertama, secara literal di permukaan. Kedua, secara moral di dalam jiwa. Dan ketiga, secara alegoris untuk misteri-misteri yang terpendam.16
    Tidak hanya itu, pemikiran logos dalam Kekristenan, sebagaimana yang terdapat dalam prolognya Injil Yohanes, tidaklah bisa terlepas dari adanya pengaruh pemikiran Philo. Diakui ataupun tidak, Kristen telah mengalami dampak dari adanya sinkretisme yang dialami oleh kaum Yahudi, di mana kala itu, aspek sosial telah mewarnai orang-orang Yahudi seperti halnya Philo, yang ketika dalam pergaulannya ia tengah hidup di tengah-tengah pemikiran helenistik. Keyakinan Kristen tentang logos secara jelas terdapat dalam prolognya Injil Yohanes, yaitu Yohanes 1:1-4. Dalam ayat tersebut bertuliskan: “Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah. Ia pada mulanya bersama-sama dengan Allah. Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatu pun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan.” Logos menurut Injil Yohanes, sebagaimana halnya keyakinan Kristen tentang logos, mengimplikasikan adanya pra-eksistensi dan keilahian Yesus yang dinyatakan secara eksplisit pada ayat tersebut, di mana Yesus bersama dengan Bapa diyakini Kristen sebagai pencipta dunia.17
    Dalam prolog Injil Yohanes, sebenarnya tidak menyebutkan sama sekali bahwa yang dimaksud dengan logos itu adalah Yesus Kristus. Meskipun demikian, selain Kristen meyakini bahwa logos yang dimaksud itu adalah Yesus, logos itu pun diyakini pula sebagai Anak Allah, yang berinkarnasi dalam rangka untuk memperkenalkan Allah sepenuhnya.18 Menurut Lohse, logos ilahi, yang pada mulanya bersama Allah, menjadi daging dalam Yesus Kristus (Yohanes 1:1-18), adalah sebuah sisipan bagi pra-eksistensinya Yesus. Dari adanya sikap tersebut, menurut Lohse,  terdapat kemungkinan bagi gereja untuk mulai dengan konsepsi-konsepsi tertentu yang telah dibentuk oleh pra-Yudaisme-Kristen mengenai pra-adanya tokoh hikmat. Ketika apa yang terdapat dalam Yudaisme hanya sesuatu yang dianggap ideal, namun dalam Kekristenan, hal itu dipandang dari titik perbuatan inkarnasi yang bersifat menentukan.19
    Jadi, apa itu logos? Menurut Bruce Chilton, logos dalam istilah Yunani mempunyai sejumlah arti, seperti: kata, peribahasa, pernyataan, kisah, ringkasan dan pembelaan. Bruce menambahkan, dalam kalangan Yahudi, yaitu kebijaksanaan, kelihatannya dianggap sebagai tokoh tersendiri dari Allah, bahkan sebagai gambaran hikmat penciptaan Allah, sedangkan beberapa pakar melihat hubungan antara logos dari Yohanes dengan dia. Pakar lain memilih logos sebagaimana yang diartikan dalam aliran Stoa, yaitu prinsip rasional dari kehidupan manusia dan alam; bagi mereka, prolog berbicara sepenuhnya menurut idiom helenis. Yang lain lagi melihat hubungan yang lebih bersifat spekulatif; mereka menghubungkan prolog dengan konsepsi-konsepsi Gnostik. Adanya perbedaan pandangan antara para pakar tentang prolog Injil Yohanes bukanlah tanpa dasar, karena beberapa pakar melihat bahwa prolog Injil Yohanes telah memaparkan tema-tema dengan cara puisi yang kemudian dikembangkan dalam bentuk cerita. Lebih jauh, Bruce menjelaskan, bahwa adanya perbedaan gaya dari prolog dan bagian lainnya dalam Injil Yohanes telah menyebabkan banyak pakar mempersoalkan apakah prolog dibuat oleh orang, atau orang-orang yang menyusun Injil itu. Selain itu, adanya perbedaan pendapat antar pakar tentang prolog Injil Yohanes disebabkan karena adanya dunia wacana, yakni dunia prolog.20  
    Penulis Yunani paling awal yang menggunakan gagasan logos sebagai suatu prinsip adalah Heraklius. Ia ingin menetapkan suatu prinsip yang mantap dalam dunia yang terus-menerus berubah, lalu ia menyebut prinsip tersebut dengan logos. Baginya, logos merupakan prinsip yang mempersatukan, hukum atau akal yang merupakan pola yang stabil dalam dunia yang selalu berubah, dan Heraklius tidaklah memiliki konsep mengenai sesuatu yang transenden, karena menurutnya, logos ada di dalam segala sesuatu. Sedangkan dalam gagasannya Anaxagoras, Allah telah dianggap sebagai transenden, dan bukan sebagai imanen (di dalam segala sesuatu). Karena menurutnya, logos telah bertindak sebagai pengantara antara Allah dan manusia.21 Dalam hal ini, kita melihat bahwa logos yang diyakini oleh para filosof memiliki perbedaan antara satu dengan yang lainnya, yang pada akhirnya konsep tersebut dikembangkan oleh Kristen dikemudian hari. Tidak hanya itu, prolog dalam Injil Yohanes pun memiliki kesejajaran dan pengembangan atas apa yang terdapat pada naskah ibadah Mandaean dalam ungkapan ‘Akulah Firman’, ‘Firman Kehidupan’, dan ‘Terang Kehidupan’.22  
    Sekitar abad kedua sebelum era Kekristenan, terdapat perpaduan antara unsur-unsur Yunani dan Timur yang menghasilkan filsafat eklektik yang dikenal dengan nama Gnostisisme. Sistem filsafat ini bertumbuh subur dengan membonceng perkembangan ajaran Kekristenan mula-mula dan menciptakan ajaran yang terkenal dan khas. Adanya pengaruh Gnostisisme dalam ajaran Kristen, hal tersebut telah diakui oleh Bernhard Lohse. Menurutnya, pada abad ke-2 M terdapat banyak sistem-sistem Gnostik yang telah berkembang, dan mempengaruhi pembentukan ajaran gereja mengenai Trinitas. Adalah benar, kalau dikatakan bahwa kaum Gnostik tidaklah mengembangkan ajaran mereka sendiri mengenai Trinitas. Yang mereka lakukan adalah mencakup Allah Bapa, Allah Anak, dan Roh Kudus di antara aeon-aeon mereka yang banyak.23 Bukti adanya pengaruh Gnostik dalam ajaran Kristen ini bisa kita ketahui dari adanya rumusan Pengakuan Iman Rasuli, di mana Yesus, logos itu, dianggap sebagai aeon perantara, yang mampu menjembati alam ilahi dan alam manusiawi. Selain itu, logos, yang disebut pula sebagai bintang pleroma, memiliki kemampuan untuk turun melintasi stauros (salib), penghalang yang memisahkan pleroma (kepenuhan) Allah dengan dunia, untuk membawa gnosis (pengetahuan esoteris mengenai kebenaran rohani) bagi keselamatan  ilahi. Namun, karena ia turun ke dunia, maka ia (Yesus) pun diyakini pula telah mengenakan juga sifat kemanusiawiannya. Maka dengan demikian, logos itu memiliki sifat ilahi yang sekaligus manusiawi, di mana keyakinan tersebut telah diyakini oleh Kristen hingga saat ini.24
    Dari adanya perjumpaan pola pikirnya (Gnostik) dengan teologi Kristen mula-mula, hal tersebut telah menghasilkan generasi pertama yang memiliki ajaran-ajaran yang dianggap sebagai bidat oleh gereja, seperti Ebionisme; Nazaraeanisme; Adopsianisme; Monarkhianisme; dan Doketisme, dan bentuk lain dari adanya filsafat eklektik tersebut telah mewarnai latar belakang Perjanjian Baru yang disajikan dalam ajaran Filo. Filo atau Philo adalah seorang Yahudi yang sangat mengagumi helenisme, dan salah satu pemikirannya yang dekat dengan pengajaran Kristen adalah pandanganya tentang mediasi. Philo menyatakan hal itu dengan mengunakan bahasa dari Yunani, yakni logos, yang diterjemahkan dengan Firman (Yohanes 1:1). Meskipun ia gigih memegang konsep Yahudi, namun sifat dan pemikirannya itu justru memperkenalkan perjumpaan antara manusia dan Tuhan. Untuk menjembati adanya konflik tersebut, ia lalu menciptakan konsep logos yang berfungsi sebagai perantara, dan ia menciptakan konsep tersebut karena adanya kebutuhan yang muncul dari pengalaman religiusnya sendiri. Dia telah menciptakan keharmonian yang logis antara kecenderungan mistiknya dengan kepercayaannya tentang Allah yang transenden, yang keyakinannya itu ia dapatkan dari Yudaisme dan juga Platonisme.25
    Pemikiran-pemikiran Philo telah mempengaruhi Kristen mula-mula, yang salah satu buktinya itu adalah adanya penggunaan penafsiran alegoris yang telah digunakan oleh Kristen dalam menafsirkan Perjanjian lama yang selalu disangkut-pautkan dengan Yesus. Bahkan menurut Masyud SM dan Sanihu Munir, ayat-ayat  yang terdapat pada Yohanes 1:1-14, itu berasal dari hymne Platonis yang diperkenalkan oleh Philo dari Alexandria. Adapun bunyi kalimat pertamanya itu adalah: “Pada mulanya adalah logos (firman), Logos (firman) itu bersama dengan Tuhan, dan logos (firman) itu berasal dari Tuhan.”26 Linwood Urban telah memberikan komentarnya tentang adanya pengaruh Philo dalam ajaran Kristen, meskipun dalam komentarnya itu ia terkesan malu-malu, menurutnya, Philo mungkin telah mempengaruhi Yohanes dan Paulus, sebab ia hidup dan menulis sebelum mereka.27
    Menurut Linwood Urban, adanya pengaruh Philo yang sedemikian besar atas Perjanjian Baru, dan Paulus serta Yohanes khususnya, telah menimbulkan kontroversi yang luas. Dan terkait tentang Paulus, Linwood mengakui bahwa ide Paulus memiliki kemiripan dengan Philo, khususnya ketika Paulus sedang mencari cara dalam mengekspresikan status keilahian Yesus. Dalam membuktikan kebenaran argumentasinya tersebut, Linwood memberikan contohnya dengan menyertakan beberapa surat yang ditulis oleh Paulus, yaitu: Pertama, Paulus tampaknya menggunakan ide yang sama seperti Philo dalam 1 Korintus 10:4, di mana dalam suatu bagian yang bersifat alegoris, telah menimbulkan banyak perdebatan. Paulus, menurut Linwood, telah berbicara tentang Kristus sebagai batu karang yang memberikan air kepada anak-anak Israel di padang gurun. Linwood menambahkan, bahwa Paulus telah menggunakan suatu gambaran yang tidak biasanya sama dalam 1 Korintus 10:4, yang menyamakan batu karang itu dengan Yesus dengan Mesias, yang ada sebelum dunia ada. Kedua, dalam Surat Roma 8:9-11. Dalam surat itu, Paulus telah menggunakan ‘Roh Kudus’, ‘Roh Kristus’, dan ‘Kristus ada di dalam kamu’ secara bergantian.28
    Jika Linwood terkesan malu-malu untuk mengakui adanya pengaruh helenistis dalam Kekristenan, namun lain halnya dengan Bambang Subandrijo ketika ia mengutarakan tentang adanya pengaruh helenisme bagi keilahian Yesus. Menurutnya, pengilahian Yesus merupakan perkembangan kristologis yang diakibatkan oleh perubahan kultural ketika Kekristenan berjumpa dengan pemikiran helenis. Tidak berlebihan, jika dikatakan bahwa kristologi perdana sampai pada bentuknya secara penuh adalah penyesuaian dengan antropologi helenistis, sehingga suatu saat Kekristenan menjadi suatu gerakan yang terkontaminasi paganisme.29     
    Terkait tentang logos, Philo telah memberikan beberapa keterangan yang hampir identik tentang logos dan hubungan antara logos dengan Yang Esa, yaitu: “Selagi Allah ada secara ontologis sebagai (nama yang sama) analogi dari Yang Esa Dia sementara itu adalah dua berkenaan dengan kekuasaan, kebaikan dan kewenangannya yang paling tinggi dan paling pertama; dengan kebaikan Dia memperanakkan alam semesta dan dengan otoritasnya Dia memerintah apa yang sudah diciptakannya. Dan ada hal ketiga yang-ada di antara mereka-membawa keduanya bersama-sama, yaitu logosnya, karena dengan logos, Allah adalah pemerintah dan kebaikan, kedua-duanya… logos itu dilahirkan di dalam akal budi Allah sebelum segala sesuatu dan dimanisfestasikan dalam hubungan dengan semua hal.” Dengan demikian, Philo memiliki konsep tentang Allah, yang disebut juga Bapa, dan tentang logos, yang disebut juga sebagai Anak.30 Sebagaimana yang telah disampaikan sebelumnya, Kristen pada dasarnya telah menjadikan pemikiran-pemikiran helenistik sebagai sumber pengetahuannya dalam membangun ajaran Kristen, yang di kemudian hari mengalami pengembangan untuk membuat kesan bahwa ajaran Kristen tentang logos memiliki perbedaan yang signifikan dengan agama pagan, seperti halnya tentang permasalahan Yesus adalah logos dan juga Anak Allah, yang berujung dengan terjadinya Konsili Nicea-Konstantinopel pada tahun 381 M, di mana dalam konsili tersebut dirumuskan tentang pengakuan iman, meskipun dalam konsili itu sengaja tidak disebutkan Yesus sebagai logos atau Firman, melainkan sebagai Anak.31 Yang kedua istilah tersebut, logos dan Firman, sama-sama diyakini oleh Kristen sebagai pribadi Tuhan Trinitas.   

Kesimpulan
    Penyangkalan Kristen setidaknya bisa dianggap memadai bahwa ajaran Kristen tidaklah terpengaruh oleh ajaran paganisme Yunani-Romawi, jika seandainya Kristen mula-mula asalnya bukanlah orang kafir yang berasal dari Yunani dan Romawi, meskipun ada pula yang Yahudi, dan bisa dianggap memadai pula dan juga logis penegasian Kristen, jika sekiranya Kristen mula-mula pun tidak hidup dalam dunia helenistik. Keyakinan Kristen tentang logos, tidak hanya dipengaruhi oleh pemikiran logosnya plato dan juga logosnya philo, melainkan dipengaruhi pula oleh filsafat Stoisisme, Anaxagoras dan naskah ibadahnya Mandaean, yang sejak awal telah diserap dan dijadikan sebagai sumber ajaran Kristen, yang di kemudian hari, Kristen mula-mula mengembangkan konsepsi yang telah ada dan dimapankan dalam ajaran Kristen. Jika sekiranya para filosof sebelum Kristen tidak menggunakan istilah logos dalam konsepsinya, tentunya tudingan dari pihak outsidernya Kristen pun bisa dianggap lemah. Akan tetapi, pada kenyataannya Kristen telah menggunakan logosnya kaum paganisme dan juga mengembangkannya, yang hal itu terbukti dari adanya pengaruh helenisme dalam prolog Injil Yohanes, sebagaimana halnya yang telah disampaikan di atas. 


Catatan Kaki
1. H. Jagersma, Dari Aleksander Agung Sampai Bar Kokhba: Sejarah Israel Dari ± 330 SM-135, terj. Soeparto Poerbo, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), hal. 13-14.  
2. Ali Abdul Mu’ti Muhammad, Filsafat Politik: Antara Barat dan Islam, terj. Rosihon Anwar, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hal. 22.
3. S. Tano Simamora, Bibel: Warisan Iman, Sejarah dan Budaya, (Jakarta: Obor, 2014), hal. 240.
4. Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: Rajawali Pres, 2014), hal. 34.
5. Bruce Chilton, Studi Perjanjian Baru Bagi Pemula, terj. Conny Corputty-Item, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994), hal. 135.
6. Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama, (Surabaya: Bina Ilmu, 2009), hal. 80-81.
7. S. Tano Simamora, op.cit., hal. 286.
8. Masykur Arif Rahman, Buku Pintar Sejarah Filsafat Barat, (Yogyakarta: Ircisod, 2013), hal. 187.   
9. Tony Lane, Runtut Pijar: Tokoh dan Pemikiran Kristen Dari Masa Ke Masa, terj. Conny Item-Corputy, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), hal. 3-4.
10. Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2016), hal. 68-69.
11. Hamid Qadri, Awan Gelap Dalam Keimanan Kristen: Pengaruh Kepercayaan Kuno dan Filsafat Pada Agama Kristen, terj. Masyhur Abadi dan Lis Amalia R, (Surabaya: Pustaka Da’i, 2004), hal. 87-88.   
12. Tony Lane, op.cit., hal. 7-9.
13. Rich Cornish, 5 Menit Sejarah Gereja: Kebenaran Maksimum Dalam Waktu Minimum, terj. Handy Hermanto (Bandung: Pionir Jaya dan Nav Press Indonesia, 2007), hal. 27-28.  
14. Tony Lane, op.cit., hal. 5.
15. Ahmad Tafsir, op.cit., hal. 77-78.
16. Rich Cornish, op.cit., hal 39.  
17. D.A. Carson dkk, Tafsiran Alkitab Abad Ke-21: Jilid 3 Injil Matius Wahyu, terj. A. Munthe dkk, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2017), hal. 201.
18. Charles F. Pfeiffer dan Everett F. Harrison (ed.), Tafsiran Alkitab Wycliffe: Vol. 3 Matius-Wahyu, (Malang: Gandum Mas, 2013), hal 383.
19. Bernhard Lohse, Pengantar Sejarah Dogma Kristen: Dari Abad Pertama Sampai Dengan Masa Kini, terj. A.A. Yewangoe, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015), hal. 48.
20. Bruce Chilton, op.cit., hal. 150.
21. Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 1: Allah, Manusia, Kristus, terj. Lisda Tirtapraja Gamandhi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015), hal. 363-364.  
22. Ibid., hal. 366.
23. Bernhard Lohse, op.cit., hal. 53.
24. Bambang Subandrijo, Yesus Sang titik Temu Dan Titik Tengkar: Sebuah Studi Tentang Pandangan Kristen dan Muslim Di Indonesia Mengenai Yesus, (Jakarta: Unit Publikasi dan Informasi STT Jakarta dan BPK Gunung Mulia, 2016), hal. 26.
25. H.E. Dana, The New Testament World: Politik, Ekonomi, Sosial-Budaya, dan Agama Di Zaman Perjanjian Baru, terj. Rosida Widyastuti, (Malang: Gandum Mas, 2016), hal. 152-153.     
26. http://kristenisasi.wordpress.com/2008/12/03/ketuhanan-yesus-ditopang-oleh-kepalsuan-ayat/  di akses oleh penulis pada tanggal 4 Februari 2019.
27. Linwood Urban, Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen, terj. Liem Sien Kie, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), hal. 58.
28. Ibid., hal. 52-53.
29. Bambang Subandrijo, op.cit., hal. 140.
30. Linwood Urban, op.cit., hal. 60-61.
31. Budyanto, Mempertimbangkan Ulang Ajaran Tentang Trinitas, (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2001), hal. 143. 

Comments