Tudingan Orientalis Terhadap Al-Qur’an Dan Sanggahannya

Oleh: Sang Misionaris


Pendahuluan
    Pada dasarnya, pandangan orientalis terhadap Al-Qur’an memiliki perbedaan pendapat antara satu dengan yang lainnya, di mana dari setiap teori yang dihasilkan oleh orientalis terhadap Al-Qur’an, selalu mendapatkan bantahan dari orientalis lainnya. John Wansbrough, misalnya, telah membuat beberapa tesis terhadap Al-Qur’an, di mana kajiannya tersebut telah ditentang oleh sejumlah orientalis lainnya yang telah meresensi karyanya Wansbrough, Qur’anic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation, seperti Issa J. Boullatta, dan van Ess. Berbagai teori atas kajian orientalis terhadap Al-Qur’an memang beragam, tergantung pendekatan apa yang digunakannya. Dan bagi Fazlur Rahman, kajian yang dihasilkan oleh Wansbrough dinilai sebagai masalah yang serius dan merupakan ancaman terhadap masa depan orientalisme ataupun terhadap prasangka dogmatik kaum Muslimin. Maka tak heran, jika pada akhirnya Fazlur Rahman pun menolak berbagai tudingan yang dilancarkan oleh Wansbrough. Seperti apakah tudingan orientalis terhadap Al-Qur’an dan tesis apa saja yang diangkat oleh John Wansbrough, di mana tesisnya tersebut pada akhirnya digunakan ulang dan sedikit dikembangkan oleh Kristen dan juga oleh sebagian pihak yang mengaku sebagai Muslim? Selain mengulas hal itu, dalam artikel kali ini pun diberikan pula sanggahannya terhadap asumsinya Wansbrough.

    Para sarjana Barat, demikian pula dengan kaum Muslimin, selama ini meyakini bahwa keabsahan teori pengumpulan Al-Qur'an, setidaknya pada Utsman bin Affan. Namun, hal tersebut berbeda dengan seorang orientalis yang berasal dari Inggris, John Wansbrough, lewat kajiannya ia telah menyajikan tesis yang berbeda bahwa redaksi final Al-Qur’an tidaklah ditetapkan secara definitif sebelum abad ke-3 H atau 9 M, di samping menganggap pula bahwa kisah mengenai resensi Utsmani hanyalah sebuah kisah yang fiktif belaka. Selain itu, ia pun mengemukakan pula bahwa asal-usul Al-Qur’an berbeda sepenuhnya dalam tradisi Yahudi (dan hingga taraf tertentu pada tradisi Kristen), serta bahwa Al-Qur’an yang ada di tangan kita dewasa ini merupakan perbedaan dari berbagai tradisi kaum Muslimin pada dua abad pertama Islam. Dalam membuktikan tesis-tesisnya tersebut, Wansbrough menggunakan kajian kritis terhadap bentuk sastra dan studi kritis terhadap redaksi Al-Qur’an, yang disebut juga sebagai metode analisis sastra. Penerapan metode ini terhadap Al-Qur’an pernah diupayakan oleh Richard Bell dalam karyanya, The Al-Qur’an: Translated With a Critical Re-arrangement of The Surahs Jilid II, yang memberi penanggalan terhadap unit-unit orisinal wahyu, tetapi dalam kacamata Wansbrough, penerapan metode tersebut tampaknya lebih berada dalam tradisi kesarjanaan Yahudi dan Kristen, di mana pada umumnya, metode tersebut digunakan oleh para sarjana Yahudi dan Kristen untuk melakukan kajian terhadap Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, yang dikenal dengan istilah Kritik Bible (Biblical Criticism). Adapun tesis-tesis yang diusung oleh Wansbrough beserta argumentasi yang menopangnya adalah sebagai berikut:

Pengaruh Yahudi Dalam Penyusunan Al-Qur’an
    Pada abad ke-19 M, para orientalis cenderung memusatkan perhatian mereka pada upaya untuk menemukan sumber-sumber Al-Qur’an, di mana karya modern mengenai hal ini bermula pada tahun 1833 M dengan munculnya karya Abraham Geiger, Was hat Muhammed aus dem Judentum aufgenommen? (Apakah yang telah diadopsi Muhammad dari agama Yahudi?). Sejumlah sarjana Barat lainnya lalu memasuki bidang ini, dan terjadi semacam peperangan (perbedaan argumentasi) antara para sarjana yang memandang agama Yahudi sebagai sumber Al-Qur’an dengan para sarjana yang menganggap bahwa agama Kristen sebagai sumber utama Al-Qur’an. Adapun karya sarjana Kristen yang menonjol ditulis oleh Richard Bell dalam The Origin of Islam in its Christian Environment, sedangkan karya sarjana Yahudi yang menonjol ditulis oleh CC. Toerry dalam The Jewish Foundation of Islam. Meskipun karya-karya yang ditulis oleh para sarjana Kristen belakangan nampak lebih sistematik ketimbang para sarjana Yahudi, namun upaya rekonstruksi elemen-elemen asing Al-Qur’an ini dikecam keras oleh para sarjana Barat lainnya. Franz Rosenthal, misalnya, ia mengemukakan bahwa, “Meskipun kajian-kajian semacam itu berhasil menemukan bukti yang meyakinkan mengenai adanya pengaruh asing terhadap formasi spiritual dan intelektual Muhammad, namun upaya-upaya tersebut tidak mungkin menjelaskan secara memuaskan keberhasilannya dalam menciptakan sesuatu dan mentrasformasikannya ke dalam suatu kekuatan abadi yang mempengaruhi seluruh umat manusia….” Jadi kajian-kajian semacam ini, bagi Rosenthal, hanya menyentuh kulit luarnya saja dan tidak pernah mencapai intinya.
    Berbeda dengan kecenderungan karya-karya Barat sebelumnya yang berupaya membuktikan bahwa Muhammad tepengaruh oleh tradisi Yudeo-Kristiani, Wansbrough telah melangkah lebih jauh dengan mengemukakan bahwa Al-Qur’an yang ada di tangan umat Islam dewasa ini merupakan hasil konspirasi kaum Muslimin mula-mula, yang secara sepenuhnya berada dalam tradisi Yahudi (Kristen). Untuk menguatkan tesisnya tersebut, Wansbrough, misalnya, menganalisis permulaan Surat al-Isra’ dan menunjukkan adanya pengaruh doktrin Yahudi tentang “pemilihan” serta “yang tersisa” di dalam Al-Qur’an. Sebagaimana yang diutarakan dalam karyanya, Qur’anic Studies, bahwa ayat pertama dari Surat Al-Isra’ sama sekali tidak membahas mengenai peristiwa isra’ Nabi Muhammad . Ayat ini tepatnya, hanya membahas peristiwa eksodus Nabi Musa dan kaumnya dari Mesir ke Israel, karena ayat-ayat Al-Qur’an lainnya menggunakan asra’ bi ‘abdihi laylan, atau yang mirip dengannya, kesemuanya itu mengisahkan tentang eksodus Musa tersebut (Qs. 20:77; 26:52; 44:23). Sementara ungkapan dalam Qs. 17:1, yaitu min al-masjid al-haram ila al-masjid al-aqsa, yang diidentifikasikan Nabi Muhammad sebagai pelaku perjalanan malam tersebut, dipandang oleh Wansbrough sebagai tambahan dari masa yang belakangan dengan tujuan untuk mengakomodasikan episode evangelium Islam di dalam teks resmi (Al-Qur’an). Tambahan ini, bagi Wansbrough, jelas berada di bawah pengaruh Taurat (atau Perjanjian Lama).
    Ayat yang dijadikan sebagai salah satu contoh argumen oleh Wansbrough untuk menopang tesisnya di atas, sebelumnya pernah pula dipermasalahkan otentisitasnya oleh Gustav Weil. Sebagaimana Wansbrough, Weil pun mendesak bahwa tidak terdapat rujukan lainnya dalam Al-Qur’an mengenai perjalanan malam Muhammad. Selain itu, Weil pun menganggap pula bahwa ayat tersebut bertentangan dengan klaim umum Muhammad sebagai sekedar seorang rasul, bukan pembuat mukjizat; bahwa sejauh terdapat basis untuk legenda yang belakangan dalam kehidupan Muhammad, maka peristiwa tersebut hanya impian atau bayangan. Sebagaimana halnya Wansbrough, Weil pun menegaskan pula bahwa Qs. 17:1 tidak memiliki kaitan dengan ayat-ayat yang selanjutnya. Tapi argumentasi ini hampir-hampir tidak menopang kesimpulan yang didasarkan padanya. Jika kita hanya melihat ayat itu sendiri, tanpa memasukkan struktur legenda belakangan yang dibangun di atasnya, maka tidak ada sesuatu pun di dalam ayat ini yang aneh. Sesungguhnya, terdapat demikian banyaknya ayat-ayat yang tidak berkelindan di dalam Al-Qur’an, sehingga kita hampir-hampir tidak dapat menjadikannya sebagai suatu argumen, khususnya terhadap ayat ini. Begitulah argumentasi Weil yang bisa dilihat dari karyanya Bell dan Watt, Bells Introduction, halaman 52.  
    Di samping analisisnya terhadap Qs. 17:1, di dalam karyanya, Qur’anic Studies, mengemukakan adanya pengaruh doktrin Yahudi tentang “pemilihan” dan “yang tersisa” di dalam Al-Qur’an. Ketika membahas terma bala dan fatana dengan Tuhan sebagai subyeknya (Qs. 2:49; 89:15; 29:3; 21:35), ia mengemukakan, “Di sini keadilan Tuhan menjadi berkurang oleh hal yang jelas sekali merupakan suatu refleks tradisi pemilihan Alkitab, terbukti di dalam ayat-ayat di mana Ibrahim (Qs. 2:124) atau Daud (Qs. 38:24) atau Sulaiman (Qs. 38:34) merupakan obyek pengujian”. Sementara terma-terma baqiah, baqiyah dan baqiyun di dalam Al-Qur’an (Qs. 11:116; 26:120; 37:77; 43:28; 2:248; 69:8; 53:51), dipandang oleh Wansbrough sebagai tradisi “yang tersisa” selaras dengan pengertian Perjanjian Lama. Penampakan kedua motif Biblikal ini, yaitu “pemilihan” dan “yang tersisa”, di dalam kitab suci kaum Muslimin, menurutnya dapat ditafsirkan sebagai pengalaman normatif yang diasimilasikan secara tidak sempurna.

Al-Qur’an Sebagai Perpaduan Berbagai Tradisi
    Dalam ilustrasi-ilustrasi yang telah dikemukakan di atas, sikap Wansbrough terhadap Al-Qur'an tampak semakin jelas, bahwa ia memandang kaum Muslimin yang awal (pada abad pertama dan kedua Hijriyah) turut mengambil peran aktif dalam penyusunan redaksi final Al-Qur’an. Dengan kata lain, Al-Qur’an yang ada di tangan kaum Muslimin merupakan hasil konspirasi umat Islam mula-mula. Menurut Wansbrough, adanya peran aktif kaum Muslimin awal dalam penyusunan redaksi final Al-Qur’an terlihat jelas dalam berbagai versi bacaan Al-Qur’an yang berbeda dan berbagai versi dari suatu kisah tunggal di dalam Al-Qur’an. Mushaf Al-Qur’an yang ada di tangan kita dewasa ini, menurutnya, merupakan hasil penjejeran berbagai tradisi kaum Muslimin yang awal. Itulah sebabnya sering ditemukan formula yang sama dan kisah tunggal yang senada (ayat-ayat duplikat) di dalam Al-Qur’an. Adanya penjejeran berbagai tradisi yang berbeda di dalam Al-Qur’an, menurut Wansbrough, merupakan ungkapan kecemasan kaum Muslimin yang awal.
    Untuk membuktikan tesisnya itu, Wansbrough menganalisis berbagai versi kisah Al-Qur’an dan ayat-ayat yang dianggapnya sebagai duplikat. Dua ilustrasi mengenai tiga versi kisah Syu’aib dan dua versi jannatani, digunakan olehnya untuk mengukuhkan tesisnya tersebut. Untuk menghemat ruang, penulis hanya menyajikan versi jannatani (dua surga) saja. Adanya eksposisi Wansbrough mengenai dua versi jannatani yang terdapat dalam Surat Ar-Rahman, masing-masing menggunakan ayat 46-61 dan 62-76. Ia mengemukakan bahwa kelompok-kelompok bagian Al-Qur’an ini berisi dua versi jannatani yang identik. Dalam tatanan kanon, kedua kelompok ayat yang identik itu adalah sebagai berikut:
Qs. 55 (Ayat Versi A)
Qs. 55 (Ayat Versi B)
46. Dan bagi orang yang takut akan saat menghadap Rabbnya ada dua taman.
62. Dari kedua surga itu ada dua surga lagi.
48.  Kedua taman itu mempunyai pohon-pohon yang rindang.
64. Kedua surga itu hijau tua warnanya.
50. Di dalam kedua taman surga itu ada dua buah mata air yang mengalir.
66. Di dalam kedua surga itu ada dua mata air yang memancar.
52. Di dalam kedua taman surga itu terdapat segala macam buah-buahan yang berpasang-pasangan.  
68. Di dalam keduanya ada buah-buahan dan kurma serta delima.
54. Mereka bersandarkan di atas permadani yang bagian dalamnya terbuat dari sutera. Dan buah-buahan kedua surga itu dapat dipetik dari dekat.
70. Di dalam surga-surga itu ada bidadari-bidadari yang baik-baik lagi cantik-cantik.  
56. Di dalam surga itu ada bidadari-bidadari yang selalu menundukkan pandangan matanya tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka -penghuni-penghuni surga yang menjadi suami mereka dan tidak pula oleh jin.
72. Bidadari-bidadari itu-sangat jelita mereka dipingit di dalam kemah-kemah.
58. Seakan-akan bidadari-bidadari itu permata yaqut dan marjan.
74. Mereka tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka dan tidak pula oleh jin.
60. Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan pula.
76. Mereka bersandarkan pada bantal-bantal yang hijau dan bergelarkan pada permadani-permadani yang indah.

    Menurut Wansbrough, kedua versi jannatani ini telah diperdebatkan sebelumnya di kalangan sarjana Muslim klasik. Zamakhsyari bahkan mengemukakan bahwa gambaran versi B dinilai kurang bagus ketimbang versi A. Hal ini, menurut Wansbrough, tentu saja mengimplikasikan penerimaan tatanan kanonik kedua versi tersebut. Tetapi berdasarkan bukti ini juga dapat dikemukakan bahwa versi A merupakan elaborasi versi B, keduanya dengan instrumen retorik dan tambahan tafsir. Apakah elaborasi atau perindahan versi A ditujukan untuk fungsi liturgis atau semata-mata bersifat literer, merupakan masalah yang pelik untuk ditetapkan. Tetapi Wansbrough menyatakan, bahwa dugaan yang paling kuat dalam hal ini adalah bahwa dua versi atau dua tradisi yang berbeda sama-sama dimasukkan dalam naskah definitif Al-Qur’an. Dalam karyanya, Qur’anic Studies, halaman 25-27, ia menyatakan, “Namun yang lebih kuat tampaknya adalah penjejeran dua tradisi berbeda yang bertalian erat di dalam kanon, dikontaminasi oleh bacaan konteks yang indentik, atau dihasilkan dari tradisi-tradisi tunggal lewat transmisi lisan.”
    Dari berbagai ilustrasi yang telah dikemukakan di atas, maka dapat kita simpulkan bahwa Wansbrough telah memandang periwayatan Al-Qur’an dari generasi pertama kaum Muslimin kepada generasi kedua dan seterusnya hingga akhir abad ke-2 Hijriah adalah dalam cara yang sangat bebas. Kaum muslimin yang awal selalu berupaya menyempurnakan dan ketika terjadi pembakuan Al-Qur’an, keseluruhan tradisi dari berbagai stase tersebut dapat dipertahankan eksistensinya dalam redaksi final Al-Qur’an. Hal inilah yang menyebabkan adanya duplikat atau repetisi di dalam mushaf yang ada di tangan kita dewasa ini. Pandangan Wansbrough ini jelas bertentangan dengan opini dari sarjana Barat pada umumnya, maupun dari kalangan umat Islam sendiri, yang memandang bahwa redaksi Al-Qur’an ini berasal dari Nabi Muhammad .

Mempermasalahkan Mushaf Utsman
    Bahasan-bahasan Wansbrough yang telah dipaparkan di atas, bisa kita simpulkan bahwa teori tentang penyalinan segera Al-Qur’an ke dalam bentuk mushaf, baik pada masa Abu Bakar ataupun pada masa Utsman, hanya merupakan suatu fiksi yang tidak mendapatkan dukungan apapun. Menurutnya, struktur Al-Qur’an sendiri menunjukkan bahwa redaksi final Al-Qur’an bukanlah proyek yang dilaksanakan dengan cara hati-hati oleh seseorang atau sekelompok orang, tetapi agaknya lebih merupakan suatu perkembangan organik tradisi-tradisi independen yang orisinil selama suatu periode transmisi yang panjang. Alternatif yang diajukan Wansbrough sehubungan dengan hal ini, seperti yang telah dikemukakan di atas, adalah penjejeran tradisi-tradisi independen ke dalam naskah final Al-Qur’an melalui sejumlah konvensi retorik. Kandungan-kandungan tradisi-tradisi ini dapat dilukiskan sebagai logia kenabian (sabda nabi atau Hadits) yang diformulasinya memperhatikan sejumlah tipe sastra yang dapat dikenal. Contohnya adalah tentang dialog Ja’far ibn Abi Thalib dengan Najasyi yang kemudian dielaborasi dan dimasukkan ke dalam redaksi final Al-Qur’an.
    Dengan mendasarkan diri pada teori yang diajukan oleh Joseph Schacht, bahwa hukum Islam yang awal tidaklah dideduksi dari Al-Qur’an, Wansbrough mengemukakan bahwa redaksi final Al-Qur’an barulah disusun pada permulaan abad ke-3 H, karena menyimpulkan hukum dari Al-Qur’an merupakan fenomena abad tersebut. Dalam Fiqh Akbar 1, yang disusun sekitar pertengahan abad ke-2 H, sama sekali tidak terdapat rujukan kepada Al-Qur’an. Wansbrough memandang bahwa kanonisasi dan stabilisasi teks Al-Qur’an berjalan bergandengan dengan formasi komunitas Muslim. Suatu teks Al-Qur’an yang final dan baku tidak dibutuhkan, juga secara sepenuhnya. Jadi pada penghujung abad ke-2 H, mungkin terjadi semacam gerakan historis untuk mengumpulkan secara bersama-sama tradisi oral dan elemen-elemen liturgis, yang pada gilirannya mengarah kepada munculnya mushaf baku Al-Qur’an di awal abad ke-3 H.
    Tesis Wansbrough di atas memang baru dan orisinil dan para sarjana Barat yang menggeluti sejarah naskah Al-Qur’an meskipun dengan kritik-kritik tertentu, pada umumnya menerima teori pengumpulan di masa kekhalifahan Utsman dan menegaskan bahwa Al-Qur’an yang ada saat ini berasal dari masa tersebut. Demikian pula, sebagian mereka menerima satu elemen lainnya dari kisah pengumpulan di masa Utsman bahwa Zaid bin Tsabit memainkan peran tertentu dalam memapankan teks Al-Qur’an.
Penolakan Terhadap Tesis Wansbrough
    Tesis-tesis Wansbrough di atas yang saling terjalin antara satu dengan yang lainnya telah mendapatkan tanggapan keras baik dari para sarjana Barat maupun dari sarjana Muslim, tidak hanya dari segi prasangka dogmatik, tetapi juga dari bahan penelitian dan metode yang digunakan dalam penelitiannya. Issa J. Boullatta, ketika meresensi karya kontroversialnya Wansbrough, misalnya, ia mempertanyakan tentang keabsahan metode yang digunakan oleh Wansbrough dalam bukunya tersebut. Bahkan, rata-rata peresensi karya Wansbrough seperti: Bibliotecha Orientalia; Buletin of the School of Oriental and African Studies; Der Islam; Journal of the American Orientaly Society, telah menolak ataupun mencela tesis-tesis utamanya Wansbrough. Dan satu-satunya peresensi yang menaruh simpati terhadap karya Wansbrough hanyalah Josep van Ess, yang memandang bahwa metodenya itu mungkin bermanfaat. Meskipun demikian, van Ess tetap saja tidak menerima kesimpulan-kesimpulannya Wansbrough.
    Serangan yang paling keras terhadap karya Wansbrough datang dari Fazlur Rahman. Fazlur Rahman menganggap bahwa kajian Wansbrough sebagai suatu masalah serius dan merupakan ancaman terhadap masa depan orientalisme ataupun terhadap prasangka dogmatik kaum Muslimin. Pandangan Wansbrough bahwa doktrin “pemilihan” dan “yang tersisa” Yahudi telah mempengaruhi penyusunan redaksi final Al-Qur’an, telah dibantah secara tegas oleh Fazlur Rahman. Sehubungan dengan terma-terma baqiah, baqiyah dan baqiyun yang dipandang Wansbrough sebagai cerminan dari doktrin “yang tersisa” Yahudi, Rahman mengemukakan bahwa terma terakhir (baqiyun) tidak pernah dijumpai di dalam Al-Qur’an dan secara gramatikal tidak tepat. Terma itu seharusnya adalah baqun. Menurut Rahman, pengertian ketiga terma ini sebagai “yang tersisa” adalah tidak tepat. Hanya terdapat satu ayat semacam itu dalam Al-Qur’an (Qs. 37:77). Tetapi maksud ayat ini bukanlah keturunannya. Selain itu, di dalam Al-Qur’an tidak terdapat kata turunan b-q-y yang berarti “sisa-sisa yang masih hidup”. Kata jamak baqiyat di dalam Qs. 18:46 dan 19:76 memiliki makna sebagai “perbuatan-perbuatan baik yang tetap bertahan walaupun pelakunya sendiri sudah meninggal”. Sedangkan baqiyah dalam bentuk tunggal bermakna “ajaran Ibrahim yang tetap hidup di dalam diri keturunannya” (Qs. 43:28), atau “setiap sesuatu yang tertinggal” (Qs. 69:8). Kata baqiyah di dalam ketiga penggunaan Al-Qur’an (Qs. 2:248; 11:86; dan 11:116) tidak ada yang berarti “yang tersisa”. Sementara kata terakhir (baqun), tidak tepat diterjemahkan ‘yang tersisa”, kata ini lebih tepat diterjemahkan sebagai “orang-orang yang memiliki keunggulan dan kebajikan”. Jika kata itu diterjemahkan dengan “orang-orang yang memiliki yang tersisa”, maka terjemahan itu sangat terlihat absurd. Bagi Rahman, ide “yang tersisa” pada faktanya telah disangkal keras oleh Al-Qur’an ketika mengatakan kepada kaum Muslimin bahwa jika mereka tidak mau berjuang di jalan Allah (Jihad), maka Allah akan mengangkat kaum yang lainnya untuk menggantikan mereka (Qs. 9:39).
    Selain itu, Rahman pun menolak secara tegas asumsi Wansbrough bahwa doktrin “pemilihan” Yahudi telah mempengaruhi formasi Al-Qur’an. Baginya, “pemilihan” di dalam Al-Qur’an adalah kata lain untuk proses-proses yang terjadi secara alamiah (Qs. 2:124; 6:124; 43:32; 6:83-87; dan lain-lain). Lebih jauh, Rahman memandang bahwa Al-Qur’an itu sendiri merupakan argumentasi yang terbaik untuk membantah asumsi Wansbrough dalam masalah ini. Adanya tesis Wansbrough tentang Al-Qur’an sebagai perpaduan dari berbagai “tradisi” yang berbeda juga dibantah oleh Rahman. Menurutnya, sarjana Yahudi ini sangat kurang memiliki data historis mengenai asal-usul, karakter, evaluasi, dan person-person yang terlibat dalam tradisi-tradisi tersebut. Lebih jauh, sejumlah besar masalah kunci Al-Qur’an hanya dapat dipahami dalam terma-terma kronologis dan perkembangannya yang terbentang di dalam suatu dokumen tunggal. Jadi, tesis Wansbrough yang dibangun berdasarkan duplikasi atau repetisi di dalam Al-Qur’an, ditolak Rahman karena hal itu lebih mencerminkan perkembangan tema atau misi kenabian Muhammad dalam urutan kronologisnya. Sebagai contoh, Rahman mengemukakan pandangan Al-Qur’an mengenai mukjizat dan keanekaragaman komunitas keagamaan yang selalu berkembang dari waktu ke waktu, dan hanya dapat dipahami dalam konteks sebuah dokumen yang utuh serta secara gradual membentangkan dirinya.
    Analisis Wansbrough mengenai tiga versi kisah Syu’aib, yang baginya mencerminkan tiga tradisi yang terpisahkan dan berbeda serta dijejerkan begitu saja di dalam redaksi final Al-Qur’an, juga dipermasalahkan oleh Rahman. Pertama, Wansbrough, menurut Rahman, tidak memberikan penjelasan apapun mengapa ketiga versi kisah Syu’aib itu harus dipandang sebagai tiga tradisi yang berbeda. Kedua, dalam keseluruhan halaman bukunya, Wansbrough sama sekali tidak memberi indikasi siapa yang telah mengumpulkan tradisi-tradisi tersebut ke dalam kanon. Ketiga, pernyataan Wansbrough bahwa kitab suci kalangan Yahudi (Kristen) demikian akrabnya dengan Nabi dan para pengikutnya, sehingga Al-Qur’an merujuknya secara eliptik, adalah sangat keliru dan dibantah sendiri oleh Al-Qur’an (Qs. 29:48). Jadi, Nabi Muhammad tidaklah memiliki pengetahuan langsung tentang kitab-kitab suci sebelum Al-Qur’an. Keempat, pengetahuan Wansbrough mengenai teks Al-Quran, menurut Rahman, sangat meragukan, sehingga banyak terjadi distorsi dalam karyanya. Sementara dialog Ja’far ibnu Abi Thalib dengan Najasyi, yang dikemukakan Wansbrough sebagai bukti bahwa isi pembicaraan Ja’far merupakan logia kenabian yang kemudian dielaborasi dan dimasukkan ke dalam redaksi final Al-Qur’an, dipandang Rahman sebagai contoh konkret yang sangat menggelikan dan dengan jelas menunjukkan inkonsistensi-skeptisisme total Wansbrough terhadap bahan-bahan kesejarahan Islam yang awal.

Kesimpulan
    Seorang orientalis yang berasal dari Inggris, John Wansbrough, telah sejak awal skeptis terhadap asal-muasal Al-Qur’an itu sendiri. Ia meragukan tradisi Islam yang meyakini adanya riwayat yang mengisahkan tentang adanya pengumpulan mushaf, khususnya di masa Utsman, di mana banyak para penghafal Al-Qur’an yang telah banyak dikumpulkan di zaman Khalifah Utsman dalam melakukan penyusunan dan penyeragaman dialek. Menurut Wansbrough, tidak ada bukti yang kuat bahwa Al-Qur’an utuh sebanyak tiga puluh juz bisa ditemukan sejak abad ke-7 M. Tidak hanya itu saja, ia pun mengklaim bahwa sumber-sumber Al-Qur'an berasal dari tradisi Yahudi. Namun nyatanya, berbagai tesis yang diangkat oleh Wansbrough memiliki banyak kelemahan yang tidak didasari oleh bukti internal maupun eksternal Qur’an, selain hanya sekedar pengklaiman secara sepihak. Bahkan, para peresensi karyanya sendiri, Qur’anic Studies, tidak setuju dan mempertanyakan dengan apa yang telah ia kemukakan tersebut.        


Dikutip dari:
Yudhie R. Haryono dan May Rachmawatie (Ed.). 2002. Al-Quran: Buku Yang Menyesatkan Dan Buku Yang mencerahkan, dalam Al-Qur’an Di Mata Barat. Bekasi: Gugus Press. Hal. 124-141.

Comments

Post a Comment