Perjalanan Dakwah Nabi Muhammad

Oleh: Sang Misionaris

Pendahuluan
    Perjalanan dakwah Nabi Muhammad ﷺ tidaklah didapati dengan cara yang mudah dan tidak pula mengandalkan mukjizatnya dalam mengalahkan musuh-musuhnya, dan keberhasilan Nabi Muhammad ﷺ dalam dakwah, itu semua dilalui dengan kerja keras beliau dalam menyampaikan Islam kepada siapapun, meski harus mengalami berbagai tudingan dan fitnahan hingga mendapatkan gangguan secara fisik dari orang-orang yang menentang dakwahnya. Tanpa adanya keberhasilan dakawah yang diraih oleh Nabi Muhammad , tentunya Islam tidaklah akan menyebar hingga saat ini. Namun ironisnya, ketika Nabi Muhammad harus berperang demi mencapai kedamaian dan kemenangan, Kristen yang mendominasi Barat, telah menciptakan stigma yang negatif terhadap Islam, bahwa Islam adalah agama pedang yang telah menyucikan kekerasan dan tidak mengenal toleransi, meskipun orang-orang Kristen sejak Abad Pertengahan selalu diwarnai dengan berbagai peperangan dan pembunuhan.

Berbagai Respons Terhadap Dakwah Nabi Muhammad ﷺ
    Di masa periode Mekkah, Nabi Muhammad ﷺ telah mendapatkan tugas dari Allah agar ajaran yang diterima oleh beliau untuk disampaikan kepada umat manusia, di mana tantangan dakwah Nabi Muhammad ﷺ dimulai dari masyarakat Arab Mekkah sebagai audiens awal yang terkenal dengan tradisi ashabiyahnya, terutama ashabiyah yang didasarkan pada keluarga dekatnya. Menurut Darwazah, sebagaimana yang dinyatakan oleh Aksin Wijaya, bahwa ada tiga bentuk respon dari mereka terhadap dakwah yang telah disampaikan oleh Nabi Muhammad ﷺ, yaitu:
I. Kelompok yang menerima dakwah kenabian Muhammad ﷺ dan masuk Islam, tetapi jumlahnya sedikit, yang berasal dari keluarga dekatnya, seperti Siti Khadijah, Ali bin Abi Thalib yang berusia 10 tahun dan para pembesar Arab Quraisy seperti Abu Bakar, Zaid bin Harits, Usman bin Affan, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqash, Thalhah bin Ubaidillah, Abu Ubaidillah bi  Jarrah, Arqam bin Abi Arqam, Usman bin Maz’un, Ubaidillah bin Harits bin Abdul Muthalib bin Abdi Manaf, Sa’id bin Zaid, Khabbab bin al-Art, Abdullah ibnu Mas'ud, Ammar bin Yasir, Shuhaib, Hamzah bin Abdul Muthalib, Umar bin Khathab, dan beberapa orang yang berasal dari kelompok mustad’afin.
II. Individu yang tidak menerima dakwah beliau, tetapi membela dakwahnya, yakni Abu Thalib. Setelah Nabi Muhammad ﷺ berdakwah secara terang-terangan dan mulai melakukan penentangan terhadap berhala-berhala yang disembah oleh masyarakat Quraisy, akhirnya masyarakat Quraisy pun mendatangi Abu Thalib dan meminta agar Rasulullah ﷺ untuk segera berhenti menyerang Tuhan mereka. Namun, Abu Thalib menolak secara halus permintaan mereka, tetapi setelah Abu Thalib berkali-kali didatangi oleh mereka, akhirnya ia pun meminta Nabi Muhammad ﷺ untuk menghentikan dakwahnya tersebut. Mendapat permintaan dari pamannya seperti itu, akhirnya Nabi Muhammad ﷺ pun menjawabnya dengan sumpah, “Wahai Pamanku, andaikata mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, agar saya menghentikan dakwah agama yang datang dari Allah ini, demi Allah, saya tidak akan meninggalkannya.” Mendapat jawaban yang meyakinkan dari keponakannya tersebut, maka Abu Thalib pun mempersilahkan Nabi Muhammad ﷺ untuk melakukan dakwahnya dan memberikan perlindungan kepada Rasulullah ﷺ, meskipun ia sendiri tidak masuk Islam hingga akhir hayatnya.
III. Kelompok yang menolak dakwah Nabi Muhammad ﷺ dan sekaligus memusuhinya. Mereka itu berasal dari keluarga dan kerabat dekat beliau, terutama dari suku Quraisy. Di antara suku Quraisy yang memusuhi Nabi Muhammad ﷺ adalah: pertama, Makhzum: Abu Jahal, Walid bin Mughirah, Abdullah bin Abi Umayyah, Zabir bin Abi Umayyah, Sa’ib bin Abi al-Sa’ib, Aswad bin Abdul A’sad bin Hilal, Hubairah bin Abi Wahab, Abu Qais bin Fakah bin Mughirah. Kedua, Abdul Syam: Abu Ahihah Sa’id bin al-‘Ash, Uqbah bin Abi Mu’ith, Abu Sofyan bin Harb, Hakam bin Abi al-‘Ash, Utbah bin Robi’ah dan Syaibah bin Robi’ah. Ketiga, Sahm: Harits bin Qais, al-‘Ash bin Wa’il, Munabbah bin al-Hujjaj, Nabih bin al-Hujjaj. Keempat, Naufal: Muth’am bin Adi, Tha’imah bin ‘Adi, Harith bin’Amir Naufal. Kelima, Jumah: Umayyah bin Khalaf dan Ubay bin Khalaf. Keenam, Asad bin ‘Abdi al-‘Azzi: Abu Bukhtari al-‘Ash bin Hisyam, Aswad bin Muththalib. Ketujuh, Abdu al-Dar bin Qussyai: Nadhlir bin Harith. Kedelapan, Zuhrah bin Kullab: Aswad bin Abdi Yaghuth bin Wahab. Kesembilan, Hasyim: Abu Lahab. Kesepuluh, Muththalab: Rikanah bin Yazid. Kesebelas, Khaza’ah: Malik bin Tsalatsalah dan ‘Adi bin Hamra’. Kedua belas, Hudzail: Ibnu al-Ashda’.
    Selanjutnya, Darwazah pun menjelaskan, bahwa yang paling banyak memusuhi dakwah kenabian Muhammad berasal dari keluarganya Makhzum dan Abdul Syam. Secara sosial-ekonomi, menurut Darwazah, mereka pada umumnya berasal dari orang-orang kaya dan sebagai pembesar masing-masing keluarga, kecuali Utbah bin Rabi’ah. Dan dari segi motif, ungkap Darwazah, mereka memusuhi Nabi Muhammad ﷺ tidak semata-mata karena didasari oleh motif keyakinan dan keagamaan, melainkan karena adanya motif permasalahan sosial-ekonomi.1
    Adanya gagasan Darwazah di atas, yang menyatakan bahwa permasalahan sosial-ekonomi merupakan salah satu penyebab lahirnya permusuhan orang-orang Quraisy terhadap Rasulullah ﷺ, merupakan sebuah realitas yang didukung dengan bukti sejarah, di mana argumentasinya tersebut memiliki keselarasan dengan pandangan yang dikemukakan oleh seorang orientalis, yaitu Montgomery Watt, yang menyatakan, “Mecca was more than a mere trading centre, it was a financial centre. Scholars as a whole may not be quite so certain about details appears to he, but it is clear that financial operations of considerable complexity were carried on at Mecca. The leading men at Mecca in Mohammad time were above all financiers, skiful in the manipulation of credit, shrewed in their speculations, and interested in an potentialities of lucrative investment from Aden to Gaza or Damascus. In the financial net that they had woven not merely were all the in habitants of Mecca caught. But many notables of the surrounding tribes also. The Quran appeared not in the athmospere of the desert but in that of high finance.” Dari apa yang telah dikemukakan oleh W. Montgomery Watt tersebut menunjukkan bahwa kawasan Mekkah merupakan kota penting pada jalur perdagangan internasional. Dengan demikian, kota Mekkah bukanlah kota kecil yang sepi, yang jauh dari keramaian dan kesibukan dunia. Namun, Mekkah merupakan kota yang ramai dan makmur, yang hampir menguasai pusat perdagangan antara kawasan lautan India dan lautan Tengah, di mana hal tersebut didukung dengan beberapa fakta historis. Pertama, realita yang menunjukkan bahwa Mekkah telah sejak lama dijadikan sebagai tempat peristirahatan para kafilah, baik yang datang dari Yaman menuju Palestina maupun sebaliknya. Kedua, di Mekkah terdapat sumber mata air yang tidak pernah kenal kering, yakni sumber yang berasal dari mata air zam-zam. Ketiga, menjadi pusat lintas perdagangan ke Suriah, Yaman, Thaif, dan Najd.2   

Tantangan Dan Keberhasilan Nabi Muhammad ﷺ
    Di Mekkah, Rasulullah ﷺ mendapatkan pertentangan yang sengit dari para penduduknya, terutama dari kelompok oligarki yang menguasai kehidupan kota tersebut. Ketika keyakinan penduduk Mekah merasa terguncang dengan hadirnya dakwah Nabi Muhammad ﷺ yang membersihkan keyakinan syirik penduduk Mekkah, mereka pun mengkhawatirkan pula kepentingan-kepentingan dagang mereka yang merasa terancam oleh adanya ajaran beliau yang menekankan adanya keadilan sosial, yang semakin lama semakin menjurus terhadap kutukannya kepada riba dan desakannya mengenai zakat. Maka, untuk meredam dan menghentikan dakwahnya tersebut, akhirnya mereka pun melontarkan berbagi macam tuduhan kepada Nabi Muhammad ﷺ bahwa beliau adalah orang yang kesurupan, seorang penyihir, dan juga gila. Tidak hanya itu, semakin hari permusuhan mereka terhadap Nabi Muhammad ﷺ pun semakin keras, dari kemarahan menjadi cemoohan, dari cemoohan menjadi fitnahan dan sumpah serapah.3 Menurut Ibnu Ishaq, ketika Rasulullah ﷺ menampakkan Islam secara terbuka kepada kaumnya, dan menyampaikan perintah Allah secara terang-terangan, orang-orang Quraisy belumlah mengutuk beliau dan belum pula memberikan reaksi apa pun. Namun, pada saat beliau menyebut sesembahannya mereka dan menjelaskan tentang adanya kebatilan dalam mengagungkan berhala, maka di saat itulah mereka menganggap bahwa hal tersebut sebagai masalah yang besar dan sepakat untuk melakukan penentangan kepada Rasulullah ﷺ.4
    Quraisy Shihab menuturkan, ketika Bani Hasyim memutuskan untuk memberi perlindungan kepada Nabi Muhammad ﷺ, kecuali Abu Lahab, akhirnya orang-orang Quraisy pun melobi berbagai suku untuk secara bersama-sama menentang sikap Bani Hasyim tersebut, yang pada akhirnya mereka melakukan pemboikotan yang tidak saja terjadi terhadap Bani Hasyim, melainkan berimbas pula pada Bani Muththalib.5 Para tokoh musyrik Mekkah yang melakukan pemboikotan telah menulis piagam yang berisikan tentang kesepakatan pelarangan untuk berinteraksi dengan Nabi dan semua orang yang tidak memihak kepada kaum musyrik Mekkah. Adapun kesepakatannya adalah sebagai berikut: “Tidak ada bantu-membantu, tidak ada jual-beli, tidak juga kawin-mawin. Tidak ada damai sampai pendukung-pendukung Nabi Muhammad bersedia menyerahkan beliau secara sukarela untuk dicegah berdakwah atau dibunuh.” Dalam menghadapi adanya pemboikotan dan blokade ekonomi, ungkap Qusraisy Shihab, semua keluarga Hasyim dan Muththalib akhirnya bersatu padu melakukan perlawanan terhadap orang-orang Quraisy. Orang-orang yang percaya kepada Nabi Muhammad ﷺ merasa bahwa mereka memiliki kewajiban untuk membela beliau, yang hidup senasib dan sepenanggungan dengan Nabi ﷺ atas dorongan imannya, sedangkan bagi mereka yang tidak percaya hanya melakukan perlawanan atas dasar solidaritas kekeluargaan. Setelah pemboikotan tersebut berlalu selama tiga tahun, riwayat lain ada yang menyatakan dua tahun, akhirnya ada di antara tokoh-tokoh musyrik yang merasa bahwa pemboikotan itu telah melampaui batas perikemanusiaan. Hisyam ibn Amr ibn Rabiah adalah orang pertama yang memiliki inisiatif untuk membatalkan isi piagam tersebut, dan orang-orang yang memiliki pemikiran yang sama dengan Hisyam untuk melakukan pembatalan terhadap piagam tersebut adalah Zuhair ibn Umayyah al-Makhzumi, Muth’im ibn Uday, Abu Bukhturi ibn Hisyam, dan Zam’ah ibn Aswad.6
    Ketika Abu Thalib telah meninggal dunia, kepemimpinan Bani Hasyim akhirnya dipegang oleh Abu Lahab,7 dan sejak saat itu tindakan yang mengarah kepada gangguan fisik mulai dilancarkan terhadap Nabi Muhammad ﷺ. Ketika permusuhan dari Quraisy meningkat, maka secara terpaksa Nabi Muhammad ﷺ memutuskan diri untuk pergi ke Thaif. Namun, di sana beliau diusir oleh penduduk Thaif dan melemparinya dengan batu, hingga kepala dan badannya pun terluka.8 Terkait tentang gangguan fisik yang dialami oleh Nabi Muhammad ﷺ dan juga para sahabat lainnya, Karen Armstrong mengisahkannya sebagai berikut: “Tetangga-tetangganya mulai melakukan gangguan-gangguan kotor dengan usus domba. Mereka memukulkan obyek menjijikkan ini kepada Muhammad ketika dia tengah melakukan sholat. Seseorang, bahkan memasukkan usus domba itu ke dalam kuali masak keluarga. Suatu hari, ketika Muhammad tengah berjalan-jalan di kota, seorang anak muda Quraisy melemparkan kotoran kepadanya. Anak perempuannya (Siti Fathimah) menangis ketika dia sampai di rumah dalam keadaan kotor dan terus menangis sementara ayahnya berbasuh. “Jangan menangis, gadis kecilku,” Muhammad menenangkannya, “Karena Tuhan akan melindungi ayahmu.” Namun ditambahkannya bagi dirinya sendiri: “Quraisy tidak pernah memperlakukan aku seburuk ini ketika Abu Thalib masih hidup. Kelemahan Muhammad ini mempengaruhi posisi orang Muslim yang lain. Abu Bakar, misalnya, benar-benar dihancurkan oleh larangan: modalnya berkurang dari 400 ribu menjadi tinggal 5 ribu dirham. Dia tinggal di distrik klan Jumah, dan sejak dia masuk Islam, hubungannya dengan kepala suku sangat buruk. Kepala suku yang sudah tua dan gemuk, Ummayyah bin Khalaf, dulu ia suka menjemur budaknya, Bilal, di terik matahari, yaitu di masa awal penyiksaan. Kini, dia merasa dapat melakukannya kepada Abu Bakar, seorang saudagar yang dihormati. Dia mengikat Abu Bakar dan saudara sepupunya, Thalhah, bersama-sama dan membiarkan mereka kepanasan dalam posisi yang sulit ini. Ini menunjukkan bahwa klan mereka, Taim, tidak lagi bersedia atau dapat melindungi Abu Bakar.”9    
    Tidak saja Bilal dan Abu Bakar yang telah mendapatkan penganiayaan dari orang-orang Quraisy, kekerasan lainnya pun dirasakan pula oleh ‘Ammar bin Yasir, di mana ia sendiri tidak memililiki suku yang berpengaruh dalam melindungi dirinya dari penganiayaan yang tengah dilancarkan oleh orang-orang Quraisy. ‘Ammar telah dipaksa untuk berbaring di atas pasir yang panas dan mendapatkan penyiksaan hingga pingsan, dan terkadang ia pun dilemparkan di atas bara api. Tidak hanya ‘Ammar saja yang mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi tersebut, Yasir, ayahnya ‘Ammar dan Summayah, ibunya ‘Ammar, ikut pula mendapatkan penyiksaan dari orang-orang Quraisy. Kebiadaban tidak terbatas saja didapatkan pada orang-orang yang tidak berdaya seperti halnya Suhaib, Abu Fukaiha, Yasir, dan Ammar, tetapi juga pada orang-orang merdeka yang berketurunan mulia dan juga para pemimpinnya pun ikut menjadi korban kebiadaban orang-orang Quraisy, sebagaimana halnya yang dialami oleh Utsman bin Affan, di mana ia sendiri telah diperlakukan secara brutal oleh pamannya.10   
    Salah satu kesuksesan dakwah yang diperoleh oleh Nabi Muhammad ﷺ di Mekah adalah bahwa beliau tidak hanya mendapatkan pengikut dari keluarganya sendiri, melainkan mendapatkan pula pengikut yang berasal dari lapisan bawah, kaum bangsawan dan orang-orang yang disegani oleh masyarakat Quraisy, seperti Abu Bakar, Umar bin Khathab, dan juga Utsman bin Affan. Mereka adalah orang-orang yang taat dan patuh kepada Allah dan Rasulullah ﷺ, yang memiliki ketulusan dan keikhlasan dalam memohon kepada Tuhan Yang Maha Kaya, serta rela mengorbankan apapun demi Islam hingga memandang ringan sebuah kematian. Kemenangan non-material yang mereka dapatkan, telah menjadi peringatan bagi siapapun yang merasa gagah berani, mampu, dan kaya agar mereka segera bertaubat karena orang-orang miskin dan lemah bisa mendapatkan kemenangan dan mampu menaklukkan orang-orang yang gagah perkasa dan kuat sekalipun.11 Namun, bagaimana dengan rintangan dan perjuangan dakwah Nabi Muhammad ﷺ ketika di Madinah?
    Jika Mekkah memiliki penduduk yang bersuku-suku dengan keyakinannya yang masih bersifat homogen, namun lain halnya dengan Madinah, meski penduduknya bersuku-suku, namun keyakinannya para penduduknya heterogen.12 Sebelum Nabi ﷺ hijrah ke Madinah, menurut Fred M. Donner, sekelompok kecil di Yastrib telah mencari Rasulullah ﷺ dan meminta beliau agar menyatukan dan memimpin kota mereka. Tahun selanjutnya, ungkap Donner, kelompok besar bertemu dengan Nabi ﷺ dan mengundang beliau untuk datang ke Yastrib dengan para pendukungnya di Mekkah. Tidak lama setelah itu, pada tahun 622 M, Nabi Muhammad ﷺ dan para pengikutnya yang berasal dari Mekkah akhirnya hijrah ke Yastrib.13 Adanya undangan yang didapatkan oleh Rasulullah ﷺ untuk hijrah ke Madinah, hal tersebut tidak bisa terlepas dari adanya keberhasilan dakwah beliau yang secara terus-menerus dilakukan, di mana dakwah yang beliau sampaikan ternyata telah berhasil mendapatkan pengikut dari luar kota Mekkah, yaitu orang-orang Yastrib, di mana enam orang Yastrib yang telah memeluk Islam bersumpah untuk tidak menyekutukan apapun dengan Allah dan juga tidak berzinah, mencuri, ataupun membunuh anak-anak mereka, dan patuh kepada Nabi ﷺ di dalam segala hal yang baik. Dalam sejarah Islam, janji tersebut dikenal dengan nama Perjanjian Aqabah Pertama.14
    Menurut penulis, kesuksesan dakwah Nabi Muhammad ﷺ itu semua disebabkan karena adanya kemuliaan akhlak beliau yang dibarengi dengan intelektualitas diri yang melebihi manusia pada umumnya, termasuk pula melebihi orang-orang Yahudi dan Kristen di Madinah, karena suatu hal yang tidak mungkin seseorang dijadikan sebagai tempat untuk meminta saran dan bahkan dipercaya menjadi penengah dari adanya konflik yang telah lama terjadi, jika orang tersebut dikenal sebagai orang yang memiliki perangai dan intelektual yang buruk. Pengakuan penduduk Madinah terhadap kredibilitas dan kualitas kepribadian Nabi ﷺ, itu semua dibuktikan dengan terjadinya kesepakatan politis, yakni Piagam Madinah. Oleh karena itu, maka tidak mengherankan jika pihak Barat, semisal Savari, ia tidak saja mengakui kenabian Muhammad, melainkan mengakui pula keintelektualannya beliau.15 Dan, jauh sebelum Savari mengakui hal tersebut, dalam Piagam Madinah orang-orang Yahudi di masa Rasulullah ﷺ telah mengakui bahwa beliau adalah utusan Allah, sebagaimana yang terdapat pada Piagam Madinah pada pasal 47. Terkait tentang sikap oportunisnya orang-orang Yahudi yang menerima isi Piagam Madinah, di mana dalam perjanjian tersebut berisi tentang pernyataan tertulis bahwa Muhammad adalah utusan Allah, Martin Lings memberikan komentarnya sebagai berikut: “Tidak ada pernyataan terbuka bahwa Yahudi harus mengakui secara resmi bahwa Muhammad adalah nabi dan utusan Allah, meskipun dalam seluruh dokumen beliau dinyatakan sebagai nabi atau rasul. Kaum Yahudi menerima perjanjian ini karena alasan politis.”16
    Ketika di Madinah, Nabi Muhammad ﷺ melakukan tiga hal yang disebut al-Buty sebagai asas-asas penting untuk berdirinya Negara Madinah: mendirikan masjid, mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar, dan mengadakan perjanjian politik umat Islam dengan kaum Yahudi, yang perjanjian tersebut dikenal dengan istilah Piagam Madinah.17 Dari adanya keberhasilan beliau tersebut, terdapat orientalis yang menduga bahwa pada mulanya Nabi Muhammad ﷺ hanya bermaksud untuk mengajarkan agamanya kepada orang-orang Arab, tetapi setelah beliau berhasil di Madinah, beliau memperluas dakwahnya untuk seluruh manusia. Pendapat tersebut tentu saja sangat keliru, karena sejak di Mekkah beliau telah menegaskan bahwa Nabi Muhammad diutus untuk seluruh manusia, di mana hal tersebut terbukti dengan adanya Surat Al-‘Araf ayat 158, yang ayat tersebut turun ketika Nabi Muhammad ﷺ sedang berada di Mekkah.18 Sepanjang yang penulis ketahui, semua para ulama sepakat bahwa Surat Al-‘Araf turun di Mekkah, dan menurut riwayat yang dikeluarkan oleh Abu asy-Syekh Ibnu Hayyan, sebagaimana yang dikutip oleh Jalaluddin Asy-Suyuthi, dinyatakan bahwa hanya ayat 163 hingga ayat 172 tidaklah termasuk ayat-ayat yang turun di Mekkah.19
    Meskipun beliau mendapatkan ketenangan di Madinah dan menjadi orang yang dihormati serta disegani oleh orang-orang kafir, namun rintangan dakwah Nabi Muhammad ﷺ di Madinah tidaklah sirna. Hal itu terjadi, karena watak bangsa Yahudi yang tidak mau tunduk pada bangsa lain dan kegemarannya membunuh para nabi pun muncul kembali, akhirnya rencana jahat untuk membunuh Nabi Muhammad ﷺ pun disusun. Berkat wahyu yang diterima, Nabi ﷺ pun selamat dari makar yang mereka buat dan mengakibatkan terjadinya pengusiran terhadap Yahudi Bani Nadhir dari Madinah.20 Bahkan, semenjak beliau berada di Madinah, peperangan yang terjadi antara kaum Muslimin dengan pihak kafir kerap kali terjadi, dan menurut Bruce Lawrence, beliau telah menghadapi 38 kali pertarungan, di mana 25 di antaranya telah dipimpin langsung oleh beliau.21 Di sini kita bisa menilai, bahwa Rasulullah ﷺ bukanlah orang yang termasuk suka berpangku tangan dalam melakukan dakwah, bahkan dalam menghadapi musuh sekali pun beliau sendiri ikut berperang dengan para sahabat lainnya, tanpa mengandalkan mukjizat yang beliau miliki.  

Kesimpulan
    Dalam Surat Al-Kahfi ayat 110, secara eksplisit, dinyatakan bahwa Nabi Muhammad ﷺ hanyalah seorang manusia sama halnya seperti kita. Di kampung halamannya sendiri, beliau telah mendapatkan berbagai perlakuan yang menyesakkan dada karena berbagai fitnahan dan serangan fisik yang beliau dapati, baik dari kaum kerabatnya sendiri maupun dari penduduk sekitarnya. Dan semenjak Rasulullah ﷺ hijrah ke Madinah, perlahan namun pasti, akhirnya beliau mendapatkan kesuksesan yang sangat gemilang. Terkait tentang pandangan Barat terhadap keberhasilan yang diperoleh Nabi Muhammad ﷺ tersebut, tentunya ungkapan yang disampaikan oleh Karen Armstrong ini setidaknya mewakili pemikiran Barat terhadap Nabi Muhammad ﷺ, menurutnya, “Inilah yang selalu sulit diterima dan dipercaya oleh Barat Kristen. Muhammad menjadi pemimpin politik yang cerdas dan kharismatik yang bukan saja mengubah Arab, tetapi juga sejarah dunia. Namun justru karena itu, para kritikusnya di Eropa menggambarkannya sebagai seorang penipu yang menggunakan agama sebagai alat kekuasaan. Karena dunia Kristen didominasi oleh bayangan penyaliban Yesus, yang mengatakan bahwa kerajaannya bukanlah di dunia, kita cenderung melihat kegagalan dan penghinaan sebagai tanda resmi pemimpin keagamaan. Kita tidak mengharapkan para pahlawan agama kita mencapai keberhasilan yang mengagumkan dalam kerangka duniawi.”22   



Catatan Kaki:
1.  Aksin Wijaya, Sejarah Kenabian Dalam Perspektif Tafsir Nuzuli Muhammad Izzat Darwazah, (Bandung: Mizan Pustaka, 2016), hlm. 346-348.
2. Munir Che Anam, Muhammad Saw Dan Karl Marx: Tentang Masyarakat Tanpa Kelas, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hal. 83-84.
3.  Fazlur Rahman, Islam, (Bandung: Pustaka, 2010), hlm. 7.
4. Ibnu Ishaq – Ibnu Hisyam, Sirah Nabawiyah: Sejarah Lengkap Kehidupan Rasulullah , terj., Samson Rahman, (Jakarta: Akbarmedia, 2018), hlm. 156.
5.  Syed Mahmudunnasir, Islam: Konsepsi dan Sejarahnya, (Bandung: Rosdakarya, 2005), hlm. 108.
6. M. Quraisy Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad Dalam Sorotan Al-Qur’an dan Hadis-Hadis Shahih, (Tangerang: Lentera Hati, 2014), hlm. 393-396.
7. Fred M. Donner, Muhammad dan Umat Beriman: Asal-Usul Islam, terj., Syafaatun Almirzanah, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2015), hlm. 46.
8. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2016), hlm. 23.
9. Karen Armstrong, Muhammad Sang Nabi: Sebuah Biografi Kritis, terj., Sirikit Syah, (Surabaya: Risalah Gusti, 2006), hlm. 182-183.
10. Abdul Hamid Siddiqi, Keagungan Muhammad: Rasulullah Sebagai Teladan, terj., Munir, (Bandung: Marja, 2005), hlm. 110-111.
11. Moenawar Chalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad Jilid I, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm. 261.
12. Munir Che Anam, op.cit., hlm. 89.
13. Fred M. Donner, op.cit., hlm. 47.
14. Syed Mahmudunnasir, op.cit., hlm. 109.
15. Ajid Thohir, Sirah Nabawiyah: Nabi Muhammad Dalam Kajian Ilmu Sosial Humaniora, (Bandung: Marja, 2014), hlm. 150.
16. Martin Lings, Muhammad: Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik, terj., Qamaruddin SF, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2018), hlm. 176.
17.  Aksin Wijaya, op.cit., hlm. 393.
18. M. Quraisy Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung, Mizan, 2006), hlm. 48-49.
19. Imam Suyuthi, Studi Al-Qur’an Komprehensif Jilid. 1, terj., Tim Editor Indiva, (Solo: Indiva Media Kreasi, 2008), hlm. 55.
20. Muhammad Babul Ulum, Genealogi Hadis Politis: Al-Mu’awiyat Dalam Kajian Islam Ilmiah, (Bandung: Marja, 2018), hlm. 121.
21. Bruce Lawrence, The Quran A Biography, terj., Aditya Hadi Pratama, (Bandung: Semesta Inspirasi, 2008), hlm. 33.
22. Karen Armstrong, op.cit., hlm. 231.


Comments