Menelusuri Adanya Keselamatan Di Luar Kristen


Oleh: Sang Misionaris

Pendahuluan
    Kristen, kerap kali melakukan penginjilan kepada pihak non-Kristen, khususnya kepada kaum Muslimin, dengan menyatakan bahwa di luar agama Kristen tidak ada keselamatan, menurut mereka, satu-satunya jalan untuk mendapatkan keselamatan hanyalah melalui Yesus. Namun nyatanya, keselamatan dalam Kristen mengalami pergeseran dan bahkan perbedaan pandangan antara satu sama lainnya. Mengalami pergeseran, ketika kita bicara tentang Katolik dan dikatakan mengalami perbedaan pandangan pada saat berada di ranah Protestan. Dari adanya polemik tersebut, tentu saja mengakibatkan keselamatan dalam Kristen menjadi bias, meski masing-masing pihak menggunakan Alkitab sebagai pijakan dasarnya.    

Semuanya Karena Dosa Asal
    Dalam melakukan penginjilan, Kristen selalu menitikberatkan pembahasannya bahwa Adam dan Hawa adalah orang yang berdosa, menurut Kristen, karena dosa yang telah dilakukan oleh Adam dan Hawa-lah, akhirnya semua keturunan mereka mendapatkan dosa asal, dan tidak ketinggalan, mereka pun akan mengutip Kitab Kejadian pasal 3 dalam mencari pembenarannya.1 Kristen menggunakan pembahasan dosa asal karena mereka ingin menggiring calon korbannya tersebut untuk masuk ke dalam pemahaman dan sebuah keyakinan bahwasannya hanya dengan melalui Yesus-lah, dosa asal tersebut bisa ditebus, dan bagamana caranya supaya bisa mendapatkan penebusan yang pada akhirnya akan mendapatkan keselamatan, tentu saja ia harus beriman kepada Yesus, sebagaimana halnya mereka.
    Lalu, apa yang dimaksud dengan istilah dosa asal itu? Menurut Kristen, dosa asal adalah kecenderungan manusia dalam melakukan dosa, sedangkan dosa menurut mereka, ialah suatu perbuatan yang melanggar aturan Allah. Namun nyatanya, apa yang mereka jelaskan tersebut pada akhirnya menghadapi permasalahan yang cukup pelik ketika kita mempertanyakan balik kepada mereka, sejak kapan manusia mendapatkan dosa asal, apakah sejak manusia dalam kandungan ibunya, ataukah sejak manusia belum berada dalam kandungan ibunya?
    Jika seandainya, Kristen memberikan jawabannya bahwa manusia telah mendapatkan dosa asal sejak ia dalam masa kandungan ibunya, yang pandangan tersebut identik dengan pandangan Kristen pada umumnya. Lalu dengan menggunakan tolok ukur apa, Kristiani bisa membuktikan secara logis bahwa seorang janin yang berada dalam kandungan ibunya itu memiliki kecenderungan terhadap sesuatu, yang kecenderungannya tersebut dinilai sebagai dosa? Jika bayi dikatakan memiliki kecenderungan dalam dosa, tentunya ia pun akan memiliki keinginan yang lebih condong terhadap sesuatu yang dinilai lebih dari sesuatu yang lainnya, dan tidak akan ada kecenderungan tanpa adanya kecondongan terhadap suatu hal, yang pada akhirnya mengabaikan yang lainnya. Lalu penilaian logis seperti apa yang bisa membuktikan bahwa bayi memiliki kecenderungan terhadap sesuatu sehingga ia pun mengabaikan sesuatu yang lainnya? Dan tolok ukur apa yang digunakan oleh bayi dalam menilai bahwa objek yang ia cenderungi itu memiliki nilai lebih daripada yang lainnya? Dan perlu untuk diketahui bahwasannya suatu kecenderungan tidak akan ada jika didalamnya tidak ada keinginan yang memiliki nilai lebih terhadap sesuatu dan keinginan yang lebih tersebut pun tidak akan ada jika tidak didorong dengan pengetahuan atas sesuatu yang diinginkannya tersebut. Sedangkan pengetahuan itu sendiri memiliki ciri-ciri yang spesifik mengenai apa (ontologi), bagaimana (epistemologi) dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan tersebut disusun.2  
    Namun jika seandainya Kristen memberikan jawaban bahwa manusia sudah berdosa sejak ia belum berada dalam kandungan ibunya, maka pernyataan mereka tersebut identik dengan gagasannya Tertullianus3 dan juga Gnostisisme.4  Jika sekiranya mereka berpendapat demikian, tentu saja bisa dikatakan bahwa jiwa yang satu dengan jiwa yang lainnya memiliki kesamaan, namun mengapa antara jiwa satu dengan yang lainnya tidak memiliki kesamaan dalam hal lain seperti halnya tentang pengetahuan yang baik? Jika seandainya seorang Kristiani beralibi bahwa pengetahuan tentang dosa berbeda dengan pengetahuan lainnya, maka ia pun akan bisa menjelaskan secara logis tentang penyebab dari adanya perbedaan pengetahuan kepada hal-hal yang baik maupun tentang yang jahat, terlebih sebelumnya Kristen sendiri telah meyakini bahwasannya Adam-Hawa memiliki kehendak bebas. Sedangkan menurut Louis Berkhof, dosa tidak mengendap dalam bagian jiwa tetapi dalam hati, yang menurut psikologi Alkitab, hati ini merupakan organ utama dari jiwa, dan dari dalam hati ini keluar segala sesuatu tentang hidup.5  
    Selain tentang Trinitas yang sulit dipahami oleh Kristen, pembahasan tentang dosa asal pun merupakan suatu dogma yang sulit pula untuk dipahami oleh pihak Kristen itu sendiri, baik sejak pada masa Bapa Gereja maupun hingga saat ini, meski penjelasanya menggunakan Alkitab, tetap saja tidak akan didapati suatu penjelasan yang dianggap memadai.6 Kesulitan Kristen dalam memahami dosa asal semakin terlihat, ketika istilah dosa asal pun sebenarnya tidak ada di dalam Alkitab, sedangkan pembahasan awal tentang hal ini, baru muncul sejak adanya pandangan Tertullianus di dalam risalahnya, yaitu On the Soul.7  
    Sejak periode awal Kekristenan, Kristen belumlah memiliki pandangan bahwa dosa yang telah dilakukan oleh Adam-Hawa tersebut akan berdampak kepada keturunannya. Pada masa-masa tersebut, selain Kristen masih mengalami penganiayaan, Kristen mengalami pula pergumulan dengan pihak Gnostisisme yang memiliki pandangan bahwasannya alam ini telah dikuasai oleh dua asas, yakni kebaikan yang bersifat rohani dan kejahatan yang bersifat jasmani, yang lahirnya dua asas tersebut bermula dari adanya konsepsi tentang Allah Pencipta dan Allah Penebus. Dari adanya kondisi tersebut, pada akhirnya melahirkan para apologet, semisal Justinus Martir, Ignatius, dan lain-lain, yang diharapkan dengan adanya apologetika yang diberikan, ajaran-ajaran Kristen bisa diterima oleh orang-orang kafir yang berpendidikan, meskipun ajaran Kristen harus mengalami penyesuaian dengan keyakinan dari para Agnostik dan juga para Filsuf dari Yunani. Selain kedudukan Adam yang telah diciptakan secara fana mendapatkan kutukan dari Konsili Karthago,8 konsili itu pun mengesahkan pula dogma dosa asal, yang pengesahan tersebut terjadi setelah sebelumnya terjadi konflik antara Pelagius dengan Augustinus,9 dan pada abad 16 M, konsili tersebut semakin mendapatkan pengukuhannya ketika Konsili Trente melakukan perevisian terhadap hasil Konsili Karthago yang sekaligus melahirkan beberapa keputusan terkait dosa asal.10

Masuk Kristen Pasti Selamat?
    Kristen selalu bersemangat dalam melakukan penginjilan sebagai bentuk tanggung jawab dalam melakukan Amanat Agung Kristen, karena mereka meyakini bahwa orang-orang non-Kristen perlu untuk mereka selamatkan jiwanya, bahkan jika kita pergi ke toko buku Kristen, maka dengan mudah kita akan mendapatkan berbagai buku yang bernuansa penginjilan, yang biasanya berisi tentang pertanyaan yang diajukan ketika melakukan penginjilan, beserta dengan jawabannya.11 Banyak ayat di dalam  Perjanjian Baru (PB) yang telah mendorong mereka untuk melakukan penginjilan kepada non-Kristen, seperti halnya Matius 28:19, Yohanes 3:16; 10:6, 14:6, Kisah Para Rasul 16:31, Roma 6:23, 1Yohanes 5:11, dan lain-lain. Namun yang menjadi persoalannya, ketika seorang non-Kristen pada akhirnya menjadi Kristen, apapun alasannya, apakah ia akan mendapatkan keselamatan di akherat kelak? Bagi seorang Kristen yang tradisionalis, tentu saja mereka akan menjawab pertanyaan tersebut dengan memberikan jawaban pasti mendapatkan keselamatan. Namun jika kita mencermati berbagai pandangan dalam internal Kristen sendiri dengan menggunakan pendekatan historis, maka kita akan mendapatkan biasnya keselamatan di dalam Kristen.  
    Adanya konflik antara Cyprianus dan Stefanus, telah mengawali terjadi konflik tentang keselamatan pada masa Kristen mula-mula, konflik tersebut terjadi karena adanya persoalan tentang baptisan ulang bagi orang-orang Kristen yang pernah mendapatkan pembaptisan dari sekte Kristen, namun ia ingin kembali ke dalam Gereja Katolik. Cyprianus dari Karthago berpendapat bahwasannya orang yang ingin masuk atau kembali ke dalam Gereja Katolik, makan mereka harus mendapatkan baptisan ulang, meskipun sebelumnya ia telah dibaptis oleh sekte Kristen. Cyprianus berpendapat demikian karena adanya gagasan bahwa di luar Gereja tidak ada keselamatan, dan para pejabat sekte yang melakukan sakramen dianggap olehnya tidak bernilai apa pun dan bahkan dianggap tidak sah. Namun, gagasannya Cyprianus tersebut ditentang oleh seorang uskup Roma, Stefanus, yang menolak gagasannya tersebut.12  
    Eksklusivisme agama Kristen di masa lampau, muncul secara bersamaan dengan adanya perjuangan Gereja untuk menegaskan eksistensinya sebagai pihak yang memiliki kebenaran satu-satunya dalam memberikan keselamatan, yang keyakinan Gereja tersebut berpijak pada Perjanjian Baru dengan menekankan adanya keunikkan Kristus dan menegaskan finalitas sejarah keselamatan di dalam Kristus, yaitu inkarnasi dan juga eskatologi. Tetapi di luar ranah dogmatik, ungkapan eksklusivisme yang paling jelas tampak dalam adagium “extra ecclesiam nulla salus”, di luar Gereja (Katolik) tidak ada keselamatan, yang ungkapan tersebut berasal dari Cyprianus. Dari ungkapan tersebut, ia ingin menyatakan adanya kesalahan atas pembaptisan yang diberikan oleh para bidaah, dan pembaptisan yang dilakukan tersebut tidak membawanya kepada keselamatan. Pandangannya Cyprianus, dan juga Bapa-bapa Gereja lainnya seperti Irenaeus, Clemens dari Alexandria, dan Origenes, bertolak dari pemikiran bahwa Gereja merupakan bahtera Nuh yang bisa menyelamatkan para penghuni di dalamnya. Augustinus pun mengatakan hal yang serupa dengan Cyprianus bahwa di luar Gereja Katolik ada banyak hal, kecuali keselamatan. Ungkapan itu, sebenarnya sebuah pagar dalam mencegah keluarnya umat Kristen dari ajaran yang benar tentang iman Kristen, dan di sisi lain ingin meyakinkan kesesatan-kesesatan dari pandangan para bidaah dan juga kaum Gnosis.13 Dalam karyanya Cyprianus, de cattolicae ecclesiae unitate, ia menulis bahwa hanya ada satu Kristus, hanya ada satu Gerejanya, hanya ada satu iman dan satu jemaat Allah. Bagi Cyprianus, suatu hal yang tidak mungkin memiliki Allah sebagai Bapa, jika tidak memiliki Gereja sebagai Ibu. Adapun perwujudan dari Gereja lokal ini termaktub di dalam diri uskup, menurut Katolik, uskup merupakan penerus dari para rasul.14 Oleh karena itu, siapapun orang Kristen yang dogmanya tidak sesuai dengan dogma Gereja Katolik, maka ia tidak akan mendapatkan keselamatan, sebagaimana halnya pandangan Cyprianus di atas.  
    Pada masa Cyprianus, yang di maksud dengan “di luar Gereja Katolik” bukanlah agama-agama lain, tetapi maksudnya ialah segala ajaran yang terdapat pada Kristen harus sesuai dengan apa yang telah diajarkan oleh Gereja Katolik. Kesalahpahaman atas adanya adagium Cyprianus tersebut, selalu dibawa-bawa dalam semangat ideologis, seiring dengan adanya perjumpaan, konflik dan pertentangan dengan aneka ragam kepercayaan dan kebudayaan lain di luar Eropa, bahkan kesalahpahaman itu telah terjadi selama berabad-abad lamanya hingga Konsili Vatikan II.15  
   
Pandangan Katolik
    Menurut pihak Katolik, Allah menghendaki semua manusia untuk diselamatkan sejak awal penciptaan, dan janji keselamatan Allah kepada semua manusia sudah mulai diwartakan setelah manusia jatuh ke dalam dosa, yang janji Allah tersebut terpenuhi dalam diri Yesus Kristus, ketika Allah Putera berinkarnasi menjadi manusia. Katolik selalu menyitir pandangan Bapa-bapa Gereja dalam menguatkan setiap dogmanya, termasuk pula tentang apa yang kita bahas saat ini. Katolik mengklaim, bahwa Santo Augustinus telah menyebut Yesus sebagai Yesus bagi semua orang, karena penebusan Kristus merupakan penebusan universal, kepada semua orang, maka semua orang dipanggil kepada keselamatan. Karena tidak ada orang yang memiliki kesempatan untuk menerima Injil dan untuk masuk menjadi anggota Gereja, menurut Katolik, bahwa mereka diselamatkan di dalam Kristus yang diperoleh berdasarkan rahmat, yang rahmat tersebut diyakininya berasal dari Kristus saat di Kayu Salib, yang disampaikan oleh Roh Kudus. Orang-orang yang tidak atau belum mengenal Yesus, maka mereka diselamatkan oleh iman implisitnya kepada Kristus, dan Katolik menisbatkan iman implisit tersebut kepada orang yang beriman lainnya (non-Kristen) dan bukan kepada orang-orang yang tidak beriman (ateis).16 Berdasarkan fakta sejarah Kekristenan, maka sebenarnya pandangan universalisme bukanlah dimulai pada masa Konsili Vatikan II, melainkan sudah terjadi pada masa Bapa-bapa Gereja, seperti halnya Clement dan Origen, yang pandangannya tersebut telah mempengaruhi gereja-gereja sampai pada abad pertengahan. Clement berpendapat bahwa pengenalan akan Allah bagi orang Yahudi adalah melalui Taurat, dan bagi orang Yunani, melalui filsafat dalam inspirasi Logos (Kristus). Sedangkan menurut Origen, semua makhluk akan diselamatkan, termasuk pula setan.17
    Konsili Vatikan II yang berada di bawah pimpinan Paus Yohanes XXIII, berlangsung dari tahun 1962 hingga 1965, telah membuka pintu selebar-lebarnya bagi Gereja Katolik. Meski sebelumnya Gereja Katolik bersikap eksklusif, di mana gereja telah memegang kuat rumusan tradisional yang meyakini tidak adanya keselamatan di luar gereja, yang diperkuat dengan Konsili Lateran IV di abad 13 M, namun sejak Konsili Vatikan II, Gereja Katolik berubah posisinya menjadi inklusif. Penolakan atas rumusan tradisional tersebut pada akhirnya dinyatakan dalam deklarasi mengenai hubungan gereja dengan agama-agama non-Kristen, yaitu:
“Mereka (non-Kristen) juga dapat memperoleh keselamatan yang kekal, yang bukan karena kesalahannya sendiri tidak mengenal Injil Kristen atau gerejanya, namun toh dengan tulus ikhlas mencari Allah dan tergerak oleh anugerah, berupaya dengan perbuatan-perbuatan mereka melakukan kehendak-Nya sebagaimana diketahui melalui hati nuraninya. Begitu pula pemeliharaan Allah tidak menolak pertolongan yang diperlukan untuk penyelamatan mereka yang bukan karena kesalahannya, belum sampai pada pengetahuan yang jelas mengenai Allah, tetapi yang berusaha hidup dengan baik berkat kasih karunia-Nya (Gereja, 2:15). (Penyelamatan) bukan hanya untuk orang Kristen, tetapi untuk semua orang yang berkendak baik, yang didalam hatinya kasih karunia bekerja dengan cara yang tidak kelihatan. Sebab, karena Kristus mati untuk semua orang, dan dengan panggilan pokok manusia sebenarnya satu dan Ilahi, maka kita harus percaya bahwa Roh Kudus dengan cara yang hanya diketahui oleh Allah, menawarkan kepada setiap orang kemungkinan untuk berhubungan dengan rahasia Paskah ini (Gereja dalam dunia modern, 1:22).”18
    Menurut pandangan para ahli, Konsili Vatikan II telah memiliki pengaruh yang kuat bagi bangkitnya semangat pluralisme dalam kubu Katolik. Adapun komentar mereka terkait adanya dampak dari Konsili Vatikan II bagi Katolik, diantaranya:
1.    Amaladoss mengungkapkan: “Setelah Konsili Vatikan II dan peristiwa di Asisi, Oktober 1986, pada waktu Sri Paus berkumpul bersama dengan anggota-anggota umat dari agama-agama lain untuk menaikkan doa demi perdamaian, maka tidak ada seorang Katolik yang dapat menjadi seorang eksklusivis.”
2.    Banawiratma menyatakan bahwa: “Sesudah Konsili Vatikan II (1961-1965), pandangan dan sikap gereja Katolik mengenai agama-agama sudah banyak dibahas.” Karena itu, bertolak dari Konsili Vatikan II, Banawiratma mengemukakan beberapa gagasan untuk mengembangkan teologi agama-agama, yatiu pluralisme yang teologis.
3.    Franz Magnis Suseno menyebutkan bahwa pada abad ini gereja-gereja mulai terbuka dengan agama-agama lain. Gereja Katolik, diantaranya mulai menerima dengan lapangan dada toleransi agamandan kebebasan agama sejak Konsili Vatikan II.
4.    Ioanes Rakhmat mengakui juga bahwa: “Perubahan pemahaman teologis dari Gereja Katolik terhadap agama-agama yang non-Kristen secara luas dan positif dituangkan ke dalam salah satu dokumen Konsili Vatikan II, yakni Nostra Aetate.
5.    Stanley J. Samartha: “Selama dua dasawarsa terakhir ini, perubahan-perubahan penting telah terjadi dengan resmi pada sikap-sikap Kristen terhadap orang-orang yang menganut kepercayaan-kepercayaan lain di sekitarnya. Pernyataan yang terkenal dari Konsili Vatikan II (1965), dipandang sebagai pernyataan pertama yang sungguh-sungguh positif dari gereja Katolik mengenai agama-agama lain.”
6.    Clark H. Pinnock, seorang teolog yang mengaku injili, dengan pendekatan Arminiannya terhadap isu keselamatan, maka ternyata pendekatannya tersebut diadopsi dan paralel dengan rumusan Konsili Vatikan II, secara khusus dengan tulisan-tulisan teolog Katolik ternama yakni Karl Rahner. Hal ini dikemukakan oleh Alister E. McGrath.
Jadi, sejak Konsili Vatikan II, terjadi perubahan paradigma misi dan soteriologi gereja Katolik, dari eksklusif menjadi yang inklusif.19  

Pandangan Protestan
    Kristen pada umumnya, meyakini tidak ada keselamatan di luar Yesus atau Kristen, yang keyakinan mereka tersebut berpijak pada ayat-ayat Perjanjian Baru (PB), misalnya Yohanes 14:6, Kisah Para Rasul 4:12, 2 Timotius 2:10, dan lain-lain. Namun berbeda dengan pandangan Kristen pada umumnya, selain Katolik yang meyakini adanya universalisme dalam Kekristenan, Pdt. Erastus Sabdono dari Protestan pun meyakini pula bahwa orang-orang non-Kristen bisa mendapatkan keselamatan, meski mereka tidak menjadi seorang Kristen ataupun tidak mengimani Yesus sebagai Tuhan-nya.
    Ketika Erastus Sabdono menyinggung Kisah Para Rasul 4:12, ia memberikan penekanan bahwa tidak ada keselamatan di luar Yesus, dan hal tersebut merupakan harga mati baginya. Namun, saat ia mulai menafsirkan Yohanes 1:29, ia berkeyakinan bahwa Yesus telah memikul semua dosa manusia, dari Adam sampai manusia terakhir. Ia berpendapat demikian, karena dalam teks Yohanes 1:29 tidak menyiratkan sama sekali bahwa Yesus hanya mengangkat sebagian dosa manusia, atau pun mati untuk sebagian manusia, melainkan untuk semua manusia. Ia berkesimpulan demikian, karena dalam teks aslinya, menurutnya, tidak ada kata “hanya”.20
     Secara tegas Erastus Sabdono menyatakan bahwa semua orang di luar Kristen bisa mendapatkan keselamatan, gagasannya tersebut berpijak pada sebuah tesis bahwa kematian Yesus di kayu salib bukan untuk orang Kristen saja, melainkan untuk semua manusia.  Lebih lanjut, ia menyatakan, “Dengan hal ini terdapat kemungkinan orang-orang yang tidak pernah mendengar Injil atau salah mendengar Injil dapat dihakimi menurut perbuatan mereka. Dari penghakiman tersebut mereka dapat diperkenankan masuk dunia yang akan datang (Matius 25:31-46).” Meski ia meyakini bahwa di luar Kristen bisa mendapatkan keselamatan, namun ia membedakan istilah keselamatan yang diperoleh oleh orang yang percaya (Kristen) dengan istilah keselamatan yang sempurna, sedangkan bagi non-Kristen menggunakan istilah keselamatan yang tidak sempurna. Menurutnya, keselamatan tidak sempurna adalah keselamatan yang tidak membawa manusia kepada kesempurnaan, tidak membuat seseorang memiliki kemampuan mengenakan kodrat Ilahi, mereka tidak mengambil bagian dalam kekudusan Allah atau tidak dikembalikannya manusia ke rancangan semula. Sedangkan keselamatan yang sempurna ialah keselamatan yang membawa manusia kepada kesempurnaan, membuat manusia mampu mengenakan kodrat Ilahi, dapat mengambil bagian dalam kekudusan Allah atau dikembalikannya ke rancangan semula.21

Kesimpulan
    ketika Kristiani dengan suara lantangnya menyatakan bahwa tidak ada keselamatan di luar Yesus, dalam artian, siapapun yang masih menjadi non-Kristen harus masuk Kristen supaya mendapatkan keselamatan, tentunya pandangan dan keyakinan mereka tersebut bisa dikatakan tidaklah memiliki dasar sama sekali dengan fakta sejarah dalam Kekristenan. Dan jika kita melakukan pendekatan historis dari zaman Bapa Gereja hingga saat ini, biasnya keselamatan dalam Kristen timbul karena adanya ketidakseragaman pandangan dalam internal Kristen. Ketika seseorang menjadi Kristen bisa mendapatkan keselamatan, namun orang-orang non-Kristen pun bisa mendapatkan pula keselamatan, lalu kelebihan apa yang dimiliki oleh agama Kristen ketika orang yang beriman dengan yang tidak beriman pun pada akhirnya disamakan?

Catatan Kaki:
1.  R.P. Chavan, Mengenal Agama Kristen, (Bandung: Kalam Hidup, 1998), hlm. 21.
2. Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengetahuan Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2010), hlm. 105.
3. Nico Syukur Dister, OFM, Teologi Sistematika 2, (Yogyakarta: Pustaka Teologi, 2016), hlm. 154.
4. Bernhard Lohse, Pengantar Sejarah Dogma Kristen: Dari Abad Pertama Sampai Dengan Masa Kini, terj. A.A. Yewangoe, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015), hlm. 132-133.
5.  Louis Berkhof, Teologi Sistematika 2: Doktrin Manusia, terj. Yudha Thianto, (Surabaya: Momentum, 2013), hlm. 116.
6.  R. Soedarmo, Ikhtisar Dogmatika, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015), hlm. 147-148.
7. Linwood Urban, Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen, terj. Liem Sien Kie, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), hlm. 162.
8. Bernhard Lohse, op.cit., hlm. 154.
9. Nico Syukur Dister, OFM, op.cit., hlm. 163-164.
10. Nico Syukur Dister, OFM, op.cit.,hlm. 167-169.
11. Silahkan untuk membaca judul buku ini: Penginjilan Yang Dinamis: Pibadi Ke Pribadi, ter. Faisal, Bandung: Kalam Hidup, 2014.
12. H. Berkhof-I.H. Enklaar, Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), hlm. 36-37.
13. E. Armada Riyanto, CM, Dialog Interreligius: Historisitas, Tesis, Pergumulan, Wajah, (Yogyakarta: Kanisius, 2010), hlm. 266-268.
14. Mempertanyakan Magisterium: Dinamika Pemahaman Kuasa Mengajar Gereja, editor: RD Riki M. Baruwarso (Jakarta: Obor, 2015), hlm. 52-53.
15. E. Armada Riyanto, CM, op.cit., hlm. 21-22.
16. E. Armada Riyanto, CM, op.cit., hlm. 164-168.
17. Stevri Indra Lumintang, Theologia Abu-Abu: Pluralisme Agama, (Malang: Gandum Mas, 2009), hlm. 55-56.
18. Ibid., hlm. 82-83.
19. Ibid., hlm. 83-85.
20. Erastus Sabdono, Keselamatan Di Luar Kristen, (Jakarta: Truth Literature, 2017), hlm. 16-17.
21. Ibid., hlm. 34-35.

Comments