Wafatnya Nabi Isa Dalam Pandangan Ahmadiyah

Oleh: Sang Misionaris

    Adanya pandangan Ahmadiyah yang meyakini bahwa Yesus disalib, ternyata memiliki kesejajaran dengan keyakinannya Kristen, dan keyakinan Ahmadiyah tentang disalibnya Nabi Isa menjadi argumentasi pendukung bagi orang-orang Kristen bahwa terjadinya kewafatan Nabi Isa merupakan upaya menyelamatkan manusia dari dosa, yang dinilai oleh Kristen sebagai peristiwa yang bersifat faktual. Sedangkan dalam pandangan Ahmadiyah, Ahmadiyah meyakini bahwa Nabi Isa telah disalib yang merupakan sebuah upaya awal mereka dalam memberikan legitimasi bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang Nabi Isa dan juga al-Mahdi. Adapun wafatnya Nabi Isa, Ahmadiyah meyakini bahwa kewafatannya Nabi Isa terjadi pada usia 120 tahun, di wilayah India. Tentu saja, kisah wafatnya Nabi Isa menurut Islam memiliki perbedaan yang sangat mendasar, baik dengan Ahmadiyah maupun Kristen, di mana kedua pandangan tersebut ditentang keras oleh kaum Muslimin di mana pun.

    Menurut penulis, tanpa adanya keyakinan Mirza Ghulam Ahmad yang meyakini bahwa Nabi Isa telah disalib dan wafat di India, tentunya ia tidak akan mendapatkan legitimasi bahwa ia adalah seorang Imam Mahdi dan juga Nabi Isa. Mirza Ghulam Ahmad mengklaim, bahwa ia telah mendapatkan wahyu tentang wafatnya Nabi Isa yang meninggal secara alamiah, di mana dalam wahyu yang ia terima tersebut dinyatakan bahwa Allah telah menjadikan dirinya sebagai Nabi Isa dan juga Imam Mahdi. Adapun pengklaimannya tersebut ia tuangkan dalam karyanya yang berjudul ‘Itmamul-Hujjah ‘alal-Ladzi Lajja wa Zaga’anil Mahajah’, halaman 3, menurutnya: “Di antara beberapa pengajaran dan pemahaman yang diberikan kepadaku (oleh Tuhan), ialah bahwa al-Masih ibn Maryam itu telah wafat secara alamiah seperti wafatnya para rasul lain. Dan Tuhan telah memberitahukan kepadaku (dengan Firman-Nya): ‘Bahwa al-Masih dan al-Mahdi yang dijanjikan dan ditunggu-tunggu itu adalah engkau (Mirza) dan Kami (Allah) melakukan apa yang kami kehendaki, dan janganlah engkau tergolong orang-orang yang membuat kedustaan”. Allah berfirman lagi: “Sungguh Kami (Allah) menjadikan engkau sebagai al-Masih ibn Maryam.” Maka Allah pun melimpahkan keindahan rahasia-Nya dan menjadikan aku dapat melihat masalah-masalah yang sekecil-kecilnya.”1
    Menurut Ahmadiyah Lahore, Mirza Gulam Ahmad adalah seorang jelmaan atau pengejewantahan dari al-Mahdi dan al-Masih dan diangkat oleh Tuhan sebagai mujadid atau pembaharu. Sedangkan menurut Ahmadiyah Qadian, disamping diyakini sebagai Imam Mahdi, Mirza Ghulam Ahmad pun diyakini pula sebagai nabi.2 Namun, benarkah keyakinan Ahmadiyah bahwa Nabi Isa memang benar-benar disalib? Karena berdasarkan penafsiran Ahmadiyah terhadap ayat-ayat Al-Qur'an, mereka meyakini bahwa Nabi Isa as telah disalib dan mengalami kewafatan secara alamiah, tentunya penafsiran tersebut berimplikasi secara langsung kepada kenabian Mirzam Ghulam Ahmad. Adapun ayat-ayat Al-Qur’an yang diyakini oleh Ahmadiyah bahwa Nabi Isa telah wafat adalah Surat Ali-Imran ayat 35 dan 144, An-Nisa ayat 157, Al-Maidah ayat 117, Al-‘Araf ayat 25, Al-Anbiya ayat 34.3 Namun untuk menghemat ruang, penulis akan memberikan sanggahan tentang ayat-ayat Al-Qur’an yang dianggap mendasar atas adanya pengklaiman mereka tentang kewafatannya Nabi Isa.
   
1. Surat Ali-Imran Ayat 55
    Dalam Surat Al-Imran ayat 55, Allah berfirman, “(Ingatlah), ketika Allah berfirman, ‘Wahai Isa! Aku mengambilmu dan mengangkatmu kepada-Ku, serta menyucikanmu dari orang-orang yang kafir, dan menjadikan orang-orang yang mengikutimu di atas orang-orang yang kafir hingga hari Kiamat. Kemudian kepada-Ku engkau kembali, lalu Aku beri keputusan tentang apa yang kamu perselisihkan.’”
    Dalam menafsirkan Surat Ali-Imran ayat 55, Quraisy Shihab menafsirkannya sebagai berikut, “Renungkanlah, wahai nabi, ketika Allah berfirman, ‘Wahai Isa, Aku telah menentukan ajalmu dan Aku tidak memberdayakan seorang pun untuk membunuhmu. Aku mengangkatmu ke tempat kemuliaan-Ku dan menyelamatkanmu dari orang-orang yang memusuhimu dan berniat membunuhmu. Aku membela dan memenangkan pengikutmu yang tidak menyimpang ajaranmu, dari orang-orang yang tidak mau mengikuti petunjuk-Ku sampai hari kiamat. Saat itu Aku akan memutuskan persoalan agama yang kalian perselisihkan.’”4 Dalam penafsiran Quraish Shihab, kita tidak mendapatkan kejelasan sedikit pun tentang kapan tepatnya Nabi Isa mengalami kematian. Namun, jika penafsiran Quraisy Shihab dijadikan sebagai bukti atas wafatnya Nabi Isa, tentunya akan melahirkan pertanyaan yang cukup fundamental, yaitu indikasi apa yang mengimplikasikan bahwa penafsiran Quraisy Shihab tersebut memiliki makna bahwa Allah secara langsung telah mewafatkan Nabi Isa. Karena penentuan ajal yang telah Allah tetapkan bagi Nabi Isa, sebagaimana yang ditafsirkan oleh Quraisy Shihab, masih bersifat ambigu dalam penentuan waktunya, apakah Allah telah mewafatkan Nabi Isa ketika terjadinya peristiwa penyaliban ataukah wafatnya Nabi Isa itu terjadi setelah peristiwa penyaliban. Namun, jika Ahmadiyah menjawab bahwa penentuan atas ajalnya Nabi Isa itu terjadi setelah peristiwa penyaliban, lalu kapan tepatnya Nabi Isa menemui ajalnya. Adanya ambiguitas dalam penafsirannya Quraish Shihab tersebut, secara substansialnya memiliki kesamaan dengan penafsiran yang telah diberikan oleh Ibnu Abbas yang telah menafsirkan Qs. 3:55 dengan menyatakan, “Sesungguhnya Aku akan mematikanmu.”5 Jika Penafsiran Quraisy Shihab dianggap memadai oleh Ahmadiyah dalam membuktikan kewafatan Nabi Isa, tentunya mereka wajib memberikan argumentasi yang valid dengan menyertakan dalil-dalil yang berasal dari Al-Qur’an dan juga hadits.   
    Jika tidak ada keterangan yang pasti tentang kapan wafatnya Nabi Isa, Lalu kapan waktunya Nabi Isa akan mengalami kematian? Menurut Ibnu Jarir, sebagaimana yang dikutip oleh Ibnu Katsir, telah memberikan penafsiran secara tegas dan lugas bahwa Nabi Isa akan mengalami kematian setelah ia turun ke bumi,6 di mana dengan turunnya Nabi Isa ke dunia pada hari kiamat nanti akan membuktikan kepada mereka bahwa orang-orang Yahudi tidaklah benar-benar membunuh Nabi Isa. Argumentasi ini didukung dengan adanya penafsiran yang telah diberikan oleh Ibnu Abbas ketika ia menafsirkan Surat An-Nisa ayat 159, menurutnya, orang Yahudi tidak akan mati hingga mereka beriman kepada Isa.7 Sedangkan turunnya Nabi Isa ke bumi, telah banyak diriwayatkan oleh para ahli hadits, sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Bukhari8 dan Muslim9, misalnya, di mana riwayat tersebut telah mencapai derajat mutawatir.
    Berbeda dengan penafsiran yang diberikan oleh Quraisy Shihab dan Ibnu Abbas yang masih bersifat ambigu dalam menafsirkan wafatnya Nabi Isa, Muhammad Sulaiman, dalam karyanya, Zubdatut Tafsir, menafsirkan Surat Ali-Imran ayat 55 dengan menyatakan bahwa, badan dan ruhnya Nabi Isa tidaklah mengalami kematian, beliau diangkat oleh Allah ke langit ketika orang-orang kafir hendak membunuhnya. Dalam menguatkan argumentasinya tersebut, selain menggunakan hadits dari Bukhari, Muhammad Sulaiman pun menggunakan pula hadits riwayat Muslim, bahwa kelak Nabi Isa akan turun ke bumi untuk menghancurkan salib, membunuh babi, membebaskan jizyah.10 Dan penafsiran Muhammad Sulaiman memiliki korelasinya dengan apa yang telah ditafsirkan oleh Ibnu Jarir di atas.  
    Terkait tentang penafsiran ayat 55, Ibnu Katsir telah banyak mengutip berbagai pendapat dalam melakukan penafsirannya, sebelum pada akhirnya ia pun membuat kesimpulan atas berbagai penafsiran yang telah ia kutip sebelumnya. Dalam kitab tafsirnya, Ibnu Katsir mengemukakan bahwa,11 “Qatadah dan lain-lainnya mengatakan bahwa ungkapan ini (Qs. 3:55) termasuk versi ungkapan muqaddam dan mu’akhar, yakni mendahulukan yang akhir dan mengakhirkan yang dahulu. Bentuk lengkapnya ialah, ‘Sesungguhnya Aku akan mengangkat kamu kepada-Ku dan menyampaikan kamu kepada-Ku dan menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu, sesudah diangkat.’ Ali Ibnu Abu Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa yang dimaksud dengan mutawaffika ialah mematikan kamu. Muhammad ibnu Ishak telah meriwayatkan dari orang yang tidak dicurigai, dari Wahb ibnu Munabbih yang mengatakan bahwa Allah mematikannya selama tiga (jam) saat pada permulaan siang hari, yaitu ketika Allah mengangkatnya kepada Dia. Ibnu Ishak mengatakan bahwa orang-orang Nashrani menduga bahwa Allah mematikannya selama tujuh jam, kemudian menghidupkannya kembali. Ishaq ibnu Bisyr meriwayatkan dari Idris, dari Wahb, bahwa Allah mematikannya selama tiga hari, kemudian menghidupkannya dan mengangkatnya. Matar al-Waraq mengatakan, yang dimaksud ialah sesungguhnya Aku akan mewafatkan kamu dari dunia, tetapi bukan wafat dalam arti kata mati. Hal yang sama dikatakan oleh Ibnu Jarir, bahwa Yuwaffihi artinya mengangkatnya. Kebanyakan ulama mengatakan bahwa yang dimaksud dengan wafat dalam ayat ini (Qs. 3:55) ialah tidur, seperti pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya dalam Qs. 6:60, 39:42, dan doa bangun tidur, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Bukhari12 dan Tirmidzi.”13
    Tentang kata mutawaffika yang terdapat pada Surat Ali-Imran ayat 55, Abdullah Wasi’an menjelaskan, bahwa kata tersebut berasal dari tawaffa, di mana kata itu dari kata wafa dan al-wafatu. Menurutnya, wafa artinya menerima dengan sempurna sedangkan arti al-wafatu adalah mati, dan kedua arti tersebut bisa dipakai, dalam artian, kata mutawaffika bisa diartikan menerima dengan sempurna, namun dapat pula diartikan mati. Akan tetapi, Abdullah Wasi’an menolak penggunaan arti mematikan pada ayat surat tersebut, karena menurutnya, beberapa hadits mutawatir telah menegaskan bahwa Nabi Isa akan turun ke dunia. Selanjutnya ia menambahkan, bahwa kalimat inni mutawaffika dalam Surat Al-Imran 55 berbentuk isim fa’il, yang maknanya bahwa Allah akan mematikan Isa pada saatnya nanti, yaitu setelah menyelesaikan tugas kedua ketika turun lagi ke dunia. Akan tetapi, tentang keberadaan Nabi Isa saat ini, Abdullah Wasi’an menolak adanya anggapan bahwa Nabi Isa berada di langit, dan hanya menyatakan ilayya (kepada-Ku). Sedangkan untuk kata itu (ilayya) ia tidak menjelaskan sama sekali tentang hal itu, apakah Allah telah menempatkan dirinya di tempat yang ia sukai, sebagaimana halnya pendapat Ahmadiyah, tidak ada keterangan yang bisa kita dapatkan dari pendapatnya itu.14     
    Dari adanya berbagai penafsiran yang telah dikemukakan di atas, maka tidak bisa dikatakan bahwa tawaffa memiliki arti atau makna secara tunggal, yaitu meninggal, sebagaimana halnya yang telah diklaim oleh Ahmadiyah selama ini. Karena untuk mendapatkan makna dalam suatu teks bisa didapatkan dengan cara melihat konteks, dan penafsiran terhadap Surat Ali-Imran ayat 55 yang dilakukan secara literal oleh Ahmadiyah tidaklah bisa diandalkan, karena dalam penafsirannya tersebut telah mengakibatkan kerancuan dalam penafsiran. Jika istilah tawaffa diterapkan pada ayat lain, namun diartikan sama seperti yang terdapat dalam Surat Ali-Imran ayat 55, tetapi dalam narasinya memiliki konteks yang berbeda, sebagaimana halnya yang yang terdapat dalam Qs. 6:60 dan 39:42, maka di sanalah akan terjadinya sebuah kesalahan dalam memahami dan memaknai suatu ayat.  
    Tentang persoalan makna kontekstual, para linguis telah membedakan konteks ke dalam empat jenis, yaitu konteks bahasa, konteks emosi, konteks situasi, dan konteks budaya. Untuk konteks bahasa, misalnya, makna dalam konteks memiliki perbedaan dari makna yang ada terdapat dalam kamus, karena makna dalam kamus memiliki bermacam-macam dan mengandung kemungkinan-kemungkinan, sedangkan makna dalam konteks yang dihasilkan oleh konteks bahasa adalah makna tertentu yang mempunyai batasan yang jelas yang tidak memiliki makna ganda. Misalnya kata عين dalam bahasa Arab, kata tersebut merupakan al-Musytarak al-Lafzhi (satu kata yang menunjukkan dua arti atau lebih, baik secara majazi atau haqiqi), akan mengalami konteks yang berbeda-beda, ketika terlihat dengan jelas makna-makna yang dikandungnya sesuai dengan konteks kata tersebut berada. Dan setiap konteks yang ada kata hanya akan mendatangkan satu makna yang dapat dipahami, bukan menghasilkan makna yang lain, sehingga dalam konteks tidak akan menghasilkan makna yang sama. Contohnya:   
a. تؤلمه الطفل عين, maksud kata عين di sini adalah mata untuk melihat.
b. للعدو عين هذا, maksud dari kata عين di sini adalah mata-mata.
    Oleh karena itu, meskipun dari segi kuantitatif para ahli tafsir mengalami perbedaan pendapat tentang wafatnya Nabi Isa, namun bagi penulis, adanya penafsiran yang menyatakan bahwa Nabi Isa mengalami kematian di kayu salib atau mengalami kematian sekian jam, tentunya tidak bisa diandalkan. Karena jika seandainya penafsirannya itu benar, maka penafsiran tersebut akan bertentangan dengan Surat An-Nisa ayat 157-158. Dan bagi yang meyakini bahwa Nabi Isa telah wafat hanya beberapa jam saja di kayu salib, lalu dengan tolok ukur apa yang digunakan sehingga memberikan penafsiran seperti itu, selain hanya sekedar menduga-duga saja. Pada peristiwa penyaliban, Yesus telah diyakini oleh Ahmadiyah bahwa ia telah disalib. Namun nyatanya, keyakinan Ahmadiyah tersebut memiliki kesejajaran dengan keyakinan Kristen, maka tentu saja bahwa penafsiran dari Ahmadiyahlah yang bisa dikatakan sebagai penafsiran yang telah mengikuti (mengekor) penafsiran dari pihak Kristen, dan argumentasi ini didukung dengan adanya sebuah analisis dari Muslih Fathoni, yang menurutnya, sejak awal Mirza Ghulam Ahmad telah memiliki keinginan untuk mempertemukan antara paham Kristen dan Islam. Dari adanya keinginannya tersebut, ia telah merealisasikannya dengan adanya keyakinan bahwa Nabi Isa telah mengalami kematian, dengan adanya keyakinan itulah ia berharap memiliki banyak pengikut dari kedua agama tersebut agar menerima paham kemahdiannya.15       
   
2. Surat An-Nisa Ayat 157-159
    Allah Berfirman dalam Surat An-Nisa ayat 157-159, “Dan (Kami hukum juga) karena ucapan mereka, ‘Sesungguhnya Kami telah membunuh Al-Masih, Isa putra Maryam, Rasul Allah.’ Padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh adalah) orang yang diserupakan dengan Isa. Sesungguhnya mereka yang berselisih pendapat tentang (pembunuhan) Isa, selalu dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka benar-benar tidak tahu (siapa sebenarnya yang telah dibunuhnya itu), melainkan mengikuti persangkaan belaka, jadi mereka tidak yakin telah membunuhnya. Tetapi Allah telah mengangkat Isa ke hadirat-Nya. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Tidak ada seorang pun di antara ahli kitab yang tidak beriman kepadanya (Isa) menjelang kematiannya. Dan pada hari kiamat (Isa) akan menjadi saksi mereka.”   
    Terkait tentang ayat itu, Ahmadiyah Qadian berkeyakinan bahwa Nabi Isa telah disalib, namun tidak sampai mengakibatkan kematian, karena menurut Ahmadiyah, pada saat Nabi Isa disalib, ia mengalami kondisi pingsan. Ketika dicermati penafsiran Qadian terhadap Surat An-Nisa ayat 157-159, khususnya pada lafazh wama shalabuhu, Ahmadiyah Qadian, baik secara langsung atau pun tidak langsung telah terjebak pada penafsiran yang bersifat ambigu, karena mereka telah memaknai lafazh tersebut dengan makna; (1) Nabi Isa telah dinaikkan di tiang salib, namun tidak mengalami kematian, (2) orang-orang Yahudi tidak mematahkan tulang belulang Nabi Isa. Menurut Ida Novianti, penafsiran Ahmadiyah tersebut sangatlah kontradiktif dan paradoksal, karena penafsiran pertama mengandung positif dan penafsiran kedua mengandung makna negatif. Padahal, Qodian telah mengambil kesimpulan dalam tafsirnya bahwa huruf ‘ma’ pada ayat di atas mengandung makna li al-nafy (bermakna negatif). Novi menambahkan, penggunaan makna dari lafazh yang ambigu (musytarak) pada saat bersamaan secara ushul tidak bisa dibenarkan, tentang hal ini ia menyatakan alasannya, bahwa Allah telah menggunakan kata tersebut (shalaba) dengan dilalah (tunjukkan) tertentu dan khusus saat di mana ayat tersebut diturunkan. Dan untuk membenarkan argumentasinya tersebut ia menggunakan analogi untuk mencari titik temu dalam memberikan sanggahan secara logis atas keyakinan Ahmadiyah tersebut. Menurutnya, adanya perbedaan penafsiran antara Imam Syafi’I dan Hanafi ketika mereka sedang menafsirkan lafazh ‘au lamastum al-nisa’, karena bagi Imam Syafi’i, kata (lamasa) tersebut dimaknai dengan menyentuh kulit wanita. Sedangkan menurut Imam Hanafi, memaknai kata ‘lamasa’ dengan senggama (bersetubuh). Tentang lafadz wama shalahubu, Novi mempertanyakan tentang argumentasi yang dibangun oleh Ahmadiyah, menurutnya, jika Ahmadiyah Qadian telah menggunakan dilalah yang bermakna tidak mematahkan tulang, tidak memeras sumsum dari tulang, maka dari mana makna bahwa Nabi Isa telah disalib. Selain itu, Qadiani pun meyakini pula bahwa Nabi Isa telah di salib di tiang gantungan, namun dalam keadaan masih hidup, maka di mana letak konsekuensi ayat yang menyatakan bahwa Allah telah menyucikan dan menjaga Nabi Isa dari perbuatan orang-orang kafir.16
    Tentang syubbiha lahum yang terdapat pada Surat An-Nisa ayat 55, Abdullah Wasi’an menerjemahkannya, bahwa syubbiha lahum artinya dikaburkan atau diragukan bagi mereka (orang-orang Yahudi) bahwa orang yang ditangkap itu Isa Al-Masih. Pandangan mereka dikaburkan oleh suasana hiruk-pikuk dan teriakan massa, “Salibkan Isa! Salibkan Isa! Sedangkan untuk wamaa qotaluuhu, ia menafsirkan bahwa yang disalibkan itu bukanlah Nabi Isa, melainkan Yudas Iskariot yang mengalami perubahan yang mirip dengan gurunya. Dan ketika Yudas mengatakan Yesus lolos, orang-orang Yahudi menuding dirinya bahwa ia adalah Yesus.17 Anton Wessles, seorang sarjana dari Belanda, melakukan penafsiran dengan menggunakan pendekatan sosio-historis, bahwa Surat An-Nisa ayat 153-159, menurutnya, sebenarnya ditujukan kepada orang-orang Yahudi yang berada di Madinah yang telah beranggapan bahwa kaum mereka telah membunuh Nabi Isa, namun anggapan mereka ditentang oleh Al-Qur’an.18  
    Tidak adanya dalil-dalil yang mendasari bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah Nabi Isa dan juga al-Mahdi, sebenarnya telah disadari sejak awal oleh pihak Ahmadiyah, maka untuk mencari pembenaran atas pengklaimannya tersebut, Ahmadiyah pada akhirnya mengklaim bahwa Nabi Isa telah disalib dan mendapatkan keselamatan setelah ia pingsan di kayu salib. Terkait tentang bukti selamatnya Nabi Isa di kayu salib, Ahmadiyah berkeyakinan bahwa ia telah melakukan hijrah ke wilayah Khasmir, India Utara. Dalam mendukung argumentasinya itu, Ahmadiyah mengutip ayat-ayat yang terdapat dalam Injil Yohanes 20:14-16, 21:1-7, dan Injil Lukas 24:11-16, bahwa upaya penyamaran yang biasa dilakukan oleh Nabi Isa tersebut, sebagaimana yang terdapat dalam Injil, merupakan sebuah upaya yang dilakukan oleh Nabi Isa agar dirinya tidak dikenali.19 Sedangkan pindahnya Nabi Isa ke Kashmir, India Utara, didasari oleh penafsiran Ahmadiyah terhadap Surat Al-Mukminun ayat 51, bahwa Nabi Isa hidup di sana hingga pada usia 120 tahun. Dan ketika Nabi Isa wafat, ia dimakamkan di Khanyar, Srinagar.20 Terkait tentang Allah mengangkat Nabi Isa, Ahmadiyah berkeyakinan bahwa Allah tidaklah mengangkat fisik dan ruhnya Nabi Isa, melainkan mengangkat Nabi Isa kepada tempat kemuliaannya atau ke tempat yang disukainya, baik yang berkenaan dengan Qs. 3:55 maupun 4:158.21
    Padahal, jika Ahmadiyah konsisten dalam menggunakan dalil-dalil yang terdapat dalam Kristen, seharusnya Ahmadiyah pun mampu membuktikan bahwa kepergiannya Nabi Isa itu mendapat dukungan dari ayat-ayat yang terdapat dalam Perjanjian Baru, bukan malah menggunakan ayat-ayat yang terdapat dalam Perjanjian Lama.22 Karena pada dasarnya, Perjanjian Lama tidaklah diakui oleh pihak Yahudi ketika ayat-ayat yang ada di dalamnya itu dianggap telah menubuatkan Yesus (Isa). Dan perlu untuk diketahui, bahwa perpindahan Nabi Isa ke Kashmir tidaklah ditemukan satu keterangan pun dalam literatur Kristen yang bisa menguatkan argumentasi mereka, baik yang diakui oleh Kristen ortodoks maupun yang dianggap bidat sekali pun. Justru dalam literatur Kristen kita akan menemukan adanya pengakuan dari Bapa Gereja, Eusebius, sebagaimana yang telah diyakini oleh Michael Baigent, Richard Leigh dan Henry Lincoln, bahwa ia telah menemukan keturunan keluarga Yesus dan ia telah melacak keberadaan mereka hingga pada masa Kaisar Trajan pada tahun 98-117 M.23 Dan kisah yang dikemukakan oleh Eusebius tersebut, ternyata ia kutip dari Hegesippus.24

    Meski Ahmadiyah dan Kristen sama-sama meyakini bahwa Yesus disalib, namun keduanya memiliki perbedaan dalam pengembangan teologisnya. Ahmadiyah meyakini bahwa Nabi Isa digantung di kayu salib, tetapi tidak sampai mengalami kematian, di mana keyakinan Ahmadiyah tersebut merupakan dasar keyakinannya dalam mengukuhkan Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi Isa dan juga al-Mahdi. Sedangkan disalibnya Nabi Isa menurut Kristen, hal tersebut diyakini oleh mereka sebagai upaya Allah dalam melakukan inkarnasi demi menyelamatkan manusia dari dosa. Dan ketika kita mencermati motif yang sebenarnya dari keyakinan Ahmadiyah, tentunya suatu hal yang wajar jika sekiranya umat Islam menganggap Ahmadiyah bukan bagian dari Islam, di samping karena memang adanya perbedaan yang mendasar tentang konsep wahyu dan kenabian antara Islam dan Ahmadiyah.
 
Catatan Kaki:
1. Muslih Fathoni, Faham Mahdi Syi’ah Dan Ahmadiyah Dalam Perspektif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), hlm.60-61.
2. Ibid., hlm. 14.
3. Munirul Islam Yusuf dan Ekky O. Sabandi, Ahmadiyah Menggugat: Menjawab Tulisan Menggugat Ahmadiyah, (Tanpa Kota: Mubarak Publishing, 2011), hlm. 61-70.
4. http://tafsirq.com/3-ali-imran/ayat-55#tafsir-quraish-shihab diakses pada Tanggal 15 April 2019.
5. Ali bin Abi Thalhah, Tafsir Ibnu Abbas, terj. Muhyidin Mas Ridha dkk, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), hlm. 163.
7. Ali bin Abi Thalhah, op.cit., hlm. 226.
8. Hr. Bukhari, dengan nomor hadits 2070, 2296, 3192, versi Al-Alamiyah.
9. Hr. Muslim, dengan nomor hadits 220, versi Al-Alamiyah.
10.http://tafsirweb.com/1187-surat-ali-imran-ayat-55.html diakses pada Tanggal 15 April 2019.
11. Tafsir Ibnu katsir.
12. Hadits No. 6846 versi Al-Alamiyah.
13. Hadits No. 3339 versi Al-Alamiyah.
14. Abdullah Wasi’an, Dialog: Memahami Keimanan Kristen-Islam, (Surabaya: KH. Abdullah Wasi’an Foundation, 2013), hlm. 270.
15. Muslih Fathoni, op.cit., hlm. 73.
16. Ida Novianti, Kenabian Mirza Ghulam Ahmad: Melacak Akar Pemikiran Ahmadiyah, (Purwokerto: STAIN Purwokerto Press, 2006), hlm. 98-101.
17. Abdullah Wasi’an, op.cit., hlm. 254-255.
18. Karel Steenbrink, Nabi Isa Dalam Al-Qur’an: Sebuah Interpretasi Outsider Atas Al-Qur’an, terj. Sahiron Syamsuddin dan Fejriyan Yazdajird Iwanebel, (Yogyakarta: Suka Press dan Baitul Hikmah Press, 2015), hlm. 98.
19. Munirul Islam Yusuf dan Ekky O. Sabandi, op.cit., hlm. 81.
20. Bambang Subandrijo, Yesus Sang titik Temu Dan Titik Tengkar: Sebuah Studi Tentang Pandangan Kristen dan Muslim Di Indonesia Mengenai Yesus, (Jakarta: Unit Publikasi dan Informasi STT Jakarta dan BPK Gunung Mulia, 2016), hlm. 127.
21.www.ahmadiyah.id/jamaah-muslim-ahmadiyah/kewafatan-nabi-isa di akses pada Tanggal 15 April 2019.
22. Munirul Islam Yusuf dan Ekky O. Sabandi, op.cit., hlm. 80.
23. Michael Baigent, Richard Leigh, dan Henry Lincoln, The Messianic Legacy: Warisan Abadi Seorang Mesias, terj. Ursula Gyani B, (Jakarta: Ramala Books, 2007), hlm. 135-136.
24. Everett Ferguson, Backgrounds of Early Christianity, terj. Merry Debora, (Malang: Gandum Mas, 2017), hlm. 730-731. 

Comments