Benarkah Yesus Telah Mati Di Kayu Salib? (Bag.1)

Oleh: Sang Misionaris

Pendahuluan
    Kematian Yesus di kayu salib yang telah diyakini selama ini oleh Kristen, telah ditolak secara tegas oleh Allah di dalam Al-Qur'an, di samping memberikan pula pelurusan terhadap keyakinan Kristen, bahwa yang disalib oleh orang-orang Yahudi bukanlah Yesus al-Masih. Meskipun di sisi lain, Kristen kontemporer telah memberikan apologetikanya bahwa Yesus telah benar-benar mati di kayu salib, meski pada akhirnya argumentasi mereka tidak bisa dianggap memadai dalam membuktikan bahwa Yesus mati disalib. Dalam pandangan Kristen, matinya Yesus di kayu salib merupakan sebuah keyakinan dasar bagi mereka, karena dengan adanya kematian Yesus di kayu salib, menurut mereka, manusia telah Allah selamatkan dari dosa, di mana yang menyelamatkannya adalah Allah yang telah melakukan inkarnasi dengan menggunakan nama Yesus. Maka dari itu, mereka pun berkeyakinan bahwa Yesus adalah juru selamat yang telah menebus dosa manusia. Akan tetapi, apakah benar Yesus telah mati di kayu salib? Siapakah saksi penyaliban Yesus, sehingga Kristen berkeyakinan bahwa Yesus benar-benar mati di kayu salib? Dan apakah bukti-bukti kematian Yesus di kayu salib yang selama ini dikutip oleh Kristen, bisa dianggap memadai dan bisa dipertanggungjawabkan? Semuanya akan dibahas pada artikel kali ini.
          
Siapakah Saksi Mata Yang Telah Melihat Kematian Yesus?
    Adanya pertanyaan tentang siapakah saksi mata penyaliban dan matinya Yesus di kayu salib, telah membuat orang-orang Kristen kontemporer sibuk dalam mencari dan mengolah data demi membuktikan bahwa Yesus mati di kayu salib, karena sejak awal Kristen menyadari, bahwa satu-satunya kesaksian yang bisa mereka andalkan dalam merekonstruksi sejarah Yesus hanyalah Alkitab. Namun dengan nada yang pesimis, John Meir berpendapat, “Dari kodratnya, pencarian ini hanyalah dapat merekonstruksi potongan-potongan suatu mosaik, garis besar yang suram dari sebuah lukisan dinding memudar yang memungkinkan banyak penafsiran.”1 Jadi suatu hal yang wajar, jika sekiranya Kristen dan Muslim sama-sama menggunakan ayat-ayat Alkitab, namun keduanya mengalami perbedaan dalam penafsiran, begitu pun yang terjadi dalam internal Kristen selama ini.  
    Menurut Josep Ferry Susanto, alasan Yesus dihukum mati di kayu salib karena kritikannya terhadap Bait Allah, dimana sebelumnya, Yohanes Pembaptis telah menyangkal legitimasi Bait Allah dengan menjalankan ritual pembaptisan sebagai ganti korban penghapus dosa, namun Yesus dianggap telah melakukan penyerangan secara langsung dan menubuatkan bahwa Allah akan merombak Bait Allah yang lama dengan yang baru.2 Namun, sejauh yang penulis ketahui, bahwa wafatnya Nabi Isa menurut Kristen mula-mula sangatlah kurang mendapatkan perhatian dari orang-orang Kristen sendiri, di mana hal ini terbukti dengan tidak adanya saksi mata yang telah melihat secara langsung peristiwa penyaliban Yesus Kristus, yang dalam hal ini Kristen meyakini bahwa Yesus telah benar-benar mati di kayu salib. Padahal, orang-orang Kristen yang hidup pada abad ke-1 sampai 3 M, mereka hanya sekedar mengimani bahwa Yesus telah mati di kayu salib, tanpa pernah mampu membuktikan secara autentik dan faktual bahwa Yesus benar-benar mati disalib, di samping mereka sendiri pun bukanlah orang yang hidup di zaman Yesus dan bukan pula sebagai saksi mata atas terjadinya penyaliban Yesus. Jika Yesus diyakini sebagai penebus dosa manusia dan juga Tuhan, sebagaimana yang telah diyakini oleh Kristen mula-mula, di mana penebusan yang terjadi harus dilalui dengan matinya Yesus di kayu salib, tentunya peristiwa tersebut akan menggemparkan para penulis Romawi di zamannya. Namun nyatanya, pengisahan tentang penyaliban dan kematian Yesus, tidak ada satu pun seorang penulis di zamannya, baik secara implisit maupun eksplisit, yang telah menyatakan dalam karyanya bahwa mereka telah mendengar atau pun menyaksikan secara langsung tentang kematian Yesus Kristus di kayu salib, meskipun hukuman berupa penyaliban telah terbiasa dilakukan oleh orang-orang Romawi.
    David J.Bosch menandaskan, bahwa salib merupakan lambang yang khas bagi iman Kristen (keselamatan), dan tanpa salib, menurutnya, Kekristenan akan menjadi sebuah agama kasih karunia yang murahan.3 Karena salib telah dijadikan sebagai lambang keselamatan oleh Kristen, maka tidak mengherankan jika orang-orang Kristen telah mati-matian membuktikan bahwa Yesus benar-benar mati di kayu salib, meskipun berbagai sumber yang mereka gunakan selama ini kurang memadai. Karena jika keyakinan ini diruntuhkan, maka segala dogma lain dalam Kekristenan tidak bisa dipertahankan. Lebih dari itu, dalam membuktikan bahwa keimanan Kristen selama ini benar dan juga faktual, mereka pun terkadang telah memanfaatkan adanya perbedaan penafsiran di kalangan umat Islam tentang kewafatan Yesus, di samping menggunakan pula pandangan Ahmadiyah yang telah meyakini adanya kewafatan Nabi Isa. Tentu saja, sikap mereka tersebut, yang terkadang membenturkan perbedaan pendapat di kalangan umat Islam dengan Ahmadiyah, di mana sikap mereka tersebut dinilai kurang elegan dalam membuktikan bahwa Yesus mati di kayu salib, di samping sebagai bentuk pelarian diri mereka dalam membuktikan kematian Yesus secara historis dan melupakan pula bahwa dalam internal Kristen pun kerap kali terjadi perbedaan dalam penafsiran.      
    Jagersma mengakui, bahwa awal dari tarikh Masehi dan kelahiran Yesus Kristus tidak jatuh secara bersamaan, karena menurutnya, hal tersebut terjadi karena adanya kesalahan menghitung sebanyak 4 tahun, yang kesalahan tersebut terjadi karena disebabkan oleh ulahnya seorang biarawan yang bernama Dionysius Exiguus.4 Dalam mencari tahu tentang kapan Yesus dilahirkan, Tano Simamora telah mengandalkan Lukas 2:1-6, Matius 2:1 dan 19-20, sebagai pijakan dasarnya. Meskipun di sisi lain, para penulis Injil bukanlah saksi mata dan bahkan bisa dikatakan bahwa para penulis Injil tersebut telah menerima materi dari sumber-sumber lain.5 Namun demikian, Tano Simamora tetap menyimpulkan, bahwa kelahiran Yesus Kristus telah terjadi ketika Raja Herodes sebagai raja di Yudea, Kaisar Augustus sebagai penguasa Romawi dan Kirenius sebagai wali negeri Syria. Menurutnya, Yesus lahir sebelum Raja Herodes mengalami kematian pada tahun 4 SM, dan meyakini pula bahwa Yesus lahir di tahun ke-4 SM, di samping menganggap salah terhadap orang-orang yang meyakini bahwa penetapan tahun kelahiran Yesus sebagai permulaan tahun Masehi.6 Dengan kita mengetahui terlebih dahulu kapan Yesus dilahirkan, meskipun pendapat Tano Simamora dan Jagersma di atas belum tentu dianggap benar oleh Kristen yang lainnya, setidaknya kita bisa mengetahui nama-nama para penulis yang hidup sezaman dengan Yesus, apakah mereka telah menuliskan tentang penyaliban dan kematian Yesus ataukah tidak sama sekali.
    Ada beberapa orang yang bisa kita yakini bahwa mereka telah hidup sezaman dengan Yesus, namun mereka sendiri pada kenyataannya tidaklah menuliskan sama sekali tentang sejarah hidup Yesus, apalagi tentang kematian Yesus di kayu salib. Titus Livius (59 SM-17 M), misalnya, ia adalah seorang tukang cerita yang luar biasa dan juga seorang penulis sejarah Romawi,7 namun ia sendiri ternyata tidak mengisahkan atau tidak menulis sama sekali tentang Yesus, termasuk pula tentang kematian Yesus di kayu salib. Tidak hanya Titus Livius, seorang Yahudi, Filo atau Philo dari Aleksandrian, yang dilahirkan sekitar 15-10 SM dan meninggal pada tahun 45-50 M,8 di mana ia pernah dikabarkan menjadi pendamping Paulus, di samping pernah dikabarkan pula bahwa ia pernah bertemu dengan Petrus di Roma, dan bahkan telah dinobatkan sebagai seorang Kristen,9 sama sekali tidak pernah menulis sedikit pun tentang penyaliban dan kematian Yesus, meskipun ia sendiri hidup sezaman dengan Yesus Kristus. Tidak hanya mereka berdua yang tidak mengisahkan tentang Yesus, semisal Diodorus Siculus (hidup pada abad 1 SM) dan Strabo (64 SM-21 M)10 pun tidak mengungkapkan sama sekali tentang Yesus. Namun ironisnya, para apologet Kristen telah merasa percaya diri bahwa apa yang mereka kutip selama ini, mengindikasikan adanya bukti-bukti secara otentik tentang penyaliban dan kematian Yesus, sebagaimana yang akan dibahas pada artikel kali ini.      
    Sejak pertama kali munculnya agama Kristen, kaum pagan yang dulu pernah tertarik kepada ajaran Yudaisme telah beralih kepada agama Kristen, tetapi kebanyakan dari mereka adalah budak dan anggota kelas masyarakat yang lebih rendah.11 Karena rendahnya intelektual yang dimiliki oleh para budak dan masyarakat kelas bawah yang masuk ke dalam agama Kristen, di samping pada masa itu telah terjadi helenisme, tentunya terkait pemberitaan pun akan bercampur-aduk dan sulit untuk memisahkan mana berita yang benar-benar terjadi dan mana yang bisa dianggap sebagai berita yang hoax. Bahkan secara eksplisit, pengarang Injil Lukas telah menuliskan tentang adanya kesimpangsiuran berita yang telah terjadi pada masanya, sebagaimana yang telah ia ungkapkan pada Lukas 1:1.       
    Tidak adanya sumber autentik yang bisa dipercaya dalam merekonstruksi kisah hidup Yesus, Rudolf Bultmann telah secara jujur mengakui tentang minimnya sumber kehidupan Yesus yang bisa didapatkan, menurutnya, “Saya memang berpikir bahwa sekarang kita nyaris tidak tahu apa-apa tentang hal yang berkaitan dengan kehidupan dan kepribadian Yesus, karena sumber awal Kekristenan sendiri, yang tidak berminat pada salah satu dari keduanya, hanya memunculkan sebagian-sebagian dan sering kali bersifat legendaris.”12 Ketika seorang peneliti Kristen sudah menyatakan demikian, namun di sisi lain, Kristen masih mengandalkan ayat-ayat yang terdapat dalam Perjanjian Baru dan Lama demi membuktikan bahwa Yesus benar-benar mengalami kematian di kayu salib, tentunya sikap apologet Kristen dalam membuktikan kematian Yesus disalib akan sangat terasa kental tentang adanya sikap memaksakan diri mereka ketika sedang menginterpretasikan Alkitab, meskipun sumber-sumber yang mereka kutip selama ini kurang memadai. Namun, adakah bukti-bukti eksternal yang bisa dianggap memadai dan bisa dipertanggungjawabkan, bahwa Yesus memang benar-benar mengalami kematian di kayu salib?

Berbagai Pendapat Klasik Yang Diandalkan Kristen
    Dalam membuktikan bahwa Yesus telah dihukum mati dengan cara disalib, kerap kali Kristen menggunakan beberapa pendapat klasik. Bagi Kristen, adanya berbagai pendapat klasik yang telah mereka kutip selama ini, secara eksplisit telah membuktikan adanya penyaliban dan kematian yang dialami oleh Yesus Kristus. Lalu, pendapat siapa sajakah yang telah digunakan oleh Kristen dalam membuktikan bahwa Yesus mati disalib?

1. Flavius Josephus
    Ketika membahas tentang penyaliban dan wafatnya Yesus Kristus, berbagai sumber Kristen selalu menjadikan Flavius Josephus sebagai salah satu rujukan mereka dalam membuktikan bahwa Yesus benar-benar mengalami penyaliban dan kematian di kayu salib. Menurut Britannica, ia dilahirkan sekitar tahun 37 atau 38 M, dan telah menghasilkan salah satu karya, Jewish Antiquities, di mana dalam karyanya tersebut ia dianggap oleh Kristen telah mengisahkan tentang Yesus. Adapun proposisinya Flavius Josephus yang dinilai oleh Kristen telah mengisahkan Yesus adalah sebagai berikut: “Sekitar waktu ini hiduplah Yesus, seorang manusia yang bijaksana, jika sungguh-sungguh layak untuk menyebutnya sebagai manusia, karena dia adalah pelaku tindakan-tindakan ajaib dan seorang guru dari orang-orang yang menerima kebenaran itu dengan penuh hasrat. Dia menarik banyak orang Yahudi maupun Yunani. Dia adalah Mesias. Pilatus, ketika mendengar tuduhan orang-orang terkemuka di antara kita, menghukum dia ke tiang salib, orang-orang yang dulu mengasihi dia tidak melupakannya; karena pada hari ketiga dia menampakkan diri kepada mereka kembali dalam keadaan hidup, sebab para nabi Allah telah menubuatkan hal-hal ini dan puluhan ribu hal menakjubkan lainnya tentang dia. Sampai hari ini suku Kristen, yang diberi nama berdasarkan namanya, tidak musnah” (Jewish Antiquities, 18.3.3).13
    Dalam tradisi Islam, ketika akan memeriksa tentang kredibilitas para perawi hadits, selalu menggunakan ilmu jarh wa ta’dil, di samping memeriksa pula matannya, apakah selaras dengan Al-Qur’an ataukah tidak. Terlebih sebelumnya, Allah telah mewanti-wanti kepada kita agar memeriksa terlebih dahulu segala informasi yang ada, sebagaimana yang termaktub dalam Surat Al-Hujuraat ayat 6, dimana arahan Allah tersebut tentunya bermanfaat bagi kaum Muslimin agar tidak menjadi korban pemberitaan yang hoax. Dalam tulisan Flavius Josephus tersebut, di mana dalam karya-karyanya itu telah ditulis sekitar tahun 75-100 M,14 penulis menilai bahwa apa yang telah ia utarakan di atas, telah mengalami permasalahan yang cukup serius dan layak untuk mendapatkan bantahannya, seperti:

I. Dia menarik banyak orang Yahudi maupun Yunani
    Jika Kristen meyakini bahwa isi Alkitab otoritatif, tentunya kalimat Flavius di atas bisa dianggap bertentangan dengan Matius 10:5-6. Namun, jika Kristen berargumen bahwa ayat tersebut telah dihapus atau digantikan dengan Matius 28:19, sehingga pernyataan Flavius Josephus dianggap tidak bertentangan dengan Injil Matius 28:19, tentunya kita bisa mempertanyakan kepada mereka, apakah segala hal yang tertulis di dalam Injil Matius merupakan narasi yang telah disusun secara sistematis yang didasari dari ucapan dan yang dilakukan oleh Yesus ataukah hanya merupakan intisari atas segala informasi yang telah didapatkan dari orang lain. Karena dalam tradisi Kristen, kita tidak menemukan sama sekali penjelasan tentang sebab-sebab Yesus mengatakan dan melakukan sesuatu, dimana kondisi tersebut berbeda dengan tradisi keilmuan Islam ketika menyinggung tentang berbagai narasi yang terdapat dalam Al-Qur'an dan hadits. Selain itu, jika Kristen telah berargumen sebagaimana halnya di atas, maka secara eksplisit, bisa dikatakan bahwa Kristen telah menganggap Matius 10:5-6 sudah tidak relevan lagi dengan segala zaman yang ada.
    Sebagai informasi tambahan, menurut David J.Bosch, bahwa pada tahun 1940-an keilmuan biblika yang dirintis oleh Michel dan Lohmeyer mulai memberikan perhatian yang sungguh-sungguh terhadap Matius 28:18-20. Banyak dari para teolog Kristen yang telah berupaya untuk menyingkapkan asal-usul dan makna dari nats tersebut, sebagaimana misalnya yang telah dilakukan oleh Joachim Lange, yang telah menulis sebuah monograf dengan 573 halaman tentang studi tradisi dan kritis redaksi terhadap perikop itu. Dan setahun kemudian, Benjamin Hubbard telah menerbitkan sebuah monograf tentang persoalan yang terkait dengan Matius 28:18-20. Selanjutnya, David pun mengutip komentarnya John P. Meier dalam menguatkan pendapatnya itu, “Ada perikop-perikop besar tertentu di dalam Alkitab yang terus-menerus melahirkan diskusi dan penelitian sementara tampaknya tidak pernah mengakui jawaban-jawaban yang pasti. Matius 28: 16-20 tampaknya adalah perikop yang seperti itu.”15 Oleh karena itu, maka bisa dipastikan bahwa para teolog Kristen sedang mengalami kebingungan ketika mereka sedang menelusuri berbagai narasi yang terdapat dalam Injil Matius, di mana dalam Injil tersebut mereka telah menemukan berbagai narasi yang saling bertentangan antara satu ayat dengan ayat yang lainnya. Sedangkan adanya berbagai upaya yang tengah dilakukan oleh para teolog dalam mengkompromikan ayat-ayat kontradiksi, merupakan jalan tengah yang telah mereka ambil di tengah-tengah kebuntuan yang sedang mereka hadapi selama ini.    
II. Yesus adalah Mesias
    Untuk mengidentifikasikan kelompok Yahudi mana yang telah meyakini bahwa Yesus adalah Mesias, sebagaimana yang telah diutarakan oleh Josephus, maka kita bisa melakukan pelacakan terhadap beberapa kelompok Yahudi, di mana kelompok Yahudi itu adalah Saduki, Farisi dan Esseni. Dan sepanjang yang penulis ketahui, dari ketiga kelompok tersebut, tidak ada satu kelompok pun yang telah meyakini bahwa Yesus adalah Mesias dan meyakini pula bahwa Yesus telah menampakkan dirinya pada hari ketiga, di mana dalam kejadian tersebut Yesus dianggap telah dinubuatkan dalam kitab-kitab sebelumnya (dalam Perjanjian Lama).16 Apakah penulisan narasi dalam karya Flavius itu benar-benar telah ditulis oleh dirinya sendiri ataukah memang hal tersebut merupakan hasil interpolasi yang dilakukan oleh tangan-tangan jahil, maka tentu saja kita hanya memiliki dua opsi tersebut. Jika seandainya kalimat di atas memang benar-benar ditulis oleh Flavius sendiri, maka bisa dikatakan bahwa karyanya tersebut telah memuat suatu peristiwa yang mengandung anakronisme, karena tidak ada satu kelompok Yahudi yang telah meyakini Yesus seperti yang telah dituliskan oleh Josephus, kecuali jika kelompok Yahudi yang telah convert kepada Kristen dan membentuk komunitas yang berbeda dengan ketiga kelompok Yahudi lainnya, maka pandangan ini lebih bisa dipercaya dan Kristen pun perlu sekiranya mengungkapkan tentang komunitas yang dimaksud oleh Flavius tersebut. Sedangkan semasa hidupnya, Josephus telah dibenci oleh orang-orang Yahudi lainnya dikarenakan kemurtadannya, dan ia pun tidak dipercaya pula oleh orang-orang Romawi bahwa ia adalah seorang Yahudi. Argumentasi tersebut tentunya beralasan, karena semasa hidupnya ia pun telah hidup dengan bergelimangan harta yang didapatkan dari Kaisar dan telah menikahi pula seorang wanita Romawi serta memberikan nama bagi anak-anaknya dengan menggunakan nama-Romawi.17
III. Suku Kristen  
    Apa yang telah disampaikan oleh Flavius tersebut, sangat terlihat bahwa ia memang tidak tahu menahu tentang awal mula penggunaan istilah Kristen. Karena sejak awal, penggunaan istilah Kristen tidaklah diidentifikasikan sebagai suku, melainkan telah diasosiasikan sebagai pelaku kejahatan, dan untuk membaca tentang ulasan tersebut, bisa dibaca pada artikel sebelumnya di sini. Tentang hal ini, maka narasi yang telah disampaikan oleh Flavius dalam karyanya itu, telah berisi anakronisme dan terlihat bahwa informasi yang didapatkannya selama ini, bukanlah sebagai orang pertama, melainkan sebagai orang yang kedua. Terlebih, ia sendiri bukanlah saksi mata penyaliban dan kematian Yesus di kayu salib.
IV. Adanya Inkonsistensi
    Terjadinya anakronisme yang terdapat dalam karyanya Flavius Josephus, mengisyaratkan kepada kita bahwa Flavius adalah orang yang ceroboh, di mana dalam karyanya itu ia memang sangat kurang bisa diandalkan untuk dijadikan sebagai sumber yang memadai. Bahkan Wes Howard-Brook  sendiri pun telah mewanti-wanti dalam karyanya, menurutnya, “Sejarawan Josephus, seorang anggota kalangan aristokrasi Yerusalem yang pensiun dengan nyaman sambil menulis di bawah sponsor Romawi menyusul Perang Yahudi-Romawi tahun 66-70 M. Aneka ragam laporan Josephus, termasuk ‘Romansa Tobiad’ dalam Antiquities-nya, mesti diayak secara hati-hati agar legenda dapat dipilah dari peristiwa-peristiwa historis.”18   
    Flavius Josephus, ternyata bukanlah orang yang konsisten dalam mengisahkan sesuatu, misalnya, menurut Josephus, sekitar tahun 6 M telah muncul suatu golongan filsafah keempat, di samping adanya golongan Saduki, Farisi, dan Esseni. Sebagai pendiri dari golongan itu disebut-sebut Yudas, alias orang Galilea, dan Zadok seorang Farisi. Namun anehnya, dalam Jewish Antiquities XVIII, 23 dst, misalnya, golongan filsafah ke-empat ini berlainan dengan golongan Saduki, Farisi dan Esseni, yang tidak pernah disebut-sebut namanya. Tidak hanya itu, ia pun selalu memuji-muji bangsa Romawi sebagai pemenang dalam perang Yahudi pertama. Oleh karena itu, tidak mengherangkan jika bukunya, Tentang Perang Yahudi, telah menunjukkan simpati yang besar terhadap Vespasianus dan Titus, dan suatu hal yang tepat jika ia pun akhirnya dianggap sebagai penulis istana dari wangsa Flavius (read: anjingnya pemerintah-munafik).19      

        Dalam Islam, terdapat tradisi penyatuan antara ilmu dan amal, yang tradisi tersebut berbeda dengan yang apa terdapat dalam tradisi Barat. Dalam Islam, ada konsep fasiq, di mana seseorang yang meskipun berilmu tinggi, namun melakukan perbuatan jahat, maka ia dapat dikategorikan sebagai seorang yang fasik. Orang fasik, oleh sebagian ulama dilarang untuk menjadi saksi di dalam pernikahan atau pengadilan, bahkan dalam ilmu hadits, ada ilmu jarah wa ta’dil yang secara terbuka membongkar sifat-sifat buruk para perawi hadits, seperti pembohong, buruk ingatannya dan sebagainya. Adanya tradisi Islam seperti itu, tidaklah kita temui dalam sistem keilmuan Barat yang sekuler, karena tradisi ilmu Barat yang berakar pada tradisi Yunani, terdapat pemisahan antara orang pintar dan orang saleh, dan seorang ilmuwan di Barat tetap dianggap sebagai ilmuwan yang dihormati, meskipun tidak jelas agama dan amalan-amalan agamanya.20 Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika terdapat informasi yang sekiranya sesuai dengan keyakinannya Kristen, maka mereka akan menerima secara langsung informasi tersebut dengan mengesampingkan sifat dan karakter orang yang memberikan informasi, sebagaimana halnya yang telah terjadi pada Flavius Josephus yang telah diklaim oleh Kristen selama ini.

        
Catatan Kaki:
1. Paul F. Knitter, Menggugat Arogansi Kekristenan, (Yogyakarta: Kanisius, 2005), hlm. 172.
2. Josep Ferry Susanto (ed.), Credo Dan Relevansinya: Ulasan Komprehensif Rumusan Iman Kristen, (Jakarta: Obor, 2014), hlm. 53.
3. David J. Bosch, Transformasi Kristen: Sejarah Teologi Misi Yang Mengubah Dan Berubah, terj. Stephen Suleeman, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), hlm. 789.
4. H. Jagersma, Dari Aleksander Agung Sampai Bar Kokhba: Sejarah Israel Dari ± 330 SM-135, terj. Soeparto Poerbo, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), hlm. 177.
5. William W. Klein, Craig L. Blomberg, Robert L. Hubbard, Jr., Introduction to Biblical Interpretation: Pengantar Tafsiran Alkitab, terj. Timotius Lo, (Malang: Literatur Saat, 2016), hlm. 323.
6. S. Tano Simamora, Bibel: Warisan Iman, Sejarah dan Budaya, (Jakarta: Obor, 2014), hlm. 296-297.
7. Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2013), hlm. 31.
8. http://www.britannica.com/biography/Philo-Judaeus diakses pada Tanggal 19 April 2019.
9. Everett Ferguson, Backgrounds of Early Christianity, terj. Merry Debora, (Malang: Gandum Mas, 2017), hlm. 589-590.
10. H. Jagersma, op.cit., hlm. 6.
11. Karen Armstrong, Sejarah Tuhan: Kisah 4.000 Tahun Pencarian Tuhan Dalam Agama-Agama Manusia, terj. Zaimul Am, (Bandung: Mizan, 2012), hlm. 152.
12. Michael Baigent, Richard Leigh, dan Henry Lincoln, The Messianic Legacy: Warisan Abadi Seorang Mesias, terj. Ursula Gyani B, (Jakarta: Ramala Books, 2007), hlm. 22.
13. Louay Fatoohi, The Mystery of Historical Jesus: Sang Mesias Menurut Al-Qur’an, Alkitab, dan Sumber-Sumber Sejarah, terj. Yuliani Liputo, (Bandung: Mizan, 2012), hlm. 640.
14. H. Jagersma, op.cit., hlm. 96.
15. David J. Bosch, op.cit., hlm. 87-88.
16. Untuk mengetahui lebih jauh tentang sepak terjang ketiga kelompok Yahudi tersebut, silahkan untuk merujuk kepada karyanya Wes Howard-Brook, Keluarlah Wahai Umat-Ku: Panggilan Allah Dalam Alkitab Agar Keluar Dari Imperium, terj. Yosef Maria Florisan, (Maumere: Ledalero, 2014).
17. http://www.britannica.com/biography/Flavius-Josephus diakses pada Tanggal 20 April 2019.
18. Wes Howard-Brook, op.cit., hlm. 535.
19. H. Jagersma, op.cit., hlm. 142 dan 4-5.
20. Adian Husaini, Virus Liberalisme DI Perguruan Tinggi Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2009), hlm. 164-165. 

Comments