Tafsir Ayat-Ayat Ahli Kitab

Oleh: Sang Misionaris

Pendahuluan
    Kaum yang menamakan dirinya inklusif dan pluralis seringkali mengutip beberapa ayat Al-Qur’an yang mengisyaratkan adanya doktrin keselamatan di luar Islam. Mereka menganggap, semua agama sama tanpa mengkaji lebih jauh perbedaan yang tajam terutama dalam sistem teologi dan metafisika antara Islam dengan agama-agama lain. Ayat-ayat Al-Qur’an digunakan, namun pemahamannya dipelintir untuk membenarkan anggapan tersebut. Padahal untuk memahami ayat-ayat tersebut diperlukan disiplin ilmu tafsir Al-Qur’an. Sayangnya, ilmu yang sangat penting itu tidak digunakan. Kesalahan mereka ialah mengutip ayat suci dan memahaminya terlepas dari kombinasi sabab nuzul dengan siyaq atau yang lebih populer disebut dengan ilmu munasabat (korelasi antar bagian) Al-Qur’an. Akibat pemahaman tanpa ilmu tafsir ini, terjadi kontradiksi antar ayat Al-Qur’an. Tak pelak lagi, uraian mereka menjadi keliru karena tidak menguasai cara yang telah dirumuskan dengan baik oleh ulama Al-Qur’an dalam cabang ilmu Muhim al-Ikhtilaf wa al-Tanaqudl.

Inklusivisme Islam
    Biasanya beberapa kutipan ayat Al-Qur'an sering dijadikan sandaran oleh para penggagas pluralisme agama untuk menyatakan bahwa agama Yahudi dan Kristen, termasuk golongan yang selamat. Ayat-ayat tersebut adalah Surat Al-Baqarah:62; Al-Maidah:69; dan Al-Hajj:17. Redaksi kedua ayat Al-Qur’an (Qs. 2:62; 5:69) di atas menyebutkan, “Man amana billahi wa al-yawm al-akhir wa ‘amila salihan falahum ajruhum inda rabbihim (ayat pada Qs. 5:69 tidak menggunakan redaksi ini, tetapi langsung menggunakan: wa la khawfun alayhim).” Membaca dan memahami kedua ayat tersebut secara sepintas dan harfiah, para pendukung pluralisme agama akan mengatakan bahwa sesuai bunyi lahirnya, kedua ayat ini menunjuk kepada jaminan Allah atas keselamatan semua golongan yang disebutkan dalam ayat tersebut. Akan tetapi, jika penafsiran tersebut dilihat dari ayat-ayat sibaq (dari ayat-ayat terdahulu) dan lihaq-nya (ayat-ayat sesudahnya), maka akan menghasilkan kontradiksi. Pertanyaan wajar akan muncul, jika demikian halnya di mana letak keistimewaan umat Islam kalau semuanya akan selamat? Lantas bagaimana dengan Qs. 3:85, yang berbunyi: “Barangsiapa yang mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidak akan diterima, dan dia di akherat tergolong orang-orang yang akan merugi.” Dan juga Qs. 3:19 yang berbunyi, “Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam.”
    Sebenarnya, bagi pengkaji tafsir, pemahaman kedua ayat itu sangat terkait dan disinari oleh konteks ayat-ayat sebelumnya (siyaq dan munasabat). Bagaimana mungkin Allah menyetarakan kaum beriman dengan pengikut kitab terdahulu yang dalam belasan ayat sebelumnya, perilaku korupsi keagamaan mereka disingkap sebagai skandal akidah yang tidak dapat diampuni. Kedua ayat tersebut mengingatkan kasih sayang Allah yang senantiasa menginginkan kesalehan mereka dengan menyatakan bahwa masih terbuka pintu taubat, sekaligus mengisyaratkan bahwa kesesatan mereka tidak berlaku bagi para pendahulu seperti sahabat dekat Nabi Isa (kaum Hawariyyun) atau bekas pemeluk agama Yahudi dan Kristen, seperti Abdullah ibn Salam dan Shuhayb al-Rumi yang telah mendapatkan hidayah Islam. Hal ini lebih diperkuat lagi oleh adanya riwayat dari sahabat Salman al-Farisi tentang asbabun nuzulnya Qs. 2:62 tersebut.
    Para pendukung pluralisme tentu akan berdalih mengapa orang Muslim yang notabenenya sudah percaya dan meyakini risalah Nabi Muhammad ﷺ, juga disebutkan di situ? Bukankah kalau urutan itu hanya menghitung kelompok yang sesat, berarti penyebutan alladzina amanu mengisyaratkan adanya kesamaan semua agama? Pertanyaan ini sah-sah saja, tetapi sebenarnya kurang jeli dalam memahami urf/adat kebiasaan Al-Qur’an. Al-Qur’an selalu menyertakan kaum beriman (Muslim) dalam setiap jenis kebajikan agar mereka menjadi tauladan sekaligus saksi atas seluruh umat manusia. Hal ini misalnya dijumpai dalam Firman Allah (berkaitan dengan pelurusan akidah Ahli Kitab), seperti: lakin al-rashikun fi al-‘ilmi minhum wa al-mu’minun dan fa’in amanu bimithli ma amantum bihi faqad ihtadaw. Ada baiknya kita meninjau secara singkat tafsir Qs. 2:62, untuk dapat lebih memperjelas makna dan kandungannya. Sebelum Qs. 2:62, ayat-ayat sebelumnya telah banyak mengecam dan mengancam orang-orang Yahudi yang durhaka dalam konteks nikmat-nikmat Tuhan yang diberikan kepada mereka (lihat misalnya pada ayat 41-61 dalam Surat Al-Baqarah). Tentu saja ancaman ini menimbulkan rasa takut. Melalui ayat ini, Allah telah memberi jalan keluar sekaligus ketenangan kepada mereka yang bermaksud untuk memperbaiki diri. Ini selaras dengan kemurahan Allah yang selalu membuka pintu taubat bagi hamba-hamba-Nya yang insaf. Kepada mereka disampaikan bahwa jalan untuk meraih keridhaan Allah bagi mereka, dan juga bagi umat-umat yang lain tidak lain kecuali iman kepada Allah dan hari kemudian serta beramal saleh.
    Jika ayat itu dijabarkan, maka akan berbunyi demikian: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, yakni yang mengaku beriman kepada Nabi Muhammad ﷺ, orang-orang Yahudi; yang mengaku beriman kepada Nabi Musa, orang-orang Nasrani; yang mengaku berimana kepada Nabi Isa, dan orang-orang Shabiin yakni kaum musyrik atau penganut agama dan kepercayaan lain, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, sebagaimana dan sesuai dengan segala unsur-unsur keimanan yang diajarkan Allah melalui Nabi-Nabi-Nya dan beramal shaleh, yakni yang bermanfaat dan sesuai dengan pahala-pahala amal saleh mereka yang tercurah di dunia ini dan tersimpan hingga di akherat nanti, di sisi Tuhan pemelihara kekhawatiran terhadap mereka menyangkut suatu apapun yang akan datang, dan tidak pula merka bersedih hati menyangkut sesuatu yang telah terjadi.”
    Kecaman dan siksa yang diuraikan pada ayat-ayat yang lalu boleh jadi dianggap oleh sementara orang tertuju kepada semua Bani Israel. Anggapan ini kurang tepat, sebab ayat ini memulai informasinya dengan kata inna (sesungguhnya), ungkapan untuk menunjukkan bahwa memang banyak orang yang menduga bahwa kedurhakaan orang Yahudi yang disebut dalam ayat itu mencakup semua mereka, padahal tidak demikian. Sementara orang yang mempertentangkan ayat ini dengan Qs. 3:19 dan 85, apalagi didukung oleh pendapat sahabat Abdullah Ibnu Abbas yang menyatakan ayat Al-Baqarah telah dinasakh dan tidak berlaku lagi setelah turun ayat Ali-Imran, terlihat kebingungan. Berkaitan dengan hal itu, Ibnu Taimiyyah menjelaskan bahwa sebenarnya tidak ada selisih pendapat bahwa ayat ini masih berlaku. Hanya saja, beliau memperjelas pendapat Ibnu Abbas. Maksud Ibnu Abbas, Allah tidak akan menerima dan meridhai agama dari orang yang terdahulu hingga akhir nanti, kecuali Islam. Ibnu Taimiyyah membela pandangan Ibnu Abbas, bahwa maksud nasakh dalam ucapan beliau adalah menolak sesuatu yang diduga bahwa ayat itu secara lahir mendukung keselamatan bagi semua pengikut agama-agama. Hal itu disebabkan secara umum telah menjadi aksioma akidah Islam bahwa orang yang mendustai salah satu Rasul/Utusan Allah adalah kafir, maka orang tersebut tidak tercakup dalam pengertian ayat yang menyatakan, siapa saja yang beriman kepada Allah…dan seterusnya.  
    Tidak jauh berbeda dengan tafsir Qs. 2:62, Qs. 5:69 pun dapat dipahami dengan baik melalui kaidah disiplin ilmu tafsir. Banyak kecaman yang sudah disampaikan kepada Ahli Kitab, di antaranya ayat 13-19, 41-43, 64, dan 68. Sebelum melanjutkan kecaman tersebut, Al-Qur’an berhenti sejenak melalui ayat yang mengingatkan bahwa kecaman tersebut semata-mata disebabkan oleh ulah mereka sendiri, bukan karena ras atau keturunan mereka. Ini karena Allah tidak membeda-bedakan dan karena itu pula datang penegasan ayat tersebut.
    Surat Al-Maidah ayat 69, dapat dihubungkan juga dengan ayat-ayat sebelumnya. Allah berfirman dalam Surat Al-Maidah ayat 68, “Katakanlah: Hai Ahli Kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikit pun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil, dan Al-Qur’an yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Sesungguhnya apa yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dari Tuhanmu akan menambah kedurhakaan dan kekafiran kepada kebanyakan dari mereka; maka janganlah kamu bersedih hati terhadap orang-orang yang kafir itu.” Mungkin pertanyaan akan muncul pada benak seseorang. Jika demikian keadaan Ahli Kitab, pada masa Rasul ﷺ masih hidup, bagaimana dengan mereka yang telah meninggal dunia? Apakah keberagaman mereka bermanfaat menyelamatkan mereka? Ini dijawab oleh Surat Al-Maidah ayat 69. Dalam menjawab, didahulukan penyebutan orang-orang yang beriman, walaupun tidak ditanyakan tetapi wajar untuk disebutkan pertama kali, karena ayat tersebut bermaksud memberikan informasi yang bersifat umum. Di sisi lain, penyebutan mereka di urutan pertama karena umat Nabi Muhammad ﷺ adalah teladan yang terbaik dalam keimanan kepada Allah dan tuntunan-tuntunan-Nya.
    Surat Al-Maidah ayat 69, hampir mirip redaksinya dengan Surat Al-Baqarah ayat 62, hanya saja perbedaannya antara lain terletak pada penempatan kata al-Nashara dan al-Shabi’in. Kalau di Surat Al-Baqarah ayat 62 penyebutan kata al-Nashara adalah yang kedua setelah alladzina hadu dan sebelum as-Shabi’in, sedangkan di Surat Al-Maidah ayat 69 kata al-Nashara terletak setelah alladzina hadu dan al-Shabi’in. Perbedaan yang lainnya adalah dalam Surat Al-Baqarah ayat 62 terdapat kalimat: “Bagi mereka ganjaran mereka di sisi Tuhan mereka”, sedang dalam Surat Al-Maidah ayat 69 tidak disebutkan. Hal itu karena keterangan tersebut telah disinggung di sana, sebagaimana kebiasaan Al-Qur’an dalam sekian banyak ayat. Demikian pula persyaratan beriman kepada Allah dan hari akhir seperti bunyi ayat di atas. Bukan berarti hanya kedua rukun itu yang dituntut dari mereka, namun keduanya adalah istilah yang biasa digunakan oleh Al-Qur’an dan sunnah untuk makna iman yang benar dan mencakup semua komponennya. Memang akan sangat panjang bila semua objek keimanan disebut satu demi satu. Rasul ﷺ dalam percakapan sehari-hari sering menyebutkan keimanan kepada Allah dan hari kemudian.

Al-Qur’an Merujuk Substansi Bukan Institusi Agama
    Kedua ayat tersebut menunjukkan sikap Al-Qur’an terhadap pemeluk agama-agama terdahulu. Keberadaan mereka diakui oleh Al-Qur’an. Ketika Al-Qur’an mengungkapkan kesesatan dan kedurhakaannya umat Yahudi atau Nasrani pada masa Rasul, tidak serta merta berarti menafikan adanya komunitas beragama, baik di kalangan Yahudi maupun Nasrani. Tentu saja, yang dimaksud ialah Yahudi dan Nashrani yang lurus dan ikhlas sebelum datangnya syariat Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ. Substansi kedua ayat ini, dalam pandangan penulis, sama misalnya dengan pernyataan Al-Qur’an tentang Ahli Kitab, bahwa: “Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang). Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan, mereka menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) berbagai kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang saleh” (Qs. 3:113-114).
    Yang penting ditekankan di sini adalah kalimat di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, artinya yang dianggap Al-Qur’an di sini bukan institusi agama Nasrani dan Yahudi, tetapi pemeluknya yang tetap beragama sesuai dengan agama fitrah yang kemudian tidak berbeda dengan Islam. Lebih spesifik lagi tentang Bani Israel, Al-Qur’an menegaskan: “Dan di antara kaum Musa itu terdapat suatu umat yang memberi petunjuk (kepada manusia) dengan hak dan dengan yang hak itulah mereka menjalankan keadilan” (Qs. 7:159).  Di sini, lagi-lagi institusi Yahudi tidak disebutkan. Atau simak lagi pernyataan Al-Qur’an yang adil menyangkut Ahli Kitab terdahulu, bahwa di antara mereka ada yang shaleh dan ada yang durhaka, masing-masing diberikan haknya yang layak, sebagaimana yang terdapat pada Qs. 7:168-170. Bahkan Al-Qur’an, seakan tidak cukup berlaku adil terhadap Ahli Kitab terdahulu, baik Yahudi maupun Nasrani, kembali mengulangi penegasannya yang berlaku umum bahwa, “Di antara orang-orang yang Kami ciptakan ada umat yang memberi petunjuk dengan hak, dan dengan yang hak itu (pula) mereka menjalankan keadilan” (Qs. 7:181). Maka tidaklah berlebihan jika sementara ulama menyatakan bahwa ayat-ayat tersebut adalah kabar gembira dari Allah. Keadaan mereka sebelum kedatangan Nabi Muhammad ﷺ sebagai Rasul (mendapatkan keselamatan), sebagian orang yang bertepatan hidup pada masa Nabi Muhammad ﷺ dan kemudian mengimaninya, maka ia akan memperoleh dua kali lipat ganjaran/pahala dari Allah. Pernyataan ulama tadi setidaknya lebih dipertegas lagi dalam Firman Allah, sebagaimana yang terdapat dalam Surat Al-Anbiya ayat 94.  
    Kedua ayat di atas tidak tepat untuk dijadikan dalil bahwa penganut agama-agama yang disebut oleh ayat ini, selama beriman kepada Allah dan hari kemudian, maka mereka semua akan memperoleh keselamatan, tidak akan diliputi oleh rasa takut di akherat kelak, dan tidak pula akan bersedih. Pendapat semcam ini akhirnya mengarah kepada pembenaran atas kebenaran institusi agama Yahudi dan Nasrani. Padahal, agama-agama itu pada hakikatnya berbeda-beda dalam akidah dan ibadah yang diajarkannya. Bagaimana Yahudi dan Nasrani dipersamakan, padahal keduanya saling mempersalahkan? Bagaimana mungkin mereka dinyatakan tidak akan diliputi oleh rasa takut atau sedih, sedangkan keduanya (dan atas nama Tuhan yang disembah) mengatakan bahwa mereka adalah penghuni surga dan selain mereka penghuni neraka?
    Bahwa surga dan neraka adalah hak preogratif Allah, memang benar harus diakui, tetapi hak tersebut tidak membuat semua penganut agama sama di hadapan-Nya. Hidup rukun dan damai antar pemeluk agama adalah sesuatu yang mutlak dan merupakan tuntunan agama. Akan tetapi, cara untuk mencapai hal itu bukan dengan cara mengorbankan ajaran teks-teks agama. Caranya ialah hidup dengan damai dan menyerahkan kepada-Nya semata untuk memutuskan di hari kemudian, agama siapa yang direstui-Nya dan agama siapa pula yang keliru. Kemudian menyerahkan pula kepada-Nya penentuan akhir, siapa yang dianugerahi kedamaian dan surga, siapa pula yang akan takut dan bersedih. Agaknya cara dan sikap yang diajarkan oleh Al-Qur’an inilah, yang antara lain dapat dijumpai dalam Qs. 34:24-26. Ayat ini menjadi penyimbang sikap ekstrim dan eksklusif umat Yahudi dan Nasrani bahwa mereka adalah putra dan kekasih Allah (Qs. 5:18) yang berhak menghuni surga sementara selain mereka adalah penghuni neraka (Qs. 2:113). Sikap itu sangat bijak dan tepat untuk menghadapi kerasnya klaim kebenaran antar pemeluk tiga agama, bahkan dengan penganut kepercayaan syirik sekalipun, yang membuktikan keluwesan dan membentuk sikap terbuka kaum beriman terhadap agama lain. Hal ini tidak mengherankan mengingat sifat kaum beriman sebagai umat wasatan dan menjadi saksi bagi seluruh umat manusia. Sikap tersebut sangat jelas tersurat dalam Qs. 22:17, yang justru sering dipahami secara keliru. Inilah yang kemudian mengharuskan kita untuk lebih mengkaji kandungan Qs. 22:17.
    Ayat 17 Surat al-Hajj memang secara redaksional mirip dengan kedua ayat Al-Baqarah dan Al-Maidah di atas, dengan tambahan urutan orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik, al-majusa walladzina asyraku. Namun, memiliki substansi kandungan yang berbeda. Adanya anggapan bahwa ayat ini mendukung ide semua agama sama, justru lebih keliru lagi. Sebab bagaimana mungkin akidah tauhid yang Allah sempurnakan dengan Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ dapat disejajarkan dengan kepercayaan syirik dan penyembahan api yang dilakukan kaum Majusi? Mustahil bagi Allah yang menurunkan Al-Qur’an akan menyatukan dua kontradiksi yang sangat tajam, antara akidah tauhid dengan kepercayaan syirik. Redaksi Al-Qur’an yang menyatakan bahwa hanya Allah saja yang akan memutuskan kebenaran di antara kelompok-kelompok tadi, kemungkinan yang menggoda para penggagas untuk menyatakan asumsi tersebut. Ayat ini, menurut Ibnu Asyur, ada setelah beberapa ayat yang menarasikan keragu-raguan dan perdebatan orang yang enggan menerima Islam, sehingga membuat orang bertanya-tanya, manakah yang benar di antara masing-masing kelompok klaim kebenaran. Ketika mereka saling berbantahan dan bukti-bukti kebenaran tidak mampu berguna buat mereka di dunia, ayat ini menyatakan bahwa keputusan itu diserahkan kepada Allah di hari kemudian. Metode yang digunakan dalam ayat ini adalah tafwidl, artinya sesudah orang-orang itu mendengar ayat-ayat dan tetap saja pada pendirian mereka, maka keputusan untuk mereka itu ada pada Allah. Penyerahan itu yang disebutkan oleh Al-Qur’an tidak lantas dibawa kepada paham relativisme bahwa tidak ada siapapun yang tahu kebenaran kecuali Allah. Makna penyerahan itu justru merupakan sikap toleransi bahwa jika mereka bersikeras tidak mau menerima Islam, maka umat Islam tidak perlu menghakimi mereka atau membinasakan mereka, Allah-lah yang akan menghakimi. Bukankah sikap seperti ini lahir dari keyakinan tital bahwa dirinya berada di pihak yang benar?

Konsep Al-Qur’an Tentang Agama-Agama Pasca-Islam
    Surat Al-Maidah ayat 48 dengan sangat gamblang dan rinci baik dari pemahaman lahir maupun isyarat-isyarat yang dikandungnya telah memberikan konsepsi yang final tentang posisi agama-agama setelah kedatangan Islam yang secara spesifik berarti syariat yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad ﷺ. Setelah berbicara tentang kitab Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa dan kitab Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa dalam rangkaian ayat sebelumnya (ayat 44-47), kini ayat ini berbicara tentang Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ. Dan telah Kami turunkan kepadamu wahai Muhammad Al-Kitab yakni Al-Qur’an dengan hak, yakni hak dalam kandungannya, cara turunnya maupun yang menurunkan, yang mengantarnya turun dan yang diturunkan kepadanya. Kitab itu berfungsi membenarkan apa, yakni kandungan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya, dan juga “memelihara” dan “mengawasi” kebenaran terhadapnya, yakni kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan baik melalui yang terhimpun dalam Al-Qur’an dan juga wahyu yang engkau terima, seperti hadits qudsi, maupun yang diturunkan-Nya kepada nabi-nabi yang lain selama belum ada pembatalannya, dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka yakni orang-orang Yahudi dan semua pihak yang bermaksud mengalihkan engkau menuju ketetapan yang bertentangan dengan hukum Allah yaitu dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.  
    Bagi masing-masing umat, yakni kelompok-kelompok yang memiliki persamaan dalam waktu atau ras atau persamaan lainnya di antara kamu wahai umat manusia, Kami berikan aturan yang merupakan sumber kebahagiaan abadi dan jalan yang terang menuju sumber itu. Wahai Muhammad, kami telah menjadikan syariat yang kami anugerahkan kepadamu membatalkan semua syariat yang lalu. Sekiranya Allah menghendaki niscaya kamu, hai umat Nabi Musa, Nabi Isa, Nabi Muhammad ﷺ, dan umat-umat lain sebelum itu dijadikannya satu umat saja, yaitu dengan menyatukan secara naluriah pendapat kamu serta tidak menganugerahkan kamu kemampuan memilih, tetapi Allah tidak menghendaki itu karena Ia hendak menguji kamu, yakni memperlakukan kamu perlakuan perlakuan orang yang hendak menguji terhadap pemberian-Nya kepadamu baik yang menyangkut syariatnya maupun potensi-potensi lain, sejalan dengan perbedaan potensi dan anugerah-Nya kepada masing-masing. Maka karena itu, kami menetapkan buat kamu semua sejak kini hingga akhir zaman satu syariat, yakni syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ. Melalui syariat itu hendaklah kamu semua berlomba-berlombalah dengan sunguh-sunguh berbuat aneka kebajikan, dan jangan menghabiskan waktu atau energi untuk memperdebatkan perbedaan dan perselisihan yang terjadi antara kamu dengan selain kamu, karena pada akhirnya hanya kepada Allah-lah tidak kepada siapapun selain-Nya kamu kembali wahai manusia, lalu diberitahukan-Nya kepada kamu pemberitahuan yang jelas lagi pasti apa yang telah kamu terus-menerus berselisih dalam menghadapinya, apapun perselisihan itu, termasuk perselisihan menyangkut kebenaran keyakinan dan praktek-praktek agama masing-masing.
    Beberapa isyarat yang terkandung dalam ayat ini, akan semakin memperjelas posisi agama Yahudi dan Nasrani setelah diwahyukannya Islam kepada Nabi Muhammad ﷺ.
1. Memahami penggalan ayat, “wa muhayminan ‘alaihi”. Kata ini diambil dari kata haimana yang mengandung arti kekuasaan, pengawasan serta wewenang atas sesuatu. Dari sini kata tersebut dipahami dalam arti “menyaksikan” sesuatu, “memelihara” dan “mengawasinya”. Al-Qur’an adalah muhaimin atas kitab-kitab terdahulu karena ia menjadi saksi kebenaran kandungan kitab-kitab yang lalu. Ini jika apa yang terdapat dalam kitab-kitab itu tidak bertentangan dengan apa yang tercantum dalam Al-Qur’an. Demikian juga sebaliknya, Al-Qur’an menjadi saksi bagi kesalahannya, dengan kedudukannya sebagai pemelihara, Al-Qur’an memelihara dan mengukuhkan prinsip ajaran ilahi yang bersifat kulli, dan mengandung kemaslahatan abadi bagi manusia kapan dan di manapun, selanjutnya dalam kedudukan itu pulalh Al-Qur’an membatalkan apa yang perlu dibatalkan dari hukum-hukum yang terdapat pada kitab-kitab terdahulu yang bersifat juz’i yang kemaslahatannya bersifat temporer bagi masyarakat tertentu dan tidak sesuai lagi untuk diterapkan pada masyarakat berikutnya.
2. Memahami kata syir’atan, demikian juga syari’at yang pada mulanya berarti air yang banyak, atau jalan menuju sumber air. Agama dinamai syariah karena ia adalah sumber kehidupan rohani sebagaimana air sumber kehidupan jasmani. Di sisi lain, tuntunan agama berfungsi membersihkan kotoran rohani serupa dengan air yang berfungsi membersihkan kotoran jasmani. Penganut pluralisme agama biasanya berdalih bahwa Allah menciptakan syariah dan minhaj bagi setiap umat. Oleh karena itu, masing-masing syariat dan minhaj itu benar karena dari Allah jua.
    Perlu ditekankan bahwa Al-Qur’an menggunakan kata syariat bukan berarti agama, syariat mempunyai arti yang lebih sempit daripada kata Din yang diterjemahkan dengan agama. Syariat adalah jalan yang terbentang untuk satu umat tertentu, dan Nabi tertentu, seperti syariat Nabi Nuh, Syariat Nabi Ibrahim, Syariat Nabi Musa, Nabi Isa da Nabi Muhammad ﷺ. Sedangkan Din adalah tuntunan ilahi yang bersifat umum dan mencakup semua umat. Dengan demikian, din dapat mencakup sekian banyak syariat, sebagaimana yang termaktub dalam Qs. 3:19 dan 85. Islam yang dimaksud dalam ayat tersebut mencakup semua syariat yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul. Karena itu, din tidak mungkin dibatalkan, tetapi syariat yang datang sesudah syariat terdahulu dapat membatalkan syariat yang datang sebelumnya. Sementara itu, kata minhaj berarti jalan yang luas. Melalui kata ini, ayat di atas mengandaikan adanya jalan luas menuju syariat, yakni sumber air itu. Siapa yang berjalan di atas minhaj itu, maka dia akan mudah mencapai syariat, dan yang mencapai syariat, maka ia akan sampai pada agama Islam. Ada orang yang tidak mau mengikuti minhaj itu atau mengambil jalan lain. Jika ini yang terjadi, maka ia pasti tersesat, dan bahkan bisa jadi dia tidak akan mencapai pada syariat. Tiap umat diberi minhaj dan syariat sesuai dengan keadaan dan perkembangan masyarakat mereka. Setiap terjadi perubahan, Allah mengubah minhaj dan syariat itu. Mereka bertahan akan tersesat karena jalur jalan telah diubah. Akan terbentang di hadapannya jalan-jalan kecil dan lorong-lorong. Dan Allah mengingatkan bahwa ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu akan mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya (Qs.6:153).
    Dengan adanya uraian di atas jelas kiranya, bahwa yang dimaksud dengan bagi masing-masing umat, kami berikan aturan dan jalan yang terang, yakni bagi masing-masing umat terdahulu dan masa kini- Kami telah menetapkan syariat dan minhaj yang khusus buat mereka dan masa mereka. Umat Nabi Nuh ada syariat dan mihajnya, demikian pula pada masa rasul dan nabi-nabi yang datang sesudahnya. Hanya saja Nabi Muhammad ﷺ diutus untuk seluruh manusia dan sepanjang masa, dan karena itu ajaran yang beliau sampaikan pada dasarnya tidak rinci, khususnya dalam hal-hal yang tidak terjangkau oleh nalar manusia, seperti persoalan yang bersifat metafisis.

Penutup
    Sekelumit uraian di atas bertujuan untuk meluruskan kembali pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an yang dijadikan alat legitimasi berkembangnya paham pluralisme agama. Namun, sebelum mengakhiri uraian ini ada baiknya untuk mengutip penjelasan yang telah diberikan oleh Nabi Muhammad ﷺ. Beliau bersabda, “Perumpamaanku dan nabi-nabi sebelumku seperti seseorang yang membangun suatu rumah lalu dia membaguskannya dan memperindahnya kecuali ada satu labinah (tempat lubang batu bata yang tertinggal belum diselesaikan) yang berada di dinding samping rumah tersebut, lalu manusia mengelilinginya dan mereka terkagum-kagum sambil berkata: ‘Duh seandainya ada orang yang meletak labinah (batu bata) di tempatnya ini’. Beliau bersabda: ‘Maka akulah labinah itu dan aku adalah penutup para nabi’” (Hr. Bukhari, dengan hadits no. 3271-versi lidwa).
    Menarik sekali komentar Imam Ibn al-‘Arabi, seperti yang dikutip oleh Ibn Hajar al-‘Asqallani, bahwasannya letak batu bata itu adalah di fondasi/dasar rumah itu. Jika konstruksi bangunan itu tidaki disempurnakan oleh batu tersebut, niscaya bangunan rumah itu akan rubuh. Ibn Hajar kemudian mengakhiri komentar atas hadits tersebut dengan menyatakan, “Hadits ini membuat perumpamaan yang jelas dan mudah dipahami. Ia juga menunjukkan keutamaan Nabi Muhammad ﷺ di antara nabi-nabi lain dan bahwasannya Allah telah menutup silsilah para rasul serta menyempurnakan syariat-syariat agama dengan tampilnya Nabi Muhammad ﷺ.” Oleh karena itu, sungguh Maha Benar Firman Allah yang menyatakan: “Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Ku sempurnakan untuk agamamu, dan telah Ku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (Qs. 5:3).

Artikel ini dikutip dari karyanya Fahmi Salim dengan judul Tafsir Ayat-Ayat Ahl Al-Kitab (Adnin Armas (peny.), Pluralisme Agama: Telaah Kritis Cendekiawan Muslim, (Jakarta: Insists, 2013), hlm. 169-191).

Comments