Asal-Usul Lahirnya Dogma Dosa Asal

Oleh: Sang Misionaris.

Pendahuluan
    Sejak awal, dosa asal atau dosa warisan tidaklah dikenal oleh orang Kristen mula-mula, meski konsepsi tentang dosa asal baru dikenal pada abad ke-2 M, tepatnya karena gagasan Tertullian, dan pada masa itu, hubungan dosa Adam dengan keturunannya belumlah mengalami sebuah pembahasan yang hangat, apalagi sampai terjadinya pertikaian yang tajam. Ketika dosa asal belumlah mengalami kemapanan dalam dogmatikanya, namun dalam perkembangan selanjutnya, pembahasan ini mulai tumbuh dan berkembang pada zaman Bapa Gereja karena adanya keevolusian dalam mengkonsepsikannya, dan mulai terbentuk sejak adanya penetapan dalam sebuah konsili yang diadakan pada abad ke-5 M, yang terjadi karena adanya sebuah konflik yang berkepanjangan.  
Pandangan Bapa-Bapa Gereja Tentang Dosa
    John Faldder, seorang Romo, ketika menyinggung suatu pembahasan terkait tentang alasan mengapa Iblis bisa sampai melakukan dosa, ia memberikan jawabannya secara apologis dengan menyatakan, “Kita kembalikan kepada kasih Allah dan realitas kebebasan.” Namun nampaknya, penjelasan yang ia berikan panjang lebar dalam karyanya tersebut masih menitikberatkan kebebasan kehendaknya malaikat, dan bahkan untuk memperkuat argumentasinya, ia pun mengutip pula keputusan Konsili Lateran IV.1 Penjelasan apologis dari seorang Romo tersebut merupakan sebuah jawaban yang ambigu, di satu sisi, jawabannya mengimplikasikan bahwa perubahan yang terjadi pada Iblis disebabkan karena adanya perbuatan Allah, yang perbuatan-Nya tersebut dinilai sebagai bentuk kasih-Nya Allah kepada Iblis, bahkan dianggap pula bahwa keputusan Allah tersebut sebagai keputusan yang baik.2 Jika demikian, maka sifat Allah sebagai Yang Maha Penyayang patut untuk kita pertanyakan, karena bagaimana mungkin Allah yang Maha Penyayang bisa meridhai makhluk-Nya untuk tetap melakukan suatu yang buruk, dan bahkan menjadi penentang atas perintah-perintah-Nya. Sedangkan jawaban dari frasa keduanya, realitas kebebasan, di sisi lain telah menegasikan adanya campur tangan Allah, dan bahkan terkesan bahwa perubahan yang terjadi itu karena disebabkan adanya keinginan Iblis sendiri yang sejak semula telah memiliki kehendak bebas. Jika memang Iblis seperti itu, lalu tolok ukur apa yang digunakannya bahwa Iblis memiliki sebuah pertimbangan bahwa sesuatu yang ada didepannya itu adalah baik dan juga buruk?
    Adanya kesulitan John Fladder dalam memberikan jawaban, tidaklah mencengangkan, karena menurut Soedarmo, pembahasan dogmatika yang tersukar ialah pembahasan mengenai dosa, dan secara eksplisit, ia pun mengakui, meski merujuk kepada Alkitab sekalipun tetap saja dosa asal tidak cukup mendapatkan penjelasan yang memadai.3 Jika penjelasan yang ada dinilai kurang memadai, sebagaimana pandangan Soedarmo, terlebih adanya penetapan Iblis sebagai makhluk yang jahat telah ditetapkan pada abad ke- 13 dalam Konsili Lateran IV, namun pada akhirnya umat Kristiani saat ini bisa dengan mudahnya memberikan jawaban, maka bisa dipastikan bahwa penjelasan mereka tersebut hanya mencocok-cocokan jawabannya dengan ayat-ayat yang terdapat di dalam Alkitab. Dan disisi lain, jika kita menggunakan pendekatan historis terkait dosa asal, justru kita akan menemukan bahwasannya dogma dosa asal mengalami sebuah keevolusian sebagaimana halnya permasalahan Trinitas. Bahkan, dogma dosa asal semakin terlihat bias saat istilah dosa asal pun tidak ada di dalam Alkitab maupun dalam literatur dari generasi sesudahnya, sedangkan versi awal tentang adanya gagasan ini, baru muncul dari adanya pandangan Tertullianus di dalam risalahnya, yaitu On the Soul.4  
    Bagi Yustinus Martir, dosa dipahami sebagai ketidakpercayaan dan ketidakpengetahuan manusia tentang hal yang baik. Namun, dalam ajaran Tertullianus bisa kita temukan secara jelas mengenai ajaran dosa warisan, apabila dibandingkan dengan para teolog lain pada zamannya. Menurutnya, kejahatan terdapat dalam jiwa manusia yang hampir menjadi suatu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan hakikat manusia itu sendiri, karena alasan itulah ia berpendapat bahwa anak kecil pun harus dianggap sebagai orang yang tidak bersih dari dosa. Meskipun Tertullianus berpendapat demikian, namun ia sama dengan Yustinus yang menekankan adanya kehendak bebas pada diri manusia. Bahkan pandangan Tertullianus melangkah lebih jauh kedepan daripada para teolog lainnya, ia meyakini bahwasannya setiap jiwa manusia pada hakikatnya adalah Kristen.5  
    Dan jika kita merujuk pada pandangan Tertullianus di atas, maka bisa dikatakan bahwasannya seorang janin yang ada di dalam kandungan seorang ibu, ia adalah seorang Kristen yang sekaligus telah mendapatkan dosa warisan. Namun konsepsi tersebut justru menghasilkan suatu keambiguan, karena bagaimana mungkin dosa dan Kristen bisa disejajarkan dalam waktu yang bersamaan, ketika pandangan Kristiani meyakini bahwasannya seseorang yang sudah menjadi Kristen maka ia akan mendapatkan keselamatan. Jika dengan menjadi seorang Kristen telah mendapatkan keselamatan, merujuk menjadi pengikut Yesus, sedangkan dosa adalah kebalikannya, tentunya hal tersebut merupakan sebuah kerancuan dalam doktrin Kekristenan, kecuali jika keduanya memang dianggap tidak ada signifikansinya dalam Kekristenan, yang pada akhirnya berujung pada terjadinya pembiasan atas keselamatan yang terdapat di dalam Kristen. Membiasnya keselamatan dalam Kristen, sebenarnya telah nampak pada zaman Bapa Gereja, yakni adanya sebuah pandangan bahwasannya seorang bayi atau anak kecil harus dibaptis terlebih dahulu demi mendapatkan keselamatan dan bahkan jika bayi atau anak kecil tersebut meninggal dalam keadaan belum dibaptis, maka ia diyakini tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Allah.
    Jika Tertullianus meyakini dosa sudah ada di dalam jiwa manusia, namun lain halnya dengan Origen yang meyakini bahwa jiwa-jiwa manusia sudah berdosa pada masa pra-eksistensinya yang ketika jiwa itu masuk ke dalam dunia, menurutnya, jiwa itu sudah berdosa, dan sepanjang abad 18 dan 19 M, pandangan Origen telah diterima oleh Mueller dan Rueckert, dan juga oleh para filosof lainnya seperti halnya Lessing, Schelling, dan juga J.H. Fichte. Secara umum, Bapa Gereja dari Yunani pada masa abad ke-3 dan 4 M cenderung untuk mengurangi hubungan antara dosa Adam dan dosa keturunannya, sedangkan Bapa Gereja Latin mengajarkan dengan jelas bahwa keadaan dosa yang sekarang itu berasal dari dosa Adam. Ajaran dosa asal pada Bapa Gereja Timur mengalami puncaknya dalam ajaran Pelagianisme yang telah menyangkal adanya hubungan vital antara dosa Adam dan dosa manusia (keturunannya), sedangkan dari ajaran Gereja Barat mencapai puncaknya pada masa Augustinus yang menekankan kenyataan bahwa manusia itu berdosa dan mengalami kenajisan karena tindakan Adam.6  
    Sejak awal, Gereja telah banyak bergumul dengan Gnostisisme, menurut Gnostisisme bahwa alam ini telah dikuasai oleh dua asas, yakni kebaikan yang bersifat rohani dan kejahatan yang bersifat jasmani, yang lahirnya dua asas tersebut bermula dari adanya konsepsi tentang Allah Pencipta dan Allah Penebus. Gnostisisme, telah dianggap sebagai bidah oleh Kristen dan untuk menghadapi mereka, para apostolik dan juga apologet menekankan bahwa Allah Pencipta dan Allah Penebus bukan berarti dua, melainkan satu Allah yang sama. Memang, pada masa awal Kekristenan sudah ada pembahasan tentang dosa, rahmat, dan juga keselamatan, akan tetapi sebelum masa Augustinus, konsepsi tersebut masih belum mengalami ketajaman dan juga ketegasan. Sebelum masuk pada masa Augustius, dalam teologi Patristika, khususnya para Bapa Yunani, cakupan pemahaman atas rahmat masih bersifat global, dan hampir sinonim dengan keselamatan, dalam arti, siapapun yang bersatu dengan Kristus maka segala sesuatu itu adalah rahmat. Dan pandangan Agustinus tentang rahmat hanya bisa dipahami jika kita mengetahui pandangannya tentang dosa, yang dosa sendiri ia anggap sebagai suatu kuasa yang mengurung, membelenggu, dan memperbudak manusia, sedangkan yang dapat menyelamatkan manusia dari kuasa dosa itu hanyalah Allah, dan dari adanya tindakan Allah itulah Augustinus menyebutnya sebagai rahmat.7 Sedangkan tentang Iblis, ia meyakini bahwa Iblis adalah malaikat yang jatuh, kekuatan jahat yang digambarkan oleh Perjanjian Baru sebagai pemerintah dunia, yang pengaruhnya tidak hanya dalam pemujaan publik, melainkan juga dalam astrologi, ramalan dan takhayul-takhayul lainnya.8
    Pandangan awal lainnya tentang kejatuhan yang menggambarkan Adam dan Hawa sebagai sosok yang jauh dari sempurna adalah Irenaeus, ia menggambarkan Adam dan Hawa seperti anak-anak dan belum dewasa, sehingga dengan mudahnya mereka bisa dicobai. Irenaeus berpendapat bahwa tujuan umum dari penciptaan dan peran sang penebus adalah membawa semua makhluk ciptaan yang tidak sempurna ini pada kepenuhannya. Sedangkan bagi Athanasius, yang menulisnya dalam The Incarnation of the Word of God, menilai bahwa kisah kejatuhan dalam kitab Kejadian merupakan peristiwa yang historis, bukan sebagai suatu peristiwa yang pra-historis. Adam dan Hawa diciptakan berdasarkan citra Allah, jika menaati perintah-Nya, mereka akan mendapatkan kehidupan tanpa kesusahan, kesakitan, atau kecemasan, bahkan mereka akan hidup kekal di surga. Namun karena dosa mereka, maka keturunannya tidak lagi hidup di dalam Firdaus, tetapi mengalami kesengsaraan hidup di luar Firdaus, yang selanjutnya akan mengalami kematian dan juga kehancuran.9

Pertikaian Antara Augustinus Dengan Pelagius
    Pada masa awal tumbuh kembangnya Gereja, Gereja untuk pertama kali menghadapi pemikiran-pemikiran bidat dari pihak Gnostisisme, hal tersebut ditandai dengan adanya para tokoh Gereja yang menjadi seorang apologet, semisal Tertullian, Irenaeus, dan lain-lain. Meski pada masa itu telah ada apologetnya Kristen, akan tetapi belum ada suatu pertentangan yang nampak dan tajam dalam membahas tentang dosa, sebagaimana yang terjadi antara Augustinus dan Pelagius.
    Augustinus adalah seorang teolog terkenal dari kota Hippo, Afrika Utara. Ia memiliki seorang ayah yang kafir, sedangkan ibunya, Monica, adalah seorang Kristen yang taat. Di Kartago, Afrika Utara, ia pernah melakukan perbuatan asusila dan melahirkan anak di luar nikah yang bernama Adeodotus, yang pada akhirnya ia pun meninggalkan kekasihnya. Dan ia untuk pertama kali mengenal ajaran Kristen dari seorang Uskup yang bernama Ambrosius. Adapun Pelagius, ia adalah seorang biarawan dari Inggris yang telah menjadi seorang peneliti atas teologi Yunani, yang sekaligus ia pun sebagai penafsir atas Surat-Surat Kiriman Paulus.10      
    Pada masa Augustinus, Gereja sedang menghadapi tiga pertentangan yang dinilai bisa mengguncangkan iman Kristiani, yaitu Manichaeanisme, Pelagianisme, dan Donatisme, dan Augustinus tampil sebagai pembela Gereja yang menentang ajaran-ajaran tersebut. Augustinus tidak hanya bertikai dengan mereka, namun ia pun bertikai pula dengan Jerome terkait penentangannya atas penerjemahan Alkitab edisi baru yang dilakukan oleh Jerome. Meski pengetahuannya tentang bahasa kalah oleh Jerome, namun ia tetap saja menantang Jerome dan menolak atas apa yang dilakukan oleh Jerome.11 Sedangkan segala pertentangan yang terjadi pada masa Augustinus, hanyalah pertentangan yang terjadi antara dia dengan Pelagianisme yang paling sengit, yang ajaran Pelagianisme tersebut dipelopori oleh seorang biarawan Inggris yang bernama Pelagius.   
    Menurut Augustinus, manusia diciptakan oleh Tuhan dengan sempurna. Adam diberikannya kehendak bebas, sehingga ia dapat memilih sendiri jalan yang ia inginkan, patuh kepada Tuhan ataukah mengikuti keinginannya sendiri. Dan jatuhnya Adam ke dalam dosa, menurutnya, karena kesalahan dirinya sendiri yang telah mengikuti keinginan daging, yang mengakibatkan ia dikuasai oleh dosa dan terputusnya dari persekutuan Allah.12 Selain mempercayai bahwa kecenderungan berdosa diwarisi Adam, Augustinus pun meyakini bahwa generasi sesudahnya ikut ambil bagian dalam kesalahan Adam. Lebih lanjut, Augustinus menjelaskan tentang keturunan Adam mendapatkan dosa waris dengan tesis bahwa karena semua orang adalah keturunan Adam, maka semuanya mengambil bagian dalam keputusan untuk melakukan dosa, dan tidak satu pun tesis Augustinus mengenai dosa asali menjadi lebih kontroversial daripada yang satu ini.13 Sedangkan tentang hakikat manusia, ia mengatakan bahwa hakikatnya manusia sebenarnya telah dirusak oleh dosa, namun bagi pihak Pelagian, ucapan Augustinus tersebut merupakan suatu paham Manichaeanisme yang terselubung.14  
    Theologia Augustinus, semata-mata berpusat pada rahmat Tuhan yang bebas, yang mau mencari dan menyelamatkan manusia, walaupun manusia itu sendiri sebenarnya tidak terdapat apa-apa yang layak untuk mendapatkan kasih sayangnya Tuhan. Ajaran Augustinus, sangatlah bertentangan dengan pemikiran dan kelakuan Kristen pada zaman itu, karena pada masa itu, yang diutamakannya ialah amal yang membawa kepada hal-hal mistik dan juga asketik, dan dari adanya dasar itulah, maka Gereja pada akhirnya mengajak para anggotanya untuk membuat banyak pekerjaan yang baik supaya mereka mendapatkan ganjaran (imbalan) dari Tuhan.15  
    Adapun Pelagius, ia adalah seorang biarawan Inggris menyangkal bahwa manusia telah jatuh karena dosa Adam, ia mengajarkan bahwa manusia itu tidak rusak ketika mereka bertumbuh mengikuti teladan yang buruk dari orang lain. Selain menyangkal dosa asali dan juga kerusakan manusia secara total, ia pun menyangkal pula tentang predestinasi.16 Ketika di Roma, Pelagius menjalin persahabatannya dengan seorang pembela yang berpengaruh, yang bernama Coelestius. Namun karena adanya konflik dogmatis, akhirnya ia pun harus meninggalkan kota Roma, sebagai akibat atas adanya penaklukan yang dilakukan oleh Alaric atas kota itu pada tahun 410 M. Menurut Bernhard Lohse, jika karya dan ajaran Pelagius dipahami secara benar maka haruslah diingat bahwa ia tidak bermaksud agar tulisannya tersebut dipandang sebagai bidat. Lohse menambahkan, bahwa Pelagius lebih sulit untuk didakwa sebagai seorang bidat menyangkut ajaran-ajarannya, apabila dibandingkan dengan bidat-bidat yang mempunyai sangkut-pautnya dengan konflik-konflik dogmatis yang telah mendahuluinya, seperti halnya Arius dan Apollinaris. Menurutnya, Pelagius telah menerima tanpa reserve keputusan-keputusan dogmatis dari konsili-konsili besar, dan ia pun secara jujur berkendak untuk menjadi ortodoks. Dari adanya pendapat Lohse tersebut, baik secara implisit maupun eksplisit, tentu saja ia telah menolak pemberian label bidat kepada Pelagius, bahkan ia sendiri malah memberikan pembelaan terhadap Pelagius.17    
    Menurut Louis Berkhof, Pelagius memulai dari kemampuan alamiahnya manusia. Pernyataan dasarnya adalah: Allah telah memerintahkan manusia untuk melakukan apa yang baik, karena itu manusia memiliki kemampuan untuk melaksanakannya. Hal ini berarti bahwa manusia memiliki kehendak bebas dalam arti kata yang mutlak, sehingga ia pun mungkin untuk memutuskan melakukan sesuatu yang sesuai atau bertentangan dengan apa yang baik, dan juga melakukan apa yang baik, atau pun yang jahat. Dalam menjelaskan tentang pandangan Pelagius itu seperti apa, Louis menambahkan bahwasannya sejauh dosa hanya terkait pada tindakan yang terpisah dari kehendak manusia, gagasan tentang perkembangan dosa melalui kelahiran adalah absurd. Jika memang natur manusia yang berdosa memang ada, mungkin saja diturunkan dari bapa kepada anaknya, tetapi tindakan dosa tidak bisa berkembang dengan cara yang seperti itu. Menurut Louis, Pelagius tidak mengakui adanya dosa asal, dimulai sejak Adam, anak-anak telah dilahirkan dalam keadaan netral, kecuali bahwa mereka dihalangi oleh contoh buruk yang mereka lihat di sekitar mereka.18    
    Tidak hanya Pelagius yang menolak dosa asal, Theodore dari Mopsuestia pun, misalnya, menolak dengan tegas ajaran mengenai dosa warisan. Bahkan, ia pun menulis suatu traktat yang memuat penolakannya terhadap ajaran ini. Ia menolak pendapat yang menyatakan bahwa kematian adalah nasib manusia yang tidak terelakkan sesudah Allah meyatakannya sebagai hukuman karena dosa Adam, karena menurutnya, manusia memang secara hakiki bersifat fana.19 Bahkan pada masa setelah Reformasi sekalipun, kita bisa menemukan pandangan yang sama dengan mereka, yakni kaum Socinian dan Arminian, yang menolak ajaran tentang penyebaran dosa Adam kepada keturunannya.20  
   
Dari Konsili Karthago Hingga Konsili Trente
    Menjelang Konsili Khalsedon, terjadi konfrontasi antara Augustinus dengan Pelagius, dan pada Konsili Khalsedon, Augustinus menjadi pemeran utama dalam menetapkan banyak ajaran Gereja yang diakui hingga sampai saat ini.21 Dalam konfrontasinya dengan Augustinus, Pelagius menganggap bahwa gagasan Augustinus tersebut sebagai sebuah ketidakadilan jika keturunan Adam mendapatkan dosa atas apa yang telah dilakukan oleh Adam, dan dosa yang dilakukan oleh Adam hal tersebut diyakininya sebagai sebuah teladan kepada keturunannya dalam melakukan dosa. Keturunan Adam melakukan dosa dikarenakan meniru atas apa yang telah diperbuat oleh Adam. Artinya, bahwa keturunan Adam dilahirkan dalam keadaan baik yang dapat hidup dengan baik pula dan juga sehat, tetapi para muridnya Pelagius, yang pada akhirnya dinisbatkan sebagai semi-Pelagianisme, menilai bahwa pandangan gurunya tersebut terlalu jauh, yang pada akhirnya mereka meyakini bahwa manusia dilahirkan sebagai orang yang sakit, namun dapat pula menjadi sehat karena usahanya sendiri.22   
    Pihak Gereja merasa keberatan dengan adanya gagasan Pelagius, yang pada akhirnya mereka mengadakan Konsili Karthago pada tahun 418 M, yang dihadiri oleh uskup Afrika Utara, termasuk Augustinus sebagai uskup Hippo, dan sebagian dari para uskup Spanyol. Konsili tersebut merumuskan ajaran Gereja universal di dunia Barat pada abad ke-5 M, yang pernyataannya telah mendapatkan dukungan dari uskup Roma, Paus Zosimus, serta dari para uskup Italia. Padahal sebelumnya, ajaran Pelagius serta teolognya, Coelestius, pernah ditolak oleh pemimpin Gereja di Afrika pada tahun 411 M, dan Paus Inocentius I mengesahkan keputusan itu, namun karena Paus Zosimus membela mereka, maka para uskup Afrika mendapatkan teguran dari Paus, yang pada akhirnya mereka pun merumuskan kembali keyakinannya pada tahun 418 M. Sesudah Konsili Kartago selesai, maka Paus Zosimus mengekskomunikasi Pelagius dan Coelestius, dan secara eksplisit ia menolak ajaran mereka.23
    Menurut Lohse, Konsili Karthago telah mengeluarkan keputusan-keputusan yang diambil, seperti: kedudukan Adam telah diciptakan secara fana, yang telah dikutuk pada tahun 411 M. Selanjutnya Lohse menambahkan, bahwa anak-anak kecil tidak terlibat dalam dosa warisan Adam dan karena itu baptisan mereka tidaklah dimaksudkan untuk pengampunan dosa-dosa. Terhadap padangan ini, konsili tersebut menyatakan bahwa melalui satu orang, dosa datang ke dalam dunia dan bahwa dari dialah dosa itu ditularkan kepada orang lain. Disamping itu, Konsili Karthago pun mendekritkan, bahwa “siapapun yang akan mengatakan bahwa anugerah Allah, yang dengannya manusia dibenarkan melalui Yesus Kristus, Tuhan kita, hanya bermanfaat bagi pengampuan dosa-dosa pada masa lampau saja, dan bukannya untuk menolong melawan perbuatan dosa di masa depan, maka biarlah ia dikutuk”. Untuk menghindari adanya kesulitan di masa depan dengan para uskup yang ada di Roma, maka konsili tersebut mempublikasikan suatu kanon yang memberikan ancaman berupa pengucilan bagi siapa pun yang melakukan naik banding dari Afrika ke Roma.24
    Pembahasan tentang dosa asal tidaklah diakhiri oleh Konsili Kartago, melainkan oleh Konsili Trente, konsili tersebut berlangsung dari tahun 1545-1563 M yang merumuskan ajaran Kristiani dalam pelbagai bidang, termasuk dosa asal. Konsili Trente, merupakan konsili yang sifatnya Konsili Ekumenis, dalam artian bahwa rumusannya tersebut telah mengikat seluruh Gereja sebagai suatu dogma. Mengenai dosa asal, Konsili Trente telah banyak menggunakan ajaran dari Augustinus serta Konsili Kartago dan juga Orange (konsili lokal), meskipun konsili itu tidak meresmikan seluruh ajarannya Augustinus, dan juga tidak mengambil alih semua rumusan dari kedua konsili lokal tersebut. Ajaran Konsili Trente tentang dosa asal telah dituangkan dalam “Dekret tentang Dosa Asal”, yang memuat enam kanon dengan suatu kata pengantar/pendahuluan. Pada Kanon 1, telah dirumuskan tentang arti dosa maupun akibat dosa Adam, seperti berikut:
a.    Arti Dosa Adam, yaitu manusia pertama itu kehilangan kesucian dan kebenaran yang di dalamnya ia diadakan. Dengan kalimat ini mau diungkapkan bahwa manusia pertama diciptakan dalam keadaan suci dan benar, tetapi dengan jatuhnya dalam dosa, Adam kehilangan kebenaran asali, yakni hubungan baik dengan Tuhan, dan ia mendapatkan murka dan geramnya Allah (bdk. Kejadian 3 dan Efesus 2:3).
b.    Akibat dosa Adam, yaitu ia kehilangan pula segala sesuatu yang dibawa serta oleh kebenaran asal tadi, khususnya kebebasan dari maut dan kebebasan dan konkupisensi. Walaupun dalam kanon pertama ini istilah konkupisesnsi tidak disebut, namun kenyataannya ditunjukkan dengan kata-kata ini: “(ia) ditahan di bawah kuasa setan dan berubah menjadi lebih buruk.”
Dalam kanon ke-2, dikatakan bahwa dosa asal telah merugikan seluruh keturunan Adam, adanya kehilangan atas kesucian dan kebenaran, tidak hanya bagi Adam saja melainkan juga bagi kita semua, adapun yang diteruskan oleh Adam kepada seluruh umat manusia itu ialah dosa itu sendiri dan akibat-akibat dosa, yakni maut dan konkupisensi.25

Kesimpulan
    Dalam literatur Kristen, mengenai pembahasan yang sedang kita bahas saat ini para teolog telah berbeda pendapat dalam menggunakan istilah yang ada, dari mereka ada yang menggunakan istilah dosa warisan, dosa asal, dan bahkan dosa asali, jadi ketika pihak non-Kristen menggunakan salah satu istilah yang digunakan oleh salah satu teolog Kristen, misalnya dosa warisan, tentu saja mereka tidak bisa disalahkan.
    Pada abad pertama, dosa asal tidak dikenal oleh Kristen mula-mula, dan selama berabad-abad lamanya, dosa asal mengalami perkembangan dan bahkan perbedaan konsepsi di kalangan Bapa Gereja, dan selama berabad-abad lamanya belum melahirkan suatu konflik yang berarti tentang dosa. Adanya pembahasan yang tajam terkait dosa asal, hal tersebut baru terjadi pada abad ke-5 M,26 yakni pada masa Augustinus, yang ketika itu ia berkonflik dengan Pelagius. Jika kala itu tidak terjadi konflik antara Augustinus dan Pelagius, tentu saja tidak akan pernah ada Konsili Karthago. Melalui Konsili Karthago yang diadakan sekitar tahun 411 M, kedudukan Adam telah dikutuk karena dianggap telah melakukan dosa yang mengakibatkan keturunannya mendapatkan dosa warisan, dan konsili tersebut semakin mendapat pengukuhannya ketika diadakannya Konsili Trente (1545-1563 M) yang telah mengukuhkan dosa asal sebagai dogma.

Catatan Kaki:
1. John Fladder, Ketika Iman Membutuhkan Jawaban, terj. Ernest Mariyanto, (Malang: Dioma, 2010), hlm. 23-25.
2. Majalah Keluarga Kristen Kalam Hidup. Edisi: November 2008 tahun ke-77, No. 745. Dalam Rubrik: Wawasan.
3. R. Soedarmo, Ikhtisar Dogmatika, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015), hlm. 147-148.
4. Linwood Urban, Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen, terj. Liem Sien Kie, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), hlm. 162.
5. Bernhard Lohse, Pengantar Sejarah Dogma Kristen: Dari Abad Pertama Sampai Dengan Masa Kini, terj. A.A. Yewangoe, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015), hlm. 132.
6. Louis Berkhof, Teologi Sistematika 2: Doktrin Manusia, terj. Yudha Thianto, (Surabaya: Momentum, 2013), hlm. 86-87.
7. Nico Syukur Dister, OFM, Teologi Sistematika 2, (Yogyakarta: Kanisius, 2016), hlm. 154-156.
8. Leo D. Lefebure, Pernyataan Allah, Agama, Dan Kekerasan, terj. Bambang Subandrijo, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), hlm. 147.
9. Linwood Urban. op.cit., hlm. 176-178.
10. Erwin W. Lutzer, Teologi Kontemporer: Berbeda Namun Satu Tubuh, (Malang: Gandum Mas, 2005), hlm. 136-137.
11. Jonathan E. Culver, Sejarah Gereja Umum, (Bandung: Biji Sesawi, 2016), hlm. 160-162.
12. H.Berkhof - I. H. Enklaar, Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), hlm. 67.
13. Linwood Urban, op.cit., hlm. 179-180.
14. Bernhard Lohse, op.cit., hlm. 143.
15. H. Berkhof - I. H. Enklaar, op.cit., hlm. 68.
16. B. K. Kuiper, The Church In History, terj. Desy Sianipar, (Malang: Gandum Mas, 2010), hlm. 44.
17. Bernhard Lohse, op.cit., hlm. 135-136.
18. Louis Berkhof, op.cit., hlm. 118-119.
19. Bernhard Lohse, op.cit., hlm. 133.
20. Louis Berkhof, op.cit., hlm. 129.
21. W. Stanley Heath, Pelurusan Teologi Akhir Zaman, (Bandung: Kalam Hidup, 2005), hlm. 16.
22. R. Soedarmo, op.cit., hlm. 154-155.
23. Nico Syukur Dister, OFM, op.cit., hlm. 163-164.
24. Bernhard Lohse, op.cit., hlm. 154.
25. Nico Syukur Dister, OFM, op.cit., hlm. 167-169.

26.  Bernhard Lohse, op.cit., hlm. 140.

Comments