Sejarah Masuknya Agama Kristen Ke Indonesia Dan Perseteruannya

Oleh: sang Misionaris   

Pendahuluan
    Suatu hal yang lumrah, jika sekiranya agama Kristen dianggap sebagai agama impor, karena tanpa adanya peran bangsa Eropa yang menjadi negara penjajah Indonesia, tentunya agama Kristen tidak pernah masuk ke Indonesia dan tidak akan pernah pula dikenal oleh rakyat Indonesia. Sejauh manakah hubungan antara Misionaris dengan bangsa penjajah? Dengan pola pendekatan seperti apa yang digunakan oleh Kristen dalam melakukan penginjilan ke penduduk lokal Indonesia? Adakah keharmonian antara Katolik dengan Protestan ketika wilayah Indonesia dijadikan sebagai ladangnya Kristenisasi? Semua jawaban dari pertanyaan tersebut, disinggung pada artikel kali ini.
Sejarah Masuknya Agama Katolik Ke Indonesia
    Tanggal 7 Juni 1494, Kerajaan Katolik antara Portugis dan Spanyol akhirnya membuat kesepakatan yang dipimpin oleh Paus Alexander VI, yang kesepakatan tersebut dikenal dengan nama Perjanjian Tordesilas Spanyol. Dalam perjanjian tersebut, Paus Alexander VI telah memberikan kewenangan kepada Kerajaan Katolik Portugis untuk menguasai dunia sebelah timur, sedangkan Kerajaan Katolik Spanyol mendapatkan kewenangan untuk menguasai dunia sebelah barat. Pada waktu terjadinya Perjanjian tersebut, Kerajaan Katolik Portugis baru berhasil berlayar sampai ke Tanjung Pengharapan Afrika Selatan, tahun 1488 M. Sedangkan Kerajaan Katolik Spanyol yang disebut sebagai Hispania, pelayarannya baru sampai ke Kepulauan Karibia, di tahun 1492 M. Karena tidak mengetahui letak wilayah India yang sebenarnya, maka penduduk asli Kepulauan Karibia dan benua Amerika disebut oleh mereka sebagai Indian. Selain telah membenarkan adanya imperialisme yang dilakukan oleh kedua negara tersebut, Paus Alexander VI pun mengajarkan pula bahwa bangsa-bangsa yang berada di luar negara Gereja Vatikan, yakni bukan sebagai penganut Katolik, maka negara tersebut dianggap sebagai bangsa yang biadab, dan dianggap pula sebagai negara terra nullius (wilayah kosong tanpa pemilik). Berangkat dari konsep itulah, maka praktik misi suci Katolik telah bertentangan dengan perikemanusiaan dan juga perikeadilan, yang pada akhirnya, sikap memperbudak, menindas, dan pemusnahan terhadap suatu bangsa yang non-Katolik, dinilai sebagai tindakan yang dibenarkan.1
    Untuk sampai ke India, pihak Kerajaan Katolik Portugis telah diantar oleh seorang Muslim yang tidak mengetahui adanya tujuan imperialis Portugis, ia adalah Ahmad bin Majid. Portugis diantar oleh seorang Muslim, karena pada masa itu, tidak ada seorang pun dari Barat yang pernah menyeberangi Samudra Persia, yang nama itu kelak diganti oleh Barat menjadi Samudra India. Dengan dikuasainya jalan perniagaan laut oleh Portugis, maka runtuhlah kekuasaan politik Hindu dan Budha di India Selatan, dan setelah Portugis sampai di India, mereka baru menyadari bahwa sumber-sumber rempah yang mereka cari bukanlah di India, melainkan dari Nusantara Indonesia.2
    Penjelajah pertama yang menginjakkan kakinya di India adalah Vasco de Gama, dan pada saat ia berlabuh di pantai barat akhir abad ke-15 M, kedatangannya telah disertai pula oleh sekelompok misionaris. Ketika Portugis telah mendirikan kantor-kantor dagang terbatas di beberapa kota pelabuhan di pantai barat, semisal di Malabar, Goa, dan Cochin, para misionaris akhirnya melakukan misi penginjilan kepada warga setempat, dan korban mereka kebanyakan berasal dari kasta-kasta terendah dalam agama Hindu, seperti para pedagang, nelayan, dan juga petani. Terkait tentang metode Kristenisasi yang dilakukan oleh Portugis, Vincent Cronin memberikan penilaiannya sebagai berikut: “Para penguasa (Portugis) berusaha memaksa warga setempat untuk beralih agama, dengan mengikuti mereka, tetapi tidak dituruti. Pada tahun 1540, semua kuil Hindu di pulau Goa dirobohkan; pada tahun 1567 keluar keputusan bahwa seorang Kristen tidak boleh dilayani oleh pembantu-pembantu yang beragama non-Kristen. Akibatnya, beribu-ribu pembantu terpaksa masuk sebagai penganut agama (Katolik) yang mereka tidak imani ataupun tidak mereka pahami….” Cronin menambahkan, “… Mereka yang tidak dapat disuap, dipaksa untuk masuk agama Kristen. Mereka diwajibkan untuk menghadiri kebaktian di gereja dan mendengarkan khotbah-khotbah tanpa (mendapatkan) terjemahan. Ketentuan-ketentuan tersebut dilaksanakan secara ketat dengan inkuisisi. Sekiranya seseorang berusaha meyakinkan sesamanya agar tidak menjadi penganut agama Kristen, maka orang tersebut akan mendapatkan hukuman mati.”3  
    Terkait tentang kedatangan bangsa Portugis ke Indonesia, Zakaria J. Ngelow, menuturkannya sebagai berikut, “seperti yang telah digambarkan Muller-Kruger, Indonesia yang dijumpai oleh bangsa-bangsa Barat pada abad ke-16 M, sedang mengalami perubahan-perubahan penting. Peta politik dan peta keagamaan sedang berubah: kerajaan-kerajaan Hindu runtuh digantikan oleh bangkitnya kesultanan-kesultanan Islam di berbagai tempat.”4 Pernyataan tersebut, secara eksplisit, justru telah membenarkan adanya bukti sejarah yang selama ini telah ditutup-tutupi bahwa agama yang pertama kali masuk ke Nusantara bukanlah agama Kristen, melainkan Islam, yang bukti sejarah tersebut bisa kita telusuri yakni dengan adanya Kesultanan Samudra Pasai yang telah berdiri di Sumatra sejak tahun 1275 M.5 Tidak hanya itu, data tersebut pun semakin kuat ketika sebelum kedatangan Portugis ke Nusantara, sebagian rakyat di Maluku sudah masuk Islam di bawah kekuasaan Sultan Ternate.6
    Dalam menyebarkan agama Katolik kepada penduduk lokal Indonesia, peranan para imam dari ordo Fransiskan dan ordo Yesuit memiliki peranan yang sangat penting, bila dibandingkan dengan para pendahulunya yang lebih mengutamakan kepentingan politik dan juga perdagangan. Selain masih adanya sikap permusuhan pihak Katolik terhadap Islam, dikarenakan Portugis dan Spanyol dulunya pernah dikuasai oleh kaum Muslimin,7 ordo Yesuit pun telah membawa sikap permusuhan pula terhadap Protestan, yang hal itu akhirnya terus berlanjut hingga ke wilayah Asia, dan para tokoh Katolik mereka yang terkenal di antaranya adalah Fransiscus Xaverius (1506-1552), dan Matero Ricci (1552-1610).8
    Fransiscus Xaverius, misalnya, ia adalah seorang imam Jesuit yang berkebangsaan Spanyol, ia dianggap sebagai utusan Katolik yang terbesar sepanjang sejarah, dan di masa melakukan peginjilan, ia telah melakukan Kristenisasi di wilayah Ambon, Ternate, dan kemudian berlanjut ke Halmahera selama 15 bulan lamanya (antara tahun 1546-1547). Dalam melakukan Kristenisasi ke wilayah Ternate dan Manado, misalnya, Thomas Van den End menerangkan bagaimana Xaverius telah menggunakan pendekatan terhadap masyarakat lokal yang berada di sana. Contoh pendekatan tersebut ialah memberikan pembelajaran tentang Kristen kepada masyarakat lokal dengan menyampaikannya dalam bahasa Melayu, dan di saat menyusun sejenis katekismus, ia menggunakan penyampaian dalam bentuk syair dengan menggunakan bahasa Portugis dan juga Melayu. Tidak hanya itu, ia pun melakukan pula pendekatan ke berbagai pihak Muslim, semisal Sultan Muda Hairun, yang kelak menjadi seteru utama bagi bangsa Portugis.9
    Dari adanya keberhasilan imperialis Katolik Portugis dalam menguasai Malaka, Portugis berharap bahwa hubungan niaga rempah-rempah antara Nusantara dengan Kesultanan Turki bisa terputus, dan dari adanya harapan tersebut setidaknya bisa terealisasi adanya kehancuran yang akan dialami oleh Kesultanan Turki. Karena di bawah kondisi inilah, maka di tahun 1512 M, Kesultanan Demak akhirnya melakukan perlawanan kepada bangsa Portugis untuk merebut Malaka, yang perlawanan tersebut, akhirnya diikuti pula oleh Kesultanan Aceh. Meskipun pada akhirnya, Kesultanan Demak dan Aceh mengalami kegagalan dalam merebut Malaka dari bangsa Portugis, dikarenakan adanya ketidakseimbangan dalam persenjataan yang dimilikinya, dan ketika umat Islam belum berhasil melawan imperialis Portugis, datanglah imperialis Katolik Spanyol di bawah pimpinan Magelhaens pada tahun 1521 M. Mereka pada akhirnya saling bersaing dan melakukan pendekatan terhadap Kesultanan Tidore dan Ternate. Di samping itu, Portugis pun mencoba mengimbangi Spanyol dengan mendirikan bentengnya di Sunda Kelapa pada tahun 1522 M, namun Portugis tidak dapat bertahan lama hanya sampai 1527 M.10
    Tentang adanya sikap arogansinya Portugis kepada umat Islam, M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern, menuturkan bahwa ketika Portugis menangkap Sultan Tabaridji dan membuangnya ke Goa, di sana ia dipaksa untuk pindah agama dari Islam ke Kristen (katolik) oleh Portugis, dan memberikan nama baptisnya dengan nama Dom Manuel. Sebelum ia meninggal, ia pun dipaksa untuk meniggalkan wasiat dan menyerahkan kedaulatan Ambon kepada orang yang telah membaptisnya, Jordao de Freias, pada tahun 1545 M. Dari adanya fakta sejarah ini, Mansur Suryanegara akhinrya memberikan komentarnya, “Betapa agungnya nilai kemerdekaan: tanah air, bangsa, dan agama. Betapa direndahkannya martabat suatu bangsa yang terjajah bangsa lain. Rusaklah nilai perniagaan secara damai. Kekayaan bangsa dirampok penjajah. Kemerdekaan beragama pun hilang dan menjadi tertindas. Akibatnya, pecahlah gerakan perlawanan bersenjata terhadap imperialisme Barat. Dalam penulisan sejarah disebutnya sebagai gerakan nasionalisme. Adapun imperialisme Barat pada abad ke-16 M di Nusantara adalah Kerajaan Katolik Portugis dan Spanyol, sedangkan pelaku gerakan nasionalis anti imperialis adalah umat Islam.”11

Sejarah Masuknya Agama Protestan Ke Indonesia
    Selain karena permasalahan teologis, Katolik dan Protestan di Eropa pun selalu bertikai terkait tentang permasalahan politik dan juga ekonomi. Kala itu, Belanda yang mayoritas penduduknya adalah Protestan, pernah menjadi perantara perniagaannya bangsa Portugal untuk dipasarkan ke Eropa Utara, namun sebaliknya, Katolik dari bangsa Spanyol justru memeranginya dan mempertahankan Belanda sebagai wilayah jajahannya. Pada saat Kerajaan Katolik Perancis merasa posisinya terjepit oleh Dinasti Habsburg, maka dalam upayanya melemahkan kekuatan dari Kerajaan Katolik Spanyol, sekaligus Kerajaan Katolik Jerman, dalam Perjanjian Westpalia, tahun 1648 M, negara Protestan Belanda dan Switzerland diuntungkan untuk menjadi negara merdeka. Dan di saat perang 30 tahun belum selesai, Belanda telah berhasil menemukan jalan ke Indonesia dan Amerika, yang di tahun 1602 M, Belanda mendirikan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Dengan nama lembaga niaga VOC, pihak Belanda telah membangun negaranya sebagai Republik Belanda Serikat, yang kemudian berubah menjadi Kerajaan Protestan Belanda, dengan Gubernur Jenderal pertamanya untuk Pulau Jawa ialah J.P. Coen.12  
    Pada tahun 1602, Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), yaitu kongsi dagang Belanda telah didukung dan dipersenjatai oleh pemerintah Belanda, dan telah berhasil pula menjadikan sebagian besar orang Katolik menjadi seorang Protestan, kecuali di Flores dan Timor-Timur (yang sekarang menjadi Timor Leste). Pada masa pemerintahan VOC, orang-orang Katolik telah dipaksa untuk menjadi seorang Protestan, karena pada masa itu telah berlaku siapa punya negara, maka dia punya agama.13 Perlu untuk diketahui, terkait tentang penggunaan senjata bukan saja digunakan oleh pihak Belanda, melainkan digunakan pula oleh bangsa Portugis dan juga Spanyol dalam mewujudkan monopoli perdagangan mereka, yang sekaligus memberikan perlindungan pula terhadap para penginjil dalam melakukan Kristenisasi terhadap masyarakat lokal Indonesia.14 VOC melakukan Prostestanisasi karena kongsi dagang Belanda telah membawa mandat dari Gereja Gereformeerd Belanda, yakni gereja Protestan yang beraliran Calvinis, untuk menyebarluaskan iman Kristen (Protestan) ke wilayah jajahannya, sebagaimana amanat yang tercantum pada pasal 36 dalam Pengakuan Iman Belanda (Confessio Belgica)15 tentang pemerintah menegaskan: “Juga, jabatan itu meliputi mempertahankan pelayanan gereja yang kudus, memberantas dan memusnahkan seluruh penyembahan berhala dan agama palsu, menjatuhkan kerajaan anti-Kristus dan berikhtiar supaya Kerajaan Yesus Kristus berkembang, berusaha agar Firman Injil dikabarkan ke mana-mana, supaya Allah dimuliakan dan dilayani oleh tiap-tiap orang sebagaimana diperintahkan-Nya dalam firman-Nya.”16
    Dari adanya paham kebebasan beragama yang dihasilkan oleh Revolusi Perancis (1789), yakni adanya kebebasan dalam melakukan Kristenisasi, hal itu telah berdampak pada badan-badan pekabaran Injil yang pada akhirnya mendatangi Indonesia. Karena adanya alasan keamanan, maka pihak pemerintah kolonial melakukan pembatasan terhadap lembaga-lembaga yang akan melakukan penginjilan, dengan menempatkan satu lembaga pada setiap wilayah. Pada tahun 1814, terdapat tiga orang dari lembaga pekabaran Injil Belanda yang datang ke Indonesia, mereka diutus ke Indonesia melalui London Missionary Genootschap, dan salah seorang dari mereka, Gottlob Bruckner, bekerja di Semarang dan menerjemahkan Perjanjian Baru ke dalam bahasa Jawa. Joseph Kam, yang kemudian diberi gelar sebagai Rasul Maluku, melakukan penginjilan di Maluku sampai ke wilayah Sulawesi Utara. Kebanyakan lembaga-lembaga dan tokoh-tokoh pekabaran Injil berlatar belakang Pietisme, yakni aliran Kekristenan yang timbul dalam gereja-gereja di Eropa pada akhir abad ke-17 dan menjadi pendorong utama kebangkitan dalam melakukan pekabaran Injil di abad-abad berikutnya.17
    Meskipun pada masa VOC terdapat beberapa penginjil yang berangkat ke Indonesia dengan semangat Pietismenya, namun VOC menolak kehadiran mereka, karena dikuatirkan mereka akan melakukan pemberontakan terhadap VOC. VOC bersikap demikian, karena para penginjil tersebut adalah orang-orang bebas, yang tidak terikat atau takluk pada kekuasaan negara, baik di Eropa maupun di wilayah jajahan. Sejak 1 Januari 1800, pemerintah kolonial Hindia-Belanda akhirnya mengambil-alih kekuasaan dari tangan VOC dikarenakan VOC mengalami kebangkrutan. Meskipun pada dasarnya pemerintah Belanda bersikap netral terhadap agama, sesuai dengan semangat pencerahan (Aufklarung) yang muncul dan berkembang di Eropa sejak abad ke-18. Namun nyatanya, Raja Belanda yang bernama Willem I, merasa berhak dalam mewujudkan satu gereja (Protestan) yang tunduk di bawah kekuasaan negara, yang sekaligus menghapuskan segala pertikaian antar gereja-gereja, yang implikasi tersebut pada akhirnya diwujudkan di tahun 1815 dengan dibentuknya Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), yang di dalamnya terdapat jemaat asuhan dari peninggalan VOC, yang mencakup pula Kristen yang beraliran Lutheran maupun aliran-aliran Kristen lainnya yang sejak semula sudah ada di Indonesia.18  
    Adapun aliran Kristen lain seperti halnya Calvinisme, masuk ke Indonesia melalui dua jalur, yaitu jalur gereja negara (sejak tahun 1605) dan jalur lembaga-lembaga pekabaran Injil (sejak tahun 1814). Di jajahan VOC, di Indonesia hanya diizinkan ibadah secara Gereformeerd, dan mulai tahun 1743, aliran Kristen Lutheran di Batavia mendapatkan izin untuk membangun gedung gereja dan diperbolehkannya mengadakan pertemuan ibadah. Namun kondisi demikian, tidaklah dirasakan oleh Kristen Katolik dalam mendapatkan kebebasan dalam beribadah, yang ada justru malah mendapatkan pengawasan secara ketat dari VOC. Di masa VOC, seluruh biaya gereja ditanggung, ongkos perjalanan pendeta sampai gaji mereka diberikan dengan biaya yang tinggi. Dari adanya kebaikan VOC yang diterima oleh gereja tersebut, maka gereja harus memberikan timbal baliknya kepada VOC dengan cara melayani kepentingan VOC, bahkan segala kepentingan dan permasalahan yang terjadi di dalam gereja, semuanya harus mendapatkan persetujuan dari VOC, dan sebagai salah satu bentuk dalam melayani VOC, pihak gereja harus melaksanakan kebaktian syukur ketika VOC mendapatkan kemenanganya dalam berperang.19
    Adanya hubungan yang erat antara Gereja Protestan dengan negara Hindia Belanda telah berdampak pada warna dan haluan gereja terserbut, berbeda dengan VOC, justru negara Hindia Belanda yang netral itu tidak mementingkan lagi soal konfesi. Ketika Katolik di bawah kendali VOC, segalanya mengalami pengawasan yang ketat, namun pada saat Kerajaan Belanda telah mengambil alih VOC, justru hal itu telah memberi pengaruh yang lebih baik bagi kelangsungan missi (penyebaran agama) yang dilakukan oleh Katolik, terlebih kala itu, telah terjadi perubahan di Eropa, yakni telah didudukinya negeri Belanda oleh Prancis. Ketika pemerintah kolonial Belanda tidak lagi mengenal gereja atau agama yang istimewa, maka Katolik yang selama itu pernah dilarang masuk ke Indonesia selama dua abad lamanya, akhirnya dapat masuk kembali ke wilayah kolonial Belanda, yaitu Indonesia.20
    Dan sehubungan dengan adanya perubahan iklim politik di Eropa, pada tahun 1806, tepatnya tanggal 7 Agustus, Raja Lodewijk Napoleon telah menetapkan suatu peraturan yang menyatakan bahwa semua agama dinilai sama. Dari adanya kondisi demikian, pengistimewaan terhadap Protestan mulai dihapuskan, dan perubahan tersebut semakin terlihat ketika jemaat Katolik yang berada di Semarang belum memiliki gedung ibadatnya sendiri, mereka diperbolehkan oleh Gubernur Jenderal Daendels untuk menggunakan Gerejanya Gerefomeerd Belanda. Namun ternyata, keharmonisan yang terjadi antara Katolik dan Protestan di bawah kolonial Belanda tidaklah bertahan lama, hal tersebut terjadi karena dipicu oleh peraturan dari kolonial Belanda bahwa kebebasan beragama dapat dijalankan tetapi disertai dengan adanya syarat: “asal pelaksanaannya tidak mengancam ketenangan dan ketertiban umum.” Dalam praktiknya, perbedaan pendapat di antara mereka pun tidak bisa dihindari, sebagaimana yang terjadi pada Pastor J.H. Scholten, yang ketika itu ia menjabat sebagai Prefek Apostolik. Dia tidak menyetujui beberapa sikap Gubernur Jenderal yang menyangkut penganut agama Katolik, yang telah mengizinkan orang-orang Katolik untuk menjadi anggotanya Freemansonry, karena menurutnya, organisasi tersebut sebagai organisasi yang anti gereja dan bahkan dianggap telah menghalang-halangi pertumbuhan gereja. Tidak hanya itu, ia pun tidak setuju tentang adanya perkawinan campuran di antara orang-orang Katolik tanpa memenuhi persyaratan hukum gereja. Dari adanya pertentangan tersebut, akhirnya Scholten pun dituduh oleh Gubernur Jenderal sebagai seorang yang tidak bisa kooperatif, dan mengancamnya untuk diajukan ke pengadilan.21  
    Pertentangan di bawah kolonial Belanda tidak hanya terjadi pada masa Scholten saja, adanya pertentangan antara Katolik dan Protestan, kembali terjadi di masa Mgr.J. Grooff dengan pihak pemerintah kolonial Belanda, pertentangan tersebut dipicu karena adanya peraturan yang menyatakan bahwa, “hanya imam yang diangkat dan mendapatkan keputusan dari pemerintah saja yang akan diakui sah dan diperkenankan mengadakan upacara keagamaan di muka umum.” Karena adanya peraturan tersebut, akhirnya Grooff pun melakukan perbaikan dari segala bentuk kekurangan dan kecurangan yang dilakukan oleh para oknum gereja, yang pada akhirnya berujung pada penentangan yang dilakukan oleh pastor Grube, maka atas tindakannya tersebut, akhirnya pastor Grube pun dipecat dari jabatannya. Namun, pemecatan pastor Grube yang dilakukan oleh Groof mendapatkan tantangan dari pihak pemerintah, dan akhirnya pemerintah mengeluarkan surat edaran yang menyatakan ketidaksetujuannya terhadap tindakan Grooff tersebut. Karena Grooff merasa tertekan oleh pemerintah, akhirnya Grube dipekerjakan kembali sebagai pastor Gereja Katolik, dan gereja yang semula ditutup oleh pemerintah, akhirnya dibuka kembali dengan menjadikan Grube sebagai imamnya.22

Kesimpulan
    Kesadaran bertoleransi dalam memahami perbedaan ajaran agama untuk saling menghormati, dirusak oleh imperialisme Barat yang memaksakan agamanya, baik agama Katolik pada akhir abad ke-16 M, maupun Protestan yang dimulai pada abad ke-17 M, dikembangkan melalui perseteruan dan peperangan. Mengapa Barat harus dengan cara seperti itu dalam mengembangkan agamanya? Adanya Kontra Reformasi, telah menjadikan wilayah Indonesia sebagai wilayah yang berlanjutan dalam meneruskan perseteruan dan peperangan di antara mereka. Kedua agama tersebut, tidak hanya melakukan peperangan antar sesama penganut Kristen saja, akan tetapi memerangi pula penganut agama Islam di Nusantara.   

Catatan Kaki:
1. Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah 1: Mahakarya Perjuangan Ulama dan Santri Dalam Menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia, (Bandung: Surya Dinasti, 2015), 158-159.  
2. Ibid., hlm. 159-160.
3. Jonathan E. Culver, Sejarah Gereja Asia, (Bandung: Biji Sesawi, 2014), hlm. 164-167.
4. Zakaria J. Ngelow, Kekristenan dan Nasionalisme: Perjumpaan Umat Kristen Protestan Dengan Pergerakan Nasional Indonesia 1900-1950, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2017), hlm. 11-12.
5. Ahmad Mansur Suryanegara, op.cit., hlm. 122.
6. Agustinus M.L Batlajery dan Th. Van Den End, Ecclesia Reformata Semper Reformanda: Dua Belas Tulisan Mengenai Calvin dan Calvinisme, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), hlm. 50-51.
7. Jonathan E. Culver, Sejarah Gereja Indonesia, (Bandung: Biji Sesawi, 2014), hlm. 28.
8. Zakaria J. Ngelow, op.cit., hlm. 12.
9. Jonathan E. Culver, op.cit., hlm. 32-33.
10. Ahmad Mansur Suryanegara, op.cit., hlm. 160.
11. Ibid., hlm. 161-162.
12. Ibid., hlm. 163.
13. Agustinus M.L Batlajery dan Th. Van Den End, op.cit., hlm. 51.
14. Jonathan E. Culver, op.cit., hlm. 29.
15. Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran Di Dalam Dan Di Sekitar Gereja, Edisi Revisi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), hlm. 13-14.
16. Agustinus M.L Batlajery dan Th. Van Den End, op.cit., hlm. 51.
17. Zakaria J. Ngelow, op.cit., hlm. 18-19.
18. Jan S. Aritonang, op.cit., hlm. 15-16.
19. Agustinus M.L Batlajery dan Th. Van Den End, op.cit., hlm. 129-130.
20. Ibid., hlm. 62.
21. Anhar Gonggong, Mgr. Albertus Soegijapranata SJ: Antara Gereja dan Negara, (Jakarta: Grasindo, 2012), hlm. 27-28.
22. Ibid., hlm. 29-30. 

Comments

Post a Comment