Makna Diturunkannya Al-Qur’an Dalam Tujuh Huruf

Oleh: Sang Misionaris


Pendahuluan   
    Pengertian tujuh huruf bukanlah dalam pengertian yang selama ini kita pahami, yaitu huruf A hingga Z. Meskipun dalam hadis terdapat dalil diturunkannya Al-Qur’an dengan tujuh huruf, tapi ternyata dalil tersebut telah mengakibatkan terjadinya perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Ketika membahas tentang makna tujuh huruf Al-Qur’an, pada umumnya selalu dibahas enam pendapat berbeda dalam membahas tentang makna tujuh huruf. Padahal kenyataannya, pengertian Al-Qur’an diturunkan dengan 7 huruf tersebut memiliki belasan hingga puluhan pendapat yang berbeda antara ulama yang satu dengan lainnya. Dari adanya macam-macam pendapat ulama tentang tujuh huruf Al-Qur’an, hal tersebut berimplikasi terjadinya berbagai masalah yang timbul dalam sejarah Al-Qur’an di kemudian hari, bahkan Abdul Shabur Syahin menganggap bahwa tujuh huruf dalam Al-Qur’an sebagai misteri paling misterius dalam sejarah Al-Qur’an. Dari adanya kemisteriusan itulah, maka ada sebagian pihak dari kaum Muslimin yang telah menghubungkan antara qira’at tujuh dan tujuh huruf, meskipun berdasarkan fakta historis, keduanya tidaklah memiliki hubungan sama sekali. Ketika pengertian tujuh huruf belum mendapatkan kepastian atas makna yang sesungguhnya, namun ironisnya masih saja terdapat beberapa penulis yang telah mengemukakan tentang adanya hikmah diturunkannya Al-Qur’an dengan tujuh huruf, karena bagaimana mungkin hikmah turunnya Al-Qur’an dengan tujuh huruf bisa didapatkan ketika dalam segi dalil dan maknanya saja tujuh huruf masih dalam kesimpangsiuran.


Dalil Diturunkannya Al-Qur’an Dengan Tujuh Huruf
    Penyebab lahirnya istilah tujuh huruf, itu semua bermula dari banyaknya para sahabat yang telah meriwayatkan hadis tentang turunnya Al-Qur'an dengan tujuh huruf. As-Suyuthi menyebutkan bahwa hadis-hadis tersebut telah diriwayatkan sebanyak 21 orang sahabat Nabi Muhammad , seperti: Ubay bin Ka'ab, Anas, Hudzaifah ibnul Yaman, Zaid bin Arqam, Samurah bin Jundub, Sulaiman bin Shurad, Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud, Abdurrahman bin ‘Auf, Utsman bin Affan, Umar bin Khathab, Umar bin Abi Salamah, Amr bin ‘Ash, Mu’adz bin Jabal, Hisyam bin Hukaim, Abi Bakrah, Abi Jahm, Abu Said al-Khudri, Abu Thalhah al-Anshari, Abu Hurairah, dan Abu Ayyud. Adapun dalil diturunkannya Al-Qur’an dengan tujuh huruf, di antaranya adalah:
1. Dari Ibnu Abbas, ia berkata: “Rasulullah berkata: Jibril membacakan (Qur’an) kepadaku dengan satu huruf. Kemudian berulang kali aku mendesak dan meminta agar huruf itu ditambah, dan ia pun menambahnya kepadaku sampai dengan tujuh huruf” (Hr. Bukhari, Muslim, dan lain-lain).
2. Dari Umar bin Khathab, ia berkata: “Aku mendengar Hisyam bin Hakim membaca Surat al-Furqan di masa hidup Rasulullah. Aku perhatikan bacaannya. Tiba-tiba ia membacanya dengan banyak huruf yang belum pernah dibacakan Rasulullah kepadaku, sehingga hampir saja aku melabraknya di saat ia shalat, tetapi aku berusaha sabar menunggunya sampai salam. Begitu salam, aku tarik selendangnya dan bertanya: ‘Siapakah yang membacakan (mengajarkan bacaan) surat itu kepadamu?’ Ia menjawab: ‘Rasulullah yang membacakannya kepadaku.’ Lalu aku katakan kepadanya: ‘Dusta kau! Demi Allah, Rasulullah telah membacakan juga kepadaku surat yang aku dengar tadi engkau membacanya (tapi tidak seperti bacaanmu).’ Kemudian aku bawa dia menghadap Rasulullah, dan aku ceritakan kepadanya bahwa, ‘Aku telah mendengar orang ini membaca Surat al-Furqan dengan huruf-huruf yang tidak pernah engkau bacakan kepadaku, padahal engkau sendiri telah membacakan Surat al-Furqan kepadaku.’ Maka Rasulullah berkata: ‘Lepaskanlah dia, wahai Umar. Bacalah surat tadi, wahai Hisyam!’ Hisyam pun kemudian membacanya dengan bacaan seperti kudengar tadi. Maka kata Rasulullah: ‘Begitulah surat itu diturunkan.’ Ia berkata lagi: ‘Bacalah, wahai Umar!’ Lalu aku membacanya dengan bacaan sebagaimana diajarkan Rasulullah kepadaku. Maka kata Rasulullah: ‘Begitulah surat itu diturunkan.’ Dan katanya lagi: ‘Sesungguhnya Al-Qur’an itu diturunkan dengan tujuh huruf, maka bacalah dengan huruf yang mudah bagimu di antaranya’” (Hr. Muslim).
3. Diriwayatkan dari Ubai bin Ka’ab, ia berkata, “Rasulullah pernah bertemu dengan Jibril di Ahjar al-Mara’ (Madinah). Beliau mengatakan kepada Jibril, ‘Sesungguhnya aku diutus kepada umat yang ummi. Di antara mereka ada anak kecil, pelayan, kakek, dan nenek yang sudah lanjut usia.’ Jibril menjawab, ‘Hendaklah mereka membaca Al-Qur’an dengan tujuh huruf.’” (Hadis Shahih)
4. Diriwayatkan dari Ubai bin Ka’ab, ia berkata, “Jibril pernah menemui Nabi ketika beliau sedang berada di Oase Bani Ghifar (Madinah). Jibril berkata, ‘Sesungguhnya Allah telah memerintahkan anda untuk membacakan Al-Qur’an kepada umatmu dengan tujuh huruf. Barangsiapa membaca dengan satu huruf di antaranya, berarti ia telah membacanya seperti ia (Rasul) membaca.” (hadis shahih)
    Dari adanya riwayat di atas, maka bisa diketahui bahwa tujuh huruf dan juga adanya perbedaan bacaan dalam Al-Qur’an itu telah terjadi pada masa Nabi Muhammad , di mana perbedaan yang ada semuanya bersumber dari pengajaran beliau, di mana beliau sendirilah yang telah mengajarkan kepada para sahabatnya dan ketika ada perbedaan qira’at, para sahabat langsung menemui Nabi untuk melakukan klarifikasi dan mendapatkan jawaban yang sebenarnya.  
   
Berbagai Pandangan Para Ulama Tentang Tujuh Huruf
    Sebelum kita mengetahui lebih lanjut tentang berbagai perbedaan pendapat para ulama tentang tujuh huruf dalam Al-Qur'an, sebaiknya kita mengetahui terlebih dahulu tentang adanya konsekuensi pembahasan atas makna tujuh huruf Al-Qur’an dalam pandangan Abdul Shabur Syahin, menurutnya, “Huruf yang tujuh merupakan misteri paling misterius dalam sejarah Al-Qur’an. Bahkan, ia merupakan pangkal dari berbagai masalah yang timbul dalam sejarah Al-Qur’an. Karenanya, terdapat beragam pendapat mengenai penafsiran dan penjelasannya, baik di masa lalu maupun di masa sekarang.” Adanya penilaian Abdul Syabur yang menganggap demikian, menurut penulis, tidaklah termasuk sebagai sebuah pernyataan yang berlebih-lebihan, karena pernyataannya tersebut memang sesuai dengan realitasnya sejarah Al-Qur'an. Pada umumnya, para penulis yang membahas tentang Ulumul Qur’an selalu menyertakan 6 pendapat yang berbeda tentang makna tujuh huruf dalam Al-Qur’an. Padahal kenyataannya, pendapat para ulama tentang makna tujuh huruf tersebut sangatlah beragam. Adapun perbedaan pandangan para ulama tentang makna tujuh huruf tersebut adalah sebagai berikut:
1.) Hadis (tentang tujuh huruf) ini termasuk musykil (sulit) untuk diketahui maknanya, karena huruf secara bahasa dapat diartikan dalam berbagai makna, antara lain huruf Hija’ atau kalimat atau makna atau al-jihah/arah. Pendapat ini dikatakan oleh Sa’dan an-Nahwi.
2.) Sesungguhnya bukanlah yang dimaksud dengan tujuan di sini jumlah yang sebenarnya. Tetapi yang dimaksud adalah mudah, gampang, dan leluasa, sedangkan kata sab’ah dipakai untuk mengungkapkan banyak dalam bilangan satuan, sebagaimana tujuh puluh dalam bilangan puluhan, tujuh ratus dalam bilangan ratusan, dan (di dalam hadis ini) tidak dimaksudkan jumlah tertentu. Ini adalah pendapat yang dipegang oleh ‘Iyadh dan orang-orang yang bersamanya.
3.) Bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf itu adalah tujuh qira’at, dan sebagai catatan bahwasannya tidak ada di dalam Al-Qur’an satu kalimat (satu kata) pun yang dibaca berdasarkan tujuh cara, kecuali sedikit, seperti “wa ‘abada ath-thaaghut” (Qs. 5:60) dan “fa laa taqul lahumma uffin” (Qs. 17:23).
4.) Setiap kalimat dibaca dengan satu, dua, atau tiga, atau tiga cara atau bahkan lebih, sampai tujuh. Sesuatu yang musykil apabila yang dibaca melebihi tujuh, dan jawaban ini pantas untuk menjadi pendapat yang keempat.
5.) Tujuh cara membaca dengan mengubah bacaannya. Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu Qutaibah, sebagaimana yang ia katakan sebagai berikut: Pertama, sesuatu yang berubah harakatnya, tetapi tidak hilang makna dan bentuknya, seperti “wa laa yudhaarra kaatibin” (Qs. 2:282), dengan dibaca fathah dan rafa’ (dhammah). Kedua, suatu perubahan pada fi’il (kata kerja), seperti: “baa’add” dan “baa’id” (Qs. 34:19), mengubah dari fi’il maadhi ke fi’il amar. Ketiga, suatu perubahan pada titik saja, seperti: “nunsyizuha” (Qs. 2:259) menjadi “nansyuruha”. Keempat, suatu perubahan dengan mengganti suatu huruf dengan huruf lain yang berdekatan makhrajnya, seperti: “wa thalhin mandhuud” menjadi “wa thal’in mandhuud” (Qs. 56:29). Kelima, suatu perubahan dengan taqdim (mendahulukan) dan ta’khir (mengakhirkan), seperti: “wa jaa’at sakratul mauti bil haq” dengan “wa jaa’at sakratul haqqi bil mauti” (Qs. 50:19). Keenam, suatu perubahan dengan menambah atau mengurangi, seperti “wa maa Khalaqadz-dzakara wal untsad”, menjadi “wadz-dzakara wal untsad”. Ketujuh, suatu perubahan dengan mengganti suatu kalimat dengan kalimat yang lainnya, seperti “kal ihnil manfuusy” menjadi “kashshuufil man fuusy” (Qs.101:5).
6.) Dalam kitab al-Lawaamih, Abul Fadl ar-Razi mengatakan, “Berbicara tentang maksud sab’atu ahrufin tidak bisa keluar dari tujuh macam dalam ikhtilaf (perbedaan) sebagai berikut: Pertama, perbedaan kalimat isim, baik yang mufrad, tasniyah, atau jamak, dan demikian juga mudzakkar atau muannats. Kedua, perbedaan perubahan kalimat fi’il, baik yang berbentuk fi’il madhi, mudhari, atau ‘amr. Ketiga, berbagai bentuk ‘irab. Keempat, mengurangi atau menambahi. Kelima, mendahulukan atau mengakhirkan. Keenam, mengganti. Ketujuh, perbedaan bahasa/bacaan, seperti  fath; imalah; tarqiq; tafkhim; idgham; idzhar; dan bacaan yang lainnya.
7.) Yang dimaksud dengan makna tujuh huruf adalah cara membaca, seperti idgham, idzhar, tafkhim, tarqiq, imaalah, isyba’, mad dan qashr, tasydid, dan takhfif, talyin, dan tahqiq.
8.) Ibnu al-Jazari mengatakan, “Saya telah meneliti tentang qira’ah yang shahih dan yang syadz, yang dhaif dan yang mungkar. Ternyata hal itu dikembalikan pada perbedaan qira’ah itu sampai tujuh huruf, tidak keluar dari itu sebagaimana berikut:
i. Perubahan pada harakat, bukan makna atau bentuknya, seperti: “bil-bukhli” (Qs. 4:37).
ii. Perubahan dalam maknanya saja, seperti: “fa talaqaa aadamu min rubbihi kaimatin…” (Qs. 2:37).
iii. Perubahan pada huruf dengan berubahnya makna, bukan bentuknya, seperti: “tabluu” dibaca “tatluu” (Qs. 10:30).
iv. Perubahan huruf dengan berubahnya bentuk, bukan maknanya, seperti: “ash-shiratha” menjadi “as-siratha” (Qs.1:6).
v. Perubahan huruf dengan berubahnya makna dan bentuk kedua-duanya, seperti: “wamdhu” menjadi “was’au” (Qs. 15:65).
vi. Perubahan pada mendahulukan dan mengakhirkan, seperti: “fa yaqtuluun wa yuqtaluun” menjadi “fa yuqtaluun wa yaqtulun” (Qs. 9:111).
vii. Perubahan dengan menambah dan mengurangi, seperti: “washshaa” menjadi “ausad” (Qs. 42:13).
Ini adalah tujuh macam yang perbedaannya tidak keluar dari hal tersebut.” Dan Ibnu al-Jazari kembali mengatakan, “Adapun perbedaan seperti idzhar, idgham, ar-rum, isymam, tahqiq, tashil, naql dan ibdal, bukan termasuk perbedaan yang dapat berbeda di dalamnya lafadz atau makna, karena sifat-sifat yang beragam dalam membacanya ini tidak keluar bahwa itu satu lafadz.” Sedangkan contoh dari taqdim dan ta’khir adalah qira’ah jumhur sebagai berikut: “kadzaalika yathba’ullahu ‘alaa kulli qalbi mutakabbirin jabbar” (Qs. 40:35), sedangkan Ibnu Mas’ud membaca: “alaa qalbi kulli mutakabbirin”.
9.) Sab’atu ahruf adalah sab’atu aujuh dari berbagai makna yang disepakati dengan berbagai lafazh yang berbeda-beda, seperti aqbala dan wa ta’ala, halumma, ‘ajjala dan asra’a. Pendapat tersebut adalah pendapat Sufyan ibnu ‘Uyainah, Ibnu Jarir, Ibnu Wahb, dan ulama-ulama lainnya. Ibnu Abdil Bar menyandarkan pendapat ini pada sebagian besar ulama.
10.) Sab’atu ahrufin adalah sab’u lughat (tujuh bahasa). Pendapat ini digunakan oleh Abu Ubaid, Tsa’lab, Al-Azhari, dan ulama lainnya, di mana pendapat tersebut dipilih oleh Ibnu ‘Athiyyah dan dianggap shahih oleh Imam al-Baihaqi di dalam kitabnya, Syu’abul Iman.  
11.) Tujuh huruf adalah sab’atu ashnaf (tujuh macam), tetapi hadis-hadis tersebut menolak pendapat ini. Orang-orang yang berpendapat tersebut berbeda pendapat dalam menentukan tujuh macam itu. Ada yang mengatakan tujuh macam itu adalah amar, nahi, halal, haram, muhkam, mutasyabih, dan amtsal. Bahkan ada yang berpendapat bahwa tujuh huruf itu adalah tujuh bab dari bab-bab kalam dan macam-macamnya, di mana pendapat tersebut diyakini oleh Abu Syaamah.
12.) Pendapat lain tentang tujuh huruf adalah mutlaq dan muqayyad, ‘am dan khaas, nash dan muawwal, nasih dan mansukh, mujmal, mufassar dan istisna beserta macam-macamnya, di mana pendapat ini diceritakan oleh Syaidzalah dari para fuqaha.
13.) Pendapat lain tentang tujuh huruf adalah hadzfu dan shilah, taqdim dan ta’khir, isti’arab, tikrar, kinayah, haqiqah dan majaz, mujmal dan mufassar, dzahir dan gharib. Pendapat tersebut dikemukakan oleh ahli bahasa.
14.) Tujuh huruf adalah tadzkir dan ta’nits, syarth dan jaza’, tashrif dan I’rab, aqsaam dan jawabnya, jam’u dan ifrad, tasghir dan ta’dzim, ikhtilaful adawaat (perbedaan alat). Pendapat ini dikemukakan oleh para ahli nahwu.
15.) Pendapat lainnya tentang tujuh huruf adalah tujuh macam mu’amalat, yaitu: zuhud dan qana’ah disertai yaqin dan jazm, khidmah disertai haya’ dan karam, futuwwah disertai faqr dan mujahadah, muraqabah disertai dengan khauf dan raja’, tadharru’ disertai dan istighfar disertai dengan ridha dan syukur, shabru disertai dengan muhasabah dan mahabbah, syauq disertai dengan musyahadah. Pendapat tersebut disampaikan oleh para ulama tasawuf.
16.) Tujuh huruf adalah tujuh ilmu, yaitu ilmu insya’ wal iijaad, ilmu tauhid dan tanzih, ilmu shifaat dzat, ilmu shifaat al-fi’l, ilmu afwu dan ‘azab, ilmu hasyr dan hisab, ilmu nubuwwat.  
    Menurut Ibnu ‘Arabi, sebagaimana yang dikutip oleh Abdul Shabur Syahin, mengatakan, “Tidak ada teks maupun atsar yang menjelaskan tentang maksud dari tujuh huruf. Para ulama berbeda pendapat mengenai penjelasan masalah ini.” Dari adanya perbedaan pendapat yang banyak tersebut, sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, maka dari adanya usaha-usaha para ulama dalam menafsirkan tujuh huruf tersebut masih dalam ranah menduga-duga saja, karena jika makna tujuh huruf memang telah dijelaskan oleh Nabi dan juga para sahabat, tentunya jawaban para ulama pun akan memiliki keseragaman dalam menjelaskan tentang makna tujuh huruf tersebut.
 
Makna Tujuh Huruf Yang Misterius
    Dari adanya ikhtilaf para ulama dalam menjelaskan makna tujuh huruf, hal tersebut mengindikasikan bahwa makna tujuh huruf memang masih misterius, meskipun hadis yang meriwayatkan tentang tujuh huruf tersebut telah diriwayatkan oleh banyak para sahabat, bahkan Abu Ubaid al-Qasim bin Salam telah menetapkan kemutawatiran hadis mengenai turunnya Al-Qur’an dengan tujuh huruf. Karena tidak adanya kejelasan informasi dalam menjelaskan makna tujuh huruf itu, maka tidak mengherankan jika Ibnu Hibban menceritakan tentang adanya 35 pendapat yang berbeda tentang tujuh huruf tersebut, sebagaimana yang telah dikutip oleh Imam Suyuthi, bahwa Ibnu Naqib telah menceritakan hal itu dari Ibnu Hibban di dalam mukadimah Tafsir-nya melalui periwayatan dari Asy-Syaraf al-Muzani al-Mursi. Meskipun demikian, al-Mursi mengatakan, “Pendapat-pendapat ini sebagian besar saling masuk satu sama lain, dan saya tidak mengetahui sandarannya, tidak (mengetahui) pula dari mana diambil. Saya juga tidak mengetahui, mengapa setiap orang dari mereka mengkhususkan tujuh huruf itu dengan apa yang telah disebutkan, padahal semuanya ada di dalam Al-Qur’an. Saya tidak mengetahui makna pengkhususan di sini, padahal di dalamnya ada beberapa hal yang tidak memahami makna yang sebenarnya, dan sebagian besar bertentangan dengan hadits Umar bersama Hisyam bin Hukaim yang ada dalam kitab Shahih, padahal keduanya tidak berbeda dalam menafsirkan Al-Qur’an dan hukum-hukumnya, hanya berbeda dalam membaca huruf-hurufnya. Sebagian besar dari orang awam mengira bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf itu adalah qira’ah sab’ah (tujuh qira’at), dan anggapan ini merupakan kebodohan yang buruk.”
    Ada sebagian pendapat yang telah menghubungkan tujuh huruf dengan tujuh qira’at. Perlu diketahui, bahwa orang yang pertama kali menyusun qira’at dalam satu kitab adalah Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Salam (w. 244 H). Ia telah mengumpulkan qira’at sekitar dua puluh lima macam. Kemudian muncullah imam-imam yang lain, di antara mereka ada yang menetapkan dua puluh macam qira’at, dan adapula yang menetapkan kurang dari dua puluh qira’at. Masalah qira’at terus berkembang hingga pada akhirnya diringkas menjadi tujuh qira’at oleh Abu Bakar Ahmad bin Musa bin Abbas bin Mujahid, yang dikenal dengan nama Ibnu Mujahid (w. 324 H). Dari dasarnya historis inilah, maka pendapat yang menafsirkan bahwa tujuh huruf itu adalah tujuh qira’at yang diringkas oleh Ibnu Mujahid, maka sesungguhnya argumen tersebut tidaklah memadai, dikarenakan peringkasan qira’at baru terjadi pada abad ke-4 H, sedangkan tujuh huruf telah terjadi pada masa Nabi Muhammad . Menurut penulis, adanya qira’at tujuh, di mana jumlah qira’at tersebut yang telah sejak awal ditetapkan oleh Ibnu Mujahid, tidaklah dikenal secara umum oleh para sahabat, tetapi hanya diketahui oleh Nabi Muhammad saja. Adanya hadis tentang perbedaan qira’at antara Umar dengan Hisyam bin Hakim adalah salah satu bukti yang menguatkan pandangan tersebut, meskipun tujuh qira’at yang ada semuanya bersumber kepada Nabi Muhammad . Ath-Thabari berpendapat bahwa semua perbedaan bacaan para qari masuk ke dalam satu huruf, yakni huruf yang dengannya ditulis Mushaf Utsmani. Tetapi pada kesempatan lain, Ath-Thabari menganggap semua perbedaan bacaan para qari itu masuk ke dalam lingkup huruf yang tujuh, selama sesuai dengan tulisan Mushaf Utsmani. Oleh karena itu, Makki ibn Abi Thalib Hamusyi al-Qaisi (w. 437) menganggap adanya kontradiksi dalam pendapat Ath-Thabari  tersebut.
    Selain itu, adapula sebagian kaum Muslimin yang meyakini bahwa tujuh huruf yang dimaksud itu adalah tujuh bahasa, sebagaimana yang telah diutarakan pada point ke-10 di atas, di mana argumentasi tersebut bersandar pada pernyataan Ibnu Abbas yang menyatakan bahwa Al-Qur’an diturunkan dalam tujuh bahasa ataupun menyandarkan argumentasinya itu kepada perkataan Umar, bahwa Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Mudhar. Dalam hal ini, As-Suyuthi meriwayatkan beberapa pendapat tanpa sanad, yaitu:
1. Tujuh huruf adalah tujuh bahasa yang berbeda-beda yang dimiliki oleh semua bangsa Arab, dan setiap huruf itu dimiliki suku yang terkenal.
2. Tujuh huruf adalah tujuh bahasa, yang empat dimiliki suku ‘Ajz Hawazim, dan yang tiga dimiliki oleh suku Quraisy.
3. Tujuh huruf adalah tujuh bahasa, yaitu suku Quraisy, bahasa Yaman, bahasa Jurhum, bahasa Hawazin, bahasa Qudha’ah, bahasa Tamim, dan bahasa Lathi.
4. Tujuh bahasa adalah bahasa dua suku Ka’ab, yaitu Ka’ab bin Umar dan Ka’ab bin Lu’ay, kedua suku ini memiliki tujuh macam bahasa.  
    Manna Khalil al-Qattan, termasuk salah seorang yang menyetujui pendapat ini, mengutarakan tujuh bahasa tersebut, yaitu Quraisy, Huzail, Saqif, Hawazim, Kinanah, Tamim, dan Yaman. Sedangkan tujuh bahasa menurut Abu Hatim as-Sijistani, sebagaimana yang dikutip oleh al-Qattan, adalah bahasa Quraisy, Huzail, Tamim, Azad, Rabi’ah, Hawazin dan Sa’ad bin Bakr. Bahkan, Ibrahim al-Ibyariy, mengutarakan tujuh bahasa yang berbeda dengan pendapat sebelumnya, di mana bahasa Mudhar terdiri dari tujuh bahasa seperti: suku Huzail, Kinanah, Qays, Dhibbah, Taymur Rabbah, Asad bin Khuzaymah dan Quraisy. Jika tujuh huruf yang dimaksud itu adalah tujuh bahasa, lalu pendapat siapakah dari tujuh bahasa di atas yang sesuai dengan tujuh huruf yang dimaksud dalam sabda Nabi Muhammad ?
    Adanya pertanyaan seperti: apakah Al-Qur’an yang saat ini dibaca telah ditulis berdasarkan satu huruf ataukah masih tetap tujuh huruf? Dalam hal ini, terjadi perbedaan pendapat pula, sebagaimana yang telah diutarakan oleh Abdul Shabur Syahin, menurut Ath-Thabari, Al-Qur’an yang dibaca saat ini dituliskan berdasarkan satu huruf, sedangkan enam huruf lainnya telah ditolak berdasarkan kesepakatan umat Islam. Kendati demikian, Ath-Thabari tidak melarang untuk membaca Al-Qur’an dengan semua huruf tersebut. Sementara itu, Ibnu Qutaibah menganggap bahwa tujuh huruf itu masih ada dan jelas bentuknya. Makki ibn Abi Thalib Hamusyi al-Qaisi menyetujui pendapat Ibnu Qutaibah tersebut, di samping telah disetujui pula oleh Ibnu Syuraih, dan ulama lainnya.  
    Adanya usaha untuk menjelaskan tentang tujuh huruf tidak hanya dilakukan oleh para ulama terdahulu, melainkan dilakukan pula dilakukan oleh para ulama kontemporer, di mana penjelasan yang diberikan telah menyentuh angka-angka dan menganggap bahwa angka merupakan rahasia Al-Qur’an, di samping memiliki jawaban yang tegas dan pasti. Srihartono, misalnya, ia telah menjadikan angka tujuh sebagai salah satu pembahasan yang ia ulas di dalam karyanya, Teori Realitas Al-Qur’an. Menurutnya, angka tujuh memiliki hubungan dengan tujuh lapis bumi dan langit, Surat Al-Fatihah (yang terdiri tujuh ayat) sebagai ulumul Qur’an, tujuh hari dalam seminggu, takbir pertama pada shalat Idul Adha dan Idul Fitri, dan bahkan disangkut-pautkan pula dengan Asmaul Husna. Terlepas apakah penelitiannya tersebut memang bersifat ilmiah ataukah hanya sekedar mencocok-cocokkan, tetap saja upaya yang ia lakukan tersebut tidak bisa terlepas dari adanya hadis yang mengisahkan tentang tujuh huruf.    

Kesimpulan
    Hingga saat ini, jawaban atas makna tujuh huruf belumlah bisa didapatkan secara pasti, di mana kondisi tersebut terjadi karena tidak adanya hadis dan atsar yang secara tegas menjelaskan tentang makna tujuh huruf tersebut. Dari adanya ketidakjelasan itulah, kita hanya bisa menjelaskan bahwa makna tujuh huruf memiliki keragaman dalam penafsirannya (multi tafsir), tanpa harus mengklaim bahwa satu di antara belasan atau puluhan pendapat tentang tujuh huruf itu adalah pendapat yang benar, karena setiap pendapat yang diklaim benar selalu membuka peluang untuk dipertanyakan kembali keotentikannya. Karena adanya permasalahan ini, Ibnu al-Jazari telah menghabiskan waktunya lebih dari 30 tahun untuk mengkaji dan menelaah tentang tujuh huruf, meskipun pada pandangannya tersebut melahirkan pro-kontra bagi para penulis yang datang sesudahnya. Meski tidak adanya jawaban yang pasti yang bisa diberikan tentang diturunkannya Al-Qur’an dalam tujuh huruf, namun permasalahan tersebut tidaklah bisa menggugat atau merusak sedikitpun keotentikan Al-Qur’an sebagai Firman Allah.    
 

Sumber:
Al-Ibyariy, Ibrahim. 1995. Pengenalan Sejarah Al-Qur’an. Terj., Saad Abdul Wahid. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
As-Suyuthi, Jalaluddin. 2018. Studi Al-Qur’an Komprehensif Jilid 1. Terj., Tim Editor Indiva. Solo: Indiva Media Kreasi.
Khalil, Manna al-Qattan. 2016. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Terj., Mudzakir AS. Bogor: Litera Antar Nusa.
Srihartono. 2006. Teori Realitas Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Nawaitu.
Syahin, Abdul Shabur. 2006. Saat Al-Qur’an Buruh Pembelaan: Sebuah Analisis Sejarah. Terj., Khoirul Amru Harahap dan Akhmad Faozan. Jakarta: Erlangga.

Comments

  1. Kebo iwa, pertanyaan anda mengandung terlalu banyak pernyataan yg sok tau

    ReplyDelete
  2. Lu juga cuma ngasih opini,berdasarkan kebencian pula.
    7 Ahruf itu jelas mewakili dialek tujuh suku dalam bangsa Arab pada masa itu.

    ReplyDelete

Post a Comment