Otentisitas Mushaf Utsmani Bag. 2

Oleh: Sang Misionaris

Tudingan Terhadap Mushaf Utsmani
    Para orientalis seperti halnya Noldeke-Schwally, Paul Casanova, Aplhonse Mingana, dan Arthur Jeffery telah menganggap bahwa al-Hajjaj ibn Yusuf al-Thaqafi ketika menjadi Gubernur di Iraq (75-95 H) telah merubah Al-Qur’an yang sejak semula telah dikanonisasikan oleh Utsman bin Affan. Mingana, misalnya, ia berpendapat bahwa al-Hajjaj telah menghilangkan berbagai ayat yang seharusnya ada di dalam Al-Qur'an, dan sumber yang telah dijadikan sebagai panduan Mingana adalah pendapat tunggalnya Casanova. Selain Mingana, Arthur Jeffery pun telah melakukan hal yang sama, menurutnya, teks yang diterima oleh kaum Muslimin pada saat ini bukanlah berdasarkan versinya Utsman, melainkan versinya al-Hajjaj ibn Yusuf. Jeffery memberikan kritikan demikian, karena didasari dari adanya informasi yang ia dapatkan dari kitab al-Masahif, yakni surat-menyurat antara khalifah Ummayah, umar kedua, dengan Kaisar Bizantium, Leo III, dan dari risalah ‘Abd al-Masih al-Kindi.1    

    Ada dua atsar dalam kitab Mashahif yang menyebutkan bahwa al-Hajjaj telah melakukan perubahan terhadap sebelas huruf, yaitu: Atsar pertama, Abdullah – Abu Hatim al-Sijistani – Abbad ibn Suhayb – ‘Auf ibn Abi Jamilah bahwa al-Hajjaj Ibn Yusuf telah merubah sebelas huruf di dalam mushaf Utsmani. Atsar kedua, Abu Bakar berkata: telah ada di dalam buku ayahku, seorang lelaki berkata kepada kami; maka aku bertanya kepada ayahku siapa dia, maka ayahku berkata: “Abbad ibn Suhayb mengatakan kepada kami dari ‘Auf ibn Abi Jamilah bahwa al-Hajjaj ibn Yusuf telah mengubah sebelas huruf di dalam mushaf Utsmani.” Dari dua atsar tersebut terdapat nama Abbad ibn Suhayb yang di kalangan ahli hadits termasuk orang yang ditinggalkan. Ibn Hibban, misalnya, telah menganggap ia sebagai orang Qadariyah. Bahkan, Ibn ‘Adiyy telah menganggap Habban sebagai orang yang lemah, dan adz-Dzahabi menganggap bahwa hadits yang dibawa oleh Abbad termasuk matruk (ditinggalkan). Begitu pun tanggapan Ibn Hajar dalam Lisan al-Mizan, telah memuat pendapat para ahli hadits yang menyatakan bahwa Abbad termasuk orang yang ditinggalkan. Selain Abbad, dalam sanadnya pun terdapat pula seorang perawi yang bernama ‘Auf ibn Abi Jamilah yang dianggap telah cenderung sebagai orang Syiah dan juga anti Umayyah. Dan suatu hal wajar, jika sekiranya al-Hajjaj sebagai salah seorang tokoh Umayyah, ia menjadi targetnya ‘Auf ibn Abi Jamilah.2       
    As-Samhudi mengutip pernyataan Ibnu Zabala, “Al-Hajjaj telah mengirimkan Al-Qur'an ke kota-kota besar, termasuk mushaf besar yang dikirimkan ke Madinah, dan ia merupakan mushaf pertama yang dikirimkan ke kota-kota.” Ibn Shabba berkata, “Dan Ketika al-Mahdi menjadi khalifah, dia mengirimkan satu lagi mushaf ke Madinah, yang dibaca sampai sekarang. Mushaf al-Hajjaj sudah dipindahkan dan disimpan di kotak sebelah mimbar.” Selain ikut meneruskan pengiriman mushaf, ia pun telah ikut pula mengumpulkan para penghafal Al-Quran dan orang-orang yang profesional dalam membaca Kitab Suci, sebagaimana yang telah disampaikan oleh Abu Muhammad al-Himmani.3 Dari adanya informasi di atas, selain adanya dua perawi yang tidak bisa diandalkan dalam periwayatannya, maka dengan adanya kontribusi langsung dari al-Hajjaj dalam menjaga orisinalitas Al-Quran, sudah barang tentu tudingan terhadap al-Hajjaj tidaklah autentik dan tidak bisa diandalkan.
    Dalam kaitannya dengan masalah al-Hajjaj, kaum Muslimin sebenarnya telah memiliki ilmu jarh wa ta’dil, yang lahirnya ilmu ini disebabkan karena adanya ulah para pemalsu hadits dan kebohongan orang-orang yang menuruti hawa nafsu, yang menisbatkan perkataan-perkataan palsu ke dalam Al-Quran dan hadits. Meski kaum Muslimin telah memiliki metodologi kritik semacam ini, akan tetapi banyak di antara kalangan orientalis yang tidak mengapresiasi metodologi semacam ini. Mereka justru menciptakan metodologi kritik lain dengan cara menghimpun berbagai pendapat, asumsi, dan pandangan, lalu menyimpulkannya dengan melakukan analisis yang relevan dengan tempat, waktu, dan kondisi. Mereka hanya menaruh perhatian pada matan, tetapi tidak menaruh perhatian pada sanadnya, dan metode seperti itu, memang tepat jika diterapkan terhadap kitab-kitab lainnya, namun tidak terhadap Al-Quran itu sendiri. Inilah titik perbedaan antara metodologi kritik umat Islam dengan metode kalangan orientalis dalam melakukan penelitian sejarah Al-Quran, mulai dari Noldeke, seorang penulis buku Tarikh Al-Qur’an yang dipublikasikan tahun 1860 M, hingga orientalis yang datang sesudahnya yang melengkapi metodologinya seperti Schawally, Bergstrasser, Bretzl, dan Arthur Jeffery. Yang paling mutakhir adalah R. Balchere dalam bukunya al-Madkhal ila Al-Quran dan terjemah Al-Qur’annya. Dalam terjemahan AL-Qur’annya, ia telah menyisipkan beberapa ayat palsu terhadap teks-teks AL-Quran, dan ia mengaku jika ayat-ayat sisipan tersebut justru menyempurnakan teks-teks Al-Qur’an.4  
    Jika Noldeke hanya melakukan penyisipan terhadap ayat Al-Qur’an, namun lain halnya dengan apa yang telah dilakukan oleh Musailamah bin Habib al-Hanafi, yang dikenal dengan nama Musailamah al-Kadzab, yang telah membuat surat tandingan bagi surat-surat yang terdapat di dalam Al-Qur’an. Bahkan, selain membuat surat palsu sebagai surat tandingan bagi surat dalam Al-Qur’an, ia pun secara terang-terangan telah mengaku sebagai Nabi. Adapun contoh dari isi surat tandingan yang telah dibuat oleh Musailamah adalah: “Gajah, apa yang kau ketahui tentang gajah? Ia mempunyai belalai yang panjang. Taring-taring yang kokoh. Telinganya lebar, dengan mulut-mulut yang bisa mengunyah benda keras dan lembek. Sesungguhnya suku Quraisy adalah kaum yang melampaui batas.” Musailamah telah menggubah surat tersebut sebagai tandingan terhadap surat al-Fil dalam Al-Qur’an. Meski ia bisa membuat syair, namun tampaknya ia kurang melihat substansi syair yang telah dibuatnya itu. Tidak seperti surat al-Fil dalam Al-Quran, yang berbicara tentang kekalahan bala tentara gajah yang dipimpin oleh Abrahah, surat al-Fil karangan Musailamah hanya berbicara tentang seekor gajah, yang tentu saja tidak ada istimewanya dalam surat tersebut karena sudah banyak orang yang tahu apa itu gajah. Selain membuat surat Gajah, Musailamah pun telah membuat pula surat lainnya, seperti surat Katak dan juga surat Wanita Hamil.5    
    Jika menoleh ke belakang, pada masa awal-awal turunnya Al-Qur’an di Mekah, sebenarnya para penentang Islam telah lama berusaha untuk menggoyangkan keyakinan kaum Muslimin tentang Al-Qur’an, meskipun pada akhirnya mereka mengalami kegagalan. Kaum paganisme (Arab), sejak dahulu telah menentang keras adanya ide bahwa Al-Qur’an adalah wahyu dari Allah, lebih dari itu, mereka telah menuduh bahwa Al-Qur’an hanyalah dongeng klasik masyarakat tempo dulu yang telah dikutip dan didiktekan (Qs. 25:4-6). Dari adanya kesamaan tuduhan yang telah dilancarkan antara musyrikin Mekah dan orientalis, Daud Rasyid menyatakan bahwa pihak orientalis merupakan neo-paganisme Mekah, menurutnya, karena apa yang dilontarkan oleh musyrikin Mekah tempo dulu, itu juga yang dilemparkan oleh orientalis masa kini. Bedanya, hanya dalam cara dan polanya saja. Kalau paganis Mekah telah melempar tuduhan itu melalui lisan kepada Rasulullah saw dan para sahabatnya, sedangkan orientalis melontarkan klaim-klaim itu melalui forum-forum seminar dan diskusi di ruang kuliah.6  

Pengakuan Para Cendekiawan Tentang Al-Qur’an
    Selain berupaya mereduksi dan memanipulasi sejarah Al-Qur'an, serta untuk mencari berbagai kesalahan di dalam Al-Qur’an, pihak orientalis atau Islamophobia telah melakukan pelbagai pendekatan kritis terhadap Al-Qur’an karena apa yang mereka lakukan sejak awal telah menyamakan bahwa Al-Quran dan Alkitab adalah produk budaya. Namun, lain halnya dengan para cendekiawan Barat lainnya yang telah menjunjung tinggi kebenaran dan kejujuran dalam penelitiannya tersebut, bahkan mereka pun mengakui adanya kebenaran atas apa yang terdapat di dalam Al-Qur’an. Adapun pendapat positif para ilmuwan tentang Al-Qur’an, adalah sebagai berikut:
1. Edward Gibbon (1737-1794), seorang ahli sejarah kenamaan asal Inggris, mengungkapkan, “Al-Qur’an adalah sebuah kitab kemajuan, kitab kenegaraan, perdagangan, peradilan, dan undang-undang kemiliteran dalam Islam. Al-Qur’an memiliki isi yang lengkap, mulai dari urusan ibadah, ketauhidan, sampai pada perkara hidup sehari-hari, dari urusan yang terkait aspek ruhani sampai pada hal yang bersifat jasmani, mulai dari pembahasan tentang hak-hak dan kewajiban umat sampai pada masalah akhlak dan perangai, sampai pada hukum siksa di dunia ini. Dalam Al-Qur’an dijelaskan segala hal yang terkait dengan pembalasan amal. Karena itu, perbedaan antara Al-Qur’an dan Alkitab sangat besar. Alkitab tidak mengandung aturan-aturan yang berhubungan dengan aspek keduniawian. Di dalamnya hanya terdapat kisah-kisah yang berkaitan dengan usaha penyucian diri. Alkitab tidak akan dapat mendekati Al-Qur’an. Sebab, Al-Qur’an itu tidak hanya menerangkan aspek-aspek yang berhubungan dengan masalah keagamaan saja, tetapi juga mengupas aspek-aspek yang berkaitan dengan asas-asas politik kenegaraan. Bagi umat Islam, Al-Qur’an menjadi sumber peraturan negara, sumber undang-undang dasar, dan sebagai rujukan untuk memutuskan suatu perkara yang berhubungan dengan masalah harta maupun jiwa.”
2. I.O.M Deutsch (1829-1873), ia adalah seorang orientalis berkebangsaan Jerman. Menurutnya, “Saya melihat keajaiban dalam Al-Qur’an, sebuah kitab yang telah mendorong bangsa Arab untuk membuka dunia lebih besar dari apa yang telah dilakukan oleh Alexander the Great, juga lebih besar dari pencapaian bangsa Romawi. Al-Qur’anlah yang membuat bangsa Arab menjadi penguasa dunia. Bangsa Arab pernah masuk dan menguasai Eropa. Semua terjadi karena mereka digerakkan oleh Al-Qur’an yang menjadi obor dalam gelap gulita. Mereka membawa peradaban, kecerdasan, pengetahuan dan kebijaksanaan, mengembangkan ilmu filsafat, astronomi, kedokteran, dan sastra, sehingga kemajuannya pernah menyinari Eropa dan bumi bagian Timur. Dengan Al-Qur’an inilah, bangsa Arab berdiri dan tegak dalam menyiarkan ilmu pengetahuan. Dengan mengenang jasa dan kemuliaan mereka, kita mencucurkan air mata ketika mereka meninggalkan Andalusia, saat Granada terlepas dari tangan mereka.”
3. EH. Palmer, penulis buku Introduction to English Translation of the Quran, mengatakan, “Saya heran kalau penulis-penulis Arab, walaupun yang terpandai di antara mereka, tidak mampu membuat sesuatu yang menyamai Al-Qur’an.”
4. Bosworth Smith, dalam bukunya The Life of Mohamed, menuliskan, “Sebuah keajaiban yang telah dicapai oleh Nabi Muhammad saw, yang menamakan Al-Qur’an itu keajaiban yang abadi, adalah bahwa Al-Quran adalah Kitab Suci yang sangat luar biasa.”
5. George Sale dalam Preliminary Discourse to the Qoran, mengungkapkan, “Diakui orang, bahwa Al-Qur’an itu tertulis dalam bahasa yang sangat indah dan bersih, dalam lahjah bangsa Quraisy, lahjah yang termulia dan tersopan di antara bangsa-bangsa Arab, walaupun sedikit tercampur dengan lahjah yang lain. Semua orang sepakat mengatakan bahwa bahasa Al-Quran itulah bahasa yang dijadikan ukuran bagi bahasa Arab.”
6. Irving Muir dalam Life of Mohamet, mengatakan, “Alangkah besarnya perubahan dalam tiga belas tahun itu! Agama Nashrani sudah pernah ada di tanah Arab, agama Yahudi pun pernah hidup di sana. Namun, mereka tidak begitu mendapat perhatian. Bangsa Arab baru membuka telinganya ketika Nabi Muhammad menyebarkan ajarannya. Seakan-akan mereka bangun dari tidurnya, seakan-akan lahir kembali dalam kehidupan yang baru.”7
7. F.F. Arbuthnot, dalam The Construction of the Bible and the Koran, hal. 5, menyatakan, “… Dapat diketahui bahwa teks Al-Qur’an yang final dan lengkap itu disiapkan dalam jangka waktu dua belas tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad, dan teks itu hingga sekarang tetap sama tanpa adanya perubahan atau penggantian oleh para pembaca, penerjemah maupun pemalsu. Sangat disayangkan bahwa hal semacam itu tidak dapat dikemukakan mengenai Kitab-kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.”
8. Harry Gaylord Dorman dalam Towards Understanding Islam, menuturkan, “Ia (Al-Qur’an) adalah wahyu tertulis dari Allah, yang didiktekan kepada Muhammad oleh Jibril, yang setiap hurufnya sempurna. Ia merupakan mukjizat abadi, yang memberi kesaksian atas dirinya sendiri atas diri Muhammad, Rasul Allah. Sifat kemukjizatannya antara lain terletak pada gaya bahasanya, yang begitu sempurna dan halus sehingga baik manusia jin tidak dapat membuat satu surat pun yang setara dengan suratnya yang paling pendek sekalipun; dan sebagian lain terletak pada isi ajaran-ajarannya, nubuat-nubuatnya tentang masa depan dan informasinya yang benar-benar akurat sehingga orang yang buta huruf seperti Muhammad jelas tidak akan bisa mengumpulkannya dari pengetahuannya sendiri.”
9. James A. Michener, Islam the Misunderstood Religius dalam Reader’s Digest, mengungkapkan, “…. Perpaduan antara pengabdian kepada Allah yang Maha Esa dan perintah praktis inilah yang menyebabkan Al-Qur’an bersifat unik. Setiap bangsa Islam terdiri dari banyak warga negara yang berkeyakinan bahwa negara mereka akan diperintah secara baik jika hukum-hukumnya sesuai dengan Al-Qur’an.”
10. Hartwig Hirschfield, Ph.D., New Researches into the Composition and Exegesis of the Qur’an, menyampaikan, “Kita tidak perlu heran bila mengetahui Al-Qur’an sebagai sumber berbagai macam ilmu pengetahuan. Setiap pokok bahasan yang terkait dengan langit atau bumi, kehidupan manusia, dunia usaha dan berbagai perdagangan sering disinggung, dan hal ini menimbulkan banyak buku yang berisi komentar tentang beberapa bagian dari Kitab Suci Al-Qur’an. Dengan cara inilah, Al-Qur’an bisa mengembangkan diskusi-diskusi yang lebih besar, dan karena itu pulalah secara tidak langsung menimbulkan perkembangan pesat dalam semua cabang ilmu pengetahuan di dunia Islam…”8

Kesimpulan
    Pada masa kodifikasi Al-Qur’an yang terjadi pada zaman khalifah Utsman bin Affan merupakan sebuah langkah praktisnya Utsman dalam memilih Zaid bin Tsabit sebagai pemimpin dari panitia pembentukan mushaf Utsmani. Selain Zaid pernah masuk ke dalam jajaran kepanitiaan pengkodifikasian di masa Abu Bakar, sekaligus sebagai penulis ayat-ayat Al-Qur’an di masa Nabi Muhammad, ia pun pernah pula dipercaya pula oleh Umar untuk menjadi seorang qadhi, yang berkelanjutan sampai pada masa Utsman.9 Dari adanya kecakapan dan pengalaman yang dimiliki Zaid, tentu saja kemampuan dan metode yang diterapkannya itu telah membawa orisinalitas Al-Quran dari masa Nabi hingga pada masa Utsman bin Affan. Adapun perbedaan-perbedaan bacaan dari para imam qira’at, pada hakikatnya tidaklah membawa perubahan atau mereduksi ayat-ayat Al-Qur’an, karena pada dasarnya, perbedaan-perbedaan bacaan yang terjadi pada masa Utsman, sebenarnya telah terjadi pada masa Nabi Muhammad, dan perbedaan bacaan tersebut sebelumnya telah disetujui oleh Nabi Muhammad sendiri.
    Adanya gugatan-gugatan terhadap mushaf Utsmani yang dilancarkan oleh para orientalis, pada dasarnya memiliki kesamaan dengan apa yang telah dilakukan oleh pihak kaum Musyrikin Mekah kala itu. Atas nama penelitian ilmiah, para orientalis telah menyamakan kedudukan Al-Qur’an dengan Alkitab, yang diyakini oleh Kristen selama ini. Tentu saja, hal tersebut sebagai sebuah langkah yang salah dalam penerapannnya, karena pada prinsipnya, kodifikasi Al-Quran memiliki perbedaan yang sangat tajam dengan kanonisasi Alkitab. Al-Qur’an, misalnya, diketahui siapa saja yang memiliki peranan dalam melakukan pengumpulan Al-Quran, dan metode yang digunakannya dalam menjaga keautentikan di dalamnya, sedangkan Alkitab, tidak diketahui secara pasti siapa penulisnya, waktu kepenulisannya, dan metode yang digunakannya. Meskipun demikian, tidak sedikit pula pihak orientalis atau Barat yang telah mengakui kebenaran yang tertulis di dalamnya, dan mengakui pula adanya kesamaan isi Al-Quran di masa Nabi Muhammad dengan masa sekarang ini. Selesai

Catatan Kaki:
1. Adnin Armas, Metodologi Bibel Dalam Studi Al-Quran: Kajian Kritis, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), hlm. 111-112.
2. Ibid., hlm. 112-115.
3. M.M. al-A’Zami, Sejarah Teks Al-Qur’an: Dari Wahyu Sampai Kompilasi, terj. Sohirin Solihin, dkk., (Jakarta: Gema Insani Press, 2014), hlm. 105.
4. Abdul Shabur Syahin, Saat Al-Qur’an Butuh Pembelaan, terj. Khoirul Amru Harahap dan Akhmad Faozan, (Jakarta: Erlangga, 2011), hlm. 162-163.
5. Muhammad Abu Ayyasy, Hati-Hati Al-Qur’an Anda Palsu, (Jakarta: Qultum Media, 2011), hlm. 54-56.
6. Daud Rasyid, Pembaruan Islam Dan Orientalis Dalam Sorotan, (Bandung: Syamil, 2006), hlm. 140-141.
7. Emsoe Abdurrahman dan Arpiyanto Ranoedarsono, The Amazing Stories of Al-Quran: Sejarah Yang Harus Dibaca, (Bandung: Salamadani, 2009), hlm. 92-96.
8. Begum Aisha Bawany, Mengenal Islam Selayang Pandang, terj. Machnun Husein, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), hlm. 49-56.
9. Daniel Djuned, Antropologi Al-Quran, (Jakarta: Erlangga, 2014), hlm. 49. 

Comments