5 Macam Teori Masuknya Islam Ke Nusantara

Oleh: Sang Misionaris

Pertanyaan yang selalu meresahkan para sejarawan: Kapan Islam masuk ke Nusantara dan apa buktinya? Siapa yang pertama kali membawa agama Islam ke Indonesia, dan apa nama Kerajaan Islam yang pertama kali di Indonesia? Meskipun masuknya agama Islam disertai dengan jalan damai dan tidak menggunakan jalur militer, namun problem tentang sejarah masuknya Islam ke Indonesia, sangat sukar dipastikan, karena Indonesia memiliki keluasan wilayah dan letak geografisnya berada di persimpangan jalan laut niaga antara Arabia, India dan Cina. Oleh karena itu, terdapat beberapa teori tentang masuknya agama Islam ke Nusantara, seperti:

Teori Gujarat Prof. Dr. C. Snouck Hurgronje
    Hanya kerena akibat sistem penulisan, sejarah Islam Indonesia mengikuti hasil penulisan sarjana Belanda, terutama mengikuti teori Prof. Dr. C. Snouck Hurgronje, maka pada akhirnya diteorikan bahwa Islam masuk dari Gujarat. Karena menurutnya, Islam tidak mungkin masuk secara langsung ke Nusantara Indonesia dari Arabia, tanpa melalui ajaran tasawuf yang berkembang di India. Dijelaskan pula bahwa daerah India tersebut adalah Gujarat, daerah pertama yang dimasuki adalah Kesultanan Samudra Pasai, yaitu pada abad ke-13 M. Snouck tidak menjelaskan antara masuk dan berkembangnya Islam. Tidak pula dijelaskan di Gujarat menganut mazhab apa dan di Samodra Pasai berkembang mazhab apa? Mungkinkah Islam begitu masuk ke Samudra Pasai langsung mendirikan kekuasaan politik atau kesultanan?

Teori Makkah Prof. Dr. Buya Hamka
    Prof. Dr. Buya Hamka dalam Seminar Masuknya Agama Islam ke Indonesia di Medan (1963) lebih menggunakan fakta yang diangkat dari Berita Cina Dinasti Tang. Adapun waktu masuknya agama Islam ke Nusantara Indonesia terjadi pada abad ke-7 M. Dalam Berita Cina Dinasti Tang, menuturkan, ditemuinya daerah hunian wirausahawan Arab Islam di pantai barat Sumatra maka disimpulkan bahwa Islam masuk dari daerah asalnya yakni Arab, yang dibawa oleh wiraniagawan Arab. Sedangkan Kesultanan Samudra Pasai yang didirikan pada 1275 M atau abad ke-13 M, bukan awal masuknya agama Islam, melainkan perkembangan agama Islam.

Teori Persia Prof. Dr. Hoesein Djajadiningrat
    Prof. Dr. Abubakar Atjeh mengikuti pandangan Dr. Hoesein Djajadiningrat, yang meyakini bahwa Islam masuk ke Indonesia dari Persia yang bermazhabkan Syi’ah. Pendapatnya didasarkan pada sistem baca atau sistem mengeja membaca huruf Al-Qur'an, terutama di Jawa Barat: Arab mengeja dengan Fat-hah, Kasrah, Dhammah, sedangkan Persia menyebut Jabar, Je-er, Py-es. Namun nyatanya, teori ini dinilai lemah karena tidak semua pengguna sistem baca huruf Al-Quran di Persia sebagai penganut Syi’ah. Tidakkah pada saat Baghdad sebagai ibu kota Khilafah Abbasiyah, yang pada umumnya menganut Ahlussunnah wal Jama’ah. Lebih jelas, di Jawa Barat walaupun sistem mengeja baca huruf Al-Quran dengan cara seperti itu. Namun, para pengguna sistem baca Persia bukan penganut mazhab Syi’ah. Tidakkah penganut tasawuf Qadiriyah Naqsabandiyah bukan penganut Mazhab Syi’ah? Pada umumnya, di Jawa Barat bermazhab Syafi’i, seperti hal Abbasiyah yang berada di Baghdad dan Persia.

Teori Cina Prof. Dr. Slamet Muljana
    Prof. Dr. Slamet Muljana, 1968, dalam Runtuhnya Keradjaan Hindu Djawa dan Timbulnja Negara-Negara Islam di Nusantara, tidak hanya berpendapat Soeltan Demak adalah orang peranakan Cina, tetapi menyimpulkan pula bahwa para Wali Songo adalah orang peranakan Cina, yang pendapat ini bertolak dari Kronik Klenteng Sam Po Kong. Misalnya, Soeltan Demak Panembahan Fatah dalam Kronik Klenteng Sam Po Kong bernama Panembahan Jin Bun, yang menjadi nama Cina-nya. Sedangkan Arya Damar yang menjadi pengasuh Penembahan Jim Bun ketika di Palembang, bernamakan Swan Liong. Tidak hanya itu, Sultan Trenggana menggunakan nama Cina, yaitu Tung Ka Lo. Sedangkan Wali Songo, seperti halnya Sunan Ampel dengan nama Bong Swi Hoo, dan Sunan Gunung Jati dengan nama Cina, Toh A Bo.
    Sebenarnya, menurut budaya Cina dalam penulisan sejarah nama tempat yang bukan negeri Cina, dan nama orang yang bukan bangsa Cina, juga dicinakan pula nama penulisannya. Misalnya, putri dari Radja Wikramawardhana adalah Suhita, dan sebagai Ratu Kerajaan Hindu Majapahit, dituliskan dengan nama Cina, Su King Ta. Nama Kerajaan Budha Sriwijaya dituliskan dengan nama San-fo-tsi. Namun anehnya, Slamet Muljana tidak menyebutkan bahwa Ratu Suhita atau Su King Ta berasal dari peranakan Cina, dan Kerajaan Budha Sriwijaya atau San-fo-tsi adalah Kerajaan Cina. Namun besar kemungkinan, seluruh nama-nama raja Majapahit dan nama Kerajaan Hindu Majapahit, sebagaimana kerajaan lainnya, dicinakan pula dalam Kronik Klenteng Sam Po Kong Semarang. Tetapi anehnya, nama-nama wali dan nama Sultan Demak dicinakan dalam Kronik Klenteng Sam Po Kong, ditafsirkan oleh Slamet Muljana sebagai orang Cina. Lalu mengapa tidak seluruh nama pelaku sejarah dan nama tempat yang dicinakan dalam penulisan Kronik Klenteng Sam Po Kong ditafsirkan menjadi Cina semuanya? Jadi, tidak hanya sebatas nama-nama wali dan Dinasti Sultan Demak saja yang ditafsirkan sebagai Cina, akan tetapi seharusnya ditafsirkan pula sebagai peranakan Cina atau wilayah Cina. Dan menurut Prof. Dr. G. W. J. Drewes, Guru Besar Islamologi dari Universitas Leiden, menyatakan bahwa pengambilan data yang dikumpulkan oleh Slamet Muljana, tidak tepat dan tidak beralasan.

Teori Maritim N.A. Baloch
    Teori ini dikenalkan oleh seorang sejarawan Pakistan, yang bernama N. A. Baloch, menurutnya, Islam telah memiliki navigator atau mualim dan wirausaha Muslim yang pada akhirnya menguasai maritim dan pasar, dan melalui aktivitas ini, maka pada abad ke-1 H atau abad ke-7 M, ajaran Islam mulai diperkenalkan di pantai-pantai tempat persinggahannya, di sepanjang jalan laut niaga. Oleh karena itu, sebagaimana yang disampaikan oleh N.A. Baloch dalam The Advent of Islam in Indonesia, ajaran Islam telah mulai diperkenalkan dari pantai Nusantara Indonesia hingga ke Cina Utara oleh para pedagang yang berasal dari Arab. Sedangkan tentang proses waktu yang dilaluinya dalam mengenalkan Islam, berlangsung selama 5 abad lamanya. Selanjutnya, Baloch menjelaskan bahwa mulai pada abad ke-13 M, telah terjadi pengembangan Islam hingga ke pedalaman Indonesia, yang dalam periode tersebut, pengembangan Islam ke pedalaman dilakukan oleh para wirausahawan pribumi.   


Sumber: Dikutip dari karya Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah 1: Mahakarya Perjuangan Ulama dan Santri Dalam Menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia, (Bandung: Surya Dinasti, 2015). 

Comments