Ilmu Dalam Perspektif Islam Dan Dampaknya Terhadap Peradaban Islam

Oleh: Sang Misionaris.

Pendahuluan
    Islam telah memberikan dorongan yang begitu sangat besar kepada kaum Muslimin untuk menjadi seorang yang berilmu, dan dorongan tersebut bukanlah tanpa alasan, karena sebagaimana yang kita ketahui, selain mampu membedakan mana yang benar dan yang salah, orang yang berilmu pun akan memiliki kedudukan yang berbeda dan lebih terhormat di tengah masyarakat. Jadi suatu hal yang tepat, ketika Allah menurunkan wahyu pertama kepada Nabi Muhammad saw dengan memberikan Surat Al-‘Alaq terlebih dahulu kepada beliau.
    Ilmu dalam Perspektif Islam dan Barat memang berbeda antara satu sama lain, contohnya, dalam Barat telah mendikotomikan ilmu, tetapi di dalam Islam tidak mengalami dikotomi. Karena sejak awal, tolok ukur kaum Muslimin dalam menetapkan sesuatu, termasuk dalam menetapkan kebenaran, kaum Muslimin telah menggunakan wahyu sebagai pijakan dasarnya, bukan menggunakan akal, pancaindera, dan juga intuisi, sebagaimana halnya pihak Barat, yang hal itu diterapkan Barat karena sebelumnya mengalami kekecewaan terhadap otoritas gereja. Dari adanya dasar itulah, selain tidak adanya dikotomi terhadap ilmu, Islam pun memiliki keharmonian dengan ilmu, dan oleh karena itu, peradaban Islam mengalami kemajuan yang sangat pesat di saat pihak Eropa Barat, yang didominasi oleh Kristen, mengalami keterpurukan dalam berbagai hal, termasuk pula tentang ilmu dan juga etika.

Keharmonian Antara Ilmu Dengan Islam
    Sejak Islam untuk pertama kalinya disampaikan oleh Nabi Muhammad saw, kaum Quraisy yang telah masuk Islam menerimanya dengan penuh kebahagiaan atas apa yang telah beliau dakwahkan kepada mereka, tanpa pernah ada kritikan atau pun kekecewaan yang mereka alami dan mereka lontarkan kepada beliau, baik ketika beliau masih ada maupun pada saat beliau telah meninggal dunia. Sikap menerimanya kaum Muslimin ini, bukan didasari oleh adanya ancaman di bawah pedang atau pun adanya sebuah keterpaksaan, melainkan adanya kesadaran yang disebabkan oleh adanya keselarasan antara apa yang beliau dakwahkan dengan nalarnya mereka. Meski secara politik, Persia dan Romawi kala itu telah memiliki kaki tangannya di wilayah Jazirah Arab, namun kedua kekuatan adidaya tersebut tidak mampu memberikan perubahan yang sangat berarti bagi masyarakat di Jazirah Arab,1 justru yang ada malah sebaliknya, di bawah kekuasaan Ptolemy, misalnya, agama, bahasa, dan arsitektur dari Mesir telah mereka ambil, dan bahkan arsitekturnya pun mengalami perbaikan di masa Caesar.2
    Selain adanya nilai logis atas apa yang telah disampaikan oleh Nabi Muhammad, akhlak mulianya pun telah memberikan sebuah pembuktian atas apa yang telah diimaninya tersebut, dalam artian, adanya keselarasan antara ilmu dengan amalnya. Maka tidak mengherankan, jika kafir Quraisy, yang menjadi lawannya, mengakui adanya keagungan dalam akhlak beliau, karena jika ilmu tidak diiringi dengan akhlak, maka ilmu tersebut tidak akan memberikan kemanfaatan sama sekali, baik bagi dirinya maupun orang lain, namun ketika akhlak tidak diiringi dengan ilmu, maka perbuatan yang dilakukannya akan tercampur oleh adanya kepentingan yang pada akhirnya akan menghasilkan sebuah kemunafikan dalam diri.
    Dalam Islam, terdapat tradisi penyatuan antara ilmu dan amal, yang tradisi tersebut berbeda dengan yang apa terdapat dalam tradisi Barat. Pada Islam, ada konsep fasiq, di mana seseorang yang meskipun berilmu tinggi, namun melakukan perbuatan jahat, maka ia dapat dikategorikan sebagai seorang yang fasiq. Orang fasiq, oleh sebagian ulama dilarang untuk menjadi saksi di dalam pernikahan atau pengadilan, bahkan dalam ilmu Hadits, ada ilmu jarah wa ta’dil yang secara terbuka membongkar sifat-sifat buruk para perawi hadits, seperti pembohong dan sebagainya. Adanya tradisi Islam seperti itu, tidaklah kita temui dalam sistem keilmuan Barat yang sekuler, karena tradisi ilmu Barat yang berakar pada tradisi Yunani, terdapat pemisahan antara orang pintar dan orang saleh, dan seorang ilmuwan di Barat tetap dianggap sebagai ilmuwan yang dihormati, meskipun tidak jelas agama dan amalan-amalan agamanya. Paul Johnson, dalam bukunya Intellectuals (1998), memaparkan kehidupan  dan moralitas sejumlah ilmuwan besar yang menjadi rujukan keilmuwan di Barat dan dunia internasional saat ini, seperti Rulosseau, Henrik Ibsen, Leo Tolstoy, Ernest Hemingway, Karl Mar, dan lain-lain. Ernest Hemingway, misalnya, seorang ilmuwan jenius yang tidak memiliki agama yang jelas, meskipun kedua orang tuanya adalah pengikut Kristen yang taat. Istri pertamanya, Hadley, menyatakan bahwa ia sembahyang selama dua kali, yaitu pada saat pernikahan dan pembaptisan anaknya. Dan menurut Johnson, ia bukan saja tidak percaya kepada Tuhan, tetapi menganggap ‘organized religion’ sebagai ancaman terhadap kebahagiaan manusia.3  
    Islam tidak hanya mendukung adanya kebebasan intelektual, namun membuktikan pula kecintaannya terhadap ilmu dan sikap hormatnya kepada para ilmuwan, tanpa pernah memandang agama mereka,4 dan sikap demikian, tidak pernah ada dalam Eropa Barat, sebagaimana yang telah dibahas dalam artikel sebelumnya. Bukti nyata bahwa Islam menghargai ilmu, dan menghormati ilmuwan dari pihak kafir (non-Muslim), yakni adanya kebebasan yang telah diperoleh dari seorang ilmuwan Yahudi yang bernama Maimonides, ia adalah seorang filsuf Yahudi terbesar sepanjang masa. Pihak Yahudi tidak hanya mendapatkan kebebasan dalam mendalami ilmu, tetapi juga mendapatkan kebebasan dalam menjalankan agamanya, padahal kala itu, orang Yahudi di seluruh Eropa hampir tidak diterima pada abad pertengahan, dan bahkan mendapatkan pembunuhan berencana.5
    Bukti lain bahwa Islam menghargai ilmu yang dimiliki oleh pemeluk agama lain yakni adanya penempatan pihak kafir di dalam pemerintahan Islam. Contohnya, dalam Dinasti Abbasiyah, bagian administrasi banyak yang dipegang oleh orang Persia, karena memang selama ratusan tahun sebelum Islam, orang Persia telah mengembangkan sistem birokrasi yang kompleks, tetapi efisien.6 Adanya peran orang Persia dalam pemerintahan Islam, hal itu secara langsung telah membantah adanya tudingan yang dilancarkan oleh sebagian pihak kafir/Islamophobia bahwa di masa kekuasaan Islam, Muslim telah melakukan diskriminasi terhadap orang-orang yang tidak beragama Islam.       
    Pada masa kegelapan, Eropa sebenarnya telah memiliki para ilmuwan, sastrawan, dan lain-lain, tetapi karena adanya penekanan dan pengawasan yang sangat ketat dari pihak otoritas gereja, maka tidak ada satu pun temuan atau hasil karya yang mampu mereka hasilkan pada era tersebut. Pada saat para saintis menghasilkan kreativitas atau eksperimen, di saat itu pula otoritas gereja langsung menentangnya secara mentah-mentah, bahkan pertentangan sengit pun kerap kali terjadi antara saintis dengan pihak otoritas gereja, dan saintis mulai menciut nyalinya, ketika ancaman pun datang dari pihak gereja.7 Kondisi demikian, tentu saja memiliki perbedaan yang tajam dengan apa yang terdapat dalam Islam. Dan suatu hal yang tepat, atas apa yang telah disampaikan oleh seorang sejarawan Irlandia, Tim Wallace-Murphy, dalam bukunya, What Islam Did For Us: Understanding Islam’s Contribution ti Western Civilization, ketika ia menggambarkan tentang adanya perbedaan perilaku masyarakat Kristen Eropa dengan kaum Muslimin di Andalusia: “Kehidupan bagi sebagian besar masyarakat Kristen Eropa adalah singkat, brutal, dan biadab, bila dibandingkan dengan kehidupan yang canggih, terpelajar, dan rezim yang toleran di wilayah Muslim Spanyol.”8   
    Kala itu, Nabi Muhammad saw tidak hanya memberikan suri teladannya saja, namun memberikan pula dukungan secara penuh kepada para sahabatnya untuk menguasai ilmu, dan hal tersebut terbukti sebagaimana yang pernah dialami oleh Zaid bin Tsabit. Oleh Nabi, Zaid disuruh untuk mempelajari bahasanya kaum Yahudi, dan ia pun mempelajari bahasa tersebut hampir setengah tahun lamanya.9 Tidak hanya itu, demi mempermudah para sahabat lainnya untuk memiliki kemampuan baca tulis sebagai gerbangnya dalam menguasai ilmu, Nabi Muhammad saw pun memberikan syarat kepada para tawanan perang Badar dalam memperoleh kebebasannya, yakni seorang tawanan perang akan mendapatkan kebebasan, jika mereka mau mengajari baca tulis kepada 10 anak kaum Muslimin.10
    Apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw di atas, sangatlah berbeda jauh, bila dibandingkan dengan kondisi Kristen yang berada di bawah pihak otoritas gereja. Dengan adanya kondisi demikian, Richard Fletcher menuturkan, “Pemberantasan buta huruf tidak begitu berhasil pada masa kependetaan (kemampuan mereka bahkan pas-pasan), kemampuan baca tulis bukanlah keahlian yang bernilai penting dalam dunia Kristen, hal ini sangat kontras dengan dunia Islam”.11 Maka tidak mengherankan, jika pada akhirnya para pemuka agama Kristen tidak ada yang menjadi penemu atau penggagas tentang suatu disiplin ilmu, karena baca tulis yang menjadi gerbangnya ilmu pun tidak mereka perhatikan sama sekali.
    Tradisi mencintai ilmu tidak hanya terjadi di zaman Nabi Muhammad saw saja, melainkan terjadi pula dalam Daulah Islam. Sultan Muhammad al-Fatih, misalnya, atas kecintaannya kepada ilmu dan para ulama, ia telah mewaqafkan hartanya dalam jumlah yang besar untuk membangun sekolah-sekolah dan institut-institut di seluruh penjuru negerinya, baik di kota-kota maupun di desa-desa terpencil. Selain membangun tempat belajar, ia pun memperbaiki pula sistem kurikulum pendidikan dan mengembangkannya. Sistem yang diterapkan di sekolah-sekolah Daulah Utsmaniyah adalah sistem kejurusan, di mana ilmu-ilmu riwayat dan teoritis berada dalam jurusannya masing-masing, begitu pun dengan ilmu-ilmu yang bersifat praktis, dan di samping adanya sekolah, Muhammad al-Fatih pun menyediakan pula perpustakaan.12
    Bukan hanya pada Daulah Utsmaniyah kaum Muslimin mendapatkan dorongan dari pemerintah Islam untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, pada masa Daulah Abbasiyyah, khalifah Harun ar-Rasyid, misalnya, semua penduduk Muslim, baik yang kaya atau miskin, mendapatkan pendidikan karena adanya dukungan dana yang sangat besar dari Harun ar-Rasyid. Hanya sebagian kecil kekayaan pemerintah yang dialokasikan oleh Harun ar-Rasyid untuk gaji aparatur pemerintah, para pegawai istana, termasuk pula gaji pribadinya sendiri, dan sebagian besar kekayaan pemerintah dianggarkan untuk membangun sains dan teknologi. Bahkan di masa kepemimpinan al-Ma’mun ar-Rasyid, penerus khalifah Harun ar-Rasyid, para intelektual mendapatkan posisi yang terhormat, bahkan disejajarkan dengan para pejabat pemerintah, tidak hanya itu, para ilmuwan pun mendapatkan gaji yang sangat tinggi, meskipun tidak pernah bekerja di institusi formal.13
    Ketika nilai-nilai wahyu diterapkan oleh kaum Muslimin, ditambah dengan adanya dukungan penuh dari penguasa, akhirnya Islam pun memiliki peradaban dan mampu memberikan kontribusinya kepada dunia, ketika Eropa Barat yang diidentikan dengan Kristen, sedang mengalami keterpurukan dalam berbagai hal, khususnya tentang ilmu. Tentang adanya keterpurukan yang dialami oleh Barat, seorang Uskup Agung Brisbane, telah mengatakan secara jujur tentang apa yang terjadi pada Barat ketika dikuasai oleh Kristen, “Saya pikir, kebenaran adalah reformasi yang tidak hanya merintangi, tetapi juga mengaburkan kemajuan ilmiah yang telah dimulai pada abad sebelumnya. Reformasi dan kontra-reformasi dari titik pandang kebudayaan sekuler merupakan kemunduran..…Orang-orang gereja dengan mudah mengungkapkan bahwa tidak ada konflik yang panjang di antara Kristen dan ilmu pengetahuan, suatu kelalaian atau dengan sengaja menutup mata. Ini merupakan konflik yang sangat serius dan tantangan diungkapkan bukan pada abad Darwin, melainkan pada abad Copernicus dan Galileo.”14
    Dengan menjadikan wahyu sebagai basisnya kaum Muslimin dalam berpikir dan mendalami ilmu, maka tidak mengherankan, jika umat Islam pada akhirnya memiliki banyak para ilmuwan dalam segala bidang, contohnya:15
  1. Ilmu Kedokteran
    Dalam ilmu kedokteran, kita sudah tidak asing lagi dengan nama Ibnu Sina, yang karyanya, Al-Qanon fi al- Tibb, hingga abad ke -17 M, kitab tersebut telah menjadi rujukan pihak Barat dalam ilmu kedokteran. Selain Ibnu Sina, ada pula Al-Razi (841-926) yang dikenal oleh Barat sebagai Razes, yang nama lengkapnya adalah Abu Bakr Mohammad Ibn Zakaria al-Razi. Ia adalah seorang dokter istana Pangeran Abu Saleh al-Mansur, penguasa Khurasan. Al-Razi menyoroti tiga aspek penting dalam kedokteran, antara lain: kesehatan publik, pengobatan preventif dan perawatan penyakit khusus. Selain menghasilkan karya dengan judul Al-Mansuri, ia pun menghasilkan pula karya lain seperti Al-Murshid dan al-Hiwa. Karyanya yang terdiri dari 22 volume tersebut, telah dijadikan sebagai salah satu rujukan sekolah kedokteran di Paris. Selain mereka, tokoh kedokteran lainnya adalah al-Zahrawi, yang dikenal oleh Barat dengan nama Abulcacis, yang menjadi seorang ahli bedah pada masa khalifah Abdul Rahman III, dan karyanya, al-Tastif Liman Ajiz’an al-Ta’lif, telah dijadikan sebagai ensiklopedia ilmu bedah pada abad pertengahan.
 
  1. Matematika
    Salah satu ilmuwan Muslim yang tersohor adalah Muhammad bin Musa al-Khawarizmi, yang dikenal oleh pihak Barat dengan sebutan Algorisme. Pada tahun 830 M, ia telah menghasilkan karya dengan judul al-Jabr wa’l Muqabala dan diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dengan judul Liber Algebrae et Almucabala oleh Robert of Chester dan Gerard of Cremona. Ilmuwan Muslim lainnya yang turut memberikan sumbangan besar bagi pengembangan matematika ialah Omar Khayyam. Menurut ahli matematika, Keith Devlin dalam tulisannya yang berjudul Mathematical Legacy of Islam, mengungkapkan bahwa sekolah-sekolah katedral di Eropa mulai melek matematika sekitar abad ke 10 M, ketika sarjana Katolik mulai tertarik dengan ilmu hitung, mereka mendatangi Spanyol yang kala itu tengah didominasi oleh peradaban Islam, dan salah satu pihak Katolik yang belajar dan tertarik dengan pestasi ilmiah peradaban Islam adalah Paus Sylvester II.16

  1. Geografi
    Bersama 70 geografer lainnya, di Masa khalifah al-Ma’mun, al-Khawarizmi telah membuat globe pertama pada tahun 830 M, dan karya al-Khawarizmi, Surah al-Ard, merupakan sebuah karya yang sekaligus sebagai pengoreksian terhadap karya Ptolomeus. Di abad 11 M, al-Biruni menyatakan bahwa Ptolomeus tidak pernah dengan ilmiah membuktikan bumi tidak bergerak, bahkan mungkin bumi berputar di sumbunya. Menurutnya, hal ini akan menjelaskan mengapa perhitungan Ptolomeus meleset, yaitu karena tidak memperhitungkan adanya gerakan bumi.17
    Masih di abad ke-11 M, seorang geografer Muslim lainnya yang bernama Abu Ubaid al-Bakri, telah berhasil menulis dua kitab dalam bidang geografi, yaitu Mu’jam al-Isti’jam dan al-Masalik wa al-Mamalik. Buku pertamanya yang berisi tentang nama-nama tempat di Jazirah Arab, dan buku keduanya tentang pemetaan geografis dunia Arab di zaman dahulu. Adapun di abad 12 M, al-Idrisi telah berhasil membuat peta dunia dan menhasilkan karya dengan judul Nazhah al-Muslak fi Ikhtira al-Falak, yang pada akhirnya diterjemahkan dalam bahasa Latin, Geographia Nubiensis.

Ketika kaum Muslimin telah menghasilkan banyak karyanya dalam membangun peradaban masyarakat dunia, lalu apa sumbangan Barat bagi dunia, yang kala itu telah didominasi oleh Kristen? Berapa banyak para ilmuwan Barat yang secara ortodoksi, menggunakan Alkitab sebagai rujukan dalam penelitiannya, sehingga dari penelitiannya tersebut mampu memberikan kemanfaatan bagi masyarakat dunia? Hanya pertengkaran internal, kekejaman  kepada para teolog dan ilmuwan, dan keterbelakangan yang diberikan oleh Kristen kepada dunia, dan tidak mengherankan jika pada akhirnya, masyarakat Barat pun mengalami trauma ketika Kristen mendominasi Eropa Barat.


Ilmu Pengetahuan Dalam Perspektif Islam
    Ilmu yang dihasilkan oleh Barat dan Islam memang tidak bisa disamakan, karena keduanya memiliki perbedaan tradisi. Kristen yang mendominasi Barat, telah menggunakan tradisi Yunani-Romawi sebagai basis ilmu pengetahuannya, melalui rasionalistik-empirik, maka pada akhirnya ilmu pun dikotomikan, sedangkan dalam Islam, dengan berbasis wahyu yang telah digunakan kaum Muslimin, maka pada saat kaum Muslimin menggunakan akal, pancaindera, dan juga intuisinya, di saat itu pula mengalami pengoreksian terlebih dahulu di bawah otoritas wahyu, sehingga dalam Islam, ilmu tidak mengalami dikotomi.
    Selama berabad-abad lamanya, para ulama secara terus-menerus membahas ilmu secara intensif dan ekstensif, tetapi dalam perkembangannya, terdapat perbedaan pendapat tentang definisi ilmu di antara para teolog, fuqaha, filsuf dan ahli bahasa, misalnya:18   
  1. Menurut seorang ahli filologi, al-Raghib al-Isfahani, dalam karyanya Kamus Istilah Qur'an, telah mendefinisikan ilmu sebagai “persepsi suatu hal dalam hakikatnya”. Ini artinya bahwa sekedar menilik sifat (mis., bentuk ukuran, berat, isi, warna, dan sifat-sifat lainnya) suatu hal yang yang tidak merupakan bagian dari ilmu.  
  2. Imam al-Ghazali mendefinisikan ilmu sebagai “pengenalan sesuatu atas dirinya”. Dalam pandangan al-Ghazali, kita tidak dapat mengklaim telah memiliki ilmu sesuatu, kecuali jika dan hingga kita tahu sesuatu itu apa adanya.
  3. Seorang ahli logika yang bernama Athir al-Din al-Abhari, mengemukakan tentang ilmu bahwa menghampirnya gambar suatu benda dalam pikiran. Dan begitu juga menurut Ibn Sina. Definisi ini menunjukkan bahwa untuk mengetahui sesuatu artinya membentuk suatu pemikiran tentangnya, memiliki gambaran sesuatu itu tergambarkan dalam benak. Dengan kata lain, mengetahui adalah melakukan konseptualisasi.
  4. Dalam karyanya, Ta’rifat, al-Sharif al-Jurjani telah mendefinisikan ilmu sebagai tibanya minda pada makna sesuatu. Definisi ini dipertimbangkan oleh Ali Celebi Qinalizadeh sebagai yang terbaik yang ia ketahui. Definisi inilah dan yang lebih awal oleh Ibnu Sina dan al-Abhari yang Profesor Syed Muhammad Naquib al-Attas telah mensintetiskan dalam monografnya yang berjudul The Concept of Education in Islam. Menurutnya, ilmu paling tepat didefinisikan sebagai tibanya makna dalam jiwa yang sekligus tibanya jiwa pada makna.
Tidak semua ulama setuju tentang definisi konseptual ilmu ini, Ibn Arabi, misalnya, mendefinisikan ilmu sebagai penerimaan mental atas (ilmu tentang) segala hal dalam batas dirinya apa adanya. Baginya, ilmu adalah sifat yang dianggap berasal dari minda melalui penerimaan tersebut sehingga minda itu disebut yang mengetahui, dan segala hal disebut sebagai yang diketahui. Dalam pandangannya, tidak segala hal yang dikenal dapat dipahami, tidak juga halnya bahwa setiap orang yang tahu, membentuk suatu konsep dalam mindanya.
    Mengenai hakikat ilmu secara mutlak (tidak dikaitkan dengan objek atau disipln tertentu), para ulama berbeda pandangan apakah ilmu merupakan sesuatu yang daruri, apriori, yang dapat dikonsepsikan hakikatnya segitu saja, sehingga tidak memerlukan suatu definisi, atau nazari (inferensial), tetapi sulit didefinisikan, melainkan hanya bisa lebih jelas dikonsepsikan dengan analisis/klasifikasi dan contoh, atau nazari yang tidak sulit didefinisikan. Pendapat pertama, dianut antara lain oleh Fakhr al-Dinal-Razi, pendapat kedua dianut oleh al-Juwaini dan al-Ghazali, dan pendapat ketiga diikuti oleh para jumhur ulama.
    Mestinya, jumhur ulama (mutakalimin) mengakui atas sulitnya mendefinisikan ilmu, sebab di antara mereka ternyata bermunculan pula aneka definisi tentang ilmu, misalnya:19
  1. Definisi Mu’tazilah, bahwa ilmu adalah mengitikadkan sesuatu sesuai dengan kenyataannya disertai ketenangan dan ketetapan jiwa padanya. Seperti yang dirumuskan oleh ‘Abd al-Jabbar bahwa ma’rifat, dirayah, ilmu adalah apa yang menghasilkan ketenangan jiwa, kesejukan dada, dan ketentraman hati.
  2. Definisi Bazdawi, dari Maturidiyah, ilmu adalah menangkap onjek ilmu sesuai kenyataannya. Definisi Jurjani yang merupakan seorang Maturidi lainnya, telah mendefinisikan ilmu sebagai itiqad yang pasti dan sesuai dengan realitas (objek).
  3. Definisi Juwaini dan Baqillani (keduanya dari Asy’ariyah), dan Abu Ya’la (dari Hanabilah), telah mendefinisikan ilmu sebagai berikut: ilmu adalah mengetahui objek ilmu sesuai realitasnya.
  4. Definisi Ibn Hazm, ilmu adalah meyakini sesuatu sebagaimana realitasnya sendiri.
  5. As-Syaukani, dari famili Zaidi, yang didukung oleh Qannuji, mendefinisikan bahwa ilmu adalah sifat yang dengannya apa yang dicari terbuka secara sempurna.
  6. Menurut Ibn Rusyd, sesungguhnya ilmu yaqini adalah mengetahui sesuatu sebagaimana realitasnya sendiri.
    Prof. Wan Mohd Nor memberikan penjelasan bahwa dari segi linguistik, ‘ilm berasal dari akar kata ‘ain-lam-mim yang diambil dari kata ‘alamah, yaitu tanda, penunjuk, atau petunjuk yang dengan sesuatu atau seseorang dikenal; kognisi atau label; ciri; petunjuk; tanda. Dengan demikian, ma’lam (jamak, ma’alim) berarti tanda jalan atau sesuatu yang dengannya seseorang membimbing dirinya atau sesuatu yang membimbing seseorang. Seiring dengan hal itu, maka ‘alam pun dapat diartikan pula sebagai petunjuk jalan, dan bukan tanpa alasan jika penggunaan istilah ayah (jamak, ayat) dalam Alquran yang secara literal berarti tanda yang merujuk pada ayat-ayat Alquran dan fenomena alam. Sedangkan kata ilmu, alam, dan ‘ilm (dengan makna yakin), memiliki akar kata yang sama, karena alam jika dipahami sebagai ayat Allah, akan menghasilkan ilmu yang mengantarkan manusia kepada keyakinannya kepada Allah. Karena itulah, Allah memperingatkan bahwa  nanti di akherat, neraka jahanam akan dijejali dengan manusia-manusia dan jin yang mereka memiliki mata, tetapi tidak memahami ayat-ayat Allah. Begitu pula telinga dan akal mereka tidak sampai mengantarkan mereka pada pemahaman dan keimana kepada Allah, yang mereka sendiri seperti halnya binatang ternak, bahkan lebih sesat (Qs. 7:179).20

Kesimpulan
    Tanpa adanya sumbangan dari peradaban Islam, maka bisa dipastikan bahwa perkembangan masyarakat dunia akan mengalami kestagnasian, dan bisa jadi, masih mewarisi tradisi Kristen, yakni adanya kejumudan dalam bernalar dikarenakan keterpaksaan diri untuk tunduk pada otoritas gereja, meski pada akhirnya bertentangan dengan akal dan perkembangan zaman. Sebagai Muslim, seharusnya kita bangga karena adanya peradaban Islam, telah menorehkan tinta emasnya dalam sejarah dunia. Meskipun di sisi lain, perlu disayangkan karena adanya dikotomi ilmu yang berasal dari Barat telah menjadi bagian paradigma bagi sebagian akademisi dari pihak Muslim yang telah menyebar layaknya virus.  

Catatan Kaki
1. Untuk membaca selengkapnya tentang hal itu, silahkan untuk merujuk kepada karya Hugh Kennedy, Penaklukan Muslim Yang Mengubah Dunia, Terj. Ratih Ramelan, (Jakarat: Alvabet, 2016).
2. David Macrae, The World of Islamic Civilization, ed. Moh. Nurhakim, (Malang: UMM-Press, 2001), hlm. 117.
3. Adian Husaini, Virus Liberalisme DI Perguruan Tinggi Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2009), hlm. 164-165.
4. Nunu Burhanuddin, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2018), hlm. 32.
5. Firas AlKhateeb, Sejarah Islam Yang Hilang: Menelusuri Kembali Kejayaan Muslim Pada Masa Lalu, (Yogyakarta: Bentang, 2014), hlm. 160.
6. Ibid., hlm. 87.
7. Abdul Waid, Menguak Fakta Sejarah: Penemuan Sains Dan Teknologi Islam Yang Diklaim Barat, (Yogyakarta: Laksana, 2014), hlm. 20-21.
8. Adian Husaini, et.al., Filsafat Ilmu: Perspektif Barat Dan Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2013), hlm. 35.
9. Muhammad Mustafa Azami, 65 Sekretaris Nabi Saw, terj. Mahfuzh Hidayat Lukman, (Jakarta: Gema Insani, 2008), hlm. 99.
10. Ali Muhammad Ash-Shallabi, Peperangan Rasulullah Saw, Terj. Arbi dan Nila Noer Fajariyah, (Jakarta: Ummul Qura, 2016), hlm.152-153.
11. Richard Fletcher, The Cross and The Crescent: Riwayat Tentang Perjumpaan Awal Umat Muslim dan Kristen, Terj. Abdul Malik, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2007) hlm. 55.
12. Ali Muhammad Ash-Shallabi, Sejarah Daulah Utsmaniyah: Faktor-faktor Kebangkitan Dan Sebab-Sebab Keruntuhannya, terj. Imam Fauzi, (Jakarta: Ummul Qura, 2017), hlm. 278-279.
13. Abdul Waid, op.cit., hlm. 33-36.
14. Muhammad Fazlur Rahman Ansari, Islam dan Kristen Dalam Dunia Modern, (Jakarta: Amzah, 2008), hlm. 22.
15. Untuk membaca pelbagai penemuan Muslim, silahkan untuk membaca karya Heri Ruslan, Khazanah: Menelisik Warisan Peradaban Islam Dari Apotek Hingga Komputer Analog, (Jakarta: Republika, 2010).
16. Firas AlKhateeb, op.cit., hlm. 161.
17. Firas AlKhateeb, op.cit., hlm. 96-97.
18. Adian Husaini, et.al.,  op.cit., hlm. 75-78.
19. Saeful Anwar, Filsafat Ilmu Al-Ghazali: Dimensi Ontologi Dan Aksiologi, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hlm. 89-92.
20. Adian Husaini, et.al, op.cit., dalam Pengantar Editor, hlm. Xxv-xxvi. 

Comments