Sejarah Kodifikasi Al-Qur'an bag. 3




Berkaitan tentang banyaknya bacaan, salah satu tokoh dari Jaringan Islam Liberal ( JIL)  yang bernama Luthfi Asy-Syaukanie, mengatakan :

“Otoritas bacaan bukanlah satu-satunya sumber yang menyebabkan banyaknya varian bacaan. Jika otoritas tidak dijumpai, kaum Muslim pada saat itu umumnya melakukan pilihan sendiri berdasarkan kaedah bahasa dan kecenderungan pemahamannya terhadap makna sebuah teks. Dari sinilah kemudian muncul beragam bacaan yang berbeda akibat absennya titik dan harakat (scripta defectiva). (1)

Apa yang dipaparkan oleh Luthfi diatas, mengimplikasikan dengan banyaknya bacaan, hal tersebut menyebabkan adanya perbedaan isi teks yang bersifat tekstual. Berarti konsekuensi logisnya adalah disaat adanya perbedaan atas apa yang ditulis, tentunya akan berbeda pula atas apa yang dibacanya. Padahal, para penulis buku tentang biografi para qari’, selalu membedakan periwayatan dari segi memaparkan, mendengarkan dan menyampaikan. Mereka menyebut bagian pertama dengan istilah qira'ah atau bacaan, dan menyebut istilah kedua dengan istilah huruf. Sangat jarang dijumpai adanya penyebutan huruf dengan menggunakan istilah qira’ah, yang ada penyebutan istilah huruf dengan menggunakan istilah riwayah. Jadi sebenarnya, apa yang dimaksud oleh Luthfi diatas, penulis melihat adanya miskonsepsi perihal riwayah dan qira’ah itu sendiri. Karena pengertian huruf dengan riwayah, mempunyai makna yang berbeda.


Perlu ketahui, bahwa terjadinya perbedaan bacaan, bukan saja terjadi pada zaman Abdul Malik bin Marwan ataupun karena mushaf Utsman tidak menggunakan tanda titik dan harakat, justru adanya perbedaan bacaan dikalangan para sahabat sudah terjadi pada zaman Nabi Muhammad saw. Hal tersebut, bisa kita buktikan sebagaimana hadits dibawah ini :

Telah menceritakan kepada kami Sa'id bin Ufair ia berkata, Telah menceritakan kepadaku Al Laits ia berkata; Telah menceritakan kepadaku Uqail dari Ibnu Syihab ia berkata; Telah menceritakan kepadaku Urwah bin Zubair bahwa Al Miswar bin Makhzamah dan Abdurrahman bin Abd Al Qari` keduanya menceritakan kepadanya bahwa keduanya mendengar Umar bin Al Khaththab berkata, "Aku pernah mendengar Hisyam bin Hakim bin Hizam sedang membaca surat Al Furqan di masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, aku pun mendengarkan bacaannya dengan seksama. Maka, ternyata ia membacakan dengan huruf yang banyak yang Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam belum pernah membacakannya seperti itu padaku. Maka aku hampir saja mencekiknya saat shalat, namun aku pun bersabar menunggu sampai ia selesai salam. Setelah itu, aku langsung meninting lengan bajunya seraya bertanya, "Siapa yang membacakan surat ini yang telah aku dengan ini kepadamu?" Ia menjawab, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang telah membacakannya padaku." Aku katakan, "Kamu telah berdusta. Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah membacakannya padaku, namun tidak sebagaimana apa yang engkau baca." Maka aku pun segera menuntunnya untuk menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Selanjutnya, kukatakan kepada beliau, "Sesungguhnya aku mendengar orang ini membaca surat Al Furqan dengan huruf (dialek bacaan) yang belum pernah Anda bacakan kepadaku." Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun bersabda: "Bacalah wahai Hisyam." Lalu ia pun membaca dengan bacaan yang telah aku dengar sebelumnya. Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Begitulah ia diturunkan." Kemudian beliau bersabda: "Bacalah wahai Umar." Maka aku pun membaca dengan bacaan sebagaimana yang dibacakan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kepadaku. Setelah itu, beliau bersabda: "Seperti itulah surat itu diturunkan. Sesungguhnya Al-Qur'an ini diturunkan dengan tujuh huruf (tujuh dialek bacaan). Maka bacalah ia, sesuai dengan dialek bacaan yang kalian bisa." (2)

Mushaf-mushaf yang ditulis berdasarkan pendiktean Nabi tidak menjadi rujukan bagi mereka yang mempelajari Al-Qur'an secara lisan kepada beliau, karena mereka sendiri lebih mengandalkan hafalannya diluar kepala, dan jika ada sahabat yang juga menyandarkan pada mushaf, karena para sahabat sudah ada yang bisa baca tulis, meskipun perkembangan baca tulis dikalangan sahabat penguasaannya masih terbatas. Di samping itu, diantara sahabat ada yang memiliki salinan Al-Qur'an yang dia tulis sendiri, bacaan yang dia hafalkan, dan dialek yang ia ucapkan, sesuai dengan keluwesan huruf ketujuh. Adapun para sahabat yang memiliki mushaf (karena memiliki kemampuan baca tulis), mereka selalu membacakan atas apa yang sudah mereka tulis dihadapan Nabi (3). Akan tetapi, pengaruh dari tanda titik dan harakat ini pudar setelah adanya dispensasi huruf yang tujuh, dan tidak adanya mushaf Utsman. Adapun riwayat-riwayat hadits yang berkenaan tentang Al-Qur’an itu diturunkan dalam tujuh huruf, bisa kita lihat sebagai berikut :

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Mani' telah menceritakan kepada kami Al Hasan bin Musa telah menceritakan kepada kami Syaiban dari Ashim dari Zirr bin Hubaisy dari Ubay bin Ka'ab ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menemui Jibril, lalu beliau bersabda; "Wahai Jibril, sesungguhnya aku diutus untuk ummat yang buta huruf, di antara mereka ada yang lemah, tua, renta, anak kecil lelaki dan perempuan dan orang yang sama sekali tidak bisa membaca." Jibril berkata; "Wahai Muhammad, sesungguhnya Al-Qur'an diturunkan dalam tujuh huruf." Dalam hal ini, ada hadits serupa dari Umar, Hudzaifah bin Al Yaman, Abu Hurairah, Ummu Ayyub istri Abu Ayyub Al Anshari, Samurah, Ibnu Abbas, Abu Juhaim bin Al Harits bin Ash Shimmah, 'Amru bin Al 'Ash dan Abu Bakrah. Abu Isa berkata; Hadits ini hasan shahih. Dan diriwayatkan dari Ubay bin Ka'b melalui beberapa sanad. (4)

Jadi pada dasarnya, dengan adanya perbedaan bacaan yang terjadi pada zaman Nabi Muhammad, para sahabat tidak serta merta memilih bacaan menurut seleranya sendiri, ataupun berdasarkan dialek dari setiap suku yang ada. Tetapi standar bacaan yang ada, sudah ditetapkan oleh Nabi, sebagaimana studi kasus yang terdapat pada hadits diatas, yang seorang qori tersebut membacakan apa yang dibacanya. Yang pada akhirnya, Nabi pun menyetujui bacaan tersebut, karena apa yang dibacakan oleh sahabat tidak menyalahi bacaan Nabi, sebagaimana yang telah Nabi imlakan kepada para sahabat untuk dihafalkan dan juga ditulis.

Demi menguatkan pendapatnya, Luthfi memberikan contoh perbedaan qira’ah atau bacaan yang terjadi dikalangan sahabat sebagai berikut :

“Misalnya bentuk present (mudhari’) dari kata a-l-mbisa dibaca yu’allimu, tu’allimu, atau nu’allimu atau juga menjadi na’lamu,ta’lamu atau bi’ilmi. Yang lebih musykil adalah perbedaan kosakata akibat pemahaman makna, dan bukan hanya persoalan absennya titik dan harakat. Misalnya, mushaf Ibn Mas’ud berulangkali menggunakan kata “arsyidna” ketimbang “ihdina” (keduanya berarti “tunjuki kami”) yang biasa didapati dalam mushaf Uthmani. Begitu juga, “man” sebagai ganti “alladhi” (keduanya berarti “siapa”).
Daftar ini bisa diperpanjang dengan kata dan arti yang berbeda, seperti “al-talaq” menjadi “al-sarah” (Ibn Abbas), “fas’au” menjadi “famdhu” (Ibn Mas’ud), “linuhyiya”menjadi “linunsyira”(Talhah), dan sebagainya."

Adanya perbedaan tekstual seperti yu’allimu dengan nu’allimu, dan lainnya, hal tersebut terjadi karena adanya kemiripan huruf dalam bahasa Arab disaat tidak adanya tanda titik dan juga harakat. Apa yang telah penulis singgung tentang hal tersebut, silahkan untuk mengkliknya pada artikel sebelumnya disini.

Pendiktean yang digunakan secara lisan atau oral sebagai media penyampaian informasi, di saat apa yang dilafalkan lalu akhirnya ditulis, bisa saja terjadi perbedaan. Bagi yang tidak memahami tata bahasa Arab, tentunya hal tersebut dianggap sebagai sebuah hal yang bersifat kontradiktif dan melupakan adanya kalimat yang sinonim, atas bahas yang ada. Perbedaan penulisan karena faktor diimlakan, hal tersebut bisa terjadi yang disebabkan karena pengaruh pendengaran dikarenakan adanya kemiripan yang terdapat pada huruf, perbedaan dialek dan penguasaan baca tulis itu sendiri. Penulis memberikan contoh konkretnya, misalnya, disaat seseorang mengimlakan “bensin”, orang yang berasal dari suku Sunda (salah satu suku yang terdapat di Indonesia), bisa saja menulis dan mengucapkan dengan “bengsin” (adanya penambahan huruf G). Contoh lainnya, “sepeda” menjadi “sepedah” atau “sapedah”, “fitnah” menjadi “pitnah”. Atau kalimat sinonim yang terdapat pada bahasa Sunda, misalnya, “hade” dengan “alus” (artinya “bagus”), “ayeuna” dengan “kiwari” (artinya sekarang), “baheula” dengan “bareto” (artinya dahulu). Perbedaan tersebut, jika dilihat secara tekstual memang berbeda, terlebih jika yang membacanya bukanlah orang yang berasal dari suku Sunda maka jika ada kalimat yang menggunakan keduanya, akan dianggap sebagai kontradiksi.  Kendati demikian, perbedaan dalam penulisan baik itu menggunakan sinonim maupun dalam penulisannya ada perbedaan, sebagaimana contoh diatas, semuanya memiliki arti dan makna yang sama.

Dari contoh-contoh diatas, yang penulis paparkan, bisa saja hal yang demikian terjadi dikalangan para sahabat, dikarenakan adanya perbedaan kalimat atau frasa yang digunakannya, sebagaimana yang terjadi pada Mushaf Ibnu Mas'ud. Misalnya, Ibn Mas’ud membaca Qs. 1:6, ia membaca “arsyadana” (5), sedangkan masyarakat umum membacanya “ihdina”. Pada Qs. 3:144, Ibn Mas’ud membaca “fawallu wujuhakum qibalah” (6), sedangkan masyarakat umum membaca ”syathrah”. Banyak contoh yang bisa kita dapatkan atas apa yang terdapat pada Al-Qur'an, tentang riwayat bacaan yang sinonim, karena semua riwayat tersebut hanya berupa tafsir. Tafsir tersebut dikemukakan oleh Ibn Mas’ud, yang dia pelajari dari Nabi Muhammad saw. Adapun mushaf Ibn Mas’ud tersebut, dianggap sebagai contoh untuk menilai mushaf-mushaf para sahabat lainnya seperti mushaf Ubay bin Ka'ab, Ali bin Abi Thalib, dan Ibnu Abbas. Apa yang dilakukan oleh para sahabat tersebut, merupakan pijakan dasar yang melahirkan ilmu tafsir Al-Qur'an dikemudian hari.

Untuk menghadirkan kesan bahwa Al-Qur'an saat ini tidak sama dengan zaman Nabi, tetapi merupakan produk ulama klasik, Luthfi pun mengetengahkan tentang pemilihan tujuh bacaan yang digunakan oleh Ibn Mujahid dan mengangkat perbedaan pendapat antara Ibn Miqsam dengan Ibn Shanabudh, menyangkut perbedaan metode yang mereka gunakan dalam menetapkan qiraah shahih :


“Untuk mengatasi varian-varian bacaan yang semakin liar, pada tahun 322 H, Khalifah Abbasiyah lewat dua orang menterinya Ibn Isa dan Ibn Muqlah, memerintahkan Ibn Mujahid (w. 324 H) melakukan penertiban. Setelah membanding-bandingkan semua mushaf yang ada di tangannya, Ibn Mujahid memilih tujuh varian bacaan dari para qurra ternama, yakni Nafi (Madinah), Ibn Kathir (Mekah), Ibn Amir (Syam), Abu Amr (Bashrah), Asim, Hamzah, dan Kisai (ketiganya dari Kufah). Tindakannya ini berdasarkan hadits Nabi yang mengatakan bahwa “Alquran diturunkan dalam tujuh huruf.” Tapi, sebagian ulama menolak pilihan Ibn Mujahid dan menganggapnya telah semena-mena mengesampingkan varian-varian lain yang dianggap lebih sahih. Nuansa politik dan persaingan antara ulama pada saat itu memang sangat kental. Ini tercermin seperti dalam kasus Ibn Miqsam dan Ibn Shanabudh yang pandangan-pandangannya dikesampingkan Ibn Mujahid karena adanya rivalitas di antara mereka, khususnya antara Ibn Mujahid dan Ibn Shanabudh. Bagaimanapun, reaksi ulama tidak banyak punya pengaruh. Sejarah membuktikan pandangan Ibn Mujahid yang didukung penguasa itulah yang kini diterima orang banyak (atau dengan sedikit modifikasi menjadi 10 atau 14 varian).”

Penertiban yang dilakukan Ibn Mujahid (7), bukanlah atas dasar perintah dari perdana menteri, yang kala itu bernama Abu ‘Ali bin Muqillah. Adapun penyebab terjadinya pemilihan tujuh imam qiraat yang masyhur, padahal masih banyaknya para imam qiraat lain yang lebih tinggi kedudukannya atau setingkat dengan mereka dan jumlahnya pun lebih dari tujuh, karena pada saat itu banyaknya para periwayat qiraat, terjadinya penurunan atas semangat dan perhatian generasi sesudahnya, dan menghindari adanya qiraat yang syadz (menyimpang) yang beredar dikalangan masyarakat. Maka dari itu, untuk meminimalisir kebingungan dan permasalahan yang kelak akan terjadi, Ibn Mujahid melakukan langkah progresif dengan memilih tujuh bacaan yang kala itu masyur.

Terkait adanya perbedaan pandangan tentang kriteria qiraah yang bisa diterima antara Ibn Miqsam dengan Ibn Shanabudh, yang keduanya merupakan orang yang shaleh dan ahli qiraat. Ibn Miqsam berpendapat bolehnya suatu qira’at jika sesuai dengan penulisan Al-Qur'an, walaupun tidak ada sanadnya. Akan tetapi, jika pendapat tersebut diterima, sudah barang tentu hal tersebut akan menyebabkan adanya pendustaan terhadap Al-Qur'an dan memunculkan adanya kebohongan-kebohongan lain. Sedangkan Ibn Shanabudh sendiri menolak suatu bacaan harus sesuai dengan pola penulisan Al-Qur'an, jika pendapat ini diterima, tentunya akan membingungkan umat karena banyaknya qiraat yang kelak akan beredar di tengah-tengah umat, yang hal tersebut akan melahirkan pertikaian dan perpecahan. Kendati demikian, keduanya sepakat bahwa suatu bacaan harus sesuai dengan kaidah bahasa Arab itu sendiri.

Mengenai syarat-syarat diterimanya sebuah qiraah, Ibn Jaziri mengemukakan pendapatnya (8), bahwa sebuah qira’ah harus memenuhi tiga syarat untuk diterima, yaitu :
1. Sesuai dengan kaidah bahasa Arab walaupun dari satu segi.
2. Sesuai dengan salah satu mushaf Utsmani aalaupun baru kemungkinan saja.
3. Sanadnya shahih

Ibn Jaziri berpendapat, bahwa syarat-syarat tersebut harus ada dalam sebuah qira’at dan qira’at tersebut dianggap sebagai qira’at mutawatir. Jika hanya syarat pertama dan ketiga yang terdapat pada suatu qira’at, tanpa adanya kecocokan dengan mushaf Utsmani, maka qira’at tersebut dianggap sebagai qira’ah syadzah (menyimpang), sebagaimana pendapatnya Abu Darda, Umar bin Khathab, Ibn Mas’ud, dan lainnya. Dan qira’at syadzah, tidak boleh dibaca didalam ataupun diluar shalat (9). Tetapi jika suatu bacaan hanya memenuhi syarat pertama dan kedua, bacaan tersebut dianggap lemah dan syadz. Dan qira’at yang tidak ada sanadnya, maka qira’at tersebut tidak dianggap syadz, tetapi dianggap sebagai qira’at buatan dan dihukum kafir bagi siapa saja yang sengaja melakukannya. Meskipun qira’at tersebut, sesuai dengan arti atau pola penulisan mushaf Utsman (10).


Kesimpulan.
Sesungguhnya topik yang diangkat oleh Luthfi Asy-Syaukanie yang merupakan salah satu tokoh dari JIL, bukanlah permasalahan baru dalam studi ilmu Quran. Dia hanya mengulang apa yang sudah dibahas oleh para orentalis dan memunculkan perbedaan riwayah dikalangan para sahabat, serta para tabi’in, demi menunjukkan tidak adanya otentisitas dan validitas Al-Qur'an saat ini, yang merupakan Firman Allah.

Dengan adanya proses imla atas wahyu yang disampaikan oleh Nabi kepada para sahabatnya, lalu diterimanya secara mutawatir oleh para sahabat dengan kekuatan hafalan dan tulisan, serta adanya metode muroja’ah yang terjadi antara Malaikat Jibril dengan Nabi dan Nabi bersama dengan para sahabat. Metode yang diterapkan tersebut membuktikan bahwa wahyu yang terdapat pada zaman Nabi hingga saat ini, tidak mengalami perubahan dan ternyata, metode yang diterapkan belum pernah digunakan oleh bangsa dan agama manapun di dunia ini.

Di saat Nabi menerima wahyu, beliau senantiasa menghafal dan memahami atas wahyu yang disampaikan Allah, melalui malaikat Jibril. Oleh sebab itu, beliau adalah penghafal Al-Qur'an pertama, sekaligus yang menjadi suri tauladan bagi para sahabat dalam menghafal. Proses penurunannya wahyu, terkadang hanya satu ayat dan terkadang turun sampai sepuluh ayat. Setiap kali ayat tersebut turun, dihafal dalam dada dan ditempatkan dalam hati. Sebab bangsa Arab secara kodrati memang mempunyai daya hafal yang kuat, ditambah belum banyaknya yang mampu dalam baca tulis. Kondisi yang dialami oleh Nabi dan para sahabatnya dalam konteks menghafal, hal tersebut senada dengan apa yang Allah firmankan (11) : “Sesungguhnya Kami yang akan mengumpulkannya (didalam dadamu) dan membacakannya.”

Di saat semakin bertambahnya wahyu yang Allah berikan, seiring dengan bertambah banyaknya yang masuk Islam, yang bisa baca tulis, Nabi senantiasa memerintahkan para sahabatnya untuk menuliskan dan menunjukkan tempat ayat tersebut dalam surat. Sehingga penulisan pada lembaran yang ditulis tersebut, membantu penghafalan didalam hati. Disamping itu, sebagian sahabat yang menuliskan Qur’an pun ada yang menulis sesuai kemauannya sendiri tanpa diperintah oleh Nabi. Mereka menuliskannya pada pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, potongan tulang-belulang binatang. (12)

Ketika Nabi sudah meninggal dan banyaknya para qurra yang menghafal Al-Qur’an pun meninggal dalam perang Yamamah yang terjadi pada 12 H, di masa Abu Bakar menjadi khalifah, ia memindahkan semua tulisan atau catatan Qur’an yang semula bertebaran di kulit-kulit binatang, tulang, dan lainnya, kemudian dikumpulkannya dalam satu mushaf. Sedangkan pengumpulan yang dilakukan saat Ustman menjadi khalifah adalah menyalin dalam satu huruf diantara ketujuh huruf, dan mempersatukan kaum Muslimin dalam satu mushaf, yang satu huruf yang mereka baca tanpa keenam huruf lainnya. Dalam perjalannya, mushaf Utsman mengalami penambahan dalam tanda titik dan harakat, tanpa merubah isi dan maknanya. Adanya pihak khalifah yang ikut serta dan bahkan sebagai pencetus ide demi memudahkan Muslim menghafal dan membaca Qur’an, bukanlah bermaksud untuk merubah isi Qur’an itu sendiri sebagaimana tudingan yang telah dilontarkan oleh para orientalis. Karena tanggung jawab khalifah, tidak saja mengurus perihal masalah duniawi saja, tetapi juga mengurus urusan permasalahan umat dalam permasalahan agama. Tanpa pernah berniat dan melakukan pelanggaran atas apa yang sudah ditetapkan oleh Nabi.


Selesai.


Catatan Kaki :
1. http://islamlib.com/kajian/quran/merenungkan-sejarah-alquran/3/
2. Hr. Bukhari, dengan hadits No. 4608. Hr. Muslim, dengan hadits No. 1354.
3. As-Suyuti, Al-Itqan. 1/58.
4. Hr. At-Tirmidzi, dengan hadits No. 2868,2867. Hr. An-Nasa’i, dengan hadits No. 930 dan 929.
5. Ibn Khalawaih, Mukhtashar Al-Badi’ Fi Qira’at Asy-Syawadz.
6. Al-Kirmani, Syawadzu Al-Qira’ati wa Ikhtilaf Al-Mashahif.
7. Namanya adalah Abu Bakr Ahmad bin Musa bin ‘Abbas bin Mujahid, yang meninggal sekitar tahun 324 H.
8. An-Nashr, 1/9.
9. Munji Al-Muqri’in, hal. 15-17.
10. Idem.
11. Qs. 75:17
12. Hr. Al-Hakim dalam Mustadrak, dengan sanad yang memenuhi persyaratan Bukhari dan Muslim.


Comments