Rasm Utsmani Dan Hubungannya Dengan Qira'at

 
Oleh: Sang Misionaris

Pendahuluan
    Rasm Utsmani merupakan suatu cara penulisan Al-Qur'an yang telah disetujui oleh khalifah Utsman bin Affan. Terjadinya periode-periode yang telah dilalui oleh kaum Muslimin dalam melakukan pengumpulan Al-Qur’an, penulisan, pemberian tanda titik, dan syakel merupakan sebuah bukti adanya keterbatasan khath Arab di masa itu.1 Dari adanya keterbatasan tersebut, selain rasm Utsmani mengalami perbaikan, tentu saja hal itu telah mengakibatkan terjadinya perbedaan pendapat di kalangan para ulama tentang kedudukan atau status rasm Utsmani.

Definisi Rasm Utsmani Dan Kaidah-Kaidahnya
    Kata rasm, berasal dari bahasa Arab yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia bisa diartikan sebagai tulisan atau ejaan, dan al-Zarqani telah merumuskan definisi rasm Al-Quran sebagai berikut: “Suatu cara yang telah disetujui oleh khalifah Utsman dalam menulis kalimat-kalimat al-Quran dan huruf-hurufnya.”2 Sedangkan untuk kaidah rasm Utsmani sendiri, para ulama telah meringkasnya menjadi enam istilah, yaitu:3
a. Al-Hadzf (membuang, menghilangkan, atau meniadakan huruf). Contohnya, menghilangkan huruf alif pada ya’ nida   ( يٰٓاَيُّهَاالنَّاسُ ), dari ha tanbih ) ( ھٰٓاَنۡتُمۡ, pada lafazh jalalah (ﷲ), dan dari kata na (ٵَنْجَيْنٰكَمْ).
b. Al-Jiyadah (penambahan), seperti menambahkan huruf alif setelah wawu atau yang memiliki hukum jamak (بَنُوْاإِسْرَآءِيْلَ) dan menambahkan alif setelah hamzah marsumah (hamzah yang terletak di atas tulisan wawu (تَالله تَفْتَوءُا).
c. Al-Hamzah. Salah satu kaidahnya yaitu apabila hamzah berharkat sukun, maka ditulis dengan huruf berharkat yang sebelumnya, contoh I’dzan dan u’tumin.
d. Badal (pengganti), seperti alif ditulis dengan wawu sebagai penghormatan pada kata (ashshalaatu, azzakaatu).
e. Washal dan Fashl (penyambungan dan pemisahan), seperti kata kul yang diiringi kata ma ditulis dengan cara disambung (kullamaa)
f. Kata yang dapat dibaca dengan dua bunyi. Suatu kata yang dapat dibaca dua bunyi penulisannya disesuaikan dengan salah satu bunyinya. Di dalam mushaf Utsmani, penulisan kata semacam itu ditulis dengan menghilangkan alif, misalnya maaliki yaumiddiin. Ayat tersebut (Qs. 1:4) boleh dibaca dengan menetapkan alif (yakni dibaca dua alif), dan boleh juga hanya menurut bunyi harakat (yaitu dibaca satu alif).4

Pendapat Ulama Tentang Rasm Utsmani
    Zaid bin Tsabit beserta para sahabat lainnya telah melakukan suatu metode khusus dalam melakukan penulisan Al-Qur'an, dan metode tersebut telah mendapatkan persetujuan dari Utsman. Para ulama telah menamakan metode tersebut dengan ar-Rasmul Ustmani lil Mushaf, yang dinisbatkan kepada Utsman. Namun kemudian, di kalangan para ulama telah berbeda pendapat tentang status hukum rasm Al-Quran (tata cara penulisan Al-Quran) tersebut. Adapun perbedaan pendapat tentang kedudukan rasm Utsmani tersebut adalah sebagai berikut:5
1. Sebagian ulama berpendapat bahwa Rasm Utsmani untuk Al-Quran itu sifatnya tauqifi yang wajib dipakai dalam penulisan Al-Quran, yang harus sungguh-sungguh disucikan. Mereka menisbatkan tauqifi dalam penulisan Al-Quran ini kepada Nabi Muhammad saw.  
“Mereka menyebutkan bahwa Nabi pernah mengatakan kepada Mu’awiyah, salah seorang penulis wahyu: “Letakkanlah tinta, pergunakan pena, tegakkan “ya”, bedakan “sin”, jangan kamu miringkan “mim”, baguskan tulsa lafadzh “Allah”, panjangkan “Ar-Rahman”, baguskan ‘Ar-Rahim” dan letakkanlah penamu pada telinga kirimu; karena yang demikian akan lebih dapat mengingatkan kamu.”  
Ibnul Mubarak mengutip dari gurunya, Abdul Aziz ad-Dabbag, yang mengatakan kepadanya bahwa, “Para sahabat dan orang lain tidak campur tangan seujung rambut pun dalam penulisan Al-Quran karena penulisan Al-Quran adalah tauqifi, ketentuan dari Nabi. Dialah yang memerintahkan kepada mereka untuk menuliskannya dalam bentuk seperti yang dikenal sekarang ini, dengan menambahkan alif atau menguranginya karena ada rahasia-rahasia yang tidak dapat terjangkau oleh akal. Itulah salah satu rahasia Allah yang diberikan kepada kitab-Nya yang mulia, yang tidak Dia berikan kepada kitab-kitab samawi lainnya. Sebagaimana susunan Al-Quran adalah mukjizat, maka penulisannya pun mukjizat pula.”  
2. Banyak ulama yang berpendapat bahwa rasm Utsmani bukan tauqifi dari Nabi Muhammad saw, tetapi hanya merupakan satu cara penulisan yang disetujui oleh Utsman dan diterima dengan baik oleh umat, sehingga menjadi keharusan yang wajib dijadikan pegangan yang tidak boleh dilanggar. Asyhab berkata, “Malik ditanya: ‘Apakah mushaf boleh ditulis menurut ejaan (kaidah penulisan) yang diadakan orang.’ Malik menjawab: ‘Tidak, kecuali menurut tata-cara penulisan yang pertama.’” (Riwayat Abu ‘Amr ad-Dani dalam al-Muqni’). Kemudian kata asyhab pula: “Dan tidak ada orang yang menyalahi rasm itu di antara ulama umat Islam.” Di tempat lain, Asyhab mengatakan: “Malik ditanya tentang huruf-huruf dalam Al-Quran seperti ‘wawu’ dan ‘alif’, bolehkah mengubah kedua huruf itu dari mushaf apabila di dalam mushaf terdapat hal seperti itu?” Malik menjawab: “Tidak.” Abu ‘Amr mengatakan, yang dimaksud di sini adalah wawu dan alif tambahan dalam rasm, tetapi tidak nampak dalam ucapan seperti “ulu”. Dan Imam Ahmad berpendapat: “Haram hukumnya menyalahi tulisan mushaf Utsman dalam hal wawu, ya’, alif atau yang lainnya.”
3. Segolongan orang berpendapat bahwa rasm Utsmani itu hanyalah sebuah istilah, tata-cara, dan tidak ada salahnya jika menyalahi bila orang itu telah mempergunakan satu rasm tertentu untuk imla dan rasm itu tersiar luas di antara mereka.
Abu Bakar al-Baqalani menyebutkan dalam kitabnya al-Intishar, “Tidak ada yang diwajibkan oleh Allah mengenai (cara atau bentuk) penulisan mushaf. Karena itu, para penulis Al-Quran dan mushaf tidak diharuskan menggunakan rasm tertentu yang diwajibkan kepada mereka sehingga tidak boleh dengan cara yang lain, hal ini mengingatkan kewajiban semacam ini hanya dapat diketahui melalui pendengaran (dalil sam’i) dan tauqifi. Dalam nas-nas dan konsep Qur’an tidak dijelaskan bahwa rasm atau penulisan Qur’an itu hanya dibolehkan menurut cara khusus dan batas tertentu yang tidak boleh dilanggar. Dalam nas sunnah juga tidak terdapat satu keterangan pun yang mewajibkan dan menunjukkan hal tersebut. Dalam kesepakatan umat tidak terdapat pula pendapat yang mewajibkannya, dan juga tidak ditunjukkan oleh kias berdasarkan syariat, qiyas syar’i. Bahkan, sunnah menunjukkan dibolehkannya cara penulisan Qur’an menurut cara yang mudah sebab Rasulullah menyuruh untuk menuliskannya, tetapi tidak menjelaskan kepada mereka atau melarang seseorang menuliskannya dengan cara tertentu, sehingga berbeda-beda tulisan mushaf. Di antara mereka ada yang menuliskan kata menurut lafal, dan ada pula yang menambah atau mengurangi, karena ia tahu bahwa yang demikian itu hanyalah sebuah cara….”    
    Dari adanya perbedaan pendapat tersebut, pandangan ‘Iz al-Din ibn Abd al-Salam bisa dinilai lebih fleksibel, dan bisa dijadikan sebagai jalan tengah dalam menyikapi perbedaan di atas, menurutnya, “Seseorang tidak boleh menulis mushaf pada masa sekarang ini menurut ejaan lama, sesuai dengan istilah para imam, supaya tidak menimbulkan kesalahan dari orang-orang yang tidak tahu. Tetapi hal ini tidak layak diberlakukan secara mutlak, agar tidak membawa kepada hilangnya ilmu, dan sesuatu yang telah ditetapkan oleh orang-orang terdahulu tidak boleh diabaikan, karena kebodohan orang-orang yang bodoh. Dan tidaklah sekali-kali bumi ini sunyi dari orang-orang yang menegakkan hujjahnya untuk Allah.”6   
    Pendapat ‘Iz al-Din di atas mengimplikasikan bahwa terpeliharanya Al-Qur’an bisa melalui dua aspek, yakni dari aspek penulisan yang disesuaikan dengan ejaan yang berlaku pada masa sekarang, yang dengan cara tersebut sebagai sebuah upaya untuk menghindari adanya kesalahan dalam membaca Al-Qur’an. Kedua, pembacaan rasm Utsmani yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki ilmu tersebut sebagai upaya dalam melestarikan rasm Utsmani yang telah digunakan oleh orang-orang sebelumnya, yang tentu saja dengan ilmu yang dimilikinya tersebut mereka tidak akan mengalami kekeliruan dalam membacanya.7

Perbaikan Rasm Utsmani Dan Perkembangannya
    Mushaf yang ditulis pada masa Utsman masih menggunakan tulisan kufi, tanpa disertai titik, syakel, mad, tasydid, dan tanda baca lainnya. Pada masa Bani Umayyah, khath kufi mengalami perkembangan sehingga menjadi empat tipe yang dikaitkan kepada seorang penulis yang bernama Quthbah, ia adalah seorang ahli kaligrafi dan penulis mushaf di masa Bani Umayyah. Sedangkan pada masa Bani Abbasiyyah, Adh-Dhahhaq bin ‘Ajalan dan Ishaq bin Hammad mengembangkan khath Quthbah hingga menjadi dua belas macam, yaitu: Al-Jalil, As-Sijillat, Ad-Dibaj, Usthurmar, al-Kabir, Ats-Tsalatsin, Az-Zumbur, al-Muftatih, al-Haram, al-Mu’amarat, al-Qashash, dan al-Hirfaj. Bentuk khath baru yang bernama al-Iraq lahir pada masa Hasymiyyin, yang bentuk khath ini terus mengalami perkembangan hingga pada masa kekuasaan al-Makmun, dan pada akhirnya, para penulis berusaha secara terus-menerus untuk memperbaikinya hingga muncullah seorang penulis yang terkenal dengan al-Ahwal al-Muharrir, yang telah menciptakan bentuk-bentuk khath dan kaidah-kaidahnya serta mengembangkannya menjadi beberapa macam. Kemudian, muncullah bentuk khath Murashsha, Nas’akh, Riyas, Riqa’, dan Ghibarul Halabah. Maka dengan demikian, bertambah banyaklah bentuk khath tersebut hingga menjadi dua puluh macam lebih, namun semuanya itu berasal dari khath kufi.8
    Tidak adanya tanda baca, titik, dan lain-lain pada mushaf Utsmani, hal tersebut terus berlanjut hingga beberapa tahun setelah wafatnya khalifah Utsman bin Affan. Namun, setelah bangsa-bangsa yang bukan Arab banyak yang memeluk Islam, maka pada saat itulah terjadi kesalahan dalam mengeja mushaf Utsmani dikarenakan tidak adanya syakel untuk membedakan bunyi masing-masing huruf yang serupa bentuk-bentuknya, misalnya, pada Qs. 9:3 terdapat kalimat: minal musyrikina warosuluhu, ada yang membacanya dengan warosulihi. Oleh karena adanya kesalahan tersebut, maka pada masa permulaan pemerintahan daulah Bani Umayyah, seorang pembesar bernama Zaid ibn Abihi meminta kepada Abu al-Aswad al-Duali untuk menciptakan syakel atau harkat pada tulisan mushaf. Lalu, Abu al-Aswad pun menciptakan syakel sebagai tanda bunyi huruf-huruf tersebut, meskipun syakel-syakelnya itu masih berupa titik-titik, seperti diletakkan di atas (fathah), di bawah (kasrah), dan di samping huruf (dhammah).9    
    Langkah-langkah di atas yang telah dilakukan oleh Abu al-Aswad, ternyata masih belum bisa mengatasi kesukaran-kesukaran yang dialami oleh kaum Muslimin yang bukan dari bangsa Arab, yang hal itu terjadi karena masih adanya kesulitan dalam membedakan huruf-huruf yang serupa dalam bentuknya. Oleh sebab itu, maka pada masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan (65-86 H), al-Hajjaj Ibnu Yusuf al-Tsaqafi meminta kepada Nashr ibn ‘Ashim untuk memberikan titik-titik kepada huruf-huruf yang serupa tersebut. Meskipun demikian, usaha Abu al-Aswad dan Ibn ‘Ashim, akhirnya disempurnakan kembali oleh al-Khalil ibn Ahmad (w. 170 H) dengan menciptakan syakel dan titik yang menjadi dasar bagi apa yang dapat dilihat pada mushaf sekarang ini, yaitu:
a. Sebagai harkat dipakainya huruf-huruf yang menjadi sumber bunyi bagi harkat-harkat itu. Diletakkannya huruf wau kecil di depan huruf sebagai tanda bunyi dhammah, karena wau kecil itu adalah sumber bunyi (u). Diletakkannya huruf ya kecil di bawah huruf sebagai tanda kasrah, karena ya itu adalah sumber bagi bunyi (i). Selain itu, diletakkan pula huruf alif kecil berbaring di atas huruf sebagai tanda fathah, karena alif itu sumber bagi huruf (a).
b. Sebagai titik-titik huruf, al-Khalil membuatnya seperti apa yang dapat dilihat pada tulisan-tulisan sekarang ini.
c. Selain dari itu, diciptakan pula tanda-tanda lainnya, seperti tanda tasydid, mad, sukun, dan lain-lainnya.10  

Hubungan Rasm Utsmani Dengan Qira’at
    Rasm Utsmani adalah cara penulisan kalimat-kalimat Al-Qur’an dan huruf-hurufnya yang telah direstui oleh khalifah Utsmani, sedangkan qira’at adalah cara membaca lafazh-lafazh tertulis dari wahyu Al-Quran dalam bentuk-bentuk huruf, apakah dengan cara memanjangkan ataukah memendekkan, meringankan atau mentasydidkan, dan lain-lain. Melihat perngertian rasm Al-Quran dan qira’at tersebut, ternyata terdapat kaitan yang erat antara keduanya, karena apa yang tertulis, tentunya akan seperti itu pula bacaan atau pengucapannya. Akan tetapi, rasm Utsmani tidak selamanya seperti itu, karena terkadang antara bacaan/qira’at dengan tulisannya mengalami perbedaan, dan hal inilah yang menurut al-Zarqani, dikarenakan adanya maksud-maksud tertentu yang mulia.11  
    Terkait pembahasan ini, Adnan telah memberikan ilustrasi yang cukup baik kepada kita dengan memberikan sebuah perbandingan qira’at antara Imam Ashim dengan riwayat Hafsh dan qira’ah Imam Nafi’ dengan riwayat Warsy. Pada Qs. 2:259, misalnya, dalam qira’ah Ashim yang diriwayatkan oleh Hafsh ada kata yang dibaca dengan  نُنْشِزُهَا  (nunsyizuha); sementara  dalam qira’ah nafi’ yang diriwayatkan oleh Warsy dibaca نُنْشِرُهَا (nunsyiruha). Menurutnya, perbedaan pemberian titik diakritis ini sama sekali tidak mempengaruhi arti keseluruhan ayat, karena kedua kata itu memiliki makna yang senada, yakni membangkitkan. Adnan menambahkan, demikian pula dengan konsonantal dalam Qs. 5:54, terdapat kata yang terbaca dalam qira’ah pertama sebagai يَرْتَدَّ (yartadda); sementara dalam qira’ah kedua dibaca dengan يَرْتَدِدْ (Yartadid). Mengenai perbedaan tersebut, Zamakhsyari mengemukakan bahwa keduanya adalah bacaan yang tepat, dan menambahkan bacaan terakhir – yakni yartadid- terdapat di dalam mushaf induk (mushaf Imam), yang perbedaan ini pun tidak memiliki efek terhadap makna ayat atau memperlihatkan divergensi tekstualnya, tetapi lebih merupakan masalah asimilasi kebahasaan saja. Sementara kerangka grafis pada Qs. 3:81, terdapat kata yang dalam qira’ah pertama dibaca اَتَيْتُكُمْ (ataytukum); sedangkan dalam qira’ah kedua dibaca dengan اَتَيْنَكُمْ (ataynakum). Sebagaimana sebelumnya, bacaan itu pun tidak memiliki efek apapun terhadap makna. Subyek keduanya sama, yaitu Tuhan, dan barangkali hanya merupakan pilihan untuk menggunakan bentuk orang pertama tunggal atau jamak – dalam hal ini “Aku” atau “Kami” – yang memang sering muncul dalam penggunaan Al-Quran.12   
    Demikian pula pada Qs. 20:63 (اِنْ هَذَانِ لَسَاحِرَانِ) dalam rasm Utsmani ditulis tanpa adanya titik, syakel, takhfif pada kedua nun lafazh ان dan هذان dan juga alif dan ya sesudah dza dari lafazh هذان. Ejaan seperti itu untuk menunjukkan bahwa ayat tersebut bisa dibaca dalam empat qira’at, dan semuanya berdasarkan sanad yang shahih, yaitu:
a. Qira’at Nafi’ dan para pengikutnya membaca ayat tersebut dengan cara mentasydidkan nun pada lafazh ان dan meringankan lafazh هذان dengan alif.
b.  Qira’at Ibn Katsir mentakhfifkan nun pada lafazh ان dan mentasydidkan nun pada lafazh هذان.
c.    Qira’at Hafsh meringankan nun pada lafazh ان dan هذان dengan alif.
d.  Qira’at Abu ‘Amer mentasydidkan lafazh ان dengan ya mati setelah dza dengan mentakhfifkan nun.13
    Terjadinya perbedaan bacaan tidak saja seperti halnya di atas, melainkan berbeda pula terhadap tanda baca, sebagaimana yang terjadi pada imam-imam qira’at lainnya ketika membaca عليهم القتال dengan acara diwasalkan, seperti:14
a.Abu ‘Amr membaca عليهِمِ القتال
b. Hamzah membaca عليهُمُ القتال
c. Al-Kisai membaca عليهُمُ القتال
d. Imam lainnya membaca   عليهِمُ القتال

Kesimpulan
    Penulisan Al-Qur’an, telah dimulai sejak zaman Nabi Muhammad saw, yang tidak mengalami perubahan isinya, baik setelah beliau tiada maupun hingga saat ini. Penulisan Al-Quran, khususnya pada masa pembentukan mushaf, para sahabat telah memiliki metode khusus dalam menjaga keorisinalitas Al-Qur’an, yang metode tersebut belum pernah dimiliki oleh bangsa lain. Meskipun pada akhirnya, para ulama berbeda pendapat terkait status rasm Utsmani. Sedangkan perbaikan terhadap rasm Utsmani dan terjadinya perbedaan dalam membaca di antara para imam Qira’at yang disebabkan karena adanya keterbatasan khath Arab, hal itu tidaklah mengakibatkan terjadinya perubahan terhadap isi dan makna yang terkandung di dalam Al-Quran. Dan, dengan adanya perbaikan terhadap tata-cara penulisan dalam kalimat atau huruf Al-Quran, justru hal itu telah memberikan kemudahan bagi kaum Muslimin dari bangsa non-Arab untuk bisa membaca Al-Quran dari bahasa aslinya langsung.

Catatan Kaki:
1. Ibrahim al-Ibyariy, Pengenalan Sejarah Al-Qur’an, terj. Saad Abdul Wahid, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995),  hlm. 119.
2. A. Chaerudji Abd. Chalik, ‘Ulum Al-‘Qur’an, (Jakarta: Diadit Media, 2007), hlm. 69.
3. Rosihon Anwar, Ulum Al-Quran, (Bandung: Pustaka Setia, 2017), hlm. 48-49.
4. Untuk mengetahui banyak contoh yang telah diberikan dari setiap istilah tersebut, silahkan untuk merujuk karyanya Kamaluddin Marzuki, ‘Ulum Al-Qur’an, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), hlm. 78-81.
5. Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, terj. Mudzakir AS, (Bogor: Litera AntarNusa, 2016), hlm. 211-214.
6. A. Chaerudji Abd. Chalik, op,cit., hlm 74.
7. Ibid., hlm. 74-75.
8. Ibrahim al-Ibyariy, op.cit., hlm. 122-123.
9. A.Chaerudji Abd. Chalik, op.cit., hlm. 65-67.
10. Ibid., hlm. 67-68.
11. Ibid., hlm. 75.
12. Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Quran, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2013), hlm. 304-305.
13. A.Chaerudji Abd. Chalik, op.cit., hlm. 76.
14. Ahmad Fathoni, Kaidah Qira’at Tujuh: Menurut Tariq Sya’ibiyyah Jilid 1, (Jakarta: Institut PTIQ – IIQ Dan Darul Ulum, 2009), hlm. 33-34. 

Comments