Menjawab Dakwaan Terhadap Mushaf Ibn Mas'ud


Oleh : Sang Misionaris.

Pendahuluan.
Sebelum menelaah tentang mushaf Ibnu Mas’ud atau riwayat-riwayat yang dinisbatkan kepada Ibn Mas’ud, perlu untuk sekiranya dipahami, bahwa mushaf yang disepakati oleh umat dan dibaca oleh seluruh kaum Muslimin di berbagai daerah adalah mushaf Utsmani yang diriwayatkan secara mutawatir. Konsensus (ijma’) para sahabat ini, tidak akan menjadi gugur dengan adanya penolakan dari Ibn Mas’ud. Adapun alasan Ibn Mas’ud melakukan penolakan untuk membakar mushafnya, sudah penulis sampaikan pada Artikel ini.


Ibnu Mas’ud adalah sahabat Nabi Muhammad saw yang berasal dari suku Hudzail, ia menjadi salah seorang guru dalam mengajarkan Al-Qur’an kepada masyarakat umum. Di antara para muridnya ada yang berasal dari suku Hudzail, Tamim, Quraisy, dan lainnya. Para penduduk Kufah, belajar sastra, bahasa, dan bacaan Al-Qur'an kepada Ibnu Mas’ud (1). Ia mendiktekan Al-Qur'an kepada mereka sesuai dengan apa yang dipelajarinya dari Rasulullah Saw, dalam batasan dispensasi dari huruf yang tujuh. Sudah barang tentu, Ibnu Mas’ud mendukung salah satu dialek tertentu, sementara ia tahu kalau salah satu huruf yang tujuh adalah perbedaan di antara dialek. Ia hanya berusaha mengajarkan kepada setiap murid yang datang kepadanya sesuai dengan kapasitas yang dimilikinya.

Umar bin Khathab pernah mengirim sepucuk surat kepada Ibnu Mas’ud, ketika ia mengetahui seorang laki-laki membaca “atta hin”. “Siapa yang membacakan dengan bacaan seperti itu kepadamu?” tanya Umar. “Ibn Mas’ud”, jawab laki-laki tersebut. Dalam suratnya yang ditujukan kepada Ibn Mas’ud, Umar berpesan, “Sesungguhnya Allah  Swt telah menurunkan Al-Qur'an dengan bahasa Arab. Dia menurunkannya dengan bahasa (dialek) Quraisy. Karena itu, bacakanlah Al-Qur'an kepada manusia dengan dialek Quraisy, dan jangan membacakan kepada mereka dengan dialek Hudzail” (2). Isi surat ini mengindikasikan  bahwa Umar menghendaki Ibn Mas’ud mengajarkan Al-Qur'an yang terbebas dari corak-corak dialek. Surat ini juga mengindikasikan bahwa Ibn Mas’ud mampu berpindah dari dialeknya ke dialek lain.

Selain terpengaruh dengan dialek Hudzail, Ibn Mas’ud pun terpengaruh juga dengan dialek suku Tamim dan dialek dari suku-suku yang ada di sekitarnya. Salah satu contoh misalnya, Ibn Mas’ud membaca “Inna a’thainaka” pada Qs. 108:1 menjadi “inna anthainaka” (3). Corak bacaan yang dibacakan oleh Ibn Mas’ud adalah corak dari dialek Tamim, yang dalam bacaannya memiliki corak idhgham dalam yang arti luas. Hal ini mencakup peniadaan bunyi huruf dalam bunyi huruf lain atau menempatkan bunyi huruf di tempat bunyi huruf lainnya. Selanjutnya, ada lagi corak yang menjadi kebiasaan dialek dari suku Tamim, yaitu mengganti huruf “kaf” menjadi “qaf”. Seperti saat Ibn Mas’ud membaca “qusyithat” pada Qs. 81:11, dengan huruf kaf (4). Dalam kamus Lisan al-Arab disebutkan, bahwa suku Tamim dan Asad menyebutnya dengan qusyithat. Menggunakan huruf “qaf” dengan “kaf” pada suatu frasa atau kalimat, yang hal tersebut adalah sinonim. Artinya sama, seperti halnya al-qisth dengan al-kith, dan al-qafur dengan al-kafur (5), sebagaimana yang dibaca oleh Ibn Mas’ud pada Qs. 76:5 (6).


Misinterpretasi Terhadap Mushaf Ibnu Mas’ud.
Di saat membahas kodifikasi Alquran, kalangan orientalis selalu mengangkat pembahasan yang berkenaan tentang mushaf Ibn Mas’ud. Mushaf Ibn Mas’ud dijadikan sebagai salah satu topik pembahasan mereka, sebagai langkah pembuktian atas adanya pendistorsian terhadap Alquran. Dan pada kenyataannya, hal tersebut laris manis di lapangan, dikarenakan topik tersebut selalu di konsumsi oleh kalangan liberal dan juga non Muslim, semisal Kristen. Apa yang terdapat pada mushaf Ibn Mas’ud, mereka meyakini, bahwa apa yang terdapat di dalamnya itu adalah bacaan. Padahal realitasnya, apa yang terdapat pada mushaf Ibn Mas’ud bukanlah bacaan, melainkan penafsiran Ibn Mas’ud. Jadi, apa itu tafsir ? Tafsir secara bahasa mengikuti wazan “fa’il, yang asal katanya berasal dari “al-fasr”, yang berarti menjelaskan, menyingkap dan menampakkan atau menerangkan makan yang abstrak. Kata at-tafsir dan al-fasr mempunyai arti menjelaskan dan menyingkap yang tertutup (7). Berkaitan tentang makna bacaan, penulis sudah mengutarakannya pada pembahasan sebelumnya di Artikel ini.

Mengenai bacaan Ibnu Mas’ud terhadap Qs. 16:112, yaitu : “Faadzaqahullah al-khuafa wa al-ju’a”, yang dalam mushaf Utsman dibaca “libas al-ju’a wa al-khauf”, Abu Hayyan memberikan komentarnya, “ Menurut saya, ini adalah penafsiran tentang makna ayat, bukan bacaan. Sebab, terdapat banyak riwayat dari Ibn Mas’ud yang menerangkan kalau ia membacanya sebagaimana yang terdapat dalam mayoritas mushaf” (8). Adapun pada Qs. 17:23, yang di baca : “ waqadha rabbuka”, Ibn Mas’ud membacanya “wawashsha rabbuka”, menurut Ibnu Hayyan,
“Hal ini juga lebih tepat dipahami sebagai tafsir. Sebab, bacaan ini berbeda dengan bacaan yang terdapat dalam mayoritas mushaf. Bacaan yang mutawatir adalah waqadha. Inilah bacaan yang banyak diriwayatkan dari Ibn Mas’ud, Ibnu Abbas, dan lainnya, dalam jalur-jalur sanad para ahli baca Alquran yang tujuh (9).

Selain dari dua ayat diatas, penafsiran Ibn Mas’ud yang ada pada mushafnya terdapat pula pada ayat lain. Semisal pada Qs. 18:16, yang pada mushaf Ibn Mas’ud dibaca : “wama ya’buduna min dunina”, sedangkan pada Qs. 23:20, dibaca : “takhruju bi ad-dihn”. Terkadang, riwayat tentang bacaan tersebut adalah perkataan ma’tsur dari Nabi. Akan tetapi, kita dapati bacaan itu disisipkan dan dianggap bahwa bagian tersebut sebagai bagian dari ayat Alquran. Umpamanya, bacaan Ibn Mas’ud pada Qs. 3:19 : “inna ad-dinna indallah al-hanafiah”. Tentang hal tersebut, Al-Anbari menuturkan,
“Tidak menutup kemungkinan bahwa ini adalah ucapan Nabi saw, sebagai penafsiran terhadap ayat. Sebagian rawi memasukkannya ke dalam riwayat bacaan-bacaan Al-Qur'an” (10). Jika kita menganalisa jalur-jalur sanad dari para ahli baca Alquran yang tujuh, dalam mengetahui sejauh mana keberadaan Ibn Mas’ud, maka kita akan mengetahui secara faktual tentang sikap Ibn Mas’ud terhadap mushaf Imam (mushaf Utsmani). Seperti, bacaan Hamzah dari Al-’Amasy dari Zir bin Hubaisy dari Ibnu Mas’ud. Bacaan ‘Ashim bin Abi An-Nujud dari Zir, Abdurrahman As-Sullami, dan Abu ‘Amr Asy-Syaibani yang semuanya dari Ibn Mas’ud. Lalu bacaan Abu ‘Amr bin ‘Ala dari ‘Ashim dengan jalur sanad seperti sebelumnya. Bacaan Al-Kisa’i dari Hamzah dari Zir bin Hubaisy dari Ibn Mas’ud (11).

Dengan adanya bacaan Al-Qur'an yang sanadnya semua menjalur kepada Ibn Mas’ud, maka tidak ada alasan bagi kita, selain menerima seperti yang dikemukakan oleh Abu Hayyan tentang riwayat-riwayat yang diriwayatkan dari Ibn Mas’ud yang bacaannya berbeda dengan mayoritas mushaf. Abu Hayyan mengatakan, “Status riwayat-riwayat itu tidak lain adalah ahad, bila ditinjau dari penelitian tentang keshahihannya. Maka dari itu, tidak ada kontradiksi dengan riwayat yang statusnya mutawatir”. Selanjutnya, Abu Hayyan menambahkan, “Sebagian besar dari bacaan Ibn Mas’ud dinisbatkan kepada golongan Syiah” (12). Jadi tidak diragukan lagi, bahwa orang-orang Syiah dengan sengaja telah menambahkan sesuatu ke dalam Alquran, dengan tujuan untuk mengokohkan dakwaan-dakwaan mereka. Jika kita memperhatikan ungkapan Abu Hayyan, “Status riwayat-riwayat ini adalah ahad”. Terbukti, bahwa riwayat yang dinisbatkan kepada Ibn Mas’ud ini diriwayatkan hanya dari jalur A’masy sendiri (13). Dengan demikian, bahwa status riwayat tersebut semakin jelas bahwa riwayat tersebut adalah ahad. Tetapi, bila riwayat tersebut dihadapkan dengan riwayat mutawatir yang sudah disepakati, maka ia menjadi riwayat yang syadz (menyimpang). Sebab suatu riwayat yang ahad akan tetap ahad, bila riwayat tersebut berhadapan dengan riwayat yang statusnya shahih. Sedangkan, bila ia dihadapkan dengan riwayat yang bersifat mutawatir, maka ia dikategorikan sebagai riwayat yang batil. Berkaitan tentang riwayat yang syadz, Asy-Syafi’i menuturkan, “Hadits yang syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang maqbul yang berbeda dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang lebih utama darinya” (14). Itu jika ditinjau dari segi periwayatan. Sedangkan dari segi rawi, yakni A’masy, buku tentang Jarh wa Ta’dil menyebutkan kalau ia adalah seorang rawi yang tsiqah, hafizh, ahli baca Al-Qur'an, tetapi ia sering melakukan pemalsuan (15).


Tudingan Syiah Yang Dialamatkan Kepada Utsman.
Di saat Utsman menjadi khalifah, ada beberapa isu yang dihembuskan oleh pihak Syiah, isu tersebut berkaitan dengan sikap Ibn Mas’ud terhadap kebijakan Utsman, yang berujung kepada fitnah terhadap khalifah Utsman. Menurut Syiah, Ibn Mas’ud tidak mundur dari penolakannya terhadap kebijakan Utsman untuk membakar semua mushaf yang ada, selain mushaf Utsman. Mengenai hal tersebut, Ath-Thabarsi menuturkan sebagai berikut,  
“Jumhur ulama berpendapat kalau Utsman benar-benar memukul Ibn Mas’ud, sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat Asy-Syahrustani dari An-Nazhzham dalam Al-Milal wa An-Nihal-nya.
Demikian pula pernyataan pensyarah kitab Al-Maqasid dan pensyarah kitab At-Tajrid. Pensyarah At-Tajrid mengatakan, “Ketika Utsman hendak menyatukan umat dalam satu mushaf, ia meminta mushaf Ibn Mas’ud, tapi Ibn Mas’ud enggan memberikannya. Dalam mushaf Ibn Mas’ud, terdapat penambahan dan pengurangan. Karena itu, Utsman memukulnya agar ia mau tunduk (menerima kebijakan Ustman)” (16).”
Bahkan dalam riwayat lain disebutkan bahwa Utsman memukul Ibn Mas’ud, sehingga dua tulang rusuknya patah. Dampak dari pukulan inilah yang mengantarkan Ibn Mas’ud menemui ajalnya. (17)

Ath-Thabarsi telah melakukan kebohongan kepada publik, ketika ia menuturkan, “Jumhur ulama berpendapat kalau Utsman benar-benar memukul Ibnu Mas’ud, sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat Asy-Syahristani dari An-Nazhzham dalam Al-Milal wa An-Nihal-nya”. Dari pernyataan Ath-Thabarsi tersebut, setidaknya ada dua kebohongan yang dia utarakan :

1. Ath-Thabarsi mengklaim, bahwa pemukulan yang dilakukan oleh Utsman terhadap Ibn Mas’ud, itu benar-benar terjadi, sebagaimana yang diriwayatkan oleh jumhur ulama. Ia menyebutkan tiga orang, yang ketiganya dianggap sebagai jumhur ulama. Apakah mereka yang disebutkan oleh Ath-Thabarsi sudah layak disebut sebagai jumhur ulama dan mewakili ijma dari para ulama?
2. Asy-Syahristani adalah orang yang didustakan dalam masalah ini. Karena, ia menyebutkan riwayat ini sebagai kritik, ejekan dan bahkan melakukan penghinaan kepada para sahabat Nabi (18). Misalnya, Asy-Syahristani menisbatkan suatu riwayat atas nama Ibn Mas’ud,
“Orang yang bahagia adalah orang yang bahagia ketika berada di rahim ibunya. Dan, orang yang sengsara adalah orang  yang sengsara ketika berada di rahim ibunya”.
Dengan sikapnya yang seperti itu kepada para sahabat, apakah Asy-Syahristani layak untuk dikategorikan sebagai ulama ?

Orang-orang Syiah seperti halnya Asy-Syahristani, dengan sengaja telah menisbatkan riwayat-riwayat yang berbeda atau dipalsukan kepada Ibn Mas’ud, dengan tujuan untuk mengokohkan dakwaan mereka seputar masalah keterpeliharaan Al-Qur'an dari pendistorsian. Adapun riwayat-riwayat yang diangkat oleh Ath-Thabarsi, secara dzahir adalah dhaif dan terkesan sebagai lelucon. Karena dalam sejarah hidup Ibn Mas’ud, sama sekali tidak ditemukan informasi terkait tentang pemukulan yang ia dapatkan. Informasi yang akurat, justru menyebutkan bahwa Ibn Mas’ud pada akhirnya mendukung kebijakan khalifah Utsman.


Kesimpulan.
Secara umum, para sahabat dianggap orang yang paling mengerti tentang ayat Al-Qur'an dan juga memahami tentang maknanya. Hal tersebut disebabkan, karena mereka mengetahui sebab-sebab turunnya suatu ayat. Dan dengan adanya penafsiran yang dilakukan oleh Ibn Mas’ud yang terdapat pada mushafnya, hal itu menjadi titik pijakan yang melahirkan ilmu tafsir Al-Qur'an di kemudian hari. Tidak sedikit, non Muslim yang telah memanfaatkan adanya perbedaan isi dari mushaf Ibn Mas’ud dengan Mushaf Utsmani demi menunjukkan adanya pendistorsian terhadap Al-Qur'an, meskipun dari aspek historis sebenarnya argumentasi mereka terbantahkan.




Catatan Kaki :
1. Fi al-Lahjat al-’Arabiyah.
2. Al-Muhtasib
3. Ibn Khalawaih, Mukhtashar Al-Badi’ Fi Qira’at Asy-Syawadz. Dan Al-Bahr Al-Muhith.
4. Ibid.
5. Lisanul Arab.
6. Al-Bahr Al-Muhith.
7. Lisanul Arab.
8. Al-Bahr Al-Muhith.
9. Ibid.
10. Ibid.
11. Thabaqat Al-Qubra.
12. Al-Bahr Al-Muhith.
13. As-Sajistani, Al-Mashahif.
14. Jamaludin Al-Qasim, Qawaid At-Tahdits Min Funun Mushthalah Al-Hadits.
15. Taqrib At-Tahdzib.
16. Husein Ibn Muhammad Taqiyunnuri Ath-Thabarsi, Fashl Al-Khithab.
17. Ibid.
18. Al-Milal wa An-Nihal.

Comments

  1. Apakah dengan adanya penolakan tersebut menimbulkan atau berpengaruh terhadap umat Islam?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ada, yaitu adanya sunni, syiah, wahabi, mutazilah. Tapi tetap bertauhid kepada Allah dan sholawat kpd Rasul Muhammad SAW

      Delete

Post a Comment