Mushaf Ibnu Abbas

Oleh: Sang Misionaris

    Nama lengkap Ibnu Abbas adalah Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib. Ia adalah putra paman Nabi Muhammad saw. Nabi Muhammad saw pernah berdoa untuknya, agar ia dianugerahi oleh Allah hikmah dan kemampuan dalam menakwilkan Al-Quran. Dia termasuk sahabat Nabi yang paling tahu tentang takwil dan tafsir Al-Qur'an, dan penafsiran serta penakwilan Ibnu Abbas ini, termasuk upaya pertama yang dilakukan untuk menjelaskan makna-makna dari ayat-ayat Al-Quran. Sepeninggal Nabi Muhammad, ia termasuk orang terpandang di kalangan sahabat, bukan karena aktivitasnya di panggung politik, melainkan karena pengetahuan agamanya yang luas, terutama dalam Al-Quran, dan ia sudah memberi fatwa tentang hukum pada masa Umar dan Utsman hingga wafat. Tentang Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud berkata, “Ya, pakar tafsir Al-Quran adalah Ibnu Abbas”, dan ia populer dengan gelar al-bahr (samudera).
    Nama Ibn Abbas sering kali muncul dalam daftar orang yang mengumpulkan Al-Quran pada masa Nabi Muhammad saw. Tetapi, kenyataannya bahwa usianya yang masih sangat belia pada waktu itu telah menegasikan kemungkinan aktivitas pengumpulannya. Ada sebuah riwayat bahwa ia adalah muridnya Ali bin Abi Thalib dalam masalah-masalah Al-Quran. Tetapi, laporan ini, sebagaimana laporan yang berbau Syi’ah yang tendensius, sangat diragukan kebenarannya. Jeffery menduga bahwa teks mushaf Ibnu Abbas mencerminkan salah satu bentuk teks dari tradisi Madinah. Dari hubungan dekatnya dengan Utsman, pada masa persiapan kodifikasi Al-Quran, dapat dipastikan bahwa mushaf Ibnu Abbas telah diserahkan untuk dimusnahkan bersama mushaf-mushaf lainnya. Oleh karena itu, dalam pentas historis, mushaf Ibnu Abbas tidaklah memainkan peran yang penting dalam sejarah awal teks al-Qur’an.
    Beberapa orang tabi’in yang pernah belajar kepada Ibnu Abbas menjelaskan kepada kita tentang metodologi Ibnu Abbas dalam memahami ajaran agama. Menurut pengakuan mereka, bila mereka sedang belajar kepada Ibnu Abbas, mereka merasa seolah-olah berada dalam sebuah benteng yang dipenuhi butiran-butiran hikmah. Ibnu Sa’ad meriwayatkan dalam tabaqatnya: Sufyan bin ‘Uyainah menyampaikan kepada kami dari Ubaidillah bin Abi Yazid, ia berkata, “Apabila Ibnu Abbas ditanya tentang suatu masalah hukum, kalau jawabannya terdapat dalam Al-Quran, maka ia akan menyampaikan sesuai dengan jawaban yang terdapat di dalamnya. Bila tidak ada ketentuannya dalam Al-Quran, tapi ada ketentuannya dalam hadits, maka ia akan putuskan dengannya. Bila ketentuannya tidak ada dalam Al-Quran dan hadits, tapi Abu Bakar dan Umar pernah memutuskannya, maka ia akan memberikan keputusan dengan pendapat keduanya. Bila tidak ia temukan juga, maka ia akan berijtihad dengan pendapatnya”.
    Dari uraian di atas, maka kita bisa mengetahui tentang sejauh mana komitmen Ibnu Abbas terhadap pokok-pokok ajaran agama Islam, yang ia sendiri telah menyimpulkan sebuah hukum sesuai dengan urutan tertib dalil. Dalam buku-buku sirah, banyak sekali ditemukan riwayat-riwayat yang menerangkan tentang penafsiran-penafsiran Ibnu Abbas terhadap Al-Quran. Dalam menafsirkan Al-Quran, ia sering kali menafsirkan kata-kata yang sulit dengan memberikan contoh-contoh dari syair Arab. Tidak diragukan lagi kalau Ibnu Abbas termasuk sahabat yang ikut menyepakati mushaf Utsmani, dan sanad bacaan ahli baca Al-Quran yang tujuh pun tersambung pula kepadanya.
    Bila dalam data sejarah disebutkan bahwa Ibnu Abbas memiliki sebuah mushaf, maka kita perlu melakukan kritik terminologis dan historis terhadap permasalahan ini. Syihab al-Khafaji meriwayatkan, bahwa Ibnu Abbas membaca, “An nabiyyu aula bilmu’minni min anfusihim, wa huwa shallallahu ta’ala ‘alaihi wa sallama abbun lahum”, tanpa menyebut redaksi “Wa azwajihi ummahatihim”. Diriwayatkan, Umar pernah berpapasan dengan seorang anak kecil yang membaca bacaan ini, kepada anak itu, Umar berkata, “Buanglah (bacaan) itu dari mushaf.”  Kata mushaf di sini adalah sebuah kata umum untuk menyebutkan lembaran Al-Quran. Anak kecil itu tidak menerima teks ini seperti yang tertera dalam riwayat di atas. Bila teks itu utuh, maka ia adalah ayat Al-Quran. Umar menganggap teks tersebut bukanlah bagian dari Al-Quran, tetapi ia merupakan tafsiran. Anak kecil itu belum bisa membedakan mana ayat dan mana yang tafsir. Oleh karena itu, Umar pun menyuruh anak tersebut untuk menghilangkannya dari mushaf, yang tujuannya adalah agar tidak timbul fitnah di kemudian hari. Lagi pula, tambahan dalam riwayat ini bertentangan dengan bacaan yang teradapat dalam Qs. 33:40: “Muhammad itu bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup para nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” Bahkan lebih dari itu, bacaan itu pun tidak pula diriwayatkan secara mutawatir oleh para sahabat lainnya.
    Mushaf Ibnu Abbas ini tidak berbeda jauh dengan mushaf Ibnu Mas’ud dan mushaf Ubay bin Ka'ab yang telah penulis kemukakan sebelumnya. Mushaf ini terdiri dari riwayat-riwayat tentang bacaan-bacaan yang memiliki corak dialek-dialek dan bacaan-bacaan yang memiliki corak tafsir. Adapun bacaan-bacaan Ibnu Abbas yang bercorak dialek, seperti Ibnu Abbas dan sekelompok ahli baca Al-Quran membaca Qs 2:108 (kama siila) dengan kasrah, Qs. 2:158 (an yaththaffa bihima) dengan wazan yafta’il; Qs. 3:81 (ashri) dengan memfathahkan hamzah; Qs. 11:42 (wa nada nuhun ibnah) dengan mensukunkan huruf ha, dialek ini adalah dialek suku Azd atau dialek suku Bani Kilab, Uqail, atau suku Thayyi; dan lain-lain. Itulah beberapa riwayat tentang bacaan-bacaan Ibnu Abbas yang bercorak dialek. Sebagian besar diantaranya sesuai dengan salinan mushaf Utsmani. Akan tetapi, statusnya tetap dikategorikan sebagai bacaan yang syadz, karena status sanadnya lemah. Sedangkan riwayat-riwayat tentang bacaan-bacaan yang bercorak tafsir dalam mushaf Ibnu Abbas bahwa ia membaca: udhukulu fi al-islami pada Qs. 2:208, Wa Syawirhum fi ba’dhi al-amr dalam Qs. 3:159, Haramna ‘alaihim thayyibat kanat uhillat lahum pada Qs. 4:160, Taqiyyah Allah khiarun lakum di Qs. 11:86, Wa amma alghulamu fakana kafiran wa kana abawahu mukminaini dalam Qs. 18:80, dan lain-lain.
    Dalam vokalisasi teks antara mushaf Ibnu Abbas dengan mushaf standart Utsmani Mesir, memang terdapat perbedaan, pada Qs. 2:124, misalnya, dalam mushaf Utsmani terbaca al-zhalimin, namun dalam mushaf Ibnu Abbas dibaca al-zhalimun. Demikian pula pada Qs. 11:32, pada mushaf Utsmani terbaca jidalana, tetapi pada mushaf Ibnu Abbas dibaca jadalana. Dalam Qs 89:29, pada mushaf Utsmani dibaca fi ‘ibadi, akan tetapi dalam mushaf Ibnu Abbas terbaca fi ‘abdi, ada perbedaan hanya dalam bentuk jamak dan tunggal saja. Tidak hanya itu saja, ungkapan panjang dalam mushaf Utsmani, yakni wa kana wara’ahum malik ya’khudzu kulla safinatin gashban (Qs. 18:79), dibaca oleh Ibn Abbas dengan wa kana amamahum malik ya’khudzu kulla safinatin shalihatin gashban. Di sini, tidak terjadi pergeseran makna keseluruhan ayat yang cukup berarti. Selanjutnya dalam Qs. 2:198, di mana setelah ungkapan min rabbikum, Ibnu Abbas membaca sisipan ungkapan fi mawasim al-hajj, seperti halnya Ibnu Mas’ud. Sementara dalam Qs. 4:79, di antara kata nafsika dan kata wa arsalnaka disisipkan ungkapan wa ana katabtaha alayka, sehingga bacaan Ibnu Abbas di sini adalah nafsika wa ana katabtaha alayka wa arsalnaka.
    Bentuk-bentuk sisipan di atas, menurut Taufik Adnan Amal, tidak banyak mempengaruhi makna secara keseluruhan ayat, karena ia merupakan penjelasan. Dan yang pasti, bahwa tambahan-tambahan atau perubahan-perubahan yang terdapat dalam riwayat-riwayat bacaan Ibnu Abbas, itu semua hanyalah penjelasan tentang maksud suatu ayat. Dan pada dasarnya, mushaf Ibnu Abbas ini sama saja dengan mushaf Utsmani yang diriwayatkan secara mutawatir. Sedangkan riwayat-riwayat yang disebutkan di atas hanyalah penafsiran dari Ibnu Abbas.  
   
Sumber:
Syahin, Abdul Shabur. 2011. Saat Al-Qur’an Butuh Pembelaan: Sebuah Analisis Sejarah. Terj. Khoirul Amru Harahap dan Akhmad Faozan. Jakarta: Erlangga.      
Armas, Adnin. 2005. Metodologi Bibel Dalam Studi Al-Qur’an: Kajian Kritis. Jakarta: Gema Insani Press.

Comments

Post a Comment