Sejarah Kodifikasi Al-Qur'an bag. 1

                    Oleh : Sang Misionaris

Para orientalis telah menerapkan metodologi kritiknya terhadap Al-Qur'an, yang sebelumnya telah mereka terapkan terhadap Alkitab. Mereka menghimpun berbagai pendapat, asumsi, dan pandangan, lalu menyimpulkannya dengan melakukan analisis yang relevan dengan tempat, waktu, dan kondisi. Mereka hanya menaruh perhatian pada matan, tetapi tidak pada sanadnya.1 Keadaan demikian, ternyata diikuti dan diteruskan oleh kelompok yang bernama Jaringan Islam Liberal (JIL). Jadi pada dasarnya, apa yang mereka sampaikan tentang sejarah kodifikasi Al-Qur'an, bukanlah hal yang baru, karena apa yang mereka sampaikan hanyalah bentuk pengulangan saja, atas apa yang telah disampaikan oleh kalangan orientalis, kala itu. Adapun para orientalis yang melakukan penelitian tentang sejarah kodifikasi Al-Qur'an, mulai dari Noldeke, penulis buku Tarikh Al-Qur'an yang dipublikasikan tahun 1860 M, sampai orientalis yang datang sesudahnya yang melengkapi metodologinya seperti Schawally, Bergstrasser, Bretzl, dan Arthur Jeffery. Dan yang paling mukhtahir adalah seorang orientalis dari Prancis yang bernama R. Blachere, yang dalam bukunya berjudul Al-Madkhal ila Al-Qur'an dan terjemahan Al-Qur'annya. Adapun topik yang diangkat oleh penulis kali ini, hanya fokus memberikan sanggahan secara substansialnya saja terhadap tulisan yang telah dibuat oleh salah seorang dari kalangan JIL yang bernama Luthfi Assyaukanie, dengan topik "Merenungkan Sejarah Alquran", yang ia tulis pada website islamlib.com.
Luthfi Assyaukanie menyatakan, "Sebagian besar kaum Muslim meyakini bahwa Alquran dari halaman pertama hingga terakhir merupakan kata-kata Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara verbatim, baik kata-katanya (lafdhan) maupun maknanya (ma’nan). Kaum Muslim juga meyakini bahwa Alquran yang mereka lihat dan baca hari ini adalah persis seperti yang ada pada masa Nabi lebih dari seribu empat ratus tahun silam. Keyakinan semacam itu sesungguhnya lebih merupakan formulasi dan angan-angan teologis (al-khayal al-dini) yang dibuat oleh para ulama sebagai bagian dari formalisasi doktrin-doktrin Islam. Hakikat dan sejarah penulisan Alquran sendiri sesungguhnya penuh dengan berbagai nuansa yang delicate (rumit), dan tidak sunyi dari perdebatan, pertentangan, intrik, dan rekayasa."2

Dari uraian Luthfi diatas, secara eksplisit ia telah menyangkal tentang adanya kesamaan Al-Qur'an yang saat ini digunakan oleh Muslim diseluruh dunia, atas wahyu yang telah disampaikan oleh Nabi Muhammad saw kepada para sahabatnya. Bahkan menurutnya, Muslim yang meyakini adanya kesamaan isi Al-Qur'an dengan zaman Nabi Muhammad, dianggap sebagai angan-angan teologis yang dibuat oleh para ulama.

Padahal, saat Nabi Muhammad mendapatkan wahyu dari Allah melalui Malaikat Jibril, beliau selalu menyampaikannya kepada para sahabat secara oral/melalui lisan. Digunakannya metode oral dan hafalan yang digunakan oleh Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya, dikarenakan beliau sendiri tidak bisa baca tulis dan ketidakpandaian baca tulis merupakan ciri khas masyarakat Arab pada masa itu.3 Semakin bertambahnya wahyu yang didapatkan oleh Nabi Muhammad dan demi menjaga keautentikan atas apa yang diterima melalui Malaikat Jibril, maka setiap satu tahun sekali, Nabi membacakan Al-Qur'an kepada Jibril, begitupun dengan Jibril yang membacakannya untuk Nabi.4 Dan pola pengulangan bacaan (sistem muroja'ah) seperti itu, dilakukan pula oleh Nabi dengan para sahabatnya, seperti yang pernah terjadi disaat Ibnu Mas'ud diminta membacakan Al-Qur'an oleh Nabi dan Ibn Mas'ud membacakan surat An-Nisa, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari melalui Ubai bin Ka'ab.

Proses penulisan Al-Qur'an telah dipercayakan Nabi Muhammad kepada para penulis yang benar-benar terpercaya. Adapun orang pertama yang menuliskan wahyu untuk beliau di Mekah dari kalangan Quraisy ialah Abdullah bin Abi Sarh. Dan, orang-orang yang menuliskan Al-Qur'an secara keseluruhan untuk beliau adalah, khalifah yang empat, Zubair bin Awwam, Khalid bin Sa'id bin 'Ash bin Umayyah, Aban bin Sa'id bin 'Ash Umayyah, Hanzhalah bin Rabi' Al-Asadi, Mu'aiqib bin Abi Fatimah, Abdullah bin Arqam Az-Zumari, Syarahbil bin Hasanah dan Abdullah bin Rawahah. Sedangkan orang pertama yang menuliskan wahyu untuk beliau di Madinah ialah Ubai bin Ka'ab. Selain Ubai bin Ka'ab ialah Zaid bin Tsabit dan beberapa orang sahabat lainnya.5 Jumlah penulis Al-Qur'an mencapai 40 orang.6 Proses penulisan Al-Qur'an di Mekah yang dilakukan oleh para penulis dari kalangan Quraisy, sedangkan di Madinah dilakukan oleh sejumlah sahabat yang terdiri dari kalangan Muhajirin dan Anshar.

Jadi, penyampaian wahyu yang dilakukan oleh Nabi dengan menggunakan lisan dan diterimanya oleh para sahabat dengan menggunakan kekuatan hafalan, yang pada akhirnya menggunakan tulisan, disaat banyaknya para sahabat yang bisa baca tulis tersebut masuk Islam, dan dibarengi pula dengan metode muroja'ah, tentunya hal tersebut telah membuktikan tidak akan ada perbedaan atas isi Al-Qur'an, baik dikalangan para sahabat saat masih di zaman Nabi, maupun pada masa khalifah Utsman dan juga pada zaman kita sekarang ini.

Mengenai jumlah mushaf yang dimiliki oleh para sahabat Nabi Muhammad saw, Luthfi menuturkannya sebagai berikut, "Sebelum Uthman bin Affan (w. 35 H), khalifah ketiga, memerintahkan satu standarisasi Alquran yang kemudian dikenal dengan “Mushaf Utsmani,” pada masa itu telah beredar puluhan –kalau bukan ratusan– mushaf yang dinisbatkan kepada para sahabat Nabi.”7

Dalam ulasannya tersebut, Luthfi menyatakan bahwa pada masa Khalifah Ustman telah beredar puluhan bahkan ratusan mushaf, yang mushaf tersebut menurutnya, telah dinisbahkan kepada para sahabat Nabi. Walaupun dalam penulisannya, dia sendiri tidak menyebutkan siapa saja yang telah memiliki mushaf tersebut, sebagaimana yang diklaim oleh Luthfi. Menurut hemat penulis, apa yang disampaikannya tersebut tidak ilmiah, dan bahkan bisa dianggap bahwa Luthfi telah menyampaikan dan menyebarkan fitnah kepada para sahabat Nabi Muhammad saw. Untuk menunjukkan bahwa pemaparan Luthfi cuma bersifat opini semata, tidak ilmiah, dan bahkan apa yang disampaikannya bisa dibilang fitnah, maka dari itu penulis akan menyampaikan siapa saja yang mempunyai mushaf, baik dari kalangan para sahabat maupun pata tabiin.

Para sahabat yang memiliki mushaf dan nama mushaf tersebut dinisbatkan kepada mereka ialah : Abdullah bin Mas'ud, Ubai bin Ka'ab, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Umar bin Khathab, Hafsah binti Umar, 'Aisyah binti Abi Bakar, Ummu Salamah, Abdullah bin 'Ammar, Abdullah bin Zubair. Terdapat pula riwayat yang menyebutkan mushaf-mushaf yang dinisbatkan kepada sahabat lain, seperti Abu Musa Al-Asy'ari, Zaid bin Tsabit, Anas bin Malik san Salim Maula Abi Hudzaifah.8 Mereka disebutkan memiliki mushaf yang memiliki karakteristik khusus. Akan tetapi, mushaf-mushaf tersebut bukanlah mushaf yang utuh. Ada beberapa sumber yang menyebutkan penisbatan sebuah bacaan dari mushaf Hamzah bin Abdul Muthalib.9 Perlu diketahui, bahwa Hamzah sendiri syahid dalam perang Uhud, 8 tahun sebelum wahyu turun secara sempurna.

Kemudian, pengertian mushaf berkembang dari pengertian yang hanya sebatas kumpulan beberapa surat yang disusun dengan pola khusus, menjadi sebuah bentuk yang utuh dari teks Al-Qur'an yang disusun dengan pola khusus, yang mencakup semua huruf Al-Qur'an, sesuai atau berbeda pula dengan mushaf imam. Hal ini tampak pada mushaf-mushaf para pemuka tabi'in. As-Sajistani telah menyebutkan nama-nama mereka yang memiliki mushaf, diantaranya : Ubaid bin Umar Al-Laitsi, 'Atha bin Abi Rabah, Ikrimah, Mujahid, Sa'id bin Jubair, Aswad bin Zaid dan 'Alqamah bi  Qais Am-Nakha'i, Muhammad bin Abi Musa, Haththan bin Abdillah Ar-Raqqasyi, Shalih bin Kaisan, Thalhah bin Mashraf Al-Ayyami dan A'masy. Menurut penulis, mushaf-mushaf tersebut tidak lain adalah salinan ulang dari riwayat-riwayat para sahabat, terlebih mereka tidak pernah bertemu dan sezaman dengan Nabi Muhammad, kecuali dengan para sahabat Nabi sendiri. Bahkan, terdapat mushaf yang dinisbatkan kepada orang-orang yang tidak diketahui identitasnya. Seperti, mushaf yang disebut Al-Kirmani yang dikenal dengan nama mushaf Ibnu Asy-Syumaith, yang menjadi salah satu diantara sahabat Mukhtar Ats-Tsaqafi.10

Dari apa yang telah diuraikan diatas, menandaskan bahwa apa yang disampaikan oleh Luthfi, cuma klaim sepihak dan bisa dikatakan bahwa dia telah melontarkan fitnah kepada para sahabat, dan bahkan telah melakukan penipuan kepada publik atas nama sejarah, yang telah dia tutup-tutupi selama ini.

Untuk menguatkan argumentasinya, Luthfi memberikan contohnya sebagai berikut, "Beberapa sahabat Nabi memiliki mushafnya sendiri-sendiri yang berbeda satu sama lain, baik dalam hal bacaan, susunan ayat dan surat, maupun jumlah ayat dan surat. Ibn Mas’ud, seorang sahabat dekat Nabi, misalnya, memiliki mushaf Alquran yang tidak menyertakan surah al-Fatihah (surah pertama). Bahkan menurut Ibn Nadiem (w. 380 H), pengarang kitab al-Fihrist, mushaf Ibn Mas’ud tidak menyertakan surah 113 dan 114. Susunan suratnya pun berbeda dari Alquran yang ada sekarang. Misalnya, surah keenam bukanlah surah al-An’am, tapi surah Yunus. Ibn Mas’ud bukanlah seorang diri yang tidak menyertakan al-Fatihah sebagai bagian dari Alqur’an. Sahabat lain yang menganggap surah “penting” itu bukan bagian dari Alquran adalah Ali bin Abi Thalib yang juga tidak memasukkan surah 13, 34, 66 dan 96."

Adanya perbedaan bacaan dalam konteks mushaf Ibn Mas'ud, Ibn Hayyan mengatakan, "Menurut kami, terdapat riwayat yang mutawatir tentang bacaan Ibn Mas'ud yang berbeda dengan riwayat yang diriwayatkan darinya, yang justru sesuai dengan bacaan yang terdapat dalam sebagian besar mushaf." Abu Hayyan sering kali menyebut pernyataannya ini ketika ia mengomentari berbagai riwayat yang diriwayatkan dari Ibn Mas'ud yang berbeda dengan bacaan yang terdapat dalam sebagian mushaf. Semisal, bacaan Ibn Mas'ud terhadap Qs. 4:24 : "Faash-shalihat qanitat hafizhat li al-ghaib bima hafizhallah", yang dibaca oleh Ibn Mas'ud dengan "faash-shawalih qawanit hawafizh li al-ghaib bima hafizhallah faashlihu ilaihinna", ia mengatakan, "Ini harus dipahami sebagai tafsir, karena bacaan ini berbeda".

Apa yang dipaparkan oleh Luthfi, sebenarnya itu adalah ungkapan yang dia ambil dari seorang orientalis yang bernama Arthur Jeffery.11 Dalam karyanya, Jeffery mengungkapkan bahwa Ibnu Mas'ud dalam mushafnya tidak menyertakan surat Al-Fatihah. Padahal Al-Razi sendiri mengakui bahwa Al-fatihah adalah bagian dari Al-Qur'an, yang nama lain dari surat Al-Fatihah adalah Al-Asas. Selain itu, Al-Razi pun menolak pendapat bahwa Abdullah bin Mas'ud mengingkari Al-Fatihah sebagai bagian dari Al-Qur'an.12 Selain mengutip apa yang diungkapkan oleh Jeffery berkenaan tentang Al-Fatihah, Luthfi pun masih mengutip ungkapan  dari orang yang sama, bahwa pada mushaf Ibn Mas'ud tidak adanya surat Al-Falaq serta An-Nas, dan susunan surat yang terdapat didalamnya berbeda dengan mushaf Ustmani.13 Jika surat Al-Falaq dan An-Nas bukanlah bagian dari Al-Qur'an, niscaya akan ada banyak riwayat yang disampaikan oleh para sahabat yang selaras dengan apa yang diklaim oleh Jeffery.


Bersambung.


Catatan Kaki :
1. Arthur Jefry, dalam Mukadimah Kitab Al-Mashahif, hal. 4.
2. http://islamlib.com/kajian/quran/merenungkan-sejarah-alquran/
3. Dalalah Al-Alfazh, hal. 183-184.
4. Az-Zarkasyi, dalam Al-Burhan Fi Ulum Al-Qur'an, jilid 1 hal. 232.
5. Mauqif Al-Qur'an min Al-Musyrikin fi Makkah, hal 54.
6. Hifni Nashif,dalam Hayah Al-Lughah Al-'Arabiyah, dan Az-Zanjani dalam Umdah Al-Qari.
7. http://islamlib.com/kajian/quran/merenungkan-sejarah-alquran/2/
8. As-Suyuti, dalam Al-Itqan, hal. 58.
9. Al-Kirmani, hal. 144.
10. Al-Kirmani, hal. 93. Ibnu Atsir, Al-Kamil.
11. Arthur Jeffery, dalam A Variant Text of The Fatiha.
12. Fakhr Al-Din Al-Razi, dalam Al-Tafsir Al-Kabir.
13. Arthur Jeffery, dalam Materials.

Comments