Etika Perang Dalam Islam


Oleh : Sang Misionaris (SM).

Pendahuluan
    Ketika terjadi pertempuran atau peperangan, cuma ada dua pilihan yang harus dipilih, yakni membunuh atau terbunuh. Dalam peperangan, banyak cara yang dilakukan untuk bisa membunuh musuh, terlebih pada zaman yang modern saat ini. Namun yang menjadi persoalannya, apakah semua orang layak untuk dibunuh ? Apakah lokasi yang ada layak untuk dihancurkan ? Apakah terdapat kebebasan dalam menentukan cara dalam membunuh lawan ? Dengan mengetahui etika dalam berperang, tentunya para pelaku peperangan diharapkan untuk tidak seenaknya melakukan pembunuhan maupun perusakan. Motif, dapat mempengaruhi perilaku peperangan, selain mempengaruhi pula cara dalam melakukan pembunuhan terhadap lawan. Namun yang menjadi sentral persoalan itu semua ialah, adakah aturan yang mengatur hal tersebut ? Dan Islam, memiliki etika tersendiri dalam mengatur hal tersebut, dan bahkan bisa dikatakan, bahwa Islam merupakan satu-satunya agama di dunia yang memberikan tuntunan dalam berperang. Meskipun begitu, tetap saja pihak Islamophobia, skeptis, dan bahkan Barat masih menilai bahwa umat Islam adalah umat yang haus akan perang, umat yang biadab, dan tidak cinta damai. Apakah tudingan mereka tersebut selaras dengan pengetahuan mereka akan ajaran Islam ? Tentu saja tidak. Lalu seperti apa etika berperang dalam Islam ? Apakah benar umat Islam tidak cintai damai dan tidak toleran ? Dalam artikel kali ini, penulis akan mengulasnya secara sederhana dalam memberikan jawaban tersebut.

Definisi Islam 
    Islam berasal dari kata aslama, yuslimu yang berarti menyerah, tunduk dan damai. Dalam pengertian bahasa, Islam mengandung maka yang umum bukan hanya nama dari suatu agama. Ketundukkan, ketaatan, dan kepatuhan merupakan makna dari Islam.1 Sedangkan pengertian lain tentang Islam ialah al-inqiyad (tunduk patuh), al-ikhlas (tulus), Al-ta’at (taat), serta al-salam (damai atau selamat).2 Mendefinisikan Islam secara komprehensif sangatlah sulit, sehingga banyak dari para pemikir agama yang mendefinisikan Islam secara beragam. Ada yang mendefinisikan Islam sebagai agama samawi yang terakhir, yang merupakan risalah penutup dan merupakan agama yang diridhai oleh Allah untuk seluruh umat manusia yang hidup di mana saja dan kapan saja.3 Bahkan ada yang mendefinisikan Islam sebagai agama yang berupa peraturan dari Allah untuk manusia yang berakal, guna mencari keyakinan, mencapai jalan bahagia secara lahir dan batin, dunia dan akhirat, bersandarkan wahyu Ilahi yang terhimpun dalam kitab suci yang diterima oleh Muhammad.4 Meskipun terdapat penulis dari outsider yang menyebutkan bahwa agama Islam sebagai Muhammadanism, tetapi pada akhirnya tidak ada kesepakatan dari luar Islam dan juga umat Islam itu sendiri. Di samping itu, penamaan Muhammadanism terlihat tidak konsisten, di satu sisi mereka menyebutnya dengan Muhammadanism, namun di sisi lain, menyebutnya dengan Islam.5
    Islam dalam arti institusi resmi, baru dimulai pada saat diutusnya Muhammad ibn Abdullah pada abad ke-7 M, ketika beliau sedang bertahannuts di Gua Hira.6 Dan dengan adanya karakter Nabi Muhammad yang mulia, yang memiliki kepribadian yang jujur, serta mengesankan, membuat penyebaran Islam begitu cepat. Sekitar 100 tahun berlangsungnya revolusi Islam, Islam telah berhasil menaklukkan kerajaan Bizantium, dan Persia, serta wilayah timur, mulai dari Iran, Irak, hingga Bukarest.7 Sedangkan di sisi Barat, mulai dari Syiria, Palestina, Mesir, hingga Afrika Utara. Dan gelombang ekspansi tidak hanya berhenti disitu, pada tahun 711 M, Islam sudah menerobos selat Giblartar sampai Iberia. Sampai pada akhirnya seorang Pangeran Frankus, Charles Martel, pada tahun 732 M, membendung laju revolusi Islam di Tour (wilayah Prancis-Italia), hingga pada akhirnya terjadi Perang Salib yang berlangsung sekitar dua abad lamanya. Islam merupakan agama yang progresif, yang bergerak dari satu individu ke individu lainnya, yang begitu mudahnya bergerak tanpa mengalami beban. Seolah-olah ia memiliki sayap yang dengannya ia dapat terbang ke mana saja yang ia kehendaki.8   Sedangkan penyebab utama terjadinya kekalahan dan terusirnya tentara Salib, dikarenakan adanya beberapa aktivitas penjarahan brutal yang dilakukan oleh pihak Kristen dibawah pimpinan Reynald Chatillon, yang tujuan utamanya ialah ekonomi, yang mempunyai keinginan untuk mendapatkan harta rampasan perang dari umat Islam.9
    Meski ada keragaman dalam mendefinisikan tentang Islam, namun pada dasarnya memiliki substansi sama, bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan kepada pemeluknya untuk memiliki ketaatan, dan kepatuhan kepada Tuhannya, yang pada akhirnya mampu memberikan keselamatan, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain, dimanapun dan kapanpun. Ketika Islam memiliki definisi seperti itu, tentunya ajaran yang terkandungnya pun akan memiliki keselarasan, yakni menciptakan kedamaian dan keamaanan bagi siapapun dan dimanapun, dengan berlandaskan keimanan kepada Allah. Dan dalam hadits, banyak sekali yang bisa kita temukan tentang berbagai adab yang diajarkan oleh Islam melalui Nabi Muhammad, seperti :
  1. “Tidaklah beriman seseorang dari kalian sehingga ia mencintai untuk saudaranya sebagaimana dia mencintai untuk dirinya sendiri.”10
  2. “Muslim yang sempurna adalah yang Muslim lainnya selamat dari gangguan lidah dan tangannya…”11
  3. “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya ia berkata baik atau diam, dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir janganlah ia menyakiti tetangganya, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia memuliakan tamunya.”12
  4. “…Aku akan menjamin rumah di tepi surga yang paling tinggi bagi seseorang yang berakhlak baik.”13
    Dari beberapa contoh hadits di atas, mengimplikasikan bahwa iman seorang Muslim harus mampu menghasilkan akhlak yang baik yang bisa dirasakan bagi siapapun dan dimanapun, karena akhlak yang baik merupakan sebuah gambaran bagi iman seorang Muslim, begitu pula sebaliknya. Dan dari adanya akhlak yang baik, tentunya hal tersebut akan menciptakan kondisi yang aman dan damai, baik bagi Muslim itu sendiri maupun bagi non Muslim.
Etika Perang Islam
    Umat Islam mampu bersikap lemah lembut dan berakhlak baik kepada siapapun dan kapanpun, sebagai bentuk pengaplikasian atas imannya. Namun, ketika umat Islam mengalami penyerangan dari pihak lain, Islam pun mengizinkan pula untuk melakukan penyerangan balik sebagai bentuk pembelaan diri / mempertahankan dirinya , dan hal tersebut merupakan bagian dari jihad, dengan syarat tidak melampaui batas dalam melakukan peperangan.
    Allah berfirman, “Dan perangilah di jalan Allah, orang-orang yang memerangi kamu, tetapi janganlah kamu melampaui batas. Karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.14 Makna “tidak melampaui batas”, menurut Ibnu Katsir ialah tidak mencincang, tidak membunuh anak kecil dan wanita, dan tidak membunuh orang yang sedang beribadah di dalam biara. Selaras dengan Ibnu Katsir, Bernard pun memberikan komentarnya, “Pasukan perang dalam jihad tidak diizinkan untuk membunuh wanita-wanita, anak-anak dan orang-orang lanjut usia, kecuali jika mereka yang pertama menyerang, melukai atau menyiksa para tawanan setelah diadakan gencatan senjata untuk menjunjung tinggi perjanjian itu.15
    Islam tidak hanya mengatur hal-hal yang menyangkut aspek ritualnya saja, melainkan menuntut pula para pengikutnya untuk menerima secara utuh seluruh ajarannya serta mengimplementasikannya ke dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam kondisi damai maupun dalam kondisi perang sekalipun. Karena Islam merupakan dasar yang membentuk pola pikir dan pola tindakan seseorang, sehingga pada akhirnya mampu melahirkan bentuk pribadi Muslim yang utuh dan terintergrasi.16 Dan hal tersebut telah diisyaratkan oleh Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi perwujudan keutuhan manusia dalam segala dimensi kehidupan yang dijalaninya, sebagaimana dalam Firman-Nya, “Hai orang-orang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara sempurna, dan janganlah kamu turut langkah-langkah Syaitan. Sesungguhnya Syaitan itu musuh yang nyata bagimu”.17
    Jika suatu keyakinan atau agama, tidak memberikan aturan atau hukum yang jelas dalam berperang, tentu akan terjadi sikap yang berlebih-lebihan, yang pada akhirnya akan melahirkan bentuk kesadisan dalam peperangan, seperti melakukan mutilasi, mengoyak isi perut, membunuh wanita dan bahkan anak-anak. Dan kesadisan dalam berperang, ternyata pernah dialami oleh umat Islam ketika menghadapi kaum Quraisy pada perang Uhud. Contohnya, seperti yang pernah dilakukan oleh seorang perempuan yang bernama Hindun binti Utba terhadap Hamzah bin Abdul Muthalib, pamannya Nabi Muhammad. Ketika Hamzah meninggal dalam perang Uhud, Hindun langsung memotong telinga dan hidungnya Hamzah, yang setelah itu ia gunakan sebagai kalung dan anting. Tidak hanya itu, Hindun pun akhirnya mengoyak isi tubuhnya Hamzah dengan mengeluarkan jantungnya, lalu berusaha memakannya.18 Namun lain halnya dalam Islam yang memiliki aturan yang jelas dan baku, yang dalam pelaksanaannya, tentu harus dilakukan sesuai dengan tuntunan hukum Islam. Dan implikasi tersebut bisa terlihat dari adanya berbagai larangan kepada kaum Muslimin agar senantiasa tidak melakukan pelanggaran yang telah ditetapkan ketika sedang melakukan peperangan, seperti :
  1. Dilarang melakukan pembunuhan yang kejam kepada lawan perang.19 Misalnya, mengeluarkan isi perut musuh.
  2. Dilarang melakukan mutilasi atau mencincang anggota tubuh musuh.20
  3. Dilarang melakukan pembunuhan terhadap anak-anak.21
  4. Dilarang membunuh jiwa yang diharamkan.22 Misalnya, membunuh orang yang telah mengucapkan dua kalimat Syahadat, meski yang mengucapkannya tersebut dalam keadaan terdesak sekalipun.
  5. Dilarang membunuh wanita, dan orang yang sudah tua.23
    Pada umumnya, pengimplementasian atas adanya etika perang yang dilakukan oleh umat Islam, selalu dinisbatkan pada masa pemerintahan Umar bin Khathab saja.24 Hal tersebut, seolah-olah sebagai satu-satunya pembuktian yang bisa diandalkan dalam membuktikan tentang adanya etika berperang yang dilakukan oleh umat Islam. Padahal, etika perang yang dilakukan oleh umat Islam tidak hanya diterapkan oleh Umar bin Khathab, melainkan diterapkan pula oleh kaum Muslimin lainnya. Misalnya Abu Bakar, yang ketika berperang ia memerintahkan pasukannya untuk tidak menebang atau memotong tanaman, dan melarang membunuh orang-orang yang sedang menjalankan pola hidup asketisme di biara.25 Tidak hanya Abu Bakar, Ali bin Abi Thalib pun melakukan hal yang sama. Ketika lawannya dalam keadaan tidak berdaya, Ali langsung mengurungkan niat untuk membunuhnya, dikarenakan lawannya sempat meludahi Ali ketika dalam posisi tidak berdaya. Ali mengurungkan niat untuk membunuhnya, karena ia khawatir niat membunuhnya tersebut bukan karena Allah, melainkan karena kekesalan kepada lawannya yang telah meludahinya.26

Sikap Toleransi Umat Islam Kepada Orang Yang Tidak Memeranginya
    Jika umat Islam dinilai sebagai umat yang haus akan darah dan tidak memiliki etika dalam berperang, lalu bagaimana dengan keamanan, kenyamanan, dan bahkan kebebasan beribadah yang telah dirasakan oleh pihak Yahudi dan juga Kristen, ketika mereka hidup di bawah pemerintahan Islam ? Bahkan, orang-orang Yahudi dan Kristen yang hidup di bawah naungan Islam, diantara mereka ada yang dipekerjakan sebagai penjaga dan pelayan di Haran. Tidak hanya itu, mereka pun diangkat pula sebagai wazir di masa kekhalifahan Al-Hafizh, seperti Bahram Al-Armeni, Isa bin Nasthuris, Fadh bin Ibrahim, dan Ya’qub bin Kalas. Selain mereka, Kristen Koptik pun ada yang menjabat sebagai sekretaris ketika pusat pemerintahan berada di Fusthat di masa Abdul Aziz bin Marwan, seperti Saios dan Ishaq.27
    Jika umat Islam adalah orang yang sadis dalam berperang, tentunya akan banyak yang menjadi korban pembantaian yang dilakukan oleh umat Islam, dan jika seandainya hal tersebut benar-benar terjadi, tentunya hal itu akan menjadi topik pembahasan di kalangan Orientalis dalam membenarkan apa yang telah ditudingkan oleh pihak Islamophobia selama ini terhadap Islam. Umat Islam, hanya memerangi orang-orang yang memeranginya, dan tidak pernah memerangi atau mengganggu orang-orang yang tidak memerangi kaum Muslimin terlebih dahulu,28 sebagaimana yang termaktub dalam Qs. 2:190 dan 5:8. Hal tersebut terbukti dengan adanya pembangunan di masa Dinasti bani Umayyah, yang telah dibangun gereja Abu Maqar di masa Patrik Agaton, begitu pula gereja Paus Markus yang dibangun di Alexandria. Dan bahkan, gereja Maria Girgis dan gereja Abu Qair dibangun di dalam Istana Lilin.29 Jika seandainya kaum Muslimin memerangi tanpa pandang bulu, tentunya tidak akan pernah ada seorang Kristen pun di zaman Umayyah, apalagi sampai mendirikan gereja sebagai tempat peribadahan umat Kristiani.

Kesimpulan
    Sebenarnya, meski umat Islam telah mati-matian memberikan pengertian bahwa Islam adalah agama pembawa rahmat bagi seluruh alam, namun tetap saja pola pikir Barat atau pihak Islamophobia tidak akan berubah. Bagi mereka, bukan mereka yang dituntut untuk mengerti Islam, karena hal yang satu ini tidak akan pernah ada dalam kosakata mereka, dan mereka menganggap bahwa hal tersebut hanya sebatas retorika dan basa-basi saja.30 Mereka menginginkan, umat Islam untuk mengikuti cara pandang dan metodologi yang mereka terapkan dalam menilai suatu hal. Jika propaganda tersebut berhasil mereka terapkan kepada umat Islam, tentunya umat Islam akan menjadi pengekor pola pikir dan peradaban mereka, yang pada akhirnya umat Islam sedikit demi sedikit meninggalkan Al-Qur'an dan Sunnah serta melupakan sejarah peradaban Islam, sebagaimana keinginan mereka. Dan sikap mereka demikian, tentu saja hal tersebut sudah disinyalir sebelumnya oleh Allah melalui Firman-Nya, “...Mereka tidak akan senang kepadamu, sebelum mereka mengikuti agama (millah) mereka.”31
    Dengan adanya pedoman atau aturan yang telah ditetapkan dalam Islam, pada akhirnya mampu menghasilkan suatu etika yang bisa diimplementasikan oleh umat Islam, seperti halnya dalam berperang, yang hal tersebut belum pernah ada pada suatu agama manapun yang memberikan aturan sedemikian rupa sebagaimana Islam. Dan orang-orang kafir yang tidak memerangi umat Islam pun pada akhirnya menempati suatu jabatan yang strategis di dalam pemerintahan Islam, bahkan mereka merasakan keamanan dan kebebasan dalam melakukan peribadahan, sesungguhnya hal tersebut telah membuktikan bahwa kaum Muslimin pada dasarnya memiliki toleransi, kelemah-lembutan dalam bersikap. Bahkan secara historis, dengan adanya sikap baiknya umat Islam terhadap orang kafir, justru hal tersebut telah mementahkan segala tudingan miring pihak Islamophobia ataupun Barat tentang Islam.

Catatan Kaki :
  1. DR. Syahidin, Prof. DR. Buchari Alma, Drs. A. Toto Suryana. M.Pd., Drs. Munawar Rahmat, M. Pd., Drs. Aam Abdussalam, Moral dan Kognisi Islam.
  2. Alfatun Muchtar, Tunduk Kepada Allah.
  3. M. Yusuf Musa, Islam : Suatu kajian Komprehensif.
  4. Muhammad Adnan, Tuntutan Iman dan Islam.
  5. Misalnya Joseph Schacht, yang menulis buku yang berjudul An Introduction to Islamic Law. Tetapi di sisi lain, ia juga menyebut judul buku yang lainnya dengan judul The Origins of Muhammadan Jurisprudence.
  6. Khalil Abdul Karim, Hegemoni Quraisy.
  7. Maulana Wahidudin Khan, Muhammad : A Prophet for All Humanity.
  8. Dr. Yusuf Qardawi, Meluruskan Sejarah Islam.
  9. Bernard Lewis, The Crisis of Islam : Holy War and Unholy Terror.
  10. Hr. Bukhari dari Anas bin Malik. Hadits no. 12 versi Al-Alamiyah, dan no. 13 versi Fathul Bari.
  11. Hr. Bukhari dari Abdullah bin Amru. Hadits no. 6003 versi Al-Alamiyah, dan no. 6484 versi Fathul Bari.
  12. Hr. Muslim dari Abu Hurairah. Hadits no. 67 versi Al-Alamiyah, dan no. 47 versi Syarh Shahih Muslim.
  13. Hr. Abu Daud dari Abu Umamah. Hadits no. 4167 versi Al-Alamiyah, dan no. 4800 verso Baitul Afkar Ad-Dauliah.
  14. Qs. 2:190.
  15. Bernard Lewis, The Crisis of Islam : Holy War and Unholy Terror.
  16. DR. Syahidin, Prof. DR. Buchari Alma, Drs. A. Toto Suryana. M.Pd., Drs. Munawar Rahmat, M. Pd., Drs. Aam Abdussalam, Moral dan Kognisi Islam.
  17. Qs. 2:208.
  18. Muhammad Haikal, Sejarah Hidup Muhammad.
  19. Hr. Muslim dari Buraidah bin Al-Hashib bin Abdullah bin Al-Harits. Hadits no. 3261 versi Al-Alamiyah, dan no. 1731 versi Syarh Shahih Muslim.
  20. Hr. An-Nasa’I dari Anas bin Malik. Hadits no. 3979 versi Al-Alamiyah, dan no. 4047 versi Maktabatu Al-Maarif Riyadh.
  21. Hr. At-Tirmidzi dari Buraidah bin Al-Hashib bin Abdullah bin Al-Harits. Hadits no. 1328 versi Al-Almiyah, dan no 1408 versi Maktabatu Al-Ma’arif Riyadh.
  22. Qs. 25:68.
  23. Hr. Malik dari Abdullah bin Utsman bin Amir bin Amru bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taymi bin Murrah. Hadits, no 858 versi Al-Amiyah, dan no 1004 versi Daar Al-Ma’rifah Libanon.
  24. Untuk mengetahui sejauh mana etika perang dalam Islam yang diterapkan pada masa Umar bin Khathab, silahkan untuk membaca karya dari Hugh Kennedy, Penaklukan Muslim Yang Mengubah Dunia.
  25. Firas Alkhateeb, Sejarah Islam Yang Hilang.
  26. Muhammad Haikal, Sejarah Hidup Muhammad.
  27. Moshe Gil, A Hisytory of Palestine 634-1099.
  28. Yuana Ryan Tresna, Muhammad Saw On The Art Of War : Manajemen Strategi Di Balik Kemenangan Rasulullah Saw.
  29. DR. As-Sayyid Abdul Aziz Salim dan DR. Sahr As-Sayyid Abdul Aziz Salim, Sejarah Bangsa Mesir : Dari Masa Khulafaurrasyidin sampai Daulah Fathimiyah.
  30. Dr. Daud Rasyid, M.A, Pembaruan Islam dan Orientalisme Dalam Sorotan.
  31. Qs. 2:120.

Comments