Menelusuri Sejarah Penerjemahan Al-Qur'an

Oleh: Sang Misionaris

Pendahuluan
    Dewasa ini, cetakan Al-Qur'an yang banyak dipergunakan di dunia Islam adalah cetakan Mesir yang dikenal dengan Edisi Raja Fuad, yang ia sendiri adalah orang yang memprakarsai cetakan tersebut. Edisi Mesir, ditulis berdasarkan qira’at Ashim riwayat Hafsh dan pertama kali diterbitkan di Kairo pada tahun 1925 M. Selanjutnya, pada tahun 1947 untuk pertama kalinya Al-Qur’an dicetak dengan teknik cetak offset yang lebih canggih, dan pencetakan ini dilakukan di Turki atas prakarsa seorang ahli kaligrafi Turki yang bernama Said Nursi.1 Dari banyaknya bangsa non-Arab yang memeluk Islam, tentunya banyaknya pencetakan Al-Qur’an semakin mempengaruhi, lalu seperti apa hukum penerjemahan Al-Qur’an dan seperti apakah sejarah penerjemahan Al-Qur’an, baik di wilayah Eropa dan juga Indonesia?

Definisi Terjemah
    Menurut al-Zarqani, secara bahasa, terjemah atau tarjamah mempunyai empat pengertian, yaitu:
1.  Menyampaikan pembicaraan kepada orang yang belum pernah menerimanya.
2. Menjelaskan kalam dengan memakai bahasa kalam itu sendiri.
3.  Menjelaskan kalam dengan memakai selain bahasa kalam itu.
4.  Memindahkan kalam, dari satu bahasa ke bahasa lain; alih bahasa.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka tampaklah bahwa terjemah artinya adalah penjelasan, sehingga karenanya dapat diperluas untuk setiap ungkapan yang memerlukan penjelasan. Sedangkan menurut istilah pengertian tarjamah senada dengan pengertian bahasa pada point ke-4 di atas, sehingga dapat dirumuskan definisinya sebagai berikut: “Tarjamah ialah ungkapan makna pembicaraan yang terdapat dalam suatu bahasa dengan pembicaraan lain dari bahasa yang lain, sesuai dengan semakna dan maksudnya.”2
    Sedangkan menurut Muhammad Husain al-Dzahabi, salah seorang pakar Al-Qur'an dari Universitas al-Azhar, Mesir, kata tarjamah secara lazim digunakan untuk dua macam pengertian, yaitu:
1. Mengalihkan atau memindahkan suatu pembicaraan dari suatu bahasa ke bahasa yang lain, tanpa menerangkan makna dari bahasa asal yang diterjemahkan.
2. Menafsirkan suatu pembicaraan dengan menerangkan maksud yang terkandung di dalamnya, dengan menggunakan bahasa yang lain.
Dari penjelasan al-Dzahabi tersebut, maka dapat diformulasikan bahwa terjemah pada dasarnya adalah menyalin atau mengalihbahasakan serangkaian pembicaraan dari suatu bahasa ke bahasa lain, dengan maksud supaya inti pembicaraan bahasa asal yang diterjemahkan bisa dipahami oleh orang-orang yang tidak mampu memahami langsung bahasa asal yang diterjemahkan.3 Tidak jauh berbeda dengan penjelasan yang telah disampaikan sebelumnya, Ash-Shabuni pun ikut pula memberikan penjelasan tentang apa itu terjemah Al-Qur’an, menurutnya, “Memindahkan Al-Qur’an kepada bahasa lain yang bukan bahasa Arab dan mencetak terjemah ini ke dalam beberapa naskah agar dibaca orang yang tidak mengerti bahasa Arab sehingga ia dapat memahami Kitab Allah dengan perantaraan terjemahan ini.”4
    Selain yang telah dikemukakan di atas, kata terjemah dalam bahasa Arab pun pada umumnya diartikan pula dengan biografi (riwayat hidup) seseorang. Misalnya, dalam ungkapan tarjamah al-Imam al-Bukhari dan tarjamah al-Imam Muslim, yang berarti biografi Imam Bukhari dan biografi Imam Muslim. Sedangkan orang yang menerjemahkan sesuatu, termasuk Al-Qur’an ke dalam bahasa Indonesia disebut dengan penerjemah, juru terjemah atau juru bahasa. Tetapi dalam bahasa Arab, disebut dengan mutarjim, tarjuman, atau turjuman, di antaranya dalam ungkapan: Ibnu Abbas adalah tarjuman Al-Qur’an, maksudnya Ibn Abbas adalah juru bahasa (juru bicara) Al-Qur’an.5

Macam-Macam Terjemahan
    Sebagaimana yang telah diutarakan di atas tentang pengertian terjemah, maka terjemah dibagi menjadi dua macam:
1. Terjemah Harfiah
    Terjemah harfiah yang secara umum disebut pula dengan terjemah lafzhiah, yan maksudnya adalah terjemah yang dilakukan dengan apa adanya, yang tergantung dengan susunan dan struktur bahasa asal yang diterjemahkan. Oleh karena itu, terjemah ini pun bisa juga disebut dengan terjemah leterlek. Muhammad Husain al-Dzahabi membedakan terjemah harfiah ke dalam dua model, yaitu: Pertama, terjemah harfiah bi al-mitsl. Artinya, terjemahan yang dilakukan apa adanya, yang terikat dengan susunan dan struktur bahasa asal yang diterjemahkan. Kedua, terjemah harfiah bighair al-mitsl. Terjemahan ini maksudnya adalah terjemahan yang pada dasarnya sama dengan terjemah harfiah bi al-mitsl, hanya saja sedikit longgar keterangannya dari susunan dan struktur bahasa asli yang digunakannya.6   
2. Terjemah Tafsiriah
    Ialah terjemah yang dalam mengungkapkan makna tidak terikat dengan susunan kata perkata yang ada dalam bahasa pertama, tetapi yang penting ialah bagaimana mengungkapkan makna-makna yang dikehendaki dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu, terjemah ini pun disebut pula dengan terjemah maknawiyah. Terjemah ini disebut terjemah tafsiriah, karena dalam penggambaran atau pengungkapan makna-makna yang dikehendaki itu menjadikannya serupa dengan tafsir, walaupun sebenarnya ia bukanlah tafsir.7
    Adapun maksud dari perbedaan terjemah tafsiriah dengan tafsir ialah: Pertama, terletak pada kedua bahasa yang digunakannya. Bahasa tafsir memungkinkan sama dengan bahasa asli, sedangkan terjemah tafsir pasti menggunakan bahasa yang berbeda dengan bahasa asli yang diterjemahkan. Kedua, pengecekkan bahasa asli. Dalam tafsir, pembaca kitab/buku tafsir dimungkinkan melacak buku (teks) aslinya manakala ada keraguan di dalamnya, sedangkan dalam terjemah tafsiriah akan mengalami kesulitan pada saat akan mengecek aslinya, ketika pembaca mengalami keraguan atau kesalahan dalam membacanya.8     
    Berbeda dengan terjemah harfiah yang terikat dengan struktur dan susunan bahasa asal yang diterjemahkan, yang karenanya maka terjemah harfiah atau lafzhiah memiliki sifat yang kaku, tidak sama halnya dengan terjemah tafsiriah atau maknawiah yang bersifat luwes atau elastis.
    Adapun contoh ayat atas perbedaan keduanya adalah sebagai berikut:9
وَكَمْ أَهْلَكْنَا مِنَ الْقُرُونِ مِن بَعْدِ نُوحٍ ۗ وَكَفَىٰ بِرَبِّكَ بِذُنُوبِ عِبَادِهِ خَبِيرًا بَصِيرًا
Pada Qs. 17:29 di atas, jika diterjemahkan secara harfiah, maka pengertiannya berarti Allah melarang seseorang membelenggu atau mengikat tangannya di atas pundaknya. Padahal, yang dimaksud oleh ayat tersebut adalah larangan bersikap pelit dalam membelanjakan harta, di samping melarang adanya sikap pemborosan. Adapun contoh lainnya:
إِنَّ رَبَّكَ لَبِالْمِرْصَادِ
Dalam Qs. 89:14 di atas, jika diartikan secara leterjek, maka pemahamannya Allah selalu mengintai-ngintai hamba-hamba-Nya. Padahal, maksudnya itu ialah bahwa Allah senantiasa mengingatkan hamba-Nya untuk tidak bersikap lengah dalam mempersiapkan diri sebaik mungkin dalam kehidupannya.
  
Hukum Menerjemahkan Al-Qur’an
    Tentang terjemahan Al-Qur’an, para ulama berbeda pendapat antara satu sama lain, Syatibi, misalnya, ia memperbolehkan penerjemahan Al-Qur’an. Dalam al-Muwaffaqat, ia menjelaskan bahwa menerjemahkan Al-Qur’an dengan memeperhatikan makna asli adalah mungkin. Dari segi inilah dibenarkan menafsirkan Qur’an dan menjelaskan makna-maknanya kepada kalangan awam dan mereka yang tidak mempunyai pemahaman kuat untuk mengetahui makna-maknanya. Cara demikian, diperbolehkan berdasarkan konsensus ulama Islam. Dan konsensus ini menjadi hujjah bagi dibenarkannya penerjemahan mana asli Al-Qur’an.10
    Berbeda dengan Zuhayli, Wahbah al-Zuhayli menyimpulkan bahwa menyalin Al-Qur’an ke dalam bahasa asing hukumnya haram, dan tidak sah menurut syara’. Karena menurutnya, dalam bahasa Arab dikenal majaz, isti’arah, kinayah, tasybih, dan lain-lain yang tidak mungkin penuangannya itu dapat dilakukan oleh bahasa lain, yang secara mendasar memang memiliki perbedaan-perbedaan dengan bahasa Arab. Sekiranya penyalinan teks Al-Qur’an itu tetap dipaksakan, ungkap al-Zuhayli lebih lanjut, maka sudah dapat dipastikan bahwa Al-Qur’an akan menjadi rusak pengertiannya dan susunan kalimatnya menjadi kacau. Dan cepat atau lambat, pada gilirannya Al-Qur’an akan menjadi kurang keagungan dan kefasihannya menjadi hampa. Padahal, seperti yang diyakini oleh kaum Muslimin, di antara kemukjizatan al-Qur’an justru terletak pada keindahan bahasanya selain pada maknanya dan lain sebagainya.
    Pendapat al-Zuhayli di atas, sebenarnya telah dikemukakan oleh para ulama terdahulu, yang salah satu di antara mereka yang dianggap paling vokal adalah Ibn Taimiyyah. Dalam kitab Iqtidha’ al-Shirath al-Mustaqim, Ibn Taimiyyah mengemukakan pendapatnya, bahwa bahasa merupakan salah satu unsur penting dari sekian banyak syi’ar yang membedakan antara kelompok umat yang satu dengan yang lainnya. Menurutnya, Allah telah memilih bahasa Arab sebagai bahasa umat Islam. Ia menurunkan kitab-Nya (Al-Qur’an) dalam bahasa Arab, dan menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa penutup dari para Nabi. Ia menambahkan, bahasa Arab adalah bahasa agama, dan mengenalinya adalah wajib bahkan fardhu. Alasannya, karena memahami Al-Qur’an dan Sunnah adalah fardhu. Dan tidak mungkin bisa memahami keduanya kecuali dengan memahami bahasa Arab sebagai alat atau sarananya.11

Awal Mula Penerjemahan Al-Qur’an
    Terjadinya penerjemahan ayat-ayat Al-Qur’an sebenarnya pernah terjadi di masa Nabi Muhammad saw, yang dimana pada masa itu, beliau telah mengirimkan surat kepada Heraklius dari Byzantium, yang di dalam surat tersebut berisi Qs. 3:64. Adapun isi surat beliau adalah sebagai berikut:
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. Surat ini dikirim oleh Muhammad ke Heraklius, Kaisar Romawi. Rahmat bagi mereka yang mengikuti petunjuk. Saya mengajak engkau memeluk Islam. Jika engkau melakukan hal itu, engkau akan selamat dan aman. Jika engkau masuk Islam, Tuhan akan memberikmu pahala ganda dan jika engkau berpaling darinya, maka beban dosa manusia akan menimpa pundakmu.
Wahai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah". Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).”12
    Tidak hanya itu, pada masa Nabi Muhammad pun pernah pula terjadi penerjemahan Al-Qur’an, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Salman al-Farisi ketika ia menerjemahkan surat al-Fatihah atas permintaan kaum Muslimin di Persia. Sedangkan penerjemahan Al-Qur’an secara utuh untuk pertama kalinya dilakukan pada tahun 884 M di al-War, Pakistan, atas perintah khalifah Abdullah bin Umar bin Abdul Aziz, yang hal itu dilakukan atas adanya permintaan penguasa Hindu, Raja Mehruk, agar kitab suci umat Islam itu diterjemahkan.13
    Namun, pada masa Dinasti Muwahiddun yang memerintah Spanyol pada tahun 1142-1289 M, terdapat larangan keras tentang penerjemahan Al-Qur’an, yang menyebabkan Al-Qur’an yang diterjemahkan ke dalam bahasa Barbar, pada akhirnya dibakar oleh mereka. Dan setelah masa itu berlalu, maka sebagian besar ulama memperbolehkan adanya penerjemahan Al-Qur’an ke berbagai bahasa dengan persyaratan yang ketat. Maka pada tahun 1313 M, terbitlah terjemahan Al-Qur’an untuk pertama kalinya dalam bahasa Persia, yang diikuti dengan adanya penerjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa Turki. Dan setelah itu, usaha menerjemahkan Al-Qur’an pun semakin banyak dilakukan, termasuk di anak benua India, sebagaimana yang dilakukan oleh Syekh Waliyullah Dehlawi.14  
Penerjemahan Al-Qur’an Di Eropa   
    Adapun penerjemahan Al-Qur’an di wilayah Eropa, untuk pertama kalinya terjadi pada tahun 1141 M, di mana pada masa itu telah terjadi penerjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa Latin atas inisiatif kepala biara gereja Cluny, Petrus Agung asal Prancis.15 Dan dari adanya penerjemahan ke bahasa Latin itulah, maka kemudian Al-Qur’an diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa Eropa, seperti:
No.
Penerjemah
Bahasa
Tahun
1.
Andrew Arrevabene
Itali
-
2.
Johannes Andreas
Aragon (Spanyol)
1500
3.
Schwigger
Jerman
1616
4.
Alexander Ross
Perancis
1637
5.
J.H.Glazermaker (du Ruyer)
Belanda
1658
6.
Goerge Sale
Inggris
1734
7.
Megerlin
Jerman
1772
8.
Savary
Perancis
1783
9.
Wohl
Jerman
1826
10.
Rodwell
Inggris
1829
11.
Garsen du Tasi
Perancis
1840
12.
Kasimirsky
Jerman
1840
13.
Dr.L. Uhlmann
Inggris
1840
   
    Pada masa akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 M, penerjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa Eropa lainnya semakin mengalami perkembangan secara signifikan. Bahkan, terjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa Tiongkok pun untuk pertama kalinya terjadi pada tahun 1927 oleh Li Tin Cin, yang notabenenya ia bukanlah seorang Muslim.16  
    Terjadi penerjemahan Al-Qur’an di Eropa, semakin mengalami perubahan secara signifikan seiring dengan ditemukannya mesin cetak oleh Johannes Guternberg di Mainz, Jerman. Kondisi demikian, tentu saja berbeda dengan apa yang telah dilakukan oleh umat Islam kala itu, yang hanya mengandalkan penggandaan Al-Qur’an secara manual (tulis tangan). Orang-orang Eropa, yang notabenenya sebagai orang kafir, telah melakukan penggandaan Al-Qur’an yang bertujuan untuk melakukan penyelidikan. Namun sayangnya, penggandaan atas penerjemahan Al-Qur’an yang dilakukan oleh orang-orang Eropa memiliki sejumlah kesalahan, sebagaimana yang terjadi pada penerjemahan Al-Qur’an yang dicetak di Venesia, Italia, yang dilakukan oleh Paganino dan Alessandro Paganini, pada tahun 1538 M. Meski pada awalnya, terjemahan tersebut tidak diketahui rimbanya, akan tetapi, pada tahun 1980 M, Profesor Angela Nouvo dari Universitas Udine, Italia, telah menemukan satu kopi Al-Qur’an edisi cetakan Paganini di perpustakaan Fransiscan Friars of San Michele di Isola, Venesia.17  
    Selain adanya kesalahan tekstual, banyak terjemahan Al-Qur’an yang secara mentah-mentah mengedepankan opini sang pengalih bahasa, terlebih status para penerjemah bukanlah seorang Muslim. Adapun pihak Barat yang telah melakukan hal tersebut di antaranya:18
1. Pada tahun 1689 M, seorang Katolik Roma yang bernama Marachi telah menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam bahasa Latin dengan teks Arab dan beberapa nukilan dari berbagai tafsir Al-Qur’an dalam bahasa Arab, yang ia pilih dan disusun sedemikian rupa agar menimbulkan kesan buruk terhadap Al-Qur’an dan kaum Muslimin.
2. Terjemahan Al-Qur’an dari George Sale yang diterbitkan tahun 1734 M, telah menjadikan terjemahan Al-Qur’an dari Marachi sebagai dasar penerjemahannya, termasuk pula catatan-catatannya. Namun ironisnya, apa yang dilakukannya tersebut justru mendapatkan pujian dan dianggap sebagai salah satu terjemahan dalam bahasa Inggris yang mengalami beberapa kali cetak ulang.
3. Tahun 1861, JM Rodwell telah mengurutkan surat-surat yang terdapat dalam Al-Qur’an berdasarkan turunnya urutan surat tersebut. Namun catatan-catatan yang ia buat masih terlihat subyektif, terlebih ia adalah seorang pendeta yang lebih banyak menunjukkan kekurangan-kekurangan Al-Qur’an.
4. Pada tahun 1876, EH. Palmer telah menerjemahkan Qur’an dengan kualitas yang buruk, sembrono, yang sebagaimana pendahulunya, ia pun menerjemahkan Qur’an dengan tujuan untuk merusak Al-Qur’an dan citra Islam di Eropa.

Penerjemahan Al-Qur’an Di Indonesia
    Pada abad ke-13 M, telah ada upaya penerjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa Indonesia secara manual. Menurut Abdul Chaer, naskah-naskah yang diketahui hanya naskah yang berasal dari tahun 1585 M, milik William Marsden. Dan naskah tertua lainnya ditemukan di Ternate, sedangkan naskah lainnya ditemukan di mesjid Agung Banten, yang diklaim sekitar tahun 1553 M, dan naskah terakhir tahun 1891 M, yang berasal dari Aceh, berada di Museum Nasional Jakarta.19
    Namun, menurut Muhammad Amin Suma, bahwa orang pertama yang disebut-sebut sebagai penggagas penerjemah Al-Qur’an ke bahasa Indonesia adalah Syekh ‘Abd al-Ra’uf ibn Ali al-Fanshuri (1615-1693), yang dikenal sebagai seorang alim yang berasal dari Aceh, dan ia dikenal dengan julukan ‘Abd al-Ra’uf Singkel (al-Singkili). Adanya penobatan al-Singkili sebagai mutarjim al-Qur’an pertama ke dalam bahasa Melayu-Indonesia, karena didasari pada karyanya setebal 612 halaman kertas folio dengan ukuran 33,5 x 24,4 cm yang ditulis dengan menggunakan huruf Arab-Melayu. Buku ini oleh penyusunnya tidaklah secara khusus diniatkan sebagai terjemahan Al-Qur’an yang bersifat spesifik, akan tetapi merupakan terjemahan dari Tafsir Anwar al-Tanzil Asrar al-Ta’wil karangan al-Imam al-Baydhawi yang merupakan seorang mufassir terkenal pada abad ke-7 H. Oleh karena al-Fanshuri menerjemahkan pula secara sistematis dan metodologis semua ayat Al-Qur’an di samping tafsiran yang dibuat oleh al-Badhawi, maka sungguh tepat jika ia ditetapkan sebagai penerjemah Al-Qur’an ke dalam bahasa Indonesia.20
    Dari adanya informasi di atas, terdapat perbedaan pendapat tentang siapakah orang pertama yang melakukan penerjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa Indonesia. Dari adanya perbedaan tersebut, mungkin langkah ini bisa sebagai jalan dalam  mengkompromikannya, yaitu orang asing yang pertama kali menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam bahasa Indonesia adalah William Marsden, sedangkan orang Indonesia yang pertama melakukan penerjemahan adalah ‘Abd al-Ra’uf ibn Ali al-Fanshuri.
       Pada abad 20 M, telah terbit beberapa terjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa Jawa dan Sunda. Di antaranya adalah terjemahan AL-Qur’an Kejawen dan Al-Qur’an Sundawiyah oleh Kemajuan Islam Yogyakarta, kemudian Penerbit dan Percetakan A.B. Sitti Syamsiah Solo menerbitkan Terjemah Hidayatur Rahman oleh KH. Munawar Chalil. Selain itu, ada pula Al-Qur’an Bahasa Sunda hasil dari karya KH. Qomarrudin, Tarjamahan Al-Amin (bahasa Sunda), Al-Ibriz (bahasa Jawa) dari Kiai Bisyri Mustafa Rembang (1960), Al-Qur’an Suci Jarwa Jawi oleh pihak Ahmadiyah Lahore, Tafsir dan Terjemahan Al-Qur’an Indonesia oleh Muhammad Yunus (Padang), Tafsir Al-Quranul Hakim oleh HM. Kasim Bakry cs (1960), dan lain-lain. Pemerintah Indonesia pun, melalui Departemen Agama Republik Indonesia, telah berinisiatif menerjemahkan yang dilakukan oleh satu tim penerjemah, hingga akhirnya lahirlah Al-Quran dan Terjemahnya.21 Dan di masa tahun 70-an, pernah beredar Al-Qur’an terjemahan yang bernama Al-Qur’anul Karim Bacaan Muka yang dihasilkan oleh seorang sastrawan yang bernama HB. Yasin. Namun, karena banyak ditemukannya kekeliruan dalam menerjemahkannya, maka Al-Qur’an tersebut akhirnya ditarik dari peredaran.22

Kesimpulan
    Meski di kalangan ulama telah berbeda pendapat terkait hukum penerjemahan Al-Qur’an, namun kondisi tersebut, tidaklah mempengaruhi kemukjizatan Al-Qur’an selama penerjemahannya masih disertai dengan bahasa aslinya, yakni bahasa Arab, sebagai acuan dasar dalam memahami Al-Qur’an. Karena, bagaimana mungkin bangsa-bangsa non-Arab akan bisa memahami Al-Qur’an, ketika dalam penerjemahannya pun dibatasi atau mendapat larangan. Meskipun dalam perjalanannya, ada saja usaha-usaha yang dilakukan oleh orang Eropa dalam merusak isi Al-Qur’an, melalui terjemahan yang telah dilakukannya. Tentunya, ini adalah sebuah tantangan bagi umat Islam itu sendiri tentang bagaimana caranya Al-Qur’an bisa dipahami oleh bangsa non-Arab, tanpa harus merusak isi atau makna yang ada di dalamnya, ketika Qur’an pun pada akhirnya diterjemahkan ke dalam bahasa lain.         


Catatan Kaki:
1. Emsoe Abdurrahman dan Arpiyanto Ranoedarsono, The Amazing Stories of Al-Quran: Sejarah Yang Harus Dibaca, (Bandung: Salamadani, 2009), hlm. 56.
2.  A.Chaerudji Abd. Chalik, ‘Ulum Al-Qur’an, (Jakarta: Diadit Media, 2007), hlm. 227.
3. Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 112-113.  
4. Rosihon Anwar, Ulum Al-Quran, (Bandung, Pustakan Setia, 2007), hlm. 212.
5. Muhammad Amin Suma, op.cit., hlm. 113.
6. Ibid., hlm. 113-114.
7. A. Chaerudji Abd. Chalik, op.cit., hlm. 229.
8. Muhammad Amin Suma, op.cit., hlm. 114.
9. Ibid., hlm. 115.
10. Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, terj. Mudzakir AS, (Bogor: Litera AntarNusa, 2016), hlm. 448.
11. Muhammad Amin Suma, op.cit., hlm. 119.
12. Abdul Hamid Siddiqi, Keagungan Muhammad: Rasulullah Sebagai Teladan, terj. Munir, (Bandung: Marja, 2005), hlm. 302.
13. Abdul Chaer, Perkenalan Awal Dengan Al-Qur’an, (Jakarta: Rineka Cipta, 2014), hlm. 185.
14. Emsoe Abdurrahman dan Arpiyanto Ranoedarsono, op.cit., hlm. 57-58.
15. Abdul Chaer, op.cit., hlm. 185-186.
16. Muhammad Amin Suma, op.cit., hlm. 125.
17. Abdul Chaer, op.cit., hlm. 110.
18. Emsoe Abdurrahman dan Arpiyanto Ranoedarsono, op.cit., hlm. 59-60.
19. Abdul Chaer, op.cit., hlm. 112.
20. Muhammad Amin Suma, op.cit., hlm. 126.
21. Emsoe Abdurrahman dan Arpiyanto Ranoedarsono, op.cit., hlm. 61.
22. Abdul Chaer, op.cit., hlm. 187. 

Comments