Berbagai Makna Dan Pengertian Ummi Bagi Nabi Muhammad Saw

Oleh: Sang Misionaris.

    Kalau ada umat yang begitu bangga menerima kenyataan bahwa pemimpin Nabinya adalah sosok yang buta huruf, maka itulah umat Islam. Sejak kecil, ketika seorang anak Muslim mulai mengenal baca-tulis, ajaran bahwa Nabi adalah sosok yang buta huruf selalu ditekankan. Salah satu pokok kehidupan Nabi Muhammad saw adalah kenyataan bahwa beliau tidak dilatih maupun diajarkan. Beliau tidak pernah dilatih oleh guru manapun dan ia tidak pernah pula terbiasa dengan karya tulis apapun. Tidak ada sejarawan, baik Muslim maupun non-Muslim, yang dapat mengatakan bahwa Nabi Muhammad saw pernah dididik membaca atau menulis, baik di masa kecil maupun di masa remajanya, terlebih lagi pada masa tuanya. Penyebutan ke-ummi-an Nabi Muhammad saw tidak terlepas dari adanya kontroversi atas pemaknaan dari kata ummi itu sendiri sehingga melahirkan berbagai macam arti dan penafsiran, baik yang memandang dari sudut kebahasaan, letak geografis, maupun dari latar belakang sejarah lainnya.     Nabi Muhammad buta huruf seakan-akan menjadi kenyataan yang patut dibanggakan dan bisa membangun kepercayaan diri umat Islam. Pertanyaannya, benarkah ajaran tersebut? Atas dasar apa Nabi dianggap sebagai sosok yang buta huruf? Apakah beliau pernah menyatakan bahwa dirinya betul-betul tidak mampu membaca dan menulis sejak kecil hingga akhir hayatnya?

    Terdapat berbagai macam pandangan dan dalil yang menjelaskan makna dari kata ummi, yang terdapat dalam beberapa ayat Al-Qur'an di antaranya: Qs. 7:157-158. Dua ayat tersebut secara terang-terangan berbicara tentang ku-ummi-an Nabi Muhammad saw tetapi terdapat juga ayat lain yang tidak secara terang-terangan menyebut kata ummi dalam redaksinya, seperti dalam Qs. 29:48. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Ibn Umar, Nabi saw bersabda, “Kita adalah umat yang ummi, tidak menulis dan tidak berhitung.” (Hr. Bukhari, juz III, hlm. 27-28). Para ahli tafsir memberikan tiga pengertian terhadap kata ummi, yaitu:
  1. Tidak berpendidikan dan asing terhadap tulisan.
    Kebanyakan ahli tafsir yang cenderung terhadap pandangan ini, telah mengatakan bahwa kata ummi bisa dihubungkan dengan kata umm yang berarti ibu. Kata ummi berarti orang yang dari lahirnya tidak mengenal karya tulis dan pengetahuan manusia atau dapat juga dihubungkan dengan perkataan ummah, yakni mereka yang biasa mengamati kebiasaan mayoritas, karena mayoritas tidak mengenal tulisan. Hanya sedikit sekali yang mampu.
    Demikian pula kata ummi yang berarti seseorang yang menyerupai kebanyakan orang yang bodoh. Beberapa orang mengartikan kata ummah sebagai ciptaan dan kata ummi tetap pada keadaan awalnya, yakni buta huruf.   

  1. Penduduk Umm al-Qura.
    Mereka yang mempunyai pendapat ini mengasosiasikan katanya dengan Umm al-Qura, yakni Mekkah. Dalam Al-Qur'an Surat Al-An’am ayat 92, Allah menyebut Mekkah dengan Umm al-Qura: “Dan ini (Alquran) adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkahi; membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan agar kamu memberi peringatan kepada penduduk Umul Qura/Mekah dan orang-orang yang ada disekitarnya dan orang-orang yang beriman kepada adanya kehidupan akhirat tentu beriman kepadanya, dan mereka selalu memelihara salatnya.” Kemungkinan ini sudah masuk sejak zaman dahulu ke dalam literatur-literatur tafsir. Salah satu alasannya adalah bahwa kata Umm al-Qura bukanlah suatu kata ganti dan ditempatkan pada Mekkah sebagai atribut umum, namun bukan sebagai kata ganti Mekkah. Kata Umm al-Qura menandakan “pusat perkampungan”. Dari ayat Al-Quran lainnya, seperti dalam ayat 59 surat Al-Qashash, dijelaskan bahwa kata tersebut mempunyai fungsi lebih sebagai deksriptif dan bukan fungsi nominatif: “Dan tiadalah Rabbmu membinasakan kota-kota sebelum Dia mengutus di ibu kota itu seorang Rasul yang membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka dan tidak pernah pula Kami membinasakan kota-kota kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan kelaliman.” Jelas bahwa di dalam bahasa Al-Qur'an titik yang merupakan pusat dari suatu daerah disebut sebagai Umm al-Qura. Selain itu, kata ummi yang digunakan oleh Al-Quran ini dipakai pula untuk penduduk yang tidak bertempat tinggal di Makkah, seperti yang disebutkan dalam ayat 20 Surat Ali-Imran: Kemudian jika mereka membantah engkau (Muhammad) katakanlah, “Aku berserah diri kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang mengikutiku. Dan kataknlah kepada orang-orang yang telah diberi kita dan kepada orang-orang yang buta huruf, “Sudahkah kamu masuk Islam?” Jika mereka masuk Islam, berarti mereka telah mendapat petunjuk, tetapi jika mereka berpaling, maka kewajibanmu hanyalah menyampaikan. Dan Allah Maha Melihat hamba-hamba-Nya.”
    Kata ummi dalam ayat tersebut artinya ialah orang-orang yang tidak tahu tulis baca. Menurut sebagian ahli tafsir, yang dimaksud dengan ummi ialah orang musyrik Arab yang tidak tahu tulis baca, sedangkan menurut sebagian yang lain ialah orang-orang yang tidak diberikan Al-Kitab.
    Terbukti pula, sesuai dengan kebiasaan pada masa itu dan juga dalam bahasa yang digunakan Al-Quran, semua orang Arab yang tidak mengikuti suatu kitab suci disebut dengan ummi. Lebih penting lagi, fakta bahwa kata ummi dipakai para pemeluk Yahudi yang tidak berpendidikan. Ayat 78 surat Al-Baqarah menyatakan: “Dan di antara mereka ada yang buta huruf, tidak mengetahui Alkita (Taurat), kecuali dongengan bohong belaka dan mereka hanya menduga-duga.” Maksud kata ummi dalam ayat tersebut adalah kebanyakan bangsa Yahudi itu buta huruf, dan tidak mengetahui isi Taurat selain dari dongeng-dongeng yang diceritakan pendeta-pendeta mereka (para rabbi). Sudah jelas bahwa para pengikut Yahudi, yang disebut Al-Quran dengan sebutan ummi, bukanlah penduduk Mekkah, tetapi kebanyakan mereka berdiam di Madina atau sekitarnya.

  1. Orang Arab penganut politeisme yang bukan merupakan pengikut Al-Kitab.
    Pendapat ini telah ada di antara para ahli tafsir. Menurut Majma’ al-Bayan pada ayat 20 sura Ali-Imran, ummi dipertentangkan dengan Ahli Kitab. Pandangan ini dijelaskan oleh para sahabat dan ahli tafsir yang terkenal, seperti Abdullah bin Abbas. Terhadap surat al-Baqarah ayat 75, Abu Ubaidah juga menafsirkan demikian. Az-Zamaksyari telah memberikan penafsiran yang sama terhadap ayat ini dan ayat 75 surat Ali-Imran. Sementara itu, Fakhrurrazi menyebutkan pula kemungkinan yang sama dalam ayat 78 surat Al-Baqarah dan ayat 20 surat Ali-Imran. Namun kenyataannya, pengertian ini sama saja dengan pengertian yang pertama. Tetapi, sangat keliru jikalau seseorang yang tidak mengikuti suatu kitab suci dikatakan sebagai ummi, sekalipun ia mungkin tidak dapat membaca dan menulis. Kata ini telah diterapkan terhadap orang Arab penganut politeisme karena mereka memang buta huruf. Yang mendasari penggunaan istilah ini terhadap para penganut politeisme Arab adalah keterasingan mereka terhadap baca tulis, bukan karena mereka mereka tidak mengikuti kitab suci. Karena itu, setiap kata ini digunakan untuk menunjuk orang Arab penganut politeisme, kemungkinan ini sangat dapat diterima. Akan tetapi, kata ummi ini telah digunakan dalam bentuk tunggal dan dipakai untuk menunjuk kepada Nabi Muhammad saw, dan tidak ada yang mengatakan bahawa hal itu karena Nabi saw tidak mengikuti salah satu ajaran kitab suci.
   

Dalam hal ini, kemungkinan yang paling banyak hanya dua. Pertama, karena Nabi saw tidak mengenal tulis-menulis. Kedua, karena fakta bahwa beliau berasal dari Mekkah. Untuk alasan-alasan di atas, kemungkinan yang kedua dapat dikesampingkan, sehingga Nabi Muhammad saw disebut ummi karena ia tidak diajar dan tidak mengenal baca tulis.

Sumber: Ajid Thohir, Sirah Nabawiyah: Nabi Muhammad Saw Dalam Kajian Ilmu Sosial-Humaniora, Bandung: Marja, 2014.

Comments