3 Faktor Yang Menyebabkan Kristen Melakukan Kekejaman

                       Oleh : Sang Misionaris.

    Dalam Penginjilan, Kristen selalu menyampaikan kepada siapapun bahwa Kristen adalah agama yang penuh kasih. Tentunya sikap mereka demikian telah menafikan tentang adanya ajaran moral yang terdapat pada agama lain, semisal Islam. Meskipun demikian, kita selayaknya untuk bisa melihat kebelakang, perihal atas apa yang terjadi dan yang telah dilakukan Kristen di masa silam. Karena siapa pun yang mengabaikan masa lalu, tentunya ia tidak akan mampu mengambil pelajaran di kemudian hari. Dalam sejarah, bukan saja kaum Muslimin yang pernah merasakan kekejaman dan pembantaian yang telah dilakukan oleh Kristen, pihak lain pun ternyata pernah mendapatkan perlakuan yang kejam dari Kristen. Lalu, bukti sejarah seperti apakah yang mampu membuktikan bahwa Kristen pernah melakukan kekejaman ? Faktor apa saja yang menyebabkan Kristen melakukan kekejaman tersebut ? Dan berdasarkan fakta historis, siapa sajakah yang pernah menjadi korban pengutukkan, penganiayaan, dan bahkan pembunuhan yang telah dilakukan oleh Kristen ?

    Ketika Misionaris Kristen sedang melakukan penginjilan kepada non-Kristen, ia selalu menyampaikan bahwa Kristen merupakan ajaran yang penuh kasih dan cinta damai, yang tentu saja, dengan memberikan perbandingan antara Islam dengan jihadnya; sebagai bentuk membangun citra Kristen terhadap orang lain, yang sekaligus membuat stigma negatif terhadap Islam. Dan berdasarkan bukti sejarah, ternyata ada tiga faktor yang telah menyebabkan Kristen melakukan tindak kekerasan, diantaranya :
  1. Adanya Sikap Represif Dari Pemerintah.
    Awalnya, orang-orang Romawi menganggap bahwa Kristen sebagai bagian dari Yahudi. Dari adanya anggap tersebut, Kristen mendapatkan kebebasan dalam melakukan segala kegiatan keagamaannya. Namun di kemudian hari, Romawi baru menyadari bahwa keyakinan Kristen tersebut ternyata berbeda. Kebanyakan dari mereka yang memeluk Kristen ialah orang-orang Yunani dan juga Romawi, yang tidak turut serta dalam melakukan peribadatannya dalam menyembah para Dewa, sebagaimana orang-orang yang ada disekitarnya. Dengan semakin bertambahnya orang-orang Kristen, tentunya semakin berkurang pula, orang-orang yang melakukan penyembahan kepada para Dewa. Banyak sangkaan yang diterima oleh Kristen dari masyarakat umum, dan bahkan segala bencana yang terjadi selalu dikaitkan dengan orang Kristen yang dianggapnya sebagai penyebab datangnya suatu bencana alam. Dengan datangnya bencana alam, masyarakat umum menganggap bahwa hal tersebut merupakan tanda kemurkaan para Dewa atas kedurhakaan yang telah dilakukan oleh Kristen, hingga akhirnya masyarakat selalu berseru : “Lemparkanlah orang Kristen itu ke depan Singa ! Supaya dengan hal itu, terhapus segala dosa mereka terhadap para Dewa.1   
    Eusebius menceritakan bahwa orang-orang Kristen di Yerusalem pada tahun 66 Masehi, akhirnya melarikan diri ke Pella di daerah seberang Yordan, ketika bangsa Romawi akan melakukan pengepungan ke Yerusalem. Untuk beberapa waktu yang lama, keterangan Eusebius tersebut telah dianggap benar oleh kebanyakan orang.2  Namun pendapat ini, belakangan mendapatkan penolakan. Alasan penolakan tersebut muncul dikarenakan jaraknya yang begitu jauh antara Pella dan Yerusalem, yang jaraknya sekitar 100 km. Selain itu, pada tahun 66 M, Pella telah dijarah-rayah oleh partisan-partisan Yahudi, yang tentu saja mereka tidak akan ramah atas  kedatangan orang-orang Kristen di sana. Maka kemungkinan yang terbesar ialah para jemaat pertama di Yerusalem telah berbagi nasib dengan sesama bangsa mereka waktu kota tersebut dikepung dan kemudian ditaklukkan oleh Titus di tahun 70 M. Meskipun demikian, masih ada kemungkinan lain bahwa ada beberapa anggota jemaat di Yerusalem yang secara perorangan, semisal Yokhanan bin Zakai, yang lolos dari pengepungan.3
    Sejak awal masa kekeristenan, Kristen selalu mendapatkan sikap represif dari Romawi, yang mengakibatkan mereka dianiaya dan dibunuh dimana-mana. Sebagai contoh, Stefanus mengalami penganiayaan yang mengakibatkan ia mengalami kematian.4 Bahkan menurut Flavius Josefus, Yakobus didakwa telah melanggar hukum Taurat, yang pada akhirnya dia dilempari batu sampai mengalami kematian. Sedangkan di masa Kekaisaran Nero, Kristen mendapatkan penyiksaan yang lebih dahsyat lagi, mereka dibakar secara hidup-hidup dan dijadikan sebagai obor pada pesta malam. Kristen mendapatkan perlakukan demikian dari Kaisar Nero, karena dianggap telah bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran besar yang mengakibatkan sebagian ibu kota hangus. Namun menurut Berkhof, justru karena ulah Kaisar Nero sendirilah yang menyuruh  anak buahnya untuk melakukan pembakaran tersebut.5 Adanya kebencian Kaisar terhadap Kristen, tidak saja dilakukan oleh Kaisar Nero, melainkan dilakukan pula oleh Kaisar lain, semisal Kaisar Decius. Bukti adanya kebencian Kaisar Decius terhadap Kristen, bisa terlihat dari komentarnya setelah ia mengeksekusi Paus Fabianus pada tahun 250 M, yang mengatakan, “Saya lebih senang mendengar kabar tentang kehadiran seorang rival terhadap tahta saya, daripada kehadiran seorang Uskup Roma yang lain.”6  Dan di masa Decius, orang-orang Kristen dikorbankan untuk para Dewa-Dewi.7 Bahkan, Kristen pun mendapatkan pelarangan untuk membangun tempat peribadahannya.8
    Kristen, selalu ditindas terus-menerus oleh pihak Romawi, yang penindasan tersebut terus berlangsung hingga abad ke-3 M, dan baru berakhir pada tahun 313 M ketika Konstantin menjadi seorang Kaisar. Dan sikap Konstantin, tentu saja bersikap politis, bukan beralaskan iman, dan ia pun tidak sama sekali memberikan teladan yang baik semasa hidupnya.9 Sedangkan Kristen menjadi agama resmi di Romawi ketika berada di bawah kepemimpinan Kaisar Theodosius, pada tahun 380 M, yang sekaligus melakukan pelarangan pula terhadap penganut agama lain untuk tidak melakukan peribadahan.10

  1. Adanya Perbedaan Pemahaman Dalam Teologis.
    Sejak awal, Yahudi dan Kristen selalu berbeda penafsiran atas suatu ayat yang terdapat di Perjanjian Lama (PL). Adanya perbedaan pandangan antara Yahudi dengan Kristen, bermula dari keduanya yang sama-sama mengharapkan kedatangan Mesias, yang pada akhirnya, ayat-ayat yang terdapat pada PL diakui oleh Kristen sebagai gambaran tentang Mesias, yang menurut mereka adalah Yesus Kristus. Namun di sisi lain, apa yang diakui oleh Kristen tersebut ternyata ditentang oleh pihak Yahudi.11 Adanya perbedaan internal tidak saja terjadi di kalangan Yahudi, melainkan terjadi pula di kalangan para internal Kristen. Misalnya, pembahasan tentang pusat dari teologi PL. Sedangkan pusat teologi Perjanjian Baru (PB), semua berpendapat sama bahwa pusat teologi PB ialah Yesus Kristus. Terjadinya perbedaan tersebut, bermula dari adanya keinginan para teolog untuk membuktikan bahwa PL mempunyai kaitan yang erat dengan PB, dan begitu pula sebaliknya.12   
    Selain karena adanya perbedaan teologis, pembahasan tentang Gereja mana yang layak untuk memegang otoritas dalam Kekristenan pun telah melahirkan skisma, baik dalam pihak Katolik maupun Protestan. Namun jauh sebelum terjadinya skisma, sebenarnya telah terjadi perbedaan pendapat yang melahirkan pertikaian pada zaman Bapa Gereja, pada awalnya Allah menjadi pembahasan utama, namun seiring dengan perkembangan yang ada, pada akhirnya berimbas pada posisi Anak; Yesus itu dilahirkan ataukah diciptakan. Sedangkan puncak dari adanya pertikaian tersebut ialah dengan diadakannya suatu Konsili yang terkenal yang bernama Konsili Nicea. Konsili Nicea, merupakan suatu penolakan teologis terhadap pandangan Arius, yang menjadi pastor dari gereja St. Baucalis di kota Aleksandria. Selain memberikan tanggapan terhadap teologi Arius, Konsili Nicea pun melahirkan sikap pengutukkan terhadap ajaran yang dianggap sesat oleh Gereja,13 meskipun pada akhirnya, pengutukan terhadap Arius dihapus pada masa Konsili Khalsedon. Sedangkan penyebab utama lahirnya skisma ialah adanya sikap Katolik di Konsili Toledo III, yang melakukan penambahan pada Kredo Nicea, yakni filioque.14
    Tidak cukup dengan kutukan, Gereja pun memberikan label bidat dan heresis kepada siapapun yang berbeda pandangan dengan Gereja, sebagaimana yang telah  dialami oleh Galileo yang mendukung teori Copernicus tentang heliosentris. Karena Galileo dianggap subversif terhadap Gereja (menentang ajaran Gereja), akhirnya ia dilabeli sebagai seorang bidat atau heresis. Bahkan, Giordano Bruno yang menjadi pengagum Nicolaus Copernicus, mendapatkan perlakukan buruk dari Gereja, yakni dibakar secara hidup-hidup.15 Dan sekitar satu abad lamanya, Galileo dianggap oleh Gereja sebagai seorang yang bidat. Meski pada akhirnya di tahun 1992, Paus Yohanes Paulus II telah mengeluarkan permintaan maaf pihak Gereja Katolik secara anumerta kepada Galileo.16 Tidak hanya mereka yang mendapatkan perlakuan keji dan pembunuhan dari pihak Gereja, Cyprianus pun mengalami nasib yang tragis. Sebelum mengalami pengeksekusi oleh Gereja, ia pernah bertikai dengan Uskup Stefanus perihal pembaptisan orang-orang yang pernah murtad dan otoritas Paus dalam kekristenan. Ketika Gereja mempunyai pandangan yang sama dengan Stefanus, perihal Paus sebagai pemegang otoritas dalam kekristenan, akhirnya ketika Cyprianus keluar dari tempat persembunyiannya, sesaat setelah Stefanus  mengalami kematiannya terlebih dahulu, dan pada saat itulah Cyprianus dipenggal kepalanya.17
    Pertikaian Kristen, tidak saja terjadi di kalangan para pemuka agamanya, melainkan terjadi pula antara Paus dengan Kaisar. Keduanya, sama-sama mengklaim sebagai wakil Tuhan di dunia ini, yang tentu saja keduanya pun menganggap bahwa mereka memiliki otoritas tersendiri dalam kekristenan. Misalnya, Raja Henry IV pernah mendapatkan pengucilan dan penyeruan kepatuhan secara pasif dari Paus Gregorius VII, yang disebabkan karena Raja Henry melakukan penentangan terhadap keputusan Paus Gregorius yang telah melarang keterlibatan Raja dalam pengangkatan pejabat Gereja.18 Tentu saja dengan adanya pertikaian antara Paus dengan Kaisar yang berujung pada tunduknya Kaisar terhadap Paus, secara historis telah membuktikan kepada kita betapa kuatnya pengaruh Paus dalam segala aspek kehidupan kala itu, yang siapapun harus tunduk kepadanya tanpa terkecuali. Pada abad ke-17 M, Gereja dan juga Inquisitor-Generalnya, secara terbuka menganut keyakinan bahwa seluruh alam semesta bergerak mengelilingi Mahkota Paus yang berada di bumi.19 Robert N.Bellah mencatat, bahwa Paus di awal abad pertengahan, hampir mengklaim diri sebagai ketua super negara internasional, di mana semua penguasa politik sekuler harus tunduk kepadanya.20 Oleh karena itu, Gereja tidak saja memegang kekuasaannya dalam bidang agama, melainkan mengendalikan pula kekuatan besar dalam ekonomi. Sedangkan pada abad ke-10 M, Gereja merupakan pemilik lahan terbesar di Eropa Barat, bahkan hampir sepertiga wilayah Italia dan sejumlah besar kekayaan di wilayah lain, berada di bawah kekuasaan Gereja.21
  1. Adanya Anti-Semit Yang Dihembuskan Oleh Injil.
    Pertikaian Kristen dengan Yahudi, tidak saja menyangkut penafsirannya tentang PL, namun lebih dari itu. Bahkan secara kolektif, Kristen menganggap bahwa Yahudi harus bertanggung jawab secara penuh terhadap penyaliban yang dialami oleh Yesus.22 Terlebih dalam Injil Yohanes, Yahudi telah diidentikkan oleh Kristen sebagai Iblis,23 tentunya, sikap Kristen tersebut telah melahirkan sikap anti-Semit. Adanya sikap anti-Yahudi yang dikembangkan oleh para tokoh Gereja di kemudian hari, hal tersebut merupakan variasi atau perluasan dari adanya tuduhan-tuduhan yang tercantum di dalam Injil.24  Adanya rasa benci Kristen terhadap Yahudi (Anti-Yahudi), begitu terlihat jelas pada masa Paus Paulus IV. Selang dua bulan setelah pengangkatannya pada 17 Juli 1555, Paus Paulus IV langsung mengeluarkan suatu dokumen yang bernama Cum Nimis Absurdum, yang menekankan bahwa para pembunuh Yesus, yakni kaum Yahudi, pada hakekatnya mereka itu adalah budak, yang seharusnya diperlakukan pula sebagaimana seorang budak.25 Selama berabad-abad, banyak umat Kristen yang percaya bahwa penyataan Allah dalam Yesus benar-benar jelas dan nyata, sehingga seluruh umat Yahudi secara personal harus bertanggung jawab terhadap penolakan dan sikap mereka terhadap Yesus. Bahkan Petrus Yang Mulia, Uskup dari biara Benedictin di Cluny, pada abad ke-12 M telah menyangsikan bahwa pihak Yahudi adalah manusia dikarenakan tidak adanya sikap tunduk mereka terhadap nalar manusia, layaknya seperti Ilah.26

    Banyak dari Kristen yang telah menerima argumen dari Bapa-bapa Gereja yang berakar pada penafsiran atas teks yang terdapat pada PB bahwa terjadinya diaspora umat Yahudi merupakan sebuah hukuman Allah atas adanya ketidaktaatan mereka. Dengan adanya kebencian Kristen terhadap Yahudi, yang pada akhirnya merambah pula kepada pihak non-Yahudi lainnya, disamping menonjolkan pula sikap eksklusifnya terhadap non-Kristen. Deklarasi Konsili Florence, tentunya dianggap cukup untuk menggambarkan sikap mereka tersebut, “Bahwa semua orang yang berada di luar Gereja Katolik, bukan hanya orang kafir, tetapi juga orang Yahudi dan para bidaah serta mereka berpisah tidak dapat ambil bagian dalam kehidupan kekal dan bahkan akan dimasukkan ke dalam api kekal yang telah disediakan bagi Iblis dan para malaikatnya, kecuali bila mereka bergabung ke dalam Gereja Katolik sebelum akhir hayatnya.”27  Konsili Florence berpendapat bahwa Injil telah diberitakan kepada segala bangsa dengan jelas, dan barangsiapa yang menolaknya dipandang bersalah di hadirat Allah; baik itu Yahudi maupun orang-orang yang beragama selain Kristen.
    Dari adanya sikap Kristen terhadap Yahudi seperti itu, tentunya hal tersebut sangat absurd dan juga ambigu. Karena di satu sisi, Kristen meyakini bahwa dengan kematian Yesus di kayu Salib, hal tersebut telah menghancurkan kuasa dosa dan Iblis, karena kematian akibat dosa telah diubah oleh Kristus menjadi sumber berkat, yang karena kematiannya dosa manusia telah ditebus.28 Selain itu, Kristen pun meyakini pula bahwa apa yang terjadi pada Yesus, sebenarnya telah dinubuatkan pada PL, yang kematian Yesus, merupakan sebuah pembuktian bahwa Yesus adalah juru selamat yang harus menggenapi atas apa yang ada dalam PL.29 Namun di sisi lain, malah meminta pertanggung jawabannya kepada Yahudi. Secara logis, tentu saja sikap Kristen tersebut terbilang kontraproduktif dengan apa yang mereka yakini selama ini. Seharusnya, Kristen merasa senang dan berterima kasih kepada Yahudi karena mereka telah memudahkan Yesus mengalami kematiannya di kayu Salib, sebagaimana keyakinan Kristen selama ini.
    Sebagaimana yang telah disampaikan di atas bahwa kebencian Kristen terhadap Yahudi sebenarnya dibentuk oleh adanya pemahaman mereka terhadap PB. Di dalam PB, kita bisa menemukan banyak ayat yang bernada mencela dan bahkan mengutuk kepada Yahudi. Misalnya, Yohanes Pembaptis yang mencela para ahli Taurat dan orang-orang Farisi sebagai keturunan ular beludak.30 Tidak saja Yohanes Pembaptis yang bersikap demikian terhadap orang-orang Yahudi, Yesus pun melakukan hal yang sama dan bahkan melebihi dari apa yang dilakukan oleh Yohanes. Dengan bahasa yang berapi-api, Yesus menyerang para ahli Taurat dan orang-orang Farisi sebagai orang-orang munafik, pemimpin yang buta, dan bahkan Yahudi dianggap sebagai pembunuh,31 bahkan Yesus pun telah menuding bahwa orang-orang Yahudi menganggap Iblis sebagai bapanya.32 Injil Yohanes memuat banyak sekali kata yang paling kasar, mengutuk ‘hoi Ioudaioi’, yang sering diterjemahkan dengan orang-orang Yahudi, namun sering pula secara spesifik menunjuk pada kepemimpinan orang Yudea di Bait Allah. Dengan adanya ayat-ayat seperti itu, banyak dari para sarjana Kristen yang telah membenarkan adanya sikap anti Yahudi atau anti-Semitis pada PB.33 Walaupun penggunaan istilah anti-Semitisme sendiri baru terjadi pada abad ke-19 di negara Jerman, yang digunakan untuk menimbulkan kebencian terhadap orang-orang Yahudi, namun pada kenyataanya kebencian terhadap Yahudi, telah digambarkan terlebih dahulu di dalam PB.
    Persekusi Kristen terhadap Yahudi di Eropa terus berlanjut hingga abad 20 M, dan Marvin mencatat tentang adanya bukti atas kebencian Kristen Eropa terhadap Yahudi, “Anti-Semitisme di Eropa mempunyai sejarah yang panjang dan berlumuran darah. Itu berasal dari dua hal : ketakutan yang tidak masuk akal dan kebencian terhadap orang luar dengan berbagai cara yang jelas, dan mitos yang diterima secara umum, bahwa Yahudi adalah bangsa terkutuk yang secara kolektif dan abadi dikarenakan menolak Kristus. Kaum Kristen menilai bahwa Yahudi sebagai pembunuh Kristus. Secara periodik, akhirnya massa melakukan penistaan, penyiksaan, dan pembantai terhadap Yahudi. Pada abad ke-16, Yahudi di berbagai wilayah dipaksa untuk tinggal di tempat yang terpisah dari para penduduk kota, yang dikenal dengan ghetto. Anti-Semitisme kaum Kristen pada abad pertengahan, yang menggambarkan Yahudi adalah jahat dan Yudaisme adalah (agama) yang menjijikkan, telah menyuburkan lahan bagi Anti-Semitisme di masa modern.”34
    Ketika retorika PB dalam memojokkan para ahli Taurat, orang-orang Farisi, terutama dalam Injil Yohanes terhadap orang-orang Yahudi, menghasilkan problematika tersendiri bagi Kristen. Tentunya para penafsir masa kini dapat memahami perikop-perikop tersebut sebagai pencerminan dari retorika polemis yang keras pada waktu itu, yang dalam sejarah, jelas bahwa adanya dari teks tersebut telah menimbulkan potensi tragis yang mengakibatkan terjadinya tindak kekerasan dan kekejaman yang dilakukan oleh Kristen. Untuk memecahkan adanya problematika tersebut, akhirnya Joseph Kardinal Bernardin mengambil langkah yang cukup berani dalam pidatonya di Universitas Hebrew di Yerusalem, 23 Maret 1995, dengan menyatakan, “Pastor (Raymond E) Brown mempertahankan bahwa ajaran Injil Yohanes mengenai orang-orang Yahudi, yang diakibatkan oleh konflik historis antara Gereja dan Sinagog pada akhir abad pertama, tidak dapat lagi dianggap sebagai doktrin autentik atau digunakan sebagai bahan katekisasi oleh umat Kristen masa kini. Inilah kunci masalah pastoral. Berdasarkan pemahaman kita yang membaik mengenai perkembangan hubungan antara kekristenan awal dan komunitas Yahudi pada waktu itu, umat Kristen dewasa ini harus melihat bahwa ajaran seperti itu, meskipun diakui sebagai bagian warisan Alkitabiahnya, tidak  dapat lagi dianggap sebagai ajaran definitif. Seperti yang dikatakan Brown dalam bukunya, The Community of the Beloved Disciple. Tentunya sangatlah tidak masuk akal bagi umat Kristen pada abad ke-20 untuk ambil bagian atau membenarkan anggapan Yohanes bahwa orang-orang Yahudi adalah anak-anak Iblis, meskipun hal tersebut suatu pernyataan yang diletakkan di bibir Yesus (Yohanes. 8:44).”35
    Tidak hanya Joseph yang bersikap lunak terhadap Yahudi, jauh sebelumnya, Paus Yohanes Paulus II, bahkan mengimbau para pemimpin agama dari berbagai tradisi yang amat luas untuk datang ke Asisi, Italia, pada Oktober 1986, untuk melakukan doa bersama bagi perdamaian dunia. Bahkan secara implisit, Paus Yohanes Paulus II telah menggambarkan rasa penyesalannya atas adanya konflik di dunia ini, termasuk konflik yang berkepanjangan antara Kristen dengan Yahudi, dengan menyatakan, “Namun, pada saat yang sama dan dalam napas yang sama, saya siap untuk mengakui bahwa umat Katolik tidak selalu setia terhadap penegasan iman ini. Kami tidak selalu menjadi pembawa damai. Namun demikian, bagi kami, mungkin juga bagi kita semua, pertemuan di Asisi ini merupakan tindakan penebusan dosa.”36


Kesimpulan
    Pada masa pertumbuhan dan perkembangannya, Kristen harus merasakan kondisi penindasan dan pembunuhan. Namun, ketika mereka hidup dalam kebebasan dalam menjalankan agamanya, seketika pula mereka berubah sikap; baik kepada sesamanya maupun kepada non-Kristen sendiri, yang pada akhirnya menjadi kaum yang terbiasa dalam melakukan pertikaian,37 pembunuhan,38 dan bahkan mempunyai rasa benci terhadap orang-orang Yahudi, yang menurut mereka, harus bertanggung jawab atas kondisi yang telah dialami oleh Yesus, kala itu. Tentu saja, sikap Kristen tersebut telah menghasilkan kekontrasan, ketika kita mendengar dari kalangan Kristen bahwa ajaran Kristen merupakan ajaran yang penuh kasih, namun di sisi lain, pengutukan, penganiayaan, dan bahkan pembunuhan telah mereka lakukan atas nama Tuhan. Tentunya, sikap mereka tersebut tidak mencerminkan sama sekali jika Kristen sebagai ajaran yang penuh kasih.


Catatan Kaki :
  1. H. Berkhof-I.H. Enklaar, Sejarah Gereja.
  2. E.Schurer, The History of the Jewish People in the Age of Jesus Christ 1.
  3. E.M. Smallwood, The Yesus Under Roman Rule From Pompey To Diocletion. A Study In Political Relations.
  4. Kisah Para Rasul (KPR) 7:57.
  5. H.Berkhof-I.H.Enklaar, Sejarah Gereja.
  6. Christian History, terbitan 27 yang berjudul : “Persecution in the Early Church”.
  7. Ichwei G.Indra, Jejak Juang Saksi Injil : Sejarah Gereja Umum dan Sejarah Gereja Indonesia.
  8. Karen Amstrong, Jerusalem : Satu Kota Tiga Iman.
  9. W.L. Helwig, Sejarah Gereja Kristus 1.
  10. Anscar J. Chupungco, Penyesuaian Liturgi Dalam Budaya.
  11. Untuk mendapatkan gambaran penuh tentang adanya perbedaan penafsiran antara Yahudi dengan Kristen, silahkan untuk merujuk Kitab Tafsir Perjanjian Lama.
  12. Gerhard F. Hasel, Teologi Perjanjian Lama : Masalah-Masalah Pokok Dalam Perdebatan Saat Ini.
  13. Bernhard Lohse, Pengantar Sejarah Dogma Kristen : Dari Abad Pertama Sampai Dengan Masa Kini.
  14. Paul Young, Christianity.
  15. E.A. Livingstone, Oxford Concise Dictionary of Christian Church.
  16. Rm. Gregorius Tulus Sudarto, Pr, Pemikir-Pemikir Bandel : Daftar Hitam Gereja Katolik.
  17. H. Berkhof-I.H. Enklaar, Sejarah Gereja.
  18. Eric O.Hanson, The Catholic Church.
  19. Robert Lomas, The Invisible College.
  20. Robert N.Bellah dan Philip E.Hammoud, Varieties of Civil Religion.
  21. Marvin Perry, Western Civilization.
  22. Matius 27:25.
  23. Yohanes 8:44.
  24. Philip.J. Adler, World Civilization.
  25. Peter de Rosa, Vicars of Christ : The Dark Side of the Papacy.
  26. Daniel Goldhagen, Hitler’s Willing Executioners : Ordinary Germans and The Holocaust.
  27. Konsili Florence, Bull of Union With The Copts, Session 11, 4 Februari 1442, dalam Decrees of the Ecumenical Council.
  28. Erick Sudharma, Iblis Bunuh Diri : Menyingkap Rahasia Tentang Iblis Di Balik Pengkhianatan Yudas.
  29. Majalah Keluarga Kristen Kalam Hidup, dalam Rubrik ABAM, dengan tema Makna Salib Kristus. Edisi Agustus-September 2009, tahun ke-78, No. 753.
  30. Matius. 3:7.
  31. Matius 23:12-32.
  32. Yohanes. 8:43-44.
  33. Rosemary Radford Ruether, Faith and Fratricide : The Theological Roots of Anti-Semitism.
  34. Marvin Perry, Western Civilization A Brief History.
  35. Joseph Cardinal Bernardin, The Historical Legacy and the Continuing Challenge for Christians : An Address at Hebrew University of Jerusalem, March 23, 1995.
  36. Paus Yohanes Paulus II, “The Challenge and the Possibility of Peace”, dalam Origen  16/21 (6 November 1986).
  37. Untuk mengetahui pertikaian Kristen dari masa ke masa, silahkan untuk membaca karya Ichwei G.Indra, Jejak Juang Saksi Injil : Sejarah Gereja Umum dan Sejarah Gereja Indonesia.
  38. Untuk mengetahui bagaimana Kristen melakukan pembantaian tanpa pandang bulu, silahkan untuk membaca secara lengkap karya James Reston, Jr, Perang Salib III Perseteruan Dua Kesatria : Salahuddin Al-Ayubi Dan Richard Si Hati Singa. 

Comments