Menelusuri Sejarah Doktrin Trinitas


Oleh: Sang Misionaris.

Kata Pengantar
    Di saat kita membahas tentang teologi Kristen, sudah menjadi rahasia umum bahwa Kristen telah mewarisi teologi Yunani yang telah diterapkan dalam suatu cara yang khusus. Teologi menjadi terkemuka di kalangan Kristen, sebagai suatu cara untuk membumikan tradisi Kristen dalam kebudayaan Yunani-Romawi. Istilah Theologia dalam bahasa Yunani, hal tersebut mengacu kepada Tuhan-tuhan atau Tuhan. Namun bagi Athanasius, teologi sebenarnya memiliki makna teknis pengetahuan tentang Tuhan Trinitas, sementara oikonomia mencakup doktrin-doktrin gereja lainnya.1 Meskipun pada akhirnya, teologi memiliki keluasan makna hingga mencakup seluruh doktrin. Bahkan pada masa Aquinas, teologi tidak saja mencakup tentang doktrin, melainkan mencakup pula tentang etika spiritualitas, filsafat, peraturan-peraturan Gereja, dan mistisisme. Jika Athanasius meyakini bahwa teologi memiliki makna teknis terhadap doktrin Trinitas, tentunya keteknisan yang ada harus ditunjang dengan konsepsi yang jelas. Namun apa jadinya jika doktrin Trinitas yang diyakini oleh Kristen, ternyata dihasilkan oleh perbedaan pendapat di kalangan Bapa-bapa Gereja ?2 Kenapa keyakinan terhadap dogma Trinitas dalam Kekristenan mengalami keevolusian ? Apakah benar, lahirnya gagasan tentang doktrin Trinitas pada awalnya tidak terpengaruh oleh keyakinan lain ? Karena hal itulah, penulis ingin membuka sedikit tirai yang selama ini tertutup atau mungkin ditutup-tutupi oleh Kristen bahwa doktrin Trinitas dalam perspektif historis, pada dasarnya dihasilkan oleh para pemikir Yunani yang pada akhirnya pemikiran-pemikiran tersebut diserap oleh Bapa-bapa Gereja, dan mengakibatkan lahirnya perbedaan pandangan di kalangan Bapa Gereja dalam merasionalisasikan Tuhan Trinitas.


Pemikiran Philo Dan Plotinus Tentang Tuhan
    Secara keseluruhan, sejarah doktrin Trinitas sebenarnya tidak pernah ditemukan pada orang Kristen. Asal-usul doktrin Trinitas, ditemukan pada pemikiran seorang Yahudi yang bernama Philo dari Alexandria (± 30 SM – 50 M).  Pada pertigaan pertama abad ke-20, umumnya dipercaya bahwa pemikiran helenistik Philo telah memberikan sumbangsih yang cukup besar bagi konsepsi Perjanjian Baru (PB) tentang keilahian Yesus. Keunggulan Allah, adalah satu-satunya premis yang paling fundamental dari pemikiran Philo. Ia memberikan keterangan yang hampir identik tentang Yang Esa dengan Logos yang ada pada perspektif Kristen.3 Ajaran yang sangat penting dalam tulisan-tulisan Philo adalah doktrinnya tentang Logos. Dalam doktrin tersebut, ia telah menggabungkan konsep filosofis Yunani dengan pemikiran religius Ibrani. Dengan adanya pengembangan atas doktrin Logos-nya tersebut, ia justru telah memberi jalan dan dasar keyakinan Trinitas bagi kekristenan. Menurutnya, “Selagi Allah ada secara ontologis sebagai analogi dari Yang Esa, Dia sementara itu adalah dua berkenaan dengan kekuasaan. Kebaikan dan kewenangan-Nya yang paling tinggi dan paling pertama; dengan kebaikan Dia memperanakkan alam semesta dan dengan otoritas-Nya Dia memerintah apa yang sudah diciptakan-Nya. Dan ada hal ketiga yang membawa keduanya bersama-sama, yaitu Logos-Nya, karena dengan Logos, Allah adalah pemerintah dan kebaikan, kedua-duanya….Logos itu dilahirkan di dalam akal budi Allah sebelum segala sesuatu dan dimanifestasikan dalam hubungan dengan semua hal.”4 Logos Philo adalah figur atau pribadi kedua di dalam Allah Yang Esa, yang merupakan personifikasi atau hypostatisasi atas kuasa kreatif dari Allah-Hikmat. Dan menurut keyakinannya, Hikmat atau Logos ada bersama dengan Allah.5 Dunn melihat bahwa pemikiran Philo telah dilatarbelakangi oleh gagasan Yahudi tentang Hikmat dan perannya dalam penciptaan, membedakan peran Allah sebagai asal-usul, sebagai sebab-musabab yang paling dasar, dengan peran instrumental Logos dengan formulasi “oleh, dari dan melalui.” Menurutnya, hal itu diambil dari spectrum refleksi Yahudi yang telah tersebar luas atas karya Allah selaku Pencipta melalui medium Hikmat atau Firman-Nya.6
    Dari adanya perspektif Philo tersebut, mengimplikasikan adanya perbedaan yang mutlak antara Allah dan dunia. Menurutnya, Allah adalah roh, sedangkan dunia adalah benda, dan keduanya tidak dapat dipersatukan. Oleh karena itu, diperlukanlah pengantara, yang dalam penyebutannya disebut sebagai idea-idea, atau gagasan-gagasan yang dipakai sebagai pola dalam menciptakan dunia; kekuatan-kekuatan Ilahi, yang bekerja di dalam dunia; Malaikat-malaikat, yaitu para utusan Allah yang melaksanakan kehendak-Nya. Yang semuanya itu dipersatukan dalam istilah Logos, pengantara antara Allah dan dunia.7 Ia menyatakan bahwa Logos adalah tempat dunia yang dapat dimengerti, dan menyebut Logos sebagai Anak Allah yang sulung, manusia Allah, gambar Allah dan Allah kedua.8 Dengan demikian, Philo memiliki konsepsi tentang Allah, yang disebut sebagai Bapa, dan Logos yang disebut sebagai Anak.9 Sesekali, Philo berbicara tentang Logos sebagai Allah dan terkadang sebagai yang berdiri sendiri di tempat Allah. Namun, hubungan yang pasti antara Logos-Anak dan Allah-Bapa, tidak begitu jelas; baik tentang hubungan antara Bapa dan Anak di satu pihak, maupun dengan Roh Kudus di pihak lain. Tentang adanya isu ini, ada dua penafsir Philo yang mengambil posisi yang berbeda.
    Harry A. Wolfson mengemukakan, bagi Philo ada tiga tahap temporal dari Logos. Tahap pertama, Logos itu adalah hikmat Allah yang ada bersama Allah yang mempunyai sifat kekal. Pada tahap kedua, Logos yang lain diciptakan di dalam suatu masa sebagai “Ada (being)” yang bersifat independen. Logos ini, yang diciptakan menurut citra Allah, yakni sebagai perantara penciptaan itu sendiri. Dan pada tahap yang terakhir, Logos diproyeksikan ke dalam dunia sebagai tatanan yang rasional atau jiwa dunia.10 Sedangkan menurut Erwin Goodenough, bahwa Philo berpikir tentang Logos sebagai pancaran yang keluar dari Bapa dan bukan sebagai suatu ciptaan.11 Sebab, bagian dari The Cherubim mengimplikasikan bahwa Logos tidak diciptakan, tetapi diperanakkan dengan suatu tindakan berpikir oleh Yang Esa tersebut. Demikianlah cara Philo menyatukan pandangan Yahudi dengan filsafat helenisme. Allah digambarkan oleh Philo sebagai yang tidak dapat dikenali secara mutlak, sehingga Ia sama sekali tidak dapat dikatakan bagaimana. Dan Allah pun, digambarkan olehnya sebagai yang transenden, dalam arti “yang bersemayam jauh di atas segala sesuatu”. Karena menurutnya, Allah yang demikian sesungguhnya tidak layak untuk secara langsung menciptakan dunia. Oleh karena itu, Allah menggunakan pengantara atau Logos dalam menciptakan dunia.12
    Sebagai seorang filsuf Yahudi, tentunya ia telah berusaha menyesuaikan ajaran Perjanjian Lama (PL) dengan filsafat Yunani dari Plato dan Stoa. Atas apa yang telah dilakukannya tersebut, ia ingin membuktikan bahwa segala hikmat Yunani sudah terdapat pada Taurat dan dalam surat-surat para Nabi. Oleh karena itu, ia pun menggunakan penafsiran secara alegoris dalam menafsirkan Perjanjian Lama. Yang pada akhirnya, metode Philo tersebut berpengaruh dalam sejarah Gereja, yang kemudian ditiru oleh Bapa-bapa Gereja yang mereka mencoba melakukan pembelaan atas ajaran agamanya dengan mencocokkan ajaran yang ada pada Injil dengan filsafat kafir dalam merasionalisasikan keyakinan mereka.13
    Selain Philo, Plotinus pun patut untuk kita singgung, karena alam pikirannya mempunyai banyak kesamaan dengan apa yang diyakini oleh Kristen selama ini, khususnya tentang Tuhan Trinitas. Dalam banyak hal, Plotinus bersandar pada doktrin-doktrin dari Plato, meskipun keduanya sama-sama menganut realitas idea. Dan perbedaan pokok mereka ialah pada titik tekan ajaran mereka masing-masing. Plotinus kurang memperhatikan berbagai hal yang berhubungan dengan masalah sosial seperti halnya Plato, selain tidak mempercayai bahwa kemanusiaan dapat dibangun melalui filsafat, makanya Plotinus tidak mengaplikasikan metafisikanya ke dalam politik sebagaimana Plato.14 Sistem metafisika Plotinus ditandai oleh adanya konsep transenden, yang menurut pendapatnya bahwa di dalam pikiran terdapat tiga realitas, seperti The One, The Mind, dan The Soul. Teori tersebut mengingatkan kita pada teologi Trinitas yang dianut oleh Kristen yang memiliki banyak kesamaan di dalamnya. Pusat doktrin tentang Tuhan dalam ajaran Kristen adalah bahwa Tuhan berada di dalam tiga pribadi, yaitu Bapak, Anak, dan Roh Kudus. Akan tetapi pada waktu yang sama, Gereja menyatakan bahwa Tuhan itu Esa dalam substansi-Nya. Menurut Kristen , bahwa Esa dalam tiga pribadi itu bukanlah suatu konsep yang berlawanan dengan akal, melainkan suatu konsep yang tidak dapat dipahami oleh akal. Formula tersebut tampaknya bukan berasal dari pengaruh filsafat Yunani, karena terbentuknya formula tiga dalam satu lebih dulu terbentuk dibandingkan dengan kontak Gereja dengan filsafat Yunani.15
    Sebenarnya, pada masa awal perkembangan agama Kristen tidaklah mengalami keruwetan, karena pada awalnya agama Kristen di dominasi oleh sebuah harapan tentang  turunnya kembali Yesus ke dunia ini. Akan tetapi dalam perkembangannya, para pengikutnya memerlukan teori-teori teologis, tatkala Kristen sudah mulai bertambah pemeluknya yang pada akhirnya terpengaruh oleh alam pikiran Yunani. Penyebab lahirnya formulasi baru tersebut karena disebabkan banyaknya pendapat yang muncul yang mengakibatkan adanya perbedaan paham. Kedua, karena adanya kebutuhan untuk menghadapi serangan dari para filosof kafir yang memandang Kristen sebagai agama yang penuh takhayul, dan menganggap lebih rendah daripada filsafat Yunani. Ketiga, karena banyak ajaran Kristen yang perlu disampaikan kepada kaum terpelajar, tentunya tidak mungkin sekedar dikatakan bahwa Yesus itu adalah Anak Tuhan, melainkan diperlukannya sebuah argumen intelektual.16

Trinitas Menurut Bapa Gereja
    Kristen, selalu mengalami kesulitan dalam menjelaskan tentang dogma Trinitas, dan tidaklah mengherankan, jika Bapa-bapa Gereja dalam segala usaha memformulasikannya telah berulang kali mengalami kegagalan dalam usaha untuk memahami dan memberikan penjelasan secara logis tentang Trinitas. Tertullian adalah orang pertama yang menggunakan istilah Tritunggal atau Trinitas, dan memformulasikannya. Akan tetapi, formulasinya  tersebut dianggap memiliki kekurangan dikarenakan ia telah memposisikan Allah Anak dibawah Allah Bapa, sedangkan Irenaeus berpendapat bahwa Logos adalah Allah, yang tentu saja pendapatnya tersebut diyakini oleh sarjana Kristen sejalan dengan Injil Yohanes. Namun lain halnya dengan Origen, yang ia sendiri telah melangkah lebih jauh dengan mengajarkan secara eksplisit bahwa Allah Putra berada dalam posisi di bawah Allah Bapa dalam esensi-Nya, dan Roh Kudus menurutnya, berada di bawah Allah Putra. Pandangan Origen tersebut yang mengambil keilahian esensial dari kedua pribadi dalam Allah Trinitas, sebenarnya telah menyiapkan jalan bagi orang-orang Arian dalam melakukan penyangkalan terhadap Allah Putra dan Roh Kudus dengan cara mengatakan bahwa Allah Putra adalah makhluk pertama dari Allah Bapa, sedangkan Roh Kudus adalah makhluk pertama dari Allah Putra.17 Dari adanya pandangan Origen tersebut, sebenarnya telah menjadikan Allah memiliki tingkatan, yang dari setiap tingkatan tersebut memiliki peran yang berbeda-beda dalam setiap tingkatannya. Dan Origen yang ia sendiri hidup sezaman dengan Plotinus dan memiliki guru yang sama dalam bidang filsafat, sebelumnya telah mendapatkan pengajaran bahwa Pribadi pertama lebih unggul dari yang kedua, dan pribadi yang kedua lebih unggul dari pribadi yang ketiga. Yang dalam hal ini, tentunya ia sudah sejalan dengan filsafat Plotinus.18 Selain itu, Origen pun telah menyerap pemikiran Plotinus lainnya dalam hal ketransendenan Tuhan. Selain Origen, Clement pun ikut mengembangkan terhadap konsep tersebut. Menurutnya, hubungan antara manusia dengan Tuhan dilakukan melalui Logos, yang melalui Logos itulah Tuhan memperlihatkan kekuasaan-Nya, dengan menciptakan alam semesta. Dan melalui Logos pula manusia dapat memahami Tuhan. Transenden adalah suatu konsep yang menjelaskan bahwa Tuhan berada di luar alam, yang tidak dapat dijangkau oleh akal. Dan lawan dari konsep transenden adalah konsep imanen, yang berarti Tuhan itu di dalam alam.19 Awalnya, Gereja pada zamannya telah menghormati Origen sebagai Bapa Gereja. Namun sekitar tahun 399 M, Gereja telah menyadari bahwa ajarannya tersebut ternyata tidak sesuai dengan Injil, sehingga pada akhirnya teologinya pun secara resmi ditolak dan dianggap sebagai seorang bidat atau sesat, meskipun bekas-bekas pemikirannya tersebut masih bisa kita temukan pada teologi Gereja Timur.
    Selain mereka, Bapa Gereja lainnya pun perlu menjadi bahan perhatian kita, yakni pandangan Augustinus. Pandangannya tentang Trinitas telah dikemukakan dalam karyanya, The Trinity, dan diabadikan dalam pengakuan iman Athanasius. Walaupun pengakuan iman tersebut tidak dapat diyakini bahwa hal itu telah ditulis oleh Athanasius, karena karya Augustinus tersebut ditulis setengah abad setelah kematian Athanasius. Siapa penulis kredo tersebut dan kapan ditulisnya, hal itu masih sebuah misteri, namun para ahli percaya bahwa pengakuan iman ini kemungkinan berasal dari Perancis Selatan pada abad pertengahan abad ke-5 masehi, dan mungkin disusun sekitar tahun 415 atau sebelum 542 masehi.20 Augustinus meyakini bahwa Bapa dan Anak berbagi material substratum yang sama, meskipun di sisi lain ia pun berpendapat bahwa yang menjadi sehakikat dengan Bapa berarti memiliki seluruh daya esensial keilahian, yakni menjadi sederajat dengan Bapa kecuali sifat-sifat yang berkaitan dengan asal-usul.21 Dalam pengakuan iman Athanasius dinyatakan bahwa, “Namun ke-Allah-an Bapa, Anak, dan Roh Kudus semuanya adalah satu, kemuliannya sama, keagungannya pun sama kekalnya. Sama seperti Bapa, demikian pula Anak, dan seperti itu pula Roh Kudus.”
    Jika dengan adanya kesetaraan terhadap setiap pribadi Trinitas dianggap sebagai suatu cara untuk mempertahankan keilahian Anak, justru hal tersebut telah menghasilkan suatu pertanyaan yang cukup krusial. Jika sifat keilahian dilekatkan kepada setiap pribadi Trinitas, tentunya Bapa adalah pencipta, Anak adalah pencipta, dan Roh Kudus pun adalah pencipta, namun mengapa ketiganya harus mengalami perbedaan dalam tingkatannya di saat semuanya sama sebagai pencipta ? Dengan adanya perbedaan tingkatan pada anggota Trinitas tersebut, justru telah menjadi pusat perhatian bagi beberapa teolog kontemporer yang menyimpulkan bahwa tidak ada alasan sama sekali untuk mempertahankan ajaran Trinitas kecuali jika pribadi-pribadi trinitas tersebut dibedakan satu sama lain oleh perbedaan-perbedaan dalam hal pengaturan dan dalam hal karya. Menurut H. Berkhof,22 bahwa pemikiran dari Augustinus tersebut sebenarnya telah terpengaruh oleh filsafat Neo-Platonisme. Dan Augustinus pada akhirnya menjadi seorang penganut Neo-Platonisme setelah ia membaca karya Plotinus, Enneade, yang sebelumnya ia telah menganut ajaran skeptisisme dan juga Manikeisme.23

Usaha Kristen Dalam Merasionalisasikan Trinitas
    Allah Trinitas, merupakan asas agama Kristen yang sangat penting dalam Alkitab. Menurut Kristen, Allah telah menyatakan kepada manusia dalam tiga oknum, yakni Allah Bapa, Allah Anak, dan Roh Kudus. Dikarenakan manusia itu terbatas, tentunya manusia tidak dapat mengerti tentang sesuatu mengenai Allah yang tidak terbatas. Dan menurut Chavas, orang yang tidak menerima ajaran bahwa Allah itu Trinitas maka ia tidak akan memahami Alkitab.24 Karena hal itulah, sejak masa awal Kekristenan sampai sekarang, banyak analogi yang telah diberikan oleh pihak Kristen dalam membuktikan bahwa Allah terdiri dari tiga pribadi, namun pada hakekatnya satu. Misalnya, analogi yang dibuat oleh Augustinus dengan menggunakan kesatuan psikologis dari intelektual, perasaan, dan kehendak; kesatuan logis dari tesis, anti tesis, dan sintetis yang dipakai oleh Hegel; kesatuan metafisis yang digunakan oleh Olshausen dari subyek, objek, dan subyek-obyek; dan bahkan sampai ada yang menggunakan kesatuan rokok filter dari tembakau, kertas dan busa filter. Berbagai analogi telah digunakan oleh Kristen demi merasionalisasikan kesatuan Tuhan, namun tetap saja hal itu tidak dapat menjelaskan  dengan sempurna tentang Tuhan Trinitas. Beberapa Bapa Gereja abad mula-mula telah menyusun doktrin Allah berada di bawah pengaruh filsafat Yunani, dan sebagaimana yang telah dikatakan oleh Seeberg, “mereka tidaklah berkembang sampai lebih dari sekedar konsep abstrak bahwa jatidiri ilahi adalah suatu jatidiri (eksistensi) yang mutlak tanpa atribut.”25
    Dalam menyatakan keberagaman Allah, Kristen selalu menggunakan istilah persona yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan pribadi. Istilah Persona yang padanannya diyakini dalam bahasa Yunani adalah prosopon serta istilah tambahan Yunani hypostatis, telah digunakan untuk mengidentifikasikan atas ketigaan dari trinitas itu sendiri. Bapa, Anak, dan Roh Kudus dikatakan sebagai tiga hypostatis atau tiga pribadi di dalam satu hakikat atau ousia. Persona dan prosopon, aslinya adalah sebutan untuk topeng yang dipakai oleh para aktor dalam sebuah drama.26 Karena adanya pergeseran makna, hal tersebut kemudian merujuk pada peran atau karakter yang akan dimainkan. Dan dengan adanya bukti konkret tersebut, tentunya Kristen tidak bisa mengelak bahwa doktrin Trinitas pada awalnya telah diwarnai oleh helenistik, baik itu tentang konsep ketuhanan sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, maupun tentang istilah persona atau pribadi yang digunakan pada setiap tingkatan Trinitas.

Kesimpulan
    Membahas Kristen tanpa membahas alam pikiran Yunani, sama saja seperti pepatah yang mengatakan : “kacang lupa kulitnya”. Karena Kristen bukanlah ajaran yang menjadi pelopor tentang keberagaman Tuhan. Bapa-bapa Gereja yang telah dipengaruhi oleh filsafat Yunani telah menggunakannya sebagai konsep dasar mereka dalam mengimani Tuhan Trinitas, yang pada akhirnya mengalami perkembangan dan penyesuaian dengan konsep Injil. Tentunya bisa dikatakan bahwa tanpa adanya gagasan awal dari Philo, Plotinus, dan bahkan Plato, tentu saja keyakinan Kristen tentang Trinitas sebagaimana saat ini tidak akan pernah ada, dan itu semua tidak akan pernah terjadi jika sekiranya orang-orang Yahudi sendiri pun tidak mengalami diaspora. Sejak awal, Kristen telah mengambil gagasan awalnya dari Yunani yang pada akhirnya konsep Trinitas tersebut mengalami perubahan sedemikian rupa, tentunya kita sebagai Muslim sudah sepatutnya untuk memikirkan kembali tentang penyematan agama Kristen sebagai agama Samawi. Karena bagaimana mungkin Kristen bisa diyakini sebagai agama Samawi disaat awal pembentukan imannya saja telah menyerap keyakinan Yunani, yang sebelumnya, keyakinan Yunani telah terpengaruhi oleh keyakinan Babilonia atau Chaldea.27
   

Catatan Kaki :
  1. G.W.H. Lampe (ed.), A Patristic Greek Lexicon.
  2. Era bapa-bapa gereja dimulai sekitar abad kedua, yang mencapai puncaknya pada abad ke-4 dan ke-5 masehi (Pdt. Hasan Susanto, Hermeneutik : Prinsip dan Metode Penafsiran Alkitab).
  3. L. Urban dan Patrick Henry, Before Abraham Was I Am : Does Philo Explain John 8:56-58 ?
  4. Philo, The Cherubim.
  5. Philo, De Opificio Mundi, yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh F.H. Colson dan G.H. Whitaker.
  6. James D.G. Dunn, The Theology of Paul The Apostle.
  7. DR. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1.
  8. Philip W. Goetz, The New Encyclopaedia Britannica, Vol. 9.
  9. Philo, Husbandry.
  10. Harry A. Wolfson, The Philosophy of the Church Fathers, jilid 1.
  11. Erwin R. Goodenough, An Introduction to Philo Judaeus.
  12. DR. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1.
  13. H. Berkhof – I. H. Enklaar, Sejarah Gereja.
  14. Rex Warner, The Greek Philosophy.
  15. Encyclopedia Americana.
  16. Frederick Mayer, A History of Ancient and Medieval Philosophy.
  17. Hal tersebut telah melahirkan perbedaan pendapat antara Katolik Barat dengan pihak Ortodoks. Menurut Gereja Ortodoks, bahwa Roh Kudus berasal atau keluar dari Allah Bapa. Sedangkan menurut Gereja Barat, bahwa Roh Kudus keluar dari Allah Bapa dan Allah Anak (Dr. R. Soedarmo, Ikhtisar Dogmatika).
  18. Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat.
  19. Dagobert D. Runes, Dictionary of Philosophy.
  20. Andries Derk Reitema Polman, Athanasianum.
  21. Cyril C. Richardson, The Doctrine of the Trinity; Karl Rahner, The Trinity.
  22. H. Berkhof – I. H. Enklaar, Sejarah Gereja.
  23. Masykur Arif Rahman, Buku Pintar Sejarah Filsafat Barat.
  24. R.P.Chavan, Mengenal Agama Kristen.
  25. Louis Berkhof. Teologi  Sistematika vol. 1 Doktrin Allah.
  26. J.N.D. Kelly, Early Christian Doctrines.
  27. Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat. 

Comments

  1. שמע ישראל יהוה אלהינו יהוה אחד

    ואהבתא את יהוה אלהיך בכל לבבך ובכל נפשך ובכל מאדך

    ואהבתא לרעך כמוך

    Shema Yisrael YHWH ( Adonai
    ) Eloheinu ( Adonai ) ekhad

    V'ahavta et YHWH ( Adonai ) Eloheikha bekol levavkha uvkol nafsheka uvkol meodekha

    V'ahavta lereakha kamokha

    Dengarlah, hai Israel: YHWH ( Adonai ) Elohim kita YHWH ( Adonai ) itu satu

    Dan kasihilah YHWH ( Adonai
    ) Elohimmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu

    Dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri
    ( Ulangan 6 : 4 - 5, Imamat 19 : 18 )

    Ayat-ayat ini pernah dikutip oleh Yeshua( ישוע, nama Ibrani Yesus ) ketika ada seorang ahli Taurat yang datang kepadaNya dan bertanya mengenai hukum manakah yang terutama. Kisah tésebut dapat ditemukan dalam Injil Markus pasal 12 ayat 28 - 34, khususnya di ayat 29 - 31.
    🕎✡🐟✝🕊🇮🇱

    ReplyDelete

Post a Comment