Pengertian Dan Kedudukan Hadits Beserta Fungsinya


Oleh: Sang Misionaris

Pedahuluan
    Semua umat Islam sepakat bahwa hadits merupakan hukum Islam kedua setelah Al-Qur’an, meskipun terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama, terkait perbedaan istilah yang digunakan, hal tersebut tidaklah bersifat krusial atau pun prinsipil, dan terjadinya perbedaan pendapat tersebut disebabkan karena adanya perbedaan penempatan bidang oleh para ulama, yang tidak berakibat merusak otentisitas dan validitas hadis. Lalu, istilah apa saja yang dinilai oleh para ulama memiliki makna yang sama dengan hadits, dan bagaimana kedudukan serta fungsi hadits dalam ajaran Islam, maka pada kesempatan kali ini, hal tersebut akan dibahas. Topik ini dipilih, karena ada sebagian kalangan dari pihak Kristen yang selalu menuntut pihak Muslim untuk memberikan jawaban dari Al-Quran atas apa yang mereka tanyakan ketika terjadinya dialog lintas agama, dan secara implisit, tentu saja tuntutan mereka tersebut sebenarnya berangkat dari ketidakpahaman mereka terkait landasan hukum yang terdapat dalam Islam. Karena jika mereka paham, tentunya tuntutan tersebut tidak akan pernah dilayangkan kepada Muslim.

Pengertian Hadits, Sunnah, Khabar dan Atsar   
    Kata hadits berasal dari bahasa Arab, menurut Ibn Mazhur bahwa kata ini berasal dari kata al-hadits, yang jamaknya ialah al-haditsan, dan al-hudatsan, dan penjelasan Ibn Mazhur dinyatakan pula oleh Mahmud Yunus bahwa kata al-hadits sekurang-kurangnya mempunyai dua pengertian:
  1. Jadid (baru), yang merupakan lawan dari qadim. Jamaknya ialah hidats dan hudatsa.
  2. Khabar, berita atau riwayat. Jamaknya ialah ahadits, hidtsan, dan hudtsan.
Etimologis hadits telah dirumuskan dalam pengertian yang berbeda-beda oleh para ulama, perbedaan tersebut terjadi karena adanya perbedaan obyek peninjauan mereka masing-masing, misalnya ulama hadits yang telah mendefinisikan hadits sebagai berikut: “Segala sesuatu yang diberitakan dari Nabi saw, baik berupa sabda, perbuatan, taqrir, dan sifat-sifat dan hal ihwal Nabi.” Adapun menurut ahli ushul fiqh, “Hadits, yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw selain Al-Qur’an al-karim, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir Nabi yang bersangkut paut dengan hukum syara.” Sedangkan menurut para fuqaha, “Segala sesuatu yang ditetapkan Nabi saw yang tidak bersangkut paut dengan masalah-masalah fardhu atau wajib.”1 Bahkan ada di kalangan ulama yang menyatakan bahwa apa yang berasal dari sahabat Nabi Muhammad saw dan al-tabi’in disebut juga sebagai hadits. Sebagian ulama berpendapat, bila kata hadits berdiri sendiri, dalam arti tidak dikaitkan dengan kata atau istilah lain, maka yang dimaksud adalah apa yang berasal dari atau yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. Namun sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa kata hadits yang berdiri sendiri itu juga memiliki pengertian tentang apa yang disandarkan kepada sahabat Nabi, atau al-tabi;in. Dan pendapat kedua inilah yang digunakan karena memiliki cakupan yang luas dan lebih menggambarkan tentang materi hadits yang terkumpul dalam kitab hadits al-Kutub al-Tis’ah.2
    Di samping menggunakan kata hadits, kata yang sering digunakan untuk menyebut sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad saw adalah sunnah. Sunnah secara bahasa adalah jalan, arah jalan, aturan, cara berbuat, atau tingkah laku. Dalam Al-Qur'an, kata sunnah dan bentuk jamaknya diulang sebanyak lima belas kali yang memiliki arti sebagai pelaksanaan course of rule (arah suatu aturan), mode of life (cara hidup), dan line of conduct (garis-garis tingkah laku). Adapun sunnah dalam al-Qur’an, bisa kita dapati pada Qs. 3:137, 8:38, dan 33:62. Sedangkan secara etimologisnya, sunnah juga berarti jalan hidup yang baik ataupun yang buruk. Dan pengertian sunnah secara bahasa ini bisa kita pahami dengan mudah ketika membaca hadist riwayat Jarir bin ‘Abdullah bahwasannya Rasullullah bersabda: “Barang siapa menjalani (memberi contoh) dalam Islam dengan jalan (contoh) yang baik kemudian orang-orang sesudahnya mengamalkannya, maka ditentukan baginya pahala sebagaimana pahala orang-orang yang mengamalkannya dan tidak dikurangi sedikit pun dari pahala mereka itu. Dan barang siapa menjalani (memberi contoh) dalam Islam dengan jalan (contoh) yang buruk kemudian orang-orang sesudahnya mengamalkannya, maka ditentukan baginya dosa sebagaimana dosa orang-orang yang mengamalkannya dan tidak dikurangi sedikit pun dari dosa mereka itu” (Hr. Muslim).3 Dengan adanya perbedaan etimologis tersebut, seperti yang disebutkan di atas, tidaklah mengurangi akan pentingnya arti sunnah atau pun hadits itu sendiri, sebab mayoritas ahli hadits yang berdasarkan hasil penelitian mereka, telah menyamakan hadits dan sunnah.4
    Sebagaimana hadits, sunnah pun memiliki perbedaan makna di kalangan para ulama, perbedaan tersebut terjadi karena adanya perbedaan tujuan dalam kajian mereka masing-masing. Contohnya, ulama ushul fiqh fokus pada kajian tentang dalil-dalil syariat, sedangkan ulama hadits fokus pada kajian rantai periwayatan hadits yang dinisbatkan kepada Nabi saw. Adapun ulama fiqh, fokus pada kajian yang berkaitan dengan hukum-hukum syariat; fardhu, wajib, mandub, haram, dan makruh, dan bukan saja para ulama yang mengalami perbedaan pandangan tentang sunnah, para praktisi dakwah dan penyiar agama pun memiliki pandangan lain tentang sunnah yang disebabkan karena adanya kefokusan mereka pada penyampaian hukum-hukum yang diperintahkan atau pun yang dilarang oleh syariat. Dengan demikian, lafazh sunnah memiliki pengertian yang berbeda dalam bidang mereka masing-masing, bahkan di antara ulama yang sebidang pun memiliki perbedaan dalam memaknai sunnah. Pihak ulama ushul fiqh menggunakan lafazh sunnah untuk pengertian: “Segala perkataan dan perbuatan Nabi serta taqrir yang beliau berikan.” Namun, adapula sebagian ulama ushul fiqh yang menggunakan lafazh sunnah untuk: “Segala apa yang diamalkan oleh para sahabat Nabi saw yang bersumber dari Al-Qur’an dan Nabi, atau yang tidak bersumber dari keduanya, seperti yang mereka lakukan dalam menghimpun mushaf dan membukukannya.” Sedangkan ulama fiqh menggunakan lafazh sunnah dengan pengertian: “Sunnah adalah jalan yang dititi dalam agama tanpa adanya kewajiban dalam melaksanakannya.” Adapun bagi para praktisi dakwah menggunakannya dengan pengertian: “Adanya kesesuaian amal dengan apa yang telah dilakukan oleh Nabi.” Sementara jumhur ulama hadits, menggunakan lafazh sunnah dengan pengertian: “Sunnah adalah perkataan Nabi saw serta persetujuan yang beliau berikan, sifat-sifat fsik dan perilaku beliau, perjalanan hidup beliau, peperangan yang beliau jalani, dan sebagian dari informasi kehidupan beliau sebelum diangkat menjadi Nabi.”5
    Sedangkan khabar dan atsar, secara etilologis berasal dari kata: Khabar yang berarti berita, sedangkan atsar artinya bekas sesuatu. Adapun secara terminologis, para ulama hadits tidak sepakat dalam menyikapi lafazh-lafazh tersebut, karena ada sebagian dari mereka yang berpendapat bahwa khabar adalah sinonim dari kata hadits, dan sebagian lainnya tidak demikian, karena khabar adalah berita, baik dari berita dari Nabi Muhammad saw, maupun dari sahabat atau berita dari tabi’in. Sedangkan atsar lebih jelas pengertiannya apabila diberi keterangan dibelakangnya, misalnya: atsar Nabi, Atsar sahabat, dan sebagainya, sedangkan dalam istilah hadits, atsar diidentikan kepada yang diterima dari sahabat, tabi’in, dan lain-lain.6 Kebanyakan para muhadditsin, baik yang modern maupun yang terdahulu, berpendapat bahwa term hadits, sunnah, khabar dan atsar adalah sinonim. Meskipun ada perbedaan di kalangan ulama, namun hal tersebut tidaklah bersifat prinsipil, dan kebanyakan para muhadditsin memperkuat alasannya tentang mempersamakan keempat istilah tersebut dengan mengemukakan adanya kesesuaian maksud dalam pemakaiannya. Misalnya, istilah khabar mutawatir dipakai pula untuk hadits mutawatir, hadits an-nabawi untuk sunnah an-nabawi, dan ahli hadits atau ahli khabar disebut juga dengan ahli atsar.7
    Terkait adanya perbedaan terminologi atas keempat istilah di atas, senada dengan apa yang dikemukakan oleh Utang Ranuwijaya dan Munzir Suparta yang mengatakan bahwa sebetulnya keempat istilah tersebut mengacu kepada pengertian yang sama, yaitu segala sesuatu yang dinukilkan dari Nabi Muhammad saw, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir. Semua umat Islam sepakat bahwa hadits merupakan sumber ajaran kedua setelah Al-Qur’an, kesepakatan tersebut didasarkan pada nash, baik yang terdapat pada Al-Qur’an maupun dalam hadits. Dalam Al-Qur’an, misalnya sebagaimana yang terdapat pada Qs 4:59, 5:92, dan 24:54. Adapun dalil dari hadits adalah sabda Nabi Muhammad saw ketika beliau mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman, yang Mu’adz sendiri akan menetapkan suatu hukum berlandaskan urutan Al-Qur’an, hadits, dan juga ijtihad. Digunakannya hadits, ketika ia tidak menetemukan suatu ketetapan hukum di dalam Al-Qur’an, dan ijtihad digunakan ketika tidak ditemukannya ketetapan hukum baik yang berasal dari Al-Qur’an maupun hadits.8

Kedudukan Dan Fungsi Hadits Dalam Ajaran Islam
    Bagi Muslim, hadits merupakan sumber kedua setelah Al-Qur’an. Al-Qur’an merupakan Firman Allah yang berisi berbagai informasi secara global, sedangkan hadits merupakan sebuah penjelasan yang terperinci atas apa yang dibahas di dalam Al-Qur’an. Jika seorang Muslim menerima Al-Qur’an lalu ia mengabaikan hadits, tentunya segala permasalahan seperti halnya ekonomi, politik, ubudiyah, dan sebagainya, tidak akan pernah didapatkan secara terperinci di dalam Al-Qur’an, yang pada akhirnya Al-Qur’an tidak akan bisa dijalankan dengan baik dan benar, dan yang mengamalkannya akan jatuh kesesatan. Dan jika seorang Muslim hanya menerima hadits, namun ia mengabaikan Al-Qur’an, tentu saja ia bisa jatuh ke dalam sebuah keyakinan untuk menuhankan Nabi Muhammad saw atau bisa menyekutukan Allah. Al-Qur’an dan hadits, keduanya tidak bisa dipisahkan dalam kondisi apapun dan dimana pun. Karena jika seorang Muslim meninggalkan salah satunya, apalagi keduanya, tentunya ia sama saja dengan melakukan ketidaktaatan kepada Allah. Banyak sekali ayat-ayat di dalam Al-Qur’an dan juga hadits yang menopang agar kaum Muslimin mengikuti Nabi Muhammad, adapun dalil-dalilnya diantaranya adalah:
  1. Dalil-dalil yang terdapat di dalam Al-Qur’an:

  1. “….Apa yang diberikan oleh Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (Qs. 59:7)
  2. “Barangsiapa yang menaati Rasul (Muhammad) maka sesungguhnya dia telah menaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu) maka Kami tidak mengutusmu (Muhammad) untuk menjadi pemelihara mereka.” (Qs. 4:80)
  3. “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan yang banyak mengingat Allah.” (Qs. 33:21)
  4. “Katakanlah (Muhammad), ‘Jika kamu mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.’ Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. 3:31)
  5. “Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya dia telah tersesat, dengan kesesatan yang nyata.” (Qs. 33:36)
  6. “Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau (muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan (sehingga) kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (Qs. 4:65)

  1. Dalil-dalil yang terdapat di dalam hadits, diantaranya:

  1. (Nabi Muhammad) bersabda kepada Mu’adz bin Jabbal: “Bagaimanakah anda memutuskan suatu perkara yang diharapkan kepadamu?” Dia menjawab: “Akan saya hukumi dengan Kitab Allah.” Nabi bersabda lagi: “Dan sekiranya hukum tersebut tidak terdapat dalam Al-Qur’an?” Dia menjawab: “Dengan sunnah Rasulullah.” Nabi bersabda: “Dan apabila tidak terdapat dalam sunnahku?” Mu’adz bin Jabbal menjawab: “Saya akan berijtihad mencari jalan keluar dan saya tidak akan berputus asa.” Rasulullah menepuk dadanya (karena bergembira) dan bersabda: “Segala puji bagi Allah yang telah memberika taufik kepada utusan Rasulullah, sesuai dengan apa yang diridhai oleh Rasulullah saw.” (Hr. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, Ad-Darimi, al-Baihaqi dalam kitab al-Mudakhkhal, Ibn Sa’ad dalam al-Thabaqat dan Abd al-Bar).
  2. Aku tinggalkan bagi kalian dua hal yang karenanya kalian tidak akan tersesat sama sekali, selama kalian berpegang kepada keduanya, yaitu Kitab Allah (Al-Qur’an) dan Sunnah-ku. (Hr. al-Hakim dan Ibn ‘Abd al-Bar dan Abdullah bin Umar bin Auf, dari ayahnya yang bersumber dari kakeknya).9
  3. “Pegangilah olehmu sunnahku dan sunnah para khalifah yang mendapatkan petunjuk dan berada di jalan yang lurus. Pegangilah dan gigitlah sunnah itu dengan gigi-gigi gerahammu. Jauhilah olehmu perkara-perkara yang diada-adakan, karena setiap perkara yang diada-adakan itu adalah bidah dan setiap bidah adalah kesesatan.” (Hr. Abu Daud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
  4. “Sesungguhnya ucapan yang paling baik adalah Kitab Allah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, dan seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan.” (Hr. Muslim).10
    Di samping harus mentaati Allah, seorang Muslim pun harus mentaati pula Nabi Muhammad yang menjadi utusannya Allah, namun bagi sebagian pihak non-Muslim, mereka menuding bahwa Muslim selama ini telah menjadikan beliau sebagai Tuhan dikarenakan kepatuhan Muslim, menurut mereka, terkesan adanya penyamaan sikap dan kepatuhan dengan Allah. Tudingan mereka, tentu saja tidak bernilai apa-apa, selain membuktikan bahwa mereka tidak memahami ajaran Islam. Jika seseorang telah meyakini bahwa Nabi Muhammad itu adalah utusan Allah, maka sebenarnya ia telah meyakini Allah yang telah menjadi Tuhannya yang sekaligus meyakini pula bahwa Allah telah mengutus utusan-Nya tersebut, namun jika ia mengabaikan atau menolak apa yang beliau sampaikan, maka sama saja dengan menolak atas apa yang telah Allah perintahkan, dan hal tersebut dilarang oleh Allah sebagaimana yang termaktub di dalam Qs. 8:20. Dan setiap Muslim bisa membedakan dan memposisikan mana Tuhan dan mana yang menjadi pembawa pesan dari Tuhan, keduanya tidak bisa dipisahkan, namun tidak bisa pula disamakan, maka dari itu, tudingan mereka tersebut bisa dinilai absurd dan tidak sesuai dengan keyakinan umat Islam selama ini.
    Selain adanya tudingan di atas, pihak non-Muslim selalu berusaha mencari cara lain dalam meruntuhkan otentisitas hadits yaitu dengan mengangkat berbagai ayat Al-Qur’an yang dianggapnya bertentangan dengan hadits, namun ironisnya, persoalan yang mereka angkat tersebut tidak didukung dengan data dan fakta, melainkan karena adanya sentimen mereka terhadap Islam, dan untuk membaca pelbagai tudingan yang telah mereka lontarkan perihal adanya kontradiksi antara ayat Al-Qur’an dengan hadits, silahkan para pembaca untuk membaca buku yang berjudul: Syubhat wa Isykalat haul Ba’dh al-Hadits wa Al Ayat.11 Tidak hanya tudingan semacam itu saja yang mereka lontarkan, banyak dari kalangan non-Muslim seperti halnya orientalis, melakukan berbagai penelitian demi menggugat otentisitas hadits, yang pada akhirnya tudingan orientalis tersebut diteruskan oleh kalangan Kristen, liberal, dan yang lainnya. Dan untuk menghemat ruang, ditempat yang berbeda kami akan mengutarakan tudingan para orentalis tersebut yang sekaligus memberikan pula sanggahannya, InsyaAllah.
    Al-Quran sebagai pokok hukum yang merupakan dasar pertama dan hadits adalah dasar kedua, dengan kata lain ada rutbah atau urutan, Al-Qur’an lebih tinggi derajatnya daripada hadits.12 Dilihat dari segi posisinya, Al-Quran dan hadits merupakan pedoman hidup dan sumber ajaran Islam, yang antara keduanya tidak bisa dipisahkan. Al-Quran memuat ajaran-ajaran yang bersifat umum, yang isinya perlu dijelaskan lebih lanjut dan terperinci oleh hadits, namun fungsi hadits menurut ulama ahli fiqh telah disebutkan secara beragam, misalnya:13
  1. Menurut Imam Abu Hanifah: Bayan taqrir, bayan tafsir, bayan tabdil (nasakh).
  2. Menurut Imam Malik: Bayan taqrir, bayan taudhih (tafsir), bayan tafshil, bayan bashthi (tasbith atau ta’wil), bayan tasyri.
  3. Menurut Imam Syafi’i: Bayan tafshil, bayan takhshish, bayan ta’yin, bayan tasyri, bayan nasakh.
  4. Menurut Imam Ahmad ibn Hanbal: Bayan ta’kid (taqrir), bayan tafsir, bayan tasyri, bayan takhshish dan taqyid.
Sedangkan penjelasan dan contoh dari bayan-bayan tersebut, adalah sebagai berikut:14
  1. Bayan al-Taqrir
    Disebut pula sebagai bayan al-taqyid dan bayan al-itsbat, yang menetapkan dan memperkuat atas apa yang telah diterangkan di dalam Al-Quran. Fungsi hadits dalam hal ini hanya memperkuat isi atau kandungan dalam ayat Al-Quran, misalnya hadits Nabi: “Shalat orang yang berhadas tidak akan diterima kecuali setelah ia berwudhu” (Hr. Bukhari). Hadits tersebut sejalan dengan Al-Quran karena memperkuat ketentuan Al-Quran bahwa orang yang hendak mendirikan shalat haruslah ia berwudhu terlebih dahulu sebagaimana yang terdapat pada Qs. 5:6, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mendirikan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuhlah) kakimi sampai dengan kedua mata kaki.”

  1. Bayan Tafshil
    Menjelaskan dengan memerinci kandungan ayat-ayat yang mujmal, yakni ayat-ayat yang bersifat ringkas atau singlat.sehingga maknanya kurang atau bahkan tidak jelas kecuali ada penjelasan ataupun perincian, misalnya hadits: “Berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah karena melihat hilal” (Hr. Bukhari). Hadits tersebut menjelaskan tentang tata cara berpuasa Ramadhan yang dimulai dan diakhiri dengan melihat hilal, sebagai penjelasan dari keumuman ayat tentang puasa, sebagaimana yang terdapat pada Qs. 2:183, yaitu: “Hai orang-orang yang beriman, diawajibkan atas kalian berpuasa…”

  1. Bayan Taqyid
    Adalah penjelasan hadits dengan cara membatasi ayat-ayat Al-Quran yang bersifat mutlak dengan sifat, keadaan, atau syarat tertentu. Mutlak disini maksudnya menunjukkan pada hakikat kata itu sendiri apa adanya tanpa memandang jumlah atau sifatnya. Penjelasan Nabiyang berupa taqyid terhadap ayat-ayat Al-Quran yang mutlak antara lain dapat dilihat pada hadits, seperti: “Tangan pencuri dipotong jika mencuri seperempat dinar atau lebih” (Hr. Muslim). Hadits tersebut membatasi kadar curian yang menyebabkan pelaku pencurian terkena hukuman potong tangan yang tidak dijelaskan dalam ayat tentang ini yang bersifat mutlak, yaitu: “Dan laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya” (Hr. Muslim).

  1. Bayan Takhshish
    Adalah penjelasan Nabi dengan cara membatasi atau mengkhususkan ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat umum, sehingga tidak berlaku pada bagian-bagian tertentu yang mendapatkan pengecualian. Misalnya hadits: “Kami para Nabi tidak diwarisi, sesuatu yang kami tinggalkan menjadi sedekah” (Hr. Muslim). Hadits tersebut merupakan pengecualian dari keumuman ayat Al-Quran yang menjelaskan tentang disyariatkannya warisan bagi umat Islam, sebagaimana yang terdapat pada ayat ini: “Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusak untuk) anak-anakmu, yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan” (Qs. 4:11).

  1. Bayan Tasyri
    Merupakan penjelasan hadits yang berupa penetapan suatu hukum atau aturan syar’i yang tidak didapati nashnya di dalam Al-Quran, dalam hal ini, Rasulullah menetapkan terhadap beberapa persoalan yang muncul saat itu dengan sabdanya sendiri, tanpa berdasarkan pada ketentuan Al-Quran. Ketetapannya tersebut ada yang berdasarkan qiyas, ada pula yang tidak, contohnya: “Seorang perempuan tidak boleh dipoligami bersama bibinya dari pihak ibu atau ayahnya. (Hr. Bukhari).

  1. Bayan Nasakh
    Suatu penjelasan hadits yang menghapus ketentuan hukum yan terdapat di dalam Al-Quran. Hadits yang datang setelah Al-Quran menghapus ketentuan-ketentuan Al-Quran, dan tentang hal ini, kedepannya akan kami ulas ditempat yang berbeda, InsyaAllah.
Kesimpulan
    Dengan adanya tulisan yang sederhana ini, semoga para pembaca, khususnya non-Muslim, mampu mencerna dan memahami atas apa yang telah diyakini oleh umat Islam selama ini. Meskipun ada perbedaan di kalangan para ulama terkait istilah hadits, sunnah, atsar dan khabar, namun nyatanya memiliki kesamaan dalam segi maknanya. Tidak hanya itu, semua para ulama dan juga umat Islam di seluruh dunia sepakat dan meyakini bahwa hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an adalah hadits, yang memiliki makna yang sama dengan ketiga istilah lainnya di atas. Dalam sejarah Islam, memang ketika dahulu terdapat suatu kelompok yang menolak otoritas hadits, inkar sunnah, yang cikal bakalnya muncul sejak zaman Imam Syafi’I, tetapi jumlah mereka sangatlah sedikit dan argumentasi mereka pun sudah dipatahkan oleh para ulama hadits,15 dan argumentasi yang mereka gunakan, yakni Al-Qur’an, bertentangan pula dengan dalil-dalil yang terdapat pada ayat-ayat Al-Quran lainnya. Bagi seorang Muslim, tanpa menggunakan hadits, maka ia tidak bisa dikatakan memiliki iman yang seutuhnya, meskipun di sisi lain, telah mengimani Al-Qur’an sebagai Firman Allah. Karena iman kepada Allah dan iman kepada Nabi Muhammad, keduanya tidaklah bisa dipisahkan layaknya dua sisi mata uang logam.

Catatan Kaki:
  1. Endang Soetari Ad, Ilmu Hadits: Kajian Riwayah dan Dirayah, Bandung: Mimbar Pustaka, 2008, hlm. 1-3.
  2. Agung Danarta, Perempuan Periwayat Hadis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013, hlm. 16-17.
  3. Indri, Studi Hadis, Jakarta: Kencana, 2013, hlm. 1-2.
  4. Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2009, hlm. 106.
  5. Muhammad Abu Zahw, The History of Hadith: Historiografi Hadits Nabi Dari Masa Ke Masa, terj. Abdi Pemi Karyanto dan Mukhlis Yusuf Arbi, Depok: Keira Publishing, 2017, hlm. 2-3.
  6. Endang Soetari Ad, Op. Cit., hlm. 8-9.
  7. Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahu’l Hadits, Bandung: Al-Ma’arif, 1974, hlm. 28.
  8. Rosihon Anwar, dkk, Pengantar Studi Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2009, hlm. 185.
  9. Wahyudin Darmalaksana, Hadis Di Mata Orientalis: Telaah Atas Pandangan Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht, Bandung: Benang Merah Press, 2004, hlm. 26.
  10. Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadits, terj. Mujiyo, Bandung: Rosdakarya, hlm. 10.
  11. Edisi Indonesia: Benarkah Ada Kontradiksi Antara Ayat Dan Hadits? terj. Asep Saefullah FM, dan Faris Alkutsiyani, Jakarta: Pustaka Azzam, 2004.
  12. Endang Soetari Ad, Op. Cit., hlm. 82.
  13. Endang Soetari Ad, Op. Cit., hlm. 92-97
  14. Indri, Op. Cit., hlm. 25-30.
  15. Indri, Op. Cit., hlm. 24.

Comments