Sebuah Kata Pengantar Injil Matius

Oleh: Sang Misionaris.


Pendahuluan
Injil Matius adalah kitab pertama dalam Perjanjian Baru. Dan bagi Kristen, penempatannya sebagai penghubung antara Perjanjian Lama (PL) dengan Perjanjian Baru (PB). Karena posisi Injil Matius termasuk dokumen tunggal terpenting dalam iman Kristen, Injil ini menjadi paling umum dibaca dan paling sering dikutip oleh jemaat mula-mula.1 Karena hal itulah, dalam ulasan kali ini penulis hanya memfokuskan diri pada Injil kanonik, yang diawali pembahasannya dengan Injil Matius dalam melakukan penelitian lebih lanjut terhadap Injil kanonik. Karena pada dasarnya, sebuah kata pengantar (dalam arti suatu disiplin sejarah) adalah pijakan dasar bagi para pembaca sebelum melakukan penilaian, atau pendalaman atas suatu teks sastra dalam perspektif historis, yang kelak akan berkaitan pembahasannya dengan kritik bentuk, kritik sumber, dan kritik tradisi, khususnya terhadap Injil Kanonik. Pengantar khusus ini, tentunya berkaitan pula dengan asal-mula suatu dokumen, yang menyangkut tentang kepengarangan, waktu dan tempat penulisan, alasan dan maksudnya, para pembaca yang dituju, integritas karya dan sumber-sumbernya. Dengan adanya ulasan ini, diharapkan bisa menambah wawasan khususnya dalam dialog lintas agama Islam Kristen.

Seputar Nama, Kepengarangan, Waktu Dan Tempat Penyusunan
Textus Receptus (TR), memberikan judul untuk Injil ini dengan nama "Injil Suci menurut Matius", namun Elzevirs sendiri telah mengabaikan kata sifat yang telah dicantumkan oleh Stephanus, Griesbach, dan Scholz. Adapun minuskul (manuskrip Yunani kursif) dan termasuk pula manuskrip mini lainnya dan juga codex W (abad kelima), C (abad kelima), dan kebanyakan dari manuskrip Latin lainnya, diberi nama dengan "Injil Menurut Matius". Tetapi salinan Yunani tertua pada abad keempat, yakni codex Aleph dan B hanya bertuliskan "Menurut Matius".2 Kata “menurut” pada Injil Matius, mengimplikasikan bahwa isi yang ditulis merupakan sebuah bentuk akumulasi dari informasi, pemikiran, dan keyakinan yang didapatkan oleh penulis. Dan nama “Injil Matius”, adalah nama yang telah dirubah di kemudian hari untuk membedakan isinya dengan Injil Markus, Lukas, dan juga Yohanes.

Menurut Gereja mula-mula, pengarang Injil Matius adalah Matius itu sendiri yang berasal dari Galilea,3 yang menjadi salah satu dari kedua belas murid Yesus. Yang keyakinan tersebut muncul, karena disebabkan oleh dua faktor. Pertama. Pada bukti internal biblika, ia diyakini sebagai seorang Rasul (salah seorang termasuk ke dalam dua belas murid Yesus), yang pekerjaannya sebagai pemungut cukai di Kapernaum, yang mengenal bahasa Yunani dan Ibrani (Matius 9:9-13; 10:3; Markus 3:18; Lukas 6:15; Kisah Para Rasul 1:13). Pada Injil sinoptik lainnya, Matius dipanggil dengan nama lain, yakni Lewi, yang ia sendiri adalah anak dari Alfeus (Markus 2:14-17; Lukas 5:27-32). Pada daftar tiga injil sinoptik, ia dikaitkan dengan Thomas, dan membentuk pasangan keempat dengannya. Dalam Injil menurut Markus dan Lukas, dia mendahului Thomas, namun dalam Injilnya sendiri ia ditempatkan setelah Thomas (Matius 10:3, bandingkan dengan Markus 3:18; Lukas 6:15. Tetapi dalam daftar di Kisah Para Rasul 1:13 dia berhubungan dengan Bartholomeus dan Thomas bersama Filipus).4 Kedua. Adanya kesaksian dari para apostolik seperti Ireneus, Tertullian, Origen, Eusebius, Athanasius, Cyril dari Yerusalem, dan yang lainnya, yang semuanya berpendapat bahwa Matius adalah penulisnya.5 Namun, jika kita menelusuri pernyataan dari para apostolik tentang Injil Matius, ternyata pendapat mereka mengkerucut pada satu nama yang menjadi sumber informasi pertama, yakni Papias6 (seorang Uskup Hieropolis di Frigia, yang menjadi orang pertama yang mengaitkan Matius dengan injil ini), yang pernyataannya telah dikutip oleh Eusibius. Dari pengamatan di atas, tentunya telah memunculkan sejumlah pertanyaan. Dari mana kita bisa memastikan jika Matius memiliki nama lain yang bernama Lewi, dan Lewi tersebut adalah Matius, yang menjadi penulis dari Injil Matius ? Apakah Markus dan Lukas memang pernah hidup sezaman dengan Matius, dan pernah bertatap muka, sehingga pada akhirnya kita bisa mengidentifikasikan bahwa Matius adalah nama lain dari Lewi ? Apakah bisa dikatakan, jika penulis Injil kanonik sebenarnya telah memperoduksikan karyanya yang berasal dari tradisi lisan dan juga tulisan ataukah bahan yang didapatkan begitu saja ditulis bagaikan sebuah cerpen (cerita pendek) ? Pertanyaan-pertanyaan di atas, tentunya mengingatkan kita bahwa di abad pertama telah beredar luas berbagai Injil, selain masih kuatnya tradisi lisan kala itu, yang tentu saja penambahan dan pengurangan atas suatu berita pun bisa saja terjadi.

Eusebius, merupakan seorang sejarawan gereja mula-mula, ia mengutip catatan dari Papias sebagai berikut : "Matius mengumpulkan nubuat dalam bahasa Ibrani, dan masing-masing menafsirkannya sebisa mungkin." Dan ternyata, kata “logia” dan “masing-masing menafsirkannya sebisa mungkin”, telah melahirkan sejumlah masalah di kalangan sarjana biblika (untuk menghemat ruang, penulis akan mengulasnya di tempat yang berbeda). Selain Eusebius, Ireuneus, Origen, dan bahkan teolog lainnya seperti Pantaenus, dan Epiphanius, telah menuliskan hal yang serupa. Matius diyakini sebagai salah satu Rasul, namun tidak ada informasi yang pasti untuk bisa kita ketahui tentang aktivitas penginjilan yang dilakukannya. Pada abad ke-4 dan ke-5, menurut Clement, bahwa Matius diyakini telah mengunjungi wilayah Persia, Etiopia, dan juga India. Adapun kematiannya, tidak mengalami kemartiran sebagaimana yang lainnya. Dan sebuah fakta, bahwa ia lenyap hampir sepenuhnya dari ranah sejarah adalah alasan tambahan untuk mempercayai tradisi yang telah menghubungkan Injil pertama dengan namanya, yang tentu saja tradisi palsu bisa saja terjadi dan menghubungkannya dengan salah satu tokoh paling awal dalam cerita Kristen awal (Clemens Alexandria. Strom. iv. 9).7  Dari informasi Clemens tersebut, ia menginformasikan kepada kita bahwa Matius telah pergi ketiga wilayah. Namun pada kenyataannya, hal tersebut tidak pernah disinggung oleh Eusibius, maupun Jerome. Adapun Socrates berbeda pendapat dengan Clement atas tempat yang disinggahi oleh Matius, ia meyakini bahwa Matius hanya pergi ke Etiophia, sedangkan yang pergi ke Persia adalah Thomas, dan Bartholomeus pergi ke wilayah India.8

Dalam bahasa ibunya, yaitu bahasa Palestina, Matius menulis Injilnya. Namun bahasa itu, diyakini bukanlah berasal dari bahasa Ibrani murni, melainkan bahasa campuran khaldea (kasdim), dan Suryani yang biasa disebut dengan Suryani-khasdim, atau Aramaic.9 Persoalan tentang bahasa asli apa yang digunakan oleh Injil Matius, hingga kini masih menjadi polemik di kalangan internal Kristen. Sejumlah para ahli percaya, bahwa bahasa asli Injil Matius berasal dari bahasa Ibrani, sebagaimana yang telah diyakini oleh Grotius, Michaelis, Marsh, Townson, Campbell, Olshausen, Creswell, Meyer, Ebrard, Lange, Davidson, Cureton, Tregelles, Webster dan Wilkinson. Meskipun di pihak lain, Jerome sendiri tidak cukup yakin, tentang siapa yang telah telah menerjemahkannya ke dalam bahasa Yunani (De Vir, Ill. 3),10 jika memang bahasa asli Injil Matius tersebut berasal dari Ibrani. Para ahli ada juga yang berpendapat lain, bahwa bahasa asli Injil Matius adalah bahasa Aram. Untuk menguatkan pendapatnya, biasanya akan memberikan bukti yang berkaitan dengan empat injil versi Old Syiriac, PB versi Peshitta, kitab Wahyu versi Crawford,11 dan salah seorang yang meyakini bahwa bahasa asli Injil Matius dari bahasa Aram adalah Rudolf Steiner.12  Namun, ada juga pihak lain yang menolak pernyataan mereka diatas, dan bahkan mendukung sebuah teori bahwa bahasa asli Injil Matius adalah Yunani, yang teori tersebut didukung oleh mayoritas Kristen saat ini, dan tokoh lainnya, seperti Guericks, Olshausen, Thiersch, Townson, Tregelles.13

Dari adanya perbedaan tersebut, tentunya suatu hal yang wajar jika muncul sebuah konklusi yang masih bersifat prematur. Jika memang bahasa asli Injil Matius itu adalah Ibrani, tentunya bahasa Aram dan Yunani adalah terjemahannya atau salinannya. Tetapi jika bahasa Aram itu yang asli, tentunya bahasa Ibrani dan Yunani adalah terjemahannya. Dan jika bahasa Yunani itu yang asli, tentunya bahasa Ibrani dan Aram adalah salinannya. Padahal pada dasarnya, tulisan-tulisan yang ada selama ini, tidak ada satu pun dari manuskrip asli (autograf) yang masih ada sampai saat ini,14 termasuk Injil Matius. Dan tulisan yang ada pada saat ini, hanya didapatkan dari hasil salinan-salinan saja. Oleh sebab itu, bisa disimpulkan bahwa Injil Matius merupakan tulisan yang telah disusun ulang oleh orang yang tidak pernah diketahui, baik tentang jati dirinya maupun kredibilitas dari penulis itu sendiri. Dari adanya polemik tentang bahasa asli apa yang telah digunakan oleh Injil Matius, James Hastings menyatakan, “Ibrani atau bukan, tidak ada keraguan baik dari pertimbangan-pertimbangan apriopri maupun dari bukti internal tentang injil-injil berbahasa Yunani, bahwa telah berlangsung suatu rekaan dari pihak gereja tentang suatu Injil dalam bahasa Ibrani seperti yang kemudian secara umum diucapkan di daerah Yudea.” 15

Mengenai waktu Injil Matius itu ditulis, para pakar berbeda pendapat dan jawaban yang ada, masih bersifat probabilistik. Menurut para pakar Alkitab, Injil ini ditulis antara tahun 70 dan 90 M.16 Sedangkan menurut Willi Marxsen, menjadikan peristiwa penghancuran Yerusalem sebagai parameter dirinya dalam menentukan masa penulisan injil Matius ini (Matius 22:7), ia berpendapat bahwa injil ini ditulis pada tahun 80-an.17 Tetapi menurut G. H. Gerberding, Injil Matius baru ditulis sekitar tahun 60 M, namun penulisannya dilakukan setelah injil Markus.18 Dari adanya ketiga pendapat yang berbeda tersebut, tentunya tidak bisa dikatakan bahwa semua pendapat yang ada adalah benar. Karena suatu kebenaran, tidak mungkin menghasilkan suatu perbedaan antara satu sama lain. Justru dengan adanya perbedaan tersebut, mengimplikasikan bahwa penentuan masa penulisan Injil Matius hanya bersifat spekulatif, yang disebabkan karena minimnya informasi yang terdapat pada Injil Matius dan tidak adanya saksi mata atas kepenulisan Injil tersebut. Bahkan Rev. W. C. Somerville, dari Gereja Scottish, dengan cukup berani untuk mengakui tentang Injil Matius, katanya : “Injil ini ditulis sekitar tahun 80 masehi oleh seorang penyusun yang tidak dikenal. Injil tersebut tampaknya dihasilkan oleh seseorang yang sangat tertarik kepada agama Yahudi dan tertarik kepada Perjanjian Lama, dan kemungkinan dipersiapkan untuk digunakan pada suatu pusat, dimana mayoritas orang-orang Kristen sebelumnya adalah orang-orang yang beragama Yahudi.” 19

Tentang tempat penyusunan Injil Matius, Jerome berpendapat, bahwa Matius menulis Injilnya di daerah Yudea.20 Namun menurut Willi, Injil tersebut berasal dari Pela, yang terdapat di daerah sebelah timur Yordan. Meskipun Willi berpendapat demikian tentang tempat penulisan Injil Matius, ia sendiri menyatakan dengan tegas bahwa hal tersebut tidak lebih daripada suatu kemungkinan saja.21 Jadi pada dasarnya, tentang di mana tepatnya Injil Matius itu di tulis, hal tersebut masih bersifat spekulasi.


Struktur dan Isi Injil Matius
Demi memberikan kenyamanan kepada para pembaca, seorang profesor di Universitas Paris, yang kemudian menjadi Uskup Agung Canterbury, bernama Stephen Langton membagi Alkitab menjadi beberapa pasal di tahun 1228 M. Selanjutnya Robert Stephanus, melakukan pembagian PB Yunaninya menjadi beberapa ayat dan menerbitkannya pada tahun 1551. Perjanjian Baru (PB)  pertama dalam bahasa Inggris yang memiliki pasal dan ayat adalah Alkitab Geneva, yang diterbitkan pada tahun 1560. Jadi untuk waktu yang cukup lama, pihak Kristen telah menggunakan pasal dan ayat sebagai acuan dalam memahami Alkitab.

Di awal abad ke-20, menurut B.W. Bacon, bahwa Matius telah membagi Injilnya menjadi lima bagian, yang dianalogikan seperti kitab-kitab Musa, yang setiap bagiannya memiliki independensi tersendiri. Gagasan Bacon tersebut, disebabkan karena adanya dua fenomena tekstual yang terjadi di dalam tulisan Matius. Pertama. Dalam Injil Matius, terdapat diskursus Yesus yang disimpulkan dengan sebuah rumusan stereotip (Ketika Yesus selesai mengatakan hal-hal ini ) di 7:28; 11:1; 13:53; 19:1; 26:1). Menurut Bacon, formula ini memperkenalkan sebuah akhir dari sebuah buku. Kedua. Setiap bagian wacana didahului oleh narasi pengantar, yang selalu membentuk keseluruhan dengan wacana yang relevan. Jadi, setiap kali kita mendengar Matius menggunakan rumus : "Ketika Yesus selesai mengatakan hal-hal ini…”, itu dianggap sebagai akhir dari sebuah buku.22 Pandangan Bacon tentang Injil Matius telah mendapatkan dukungan dari cendekiawan lain, seperti halnya C.R. Smith. Adapun argumen utama Smith dalam menilai struktur Injil Matius adalah Injil Matius bergantian antara narasi (di mana Matius menceritakan tentang Yesus) dan wacana (di mana Yesus berbicara dengan seseorang atau sedang mengajar, dan Matius merekam kata-kata Yesus). Dan di setiap narasi, telah mengenalkan sebuah tema yang kemudian menguraikan wacana berikutnya. Menurut Smith, struktur Injil berpusat di sekitar lima pasang narasi-wacana yang berturut-turut, di mana masing-masing tema yang berkaitan dengan kerajaan Surga diuraikan secara spesifik.23 Meskipun kita telah berusaha membaca struktur Injil Matius berdasarkan garis besarnya, dan penetapan formula tersebut telah menunjukkan di mana letak wacananya harus berakhir, namun permasalahan terus berlanjut tentang di mana tempat wacana harus di mulai. Apakah khotbah di bukit harus di mulai pada 4:23, 4:25 atau dalam 5:1 ? Apakah wacana misi di mulai di 10:5b, 9:35 atau di 9:36? Apakah wacana dialog antara para murid dengan Yesus dan Petrus di mulai pada 17: 24-27 ataukah pada 17:22 atau di 18:1? Apakah wacana dalam Matius 23 sebenarnya berbentuk keseluruhan dengan wacana eskatologis di Matius 24-25 ?

Berkaitan dengan isinya, Injil Matius memperluas isinya dengan menempatkan sebuah pendahuluan bagi kisah Yesus dengan adanya silsilah (1:2-25), cerita tentang orang Majus dari Timur (2:19-23), kisah pelarian ke Mesir (2:13-15), pembunuhan anak-anak yang tidak bersalah (2:16-18), dan kepulangan ke Nazaret (2:19-23). Adapun dari pasal 3 sampai seterusnya Matius pada dasarnya mengikuti kerangka Markus, kecuali ada sejumlah peristiwa ketika urutan dan pengelompokkannya diubah. Sebenarnya, kerangka seperti itu sudah cukup untuk membuktikan akan adanya kecendrungan atas penyejarahannya, karena Matius menempatkan sejarah Yesus dalam suatu konteks yang luas dan membentang dari Abraham sampai pada permulaan misi Kristen. Dari adanya celah yang besar tersebut, antara kelahiran dan penampakkan Yesus di depan umum, semata-mata muncul dari kenyataan bahwa penulis Injil Matius memang tidak mempunyai bahan ditangannya, karena pada mulanya Gereja mula-mula tidak menaruh minat terhadap biografi Yesus.24 Dikarenakan tidak adanya bahan yang didapatkan oleh Matius, ada sebuah hipotesis yang paling banyak diterima oleh para ahli, bahwasannya Matius telah mereproduksi Injil Markus sekitar sembilan puluh persen.25 Artinya, bahwa selama ini Injil Matius telah menjadikan Markus sebagai bahan utama dalam penulisannya, yang sekaligus mengisyaratkan bahwa Markus lebih dahulu ada daripada Injil Matius.

Isi Injil Matius diyakini peruntukkannya hanya untuk orang-orang Yahudi. Namun pada akhirnya, peruntukkannya itu diperluas untuk bangsa-bangsa yang lain.26 Matius, mengawali tulisannya dengan menyertakan silsilah Yesus, dan Ernest Renan berpendapat, bahwa silsilah Yesus bukanlah sebuah karya yang berasal dari pengarang Injil tersebut. Menurutnya, mungkin saja silsilah tersebut berasal dari sanak keluarga Yesus.27  Dan pelbagai perjanjian Allah dengan bapak leluhur di zaman PL, diyakini oleh Kristen, bahwa hal tersebut telah berhasil diproyeksikan pada zaman PB, yakni melalui Yesus. Menurut Abraham Park, sesungguhnya inti dari perjanjian Abraham dengan Allah adalah janji mengenai Mesias, yakni Yesus. Sedangkan inti dari perjanjian dengan Daud adalah janji akan Yesus, yang Allah sendiri telah berjanji akan membangkitkan seorang keturunan dari tubuh Daud yang akan mengokohkan tahta kerajaannya untuk selama-lamanya.28 Dan Philip Schaff, telah merangkum narasi injil Matius, bahwa Yesus dari Nazaret adalah seorang Mesias yang dijanjikan, nabi terakhir, imam besar, dan juga sebagai raja Israel. 29  Secara ekstalogis, Injil Matius ingin menunjukkan kepada orang Yahudi bahwa Yesus adalah seorang Mesias yang memiliki Kerajaan Surga, namun suatu hal yang bersifat kontraproduktif, jika pada akhirnya Injil ini pun disajikan peruntukkannya bagi non Yahudi. Jika kita melihat bentuknya, yang bersifat didaktis dan adanya topikalisasi atas isinya, sangat jelas terlihat bahwa penulis Injil Matius telah mempersiapkan segala bahannya sebelum pada akhirnya bahan tersebut ditulis sedemikian rupa seperti sekarang ini. Satu hal yang mencolok, dan sekaligus pembeda antara Injil Matius dengan Injil kanonik lainnya, yakni adanya kisah-kisah yang sangat teratur dan mudah dimengerti pembahasannya oleh siapapun.


Kesimpulan
Meskipun Injil Matius ditempatkan sebagai kitab pertama pada PB, namun jika kita menelusuri masa penulisannya, tidak berarti bahwa Injil adalah kitab pertama yang ditulis dari semua Injil Kanonik lainnya dan juga surat-surat yang terdapat pada PB. Karena hingga kini, kalangan di internal Kristen masih berbeda pendapat antara Injil Kanonik mana yang pertama kali ditulis, apakah Injil Matius ataukah Injil Markus. Mengenai siapa yang mengarang Injil ini, bahasa asli yang digunakan, waktu, dan tempat penulisannya pun, tidak ada informasi yang jelas untuk bisa kita dapatkan secara pasti. Segala jawaban yang ada semuanya masih bersifat spekulatif, dikarenakan minimnya informasi yang bisa kita dapatkan, baik dari internal biblika sendiri, maupun dari data eksternal yang ada. Namun suatu hal yang ironis atas Injil anonim ini, jika pada akhirnya pihak Kristen masih meyakini bahwa isinya merupakan kitab dari karya seorang penulis yang telah mendapatkan ilham dari Roh Kudus.

Mempermasalahkan Injil Matius telah dianggap tidak relevan oleh Kristen karena memang sudah dianggap final dalam pengkanonikannya, namun jika kita melakukan pendekatan dalam sisi historis yang ada, tentunya Injil ini perlu diadakan sebuah rekontruksi ulang, selain melakukan penyortiran terhadap ucapan mana saja yang terdapat pada Injil ini yang hal tersebut memang benar-benar ucapan Yesus dengan yang bukan. Karena jika tidak, tentunya disaat kita melakukan penelusuran baik dalam sisi historis dengan kritik teks, bentuk, dan bahkan tradisi, tentunya akan sulit untuk bisa dipahami oleh pihak Kristen. Dan jika pada akhirnya, Kristen masih melakukan sanggahan yang bersifat intuitif, “bahwa Injil kanonik adalah hasil dari Roh Kudus yang isinya saling melengkapi antara satu sama lain”, tentunya hal tersebut bukanlah sebuah jawaban yang memadai dalam menghadapai permasalahan teks sastra dalam sisi historis.



Catatan Kaki.
1. Warren W. Wiersbe, dalam prakatanya di Be Loyal. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Loyal Di Dalam Kristus, hal. 5.
2. Archibald Alexander, The Canon Of The Old And New Testaments Ascertained Or The Bible Complete Without The Apocrypha And Unwritten Traditions.
3. Ibid.
4. Philip Schaff, History of the Christian Church, Volume I: Apostolic Christianity. A.D. 1-100.
5. Louis Berkhof, Introduction to the New Testament. Archibald Alexander, The Canon Of The Old And New Testaments Ascertained Or The Bible Complete Without The Apocrypha And Unwritten Traditions.
6. Meskipun para apostolik di saat membahas injil Matius, ada yang membahas Tatian dengan harmonisasi injilnya, namun penulis akan mengabaikannya. Karena informasi dari Tatian yang menyangkut informasi yang sedang kita bahas sangat kurang diandalkan, jika dibandingkan dengan Papias.
7.  Leighton Pullan, The Books of the New Testament.
8. Constantin von Tischendorf, When Were our Gospels Written ?
9. Albert Barnes, Barnes' New Testament Notes.
10. Leighton Pullan, The Books of the New Testament.
11. Iskandar, Mengapa Nama Yahweh, hal. 68.
12. Rudolf Steiner, The Gospel of St. Matthew.
13. Robert Jamieson, Commentary Critical and Explanatory on the Whole Bible.
14. Michael Keene, Alkitab : Sejarah, Proses Terbentuk, dan Pengaruhnya.
15. James Hastings, A Dictionary of Christ and the Gospel, Vol. I, hal. 670.
16. J. T. Sunderland, The Bible - Its Growth anda Origin.
17. Willi Marxsen, Pengantar Perjanjian Baru, hal. 184.
18. G. H. Gerberding: The Way of Salvation in the Lutheran Church.
19. Rev. Somerville, A First Introduction to the New Testament.
20. St. Jerome : The Principal Works of St. Jerome.
21. Willi Marxsen, Pengantar Perjanjian Baru Pendekatan Kritis Terhadap Masalah-Masalahnya, hal. 184.
22. B.W. Bacon, The Five Books of Matthew Against the Jews.
23. C.R. SMITH, “Literary Evidence of a Fivefold Structure in the Gospel of Matthew.
24. Willi Marxsen, Pengantar Perjanjian Baru Pendekatan Kritis Terhadap Masalah-Masalahnya, hal. 175.
25. A. W. Argyle, The Gospel According to Matthew.
26. Matthew Henry, Matthew Henry's Commentary on the Whole Bible.
27. Ernest Renan, History of the Origins of Christianity. Book V. The Gospels.
28. Abraham Park, Pelita Perjanjian Yang Tak Terlupakan, seri ke-3, hal. 322-323.
29. Philip Schaff, History of the Christian Church, Volume I. 

Comments