Konsili Nicea: Pertikaian, Konspirasi, Dan Hasil Keputusannya

Oleh: Sang Misionaris.

Pendahuluan
    Dari banyaknya perbedaan teologis yang terjadi pada masa Bapa Gereja, hal tersebut telah mendesak pihak Gereja untuk segera mengadakan suatu konsili, baik itu diadakan karena adanya inisiatif dari kaisar maupun oleh pihak gereja sendiri, yang pada akhirnya menghasilkan suatu keputusan yang mengikat bagi semua gereja, selain memberikan pula kutukan kepada lawan-lawannya. Tanpa adanya desakan tersebut, tentu saja tidak akan pernah terjadi suatu konsili beserta dengan ketetapan iman yang dihasilkannya.
    Sejak awal, doktrin Ketuhanan Yesus belum ada penjelasan yang memadai di kalangan Kristen, dan adanya kesepakatan tentang Ketuhanan Yesus baru terjadi ketika diadakannya Konsili Nicea, meski harus melahirkan kekisruhan di kemudian hari, yang hal tersebut terjadi karena adanya ketidaksepakatan Kristen lain terhadap konsili Nicea. Kedekatan para uskup dengan Konstantinus pada akhirnya melahirkan konspirasi Nicea, di satu sisi, para uskup mencari jalan bagaimana caranya Arius dan bidat lainnya dianggap sesat dan keyakinan para uskup dinilai sah serta mendapatkan pengakuan dari negara, namun di sisi lain, adanya kekisruhan yang terjadi telah mengakibatkan suhu politik menjadi panas dan juga bisa berakibat chaos, yang keadaan demikian tentu saja mengakibatkan kaisar yang baru mendapatkan kemenangan dari Maxentius untuk turun tangan menengahinya.

Latarbelakang Konsili Nicea
    Pada saat kondisi Kristen sebelum Konsili Nicea, telah terjadi perbedaaan pendapat tentang doktrin Ketuhanan Yesus pada zaman Bapa Gereja, dan perbedaan pandangan tersebut semakin mengkristal ketika terjadinya perselisihan di Alexandria antara seorang presbiter, yaitu Arius dengan uskupnya.1 Dan jauh sebelum pertikaian tersebut terjadi, Origen telah meyakini adanya subordinasi dalam Ketuhanan Trinitas, di satu sisi, ia bisa mendefinisikan tentang adanya perbedaan-perbedaan dalam doktrin Ketuhanan Trinitas, namun di sisi lain, ia tidak mampu menjelaskan tentang kesatuan dari tiga pribadi dalam keilahian yang terdapat dalam Trinitas.2     
    Suatu tantangan yang berbeda terhadap keilahian Yesus datang dari pihak lain, yang menurut Tertullianus dinamakan sebagai Monarkian, kaum Monarkian meyakini bahwa unsur dalam keilahian Yesus adalah suatu ciptaan. Cara lain yang dipilih oleh kaum Monarkian adalah dengan memahami bahwa unsur ilahi Yesus itu adalah semacam kegiatan atau penampakkan dari satu Allah yang tunggal. Namun bagi kaum Monarkian Dinamis, menganggap bahwa aspek ini adalah aktivitas atau energi Allah, sedangkan bagi Monarkian Modalis menganggap aspek tersebut bukan sebagai suatu energi, melainkan suatu cara atas adanya keberadaan Allah. Lalu, apa yang membuat Yesus menjadi ilahi? Bagi Theodotus dari Byzantium, yang sering dianggap sebagai pendirinya Monarkian Dinamis, mengemukakan bahwa kuasa itu adalah karena adanya Roh, dan ia memandang Yesus sebagai seorang guru yang mengajarkan kebenaran rohani dan juga sebagai manusia teladan dalam persektuan dengan Allah. Namun bagi Praxeas, yang menjadi salah satu tokoh dari Monarkianisme Modalistis menyatakan bahwa Allah secara keseluruhan hadir di dalam Yesus, sedangkan nama Bapa, Anak, dan Roh Kudus hanyalah sebuah gelar yang dikenakan pada keberadaan yang esa.3     
    Bagi Irenaeus, Yesus sepenuhnya adalah Allah, namun bagi Origenes, Kristus lebih rendah daripada Allah Bapa. Baik Irenaeus maupun Origen, sama-sama mengungkapkan imannya dalam bentuk yang diambil dari mileunya Yunani-Romawi, di satu sisi, Irenaeus menggunakan bentuk agama misteri, sedangkan di sisi lain, Origenes menggunakan bentuk dari Gnostik dan juga filsafat Yunani, dari adanya perbedaan konsep diantara keduanya, maka terjadilah pertikaian yang tidak bisa terelakan antara pengikut Irenaeus dengan pengikut Origen, yang terjadi pada tahun 315 M.4 Bukan hanya Irenaeus dan Origen yang memiliki perbedaan pendapat tentang Yesus, Yustinus Martir pun mengalami kondisi yang sama pula dengan mereka. Menurutnya, ketika Logos menjadi daging (manusia), Yesus menjadi berbeda dengan Allah, bahkan Logos pun diyakininya sebagai keturunan dari Allah. Oleh karena itu, Logos atau Yesus berbeda dengan Bapa, bukan hanya dalam nama, tetapi juga dalam arti numerik yang tidak sama kekalnya dengan Bapa.5  
    Salah satu tokoh dari Gereja Timur yang mempunyai peranan penting dalam Kekristenan yang karena keyakinannyalah Konsili Nicea diadakan, ia adalah Arius. Arius yang berselisih dengan uksup Alexandria, dianggap menyimpang oleh pihak Gereja, meskipun pemikiran dia merupakan hasil dari pengkonsepsian ulang dari pemikiran Origen, dalam artian, ada hal-hal yang ia pertahankan dan ada pula yang ia perbaharui. Sama halnya dengan Origen, ia pun mempertahankan transendennya Allah dan lebih menekankan keesaan Allah daripada ketigaannya, dan ketika Origen mempertahankan kesamaan substansi antara ketiga oknum, Arius justru menolak kesamaan tersebut. Implikasi tersebut bisa kita ketahui dari adanya pengakuan iman Arius sebagai berikut:
“Kami mengaku satu Allah yang satu-satunya tidak diperanakkan, yang satu-satunya kekal, yang satu-satunya tanpa awal, yang satu-satunya benar, yang satu-satunya benar, yang satu-satunya tidak dapat mati, yang satu-satunya bijaksana, yang satu-satunya baik, yang satu-satunya Tuhan, yang satu-satunya hakim bagi semuanya. Allah ini tidak dilahirkan, tidak diciptakan, Ia ada dari kekal sampai kekal, Ia ada tanpa sumber, tetapi Ia sumber dari segala sesuatu yang ada. Allah yang adalah bapa ini keberadaan-Nya mutlak transenden dan mutlak kekal. Karena kekekalan dan ketransendenan-Nya ini, ia tidak dapat dibagi dan dikomunikasikan kepada pihak lain.”6
Dan pengakuan imannya Arius di atas, ternyata memiliki kemiripan dengan apa yang terdapat pada surat Al-Ikhlas ayat 1-4: Katakanlah (Muhammad) Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah tempat meminta segala sesuatu. (Allah) tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia.
    Terkait tentang Yesus, Arius meyakini bahwa Yesus adalah makhluk, makhluk pertama yang Allah ciptakan, dan makhluk yang paling tinggi dari semua makhluk. Tidak hanya itu, Arius pun meyakini pula bahwa Yesus tidak memiliki kekekalan, dan tidak memiliki pula substansi atau esensi yang sama dengan Allah.7 Sedangkan Anak atau Allah yang disematkan kepada Yesus Kristus merupakan tanda penghormatan dikarenakan ia bersama dengan Allah telah ikut serta dalam menciptakan alam semesta dan juga memberikan pelbagai anugerah. Meski Yesus diyakini oleh Arius telah menciptakan dunia, namun ia meyakini bahwa ada waktu tertentu dimana Kristus mengalami ketiadaan.8 Kristus, menurutnya, adalah Logos dan Hikmat Bapa, namun Yesus harus dibedakan olehnya sebagai Logos yang imanen di dalam Allah, yang Logos jenis tersebut telah menggantikan jiwa kemanusiaan dalam pribadi Yesus sehingga dia menjadi lebih bersifat dewata.9  

Hasil Keputusan Konsili Nicea
    Adanya penolakan atas Ketuhanan Yesus, sebenarnya tidak hanya terjadi pada Arius dan juga Monarkhianisme, melainkan terjadi pula pada Ebionisme10 dan Adopsionisme.11 Meski sebelumnya telah terjadi pertikaian di antara para pengikutnya Irenaeus dan juga Origen, ternyata kondisi tersebut tidak membuat pihak gereja untuk tergugah mengadakan suatu konsili dalam membahas kedua ajaran tersebut, apalagi sampai melahirkan suatu keputusan yang mengikat bagi semua gereja, namun lambat-laun gereja mulai merumuskan secara seksama atas apa yang terdapat pada Yesus, tetapi tetap saja pelbagai perbedaan yang ada telah mengakibatkan terjadinya pertengkaran di antara golongan Kristen yang mendukung pendapat dari para pemimpin golongannya masing-masing.12   
    Ketika Konstantinus Agung memerintah, dan mendapatkan kemenangan atas Maxentius dan juga mendapatkan bagian dari Timur Kerajaan Romawi, ia mendapatkan Gereja Timur sedang terlibat dalam suatu permasalahan yang kontroversi. Meski Konstantinus tidak mempunyai pengetahuan yang mendasar mengenai persoalan-persoalan yang sedang terjadi, namun ia merasa mempunyai wewenang untuk membereskan permasalahan yang terjadi di internal Kristen, dan keikutsertaan Konstantinus dalam mencampuri permasalahan internal Kristen, tidaklah mendapatkan penolakan dari pihak Kristen sendiri, karena menurut tradisi, Konstantinus dianggap sebagai peletak batu pertama dalam sejarah dan perkembangan agama Kristen yang dinilai telah bersikap toleran terhadap Kekristenan. Kala itu, orang Kristen cukup banyak di kerajaan Roma dan ia membutuhkan dukungan untuk melawan saingannya, yakni Maxentius. Ketika Kontantinus mendapatkan kemenangan atas Maxentius, maka kemenangannnya tersebut diyakini sebagai kemenangan yang luar biasa dari agama Kristen dalam melawan kekafiran, dan ia pun dilambangkan pula sebagai orang kafir yang berbalik menjadi penganut yang taat.13 Bahkan Eusebius sendiri dengan segala upayanya telah mencoba menafsirkan kultus kaisar kafir di dalam terminologi Kekristenan dan menyusunnya sebagai suatu ajaran, ia menggambarkan Kaisar Konstantinus sebagai ramalan atas kegenapan Alkitab, meski pengklaimannya tersebut pada akhirnya ditolak oleh Gereja Barat.14 Tentu saja, dari adanya sikap Konstantinus dalam menyikapi pertikaian yang terdapat di kalangan Gereja Timur, hal itu bisa dikatakan sebagai sikap politisnya Konstantinus dalam melindungi wilayah kekuasaannya agar senantiasa tercipta kondisi damai dan tentram, dan bukan berdasarkan pada nilai-nilai teologis yang ia yakini.
    Dari adanya campur tangan Konstantinus yang bersikap politis tersebut, akhirnya terwujud setelah ia memberikan surat undangan kepada para uskup untuk menghadiri konsili yang diadakan di Nicea (325 M), yang wilayahnya itu tidak jauh dari Laut Marmata, Asia Kecil. Di Nicea, kaisar telah menyediakan tempat penginapan bagi para uskup di dalam istananya itu. Di istana itulah diskusi berlangsung yang dihadiri oleh kaisar, dari adanya perubahan situasi yang semakin kondusif yakni adanya kedekatan antara pihak uskup dengan kaisar, justru kondisi demikian telah menyebabkan para uskup untuk berlomba-lomba mencari perhatian dan kesempatan untuk bisa lebih dekat lagi dengan kaisar dengan cara melakukan ketaatan kepadanya.15 Dari adanya kondisi tersebut, justru melahirkan konspirasi Konsili Nicea yang hal itu terbukti dari adanya pengaruh Konstatinus, yang menjadi ketua konsili dan sekaligus sebagai kaisar, beserta dengan penasehatnya telah merumuskan suatu rumusan tentang wujud Logos, yang dari adanya sikap tersebut diharapkan bisa memuaskan hati kebanyakan anggota yang hadir pada Konsili Nicea.16   
    Fokus Konsili Nicea ialah mematahkan pandangan Arius yang meyakini bahwa Logos tidaklah sepenuhnya Allah dengan cara memformulasikan kepenuhan Anak, dan memberikan penyisipan ke dalam Pengakuan Iman Rasuli atau Kredo Para Rasul, yakni sehakikat dengan Bapa. Adapun isi dari Pengakuan Iman atau Kredo Nicea (huruf yang diberi garis bawah merupakan kalimat tambahan) tersebut adalah sebagai berikut:17
“Kita percaya kepada satu Allah, Bapa yang Mahakuasa, pencipta segala-galanya yang kelihatan dan yang tidak kelihatan. Dan kepada satu Tuhan, Yesus Kristus, Anak Allah, yang dipernakkan dari Bapa selaku Anak-Nya yang Tunggal, yang dari hakikat Bapa, Allah dari Allah, Terang dari Terang, Allah sejati dari Allah sejati, yang diperanakkan, bukan dijadikan, sehakikat dengan Bapa, yang oleh-Nya segala sesuatu dijadikan, yaitu apa yang di surga dan yang di bumi. Yang demi kita manusia dan demi keselamatan kita, turun dan menjadi daging, menjelma menjadi manusia, menderita sengsara dan bangkit pula pada hari ketiga, naik ke surga dan akan datang untuk menghakimi orang yang hidup dan mati. Dan kepada Roh Kudus.”
Dan Pengakuan Iman Nicea ini ditambahkan dengan adanya anathema (kutukan), yang isinya sebagai berikut:
“Gereja mengutuki mereka yang mengatakan bahwa: pernah ada waktu di mana ia belum ada; sebelum ia diperanakkan, ia belum ada; dan ia diperanakkan dari yang tidak ada atau yang mengira bahwa Anak Allah adalah atau mempunyai hakikat lain, atau adalah diciptakan, akan dapat berubah atau menjadi lain.”
Selain menghasilkan kutukan bagi Arius dan juga kelompok lainnya yang dianggap sesat oleh gereja, Konsili Nicea pun menghasilkan pula pengakuan iman yang dikenal dengan Credo Nicea, meskipun dalam draft pengakuan imannya hanya memasukkan beberapa kalimat tambahan sebagai bentuk penekanan atas Ketuhanan Yesus. Gereja telah bergumul dengan keputusan konsili tersebut selama 60 atau 70 tahun lamanya yang kemudian dijadikannya sebagai milik gereja, dan sejak Konsili Nicea, kredo ini telah menjadi iman bagi semua orang Kristen, baik itu dari kalangan Gereja Ortodoks Yunani, Gereja Katolik Roma, dan juga Gereja-gereja dari pihak Protestan.18
    Terkait tentang bagaimana Pengakuan Iman Rasuli yang menjadi draft Credo Nicea tersebut bisa tersusun, ternyata dalam aspek historisnya yakni tentang kapan dan siapa yang menyusunnya, tidak ada kejelasan sama sekali. Menurut Kelly, versi tertulis yang paling awal kemungkinan berasal dari kredo Hyppolytus (215 M), yang credo tersebut tersusun dalam bentuk tanya-jawab. Lebih lanjut, Kelly menjelaskan bahwa Bapa-bapa Gereja seperti halnya Irenaeus, Tertullianus, Augustinus, dan para pemimpin gereja yang lainnya telah memiliki versi Pengakuan Iman Rasuli yang saling berbeda antara satu sama lainnya. Adapun Pengakuan Iman Rasuli yang paling mutakhir terdapat pada karyanya Caesarius dari Arles (542 M), namun bentuk final yang pada akhirnya diterima sebagai bentuk standar oleh Gereja Barat berasal dari Pirminius (750 M).19 Namun yang pasti, Credo Para Rasul bukanlah kredo yang disusun oleh 12 muridnya Yesus, melainkan pengakuan iman yang dinisbatkan kepada mereka yang diklaim sebagai ringkasan dari ajaran-ajaran para muridnya Yesus, dan Pengakuan Iman tersebut merupakan kredo yang telah dihasilkan dari adanya pergumulan gereja dengan pihak Gnostikisme dan juga Montanisme.20  
    Adapun isi atau draft dari Pengakuan Iman Rasuli tersebut, isinya adalah sebagai berikut:
“Aku Percaya kepada Allah, Bapa Maha Kuasa, Khalik langit dan bumi. Dan kepada Yesus Kristus, Anak-Nya yang tunggal, Tuhan kita, yang dikandung daripada Roh Kudus, lahir dari anak dara Maria, yang menderita sengsara di bawah pemerintahan Pontius Pilatus, disalibkan, mati dan dikuburkan, turun dalam kerajaan maut, pada hari yang ketiga bangkit pula dari antara orang mati, naik kesurga, duduk di sebelah kanan Allah, Bapa yang Maha Kuasa, dan dari sana ia akan datang untuk menghakimi orang yang hidup dan yang mati. Aku percaya kepada Roh Kudus; Gereja yang kudus dan am, persekutuan orang kudus; pengampunan dosa, kebangkitan orang mati, dan hidup yang kekal.”21
Dari Pengakuan Iman di atas, secara eksplisit tidak menyatakan apakah Allah itu adalah satu oknum ataukah tiga oknum.

Kesimpulan
    Dengan adanya campur tangan Konstantinus, tentu saja Kristen telah dipolitisasi oleh kaisar, yang keadaan demikian justru semakin membuktikan adanya konspirasi Konsili Nicea yang dilakukan oleh para uskup dalam menghasilkan suatu rumusan iman, yaitu Kredo Nicea. Sebagai penguasa dan sekaligus kepala pemerintahan, Konstantinus bisa dibilang seorang yang polos dalam mengenal teologi Kristen kala itu, ia tidak mengetahui apa yang menyebabkan Kristen saling bertikai. Pengetahuan yang ia dapatkan tentang Kekristenan, tentu saja ia mendapatkannya dari para uskup yang hadir pada konsili tersebut, yang secara mayoritas, semuanya menyetujui bahwa Arius adalah sesat. Jika sejak awal Konstantinus adalah seorang Kristen, tentu saja tidak akan ada isu yang bergulir tentang dirinya yang telah dibaptis di atas ranjang. Tidak hanya itu saja yang membuktikan adanya konspirasi Konsili Nicea, bukti yang paling kuat ialah adanya draft Pengakuan Iman Para Rasul yang dijadikannya sebagai bahan contekkan bagi Kredo Nicea. Sebelum Konsili Nicea diadakan oleh Konstantinus, apakah sejak awal ia telah mengetahui tentang keberadaan Pengakuan Iman Rasuli tersebut? Tentu saja tidak, terlebih pada waktu itu telah beredar Pengakuan Iman yang saling berbeda antara satu sama lain di kalangan Bapa Gereja, dan di sisi lain, ia sedang fokus bertikai dengan Maxentius.  
    Adanya perbedaan pandangan Arius dengan yang lain, bukanlah perbedaan yang pertama kali kala itu, karena sebelum adanya pandangan Arius, telah terjadi pertikaian antara pengikut Irenaeus dan juga Origen. Bahkan, pandangan Arius sebenarnya meneruskan pandangannya Origen, tidak hanya itu saja, secara substansial sebenarnya terdapat kesamaan pandangan antara Bapa Gereja yang satu dengan yang lainnya tentang Yesus, sebagaimana yang telah dibahas di awal. Namun mengapa Konstantinus mengadakan Konsili Nicea pada masa Arius? Selain telah mendapatkan kemenangan yang ia raih dari Maxentius, secara politis, ia ingin memperbaiki tatanan pemerintahan yang ia kuasai seiring telah bertambahnya wilayah kekuasaannya yang ia dapatkan dari Maxentius. Dan sejak awal, Konstantinus tidak ada minat sama sekali untuk menjadi seorang Kristen, dan jika sejak awal ia minat, tentunya pada saat itu ia telah dibaptis.

Catatan Kaki:
1. H. Berkhof-I.H. Enklaar, Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), hlm. 53.
2. Bernhard Lohse, Pengantar Sejarah Dogma Kristen: Dari Abad Pertama Sampai Dengan Masa Kini, terj. Dr. A.A. Yewangoe, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015), hlm. 56.
3. Linwood Urban, Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen, terj. Liem Sien Kie, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), hlm. 68-70.
4. Ichwei G. Indra, Jejak Juang Saksi Injil: Sejarah Gereja Umum dan Sejarah Gereja Indonesia, (Bandung: Mikhael Ministry, 2011), hlm. 45-46.
5. Budyanto, Mempertimbangkan Ulang Ajaran Tentang Trinitas, (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2001), hlm. 17.
6. Ibid., hlm. 26-27.
7. B.K. Kuiper, The Church In History, Terj. Desy Sianipar, (Malang: Gandum Mas, 2010), hlm. 36.
8. Joseph Ferry Susanto, Credo dan Relevansinya: Ulasan Komprehensif Rumusan Iman Kristiani, (Jakarta: Obor, 2014), hlm. 61.
9. Jonathan E. Culver, Sejarah Gereja Umum, (Bandung: Biji Sesawi, 2013), hlm. 120.
10. Ramly B. Lumintang, Teologi Keseimbangan Gereja (Antara Orthodoxy dan Orthopraxy), (Bandung: Pionir Jaya, 2015), hlm. 137.
11. Bambang Subandrijo, Yesus Sang Titik Temu Dan Titik Tengkar: Sebuah Studi Tentang Pandangan Kristen Dan Muslim Di Indonesia Mengenai Yesus, (Jakarta: BPK Gunung Mulia dan STT Jakarta, 2016), hlm. 21-22.
12. Robert R. Boehlke, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen: Dari Plato Sampai Ignatius Loyola, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), hlm. 99.
13. Michael Baigent, Richard Leigh, dan Henry Lincoln, The Messianic Legacy, terj. Ursula Gyani B, (Jakarta: Ramala Books, 2007), hlm. 63-64.
14. Saut Hamonangan Sirait, Politik Kristen Di Indonesia: Suatu Tinjauan Kritis, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), hlm. 162.
15. Bernhard Lohse, op.cit., hlm. 64.
16. H. Berkhof-I.H. Enklaar, op.cit., hlm. 54.
17. Linwood Urban, op.cit., hlm. 78-79.
18. B.K. Kuiper, op.cit., hlm. 37.
19. Bambang Subandrijo, op.cit., hlm. 24.
20. B.K. Kuiper, op.cit., hlm. 24.
21. Bambang Subandrijo, op.cit., hlm. 25.

Comments