Kekejaman Gereja Terhadap Para Ilmuwan
Oleh: Sang Misionaris.
Pendahuluan
Pandangan-pandangan Kristiani telah mengalami pergeseran paradigma. Pada zaman pertengahan, agama Kristen menjadi sentral bagi peradaban Barat, namun pada zaman modern, Kristen menjadi agama yang terpinggirkan. Jika di Abad Pertengahan, para teolog Kristen memodifikasi filsafat Yunani kuno supaya sesuai dengan teologi Kristen, maka pada abad ke-20, para teolog Kristen memodifikasi teologi Kristen supaya sesuai dengan peradaban Barat modern-sekuler. Mereka menegaskan, ajaran Kristiani harus disesuaikan dengan pandangan hidup sains modern yang sekuler.1 Dari adanya perubahan paradigma tersebut, tentu saja melahirkan pertanyaan yang cukup fundamental terhadap Kristianitas. Seperti apa dan bagaimana sikap gereja terhadap sains di masa lampau?
Relasi Antara Kristen Dan Sains
Sains yang merupakan warisan dari filsafat Yunani, dan Kristen yang telah di dominasi oleh doktrin harapan tentang turunnya kembali Yesus Kristus ke dunia, telah bersaing dalam memperebutkan otoritas kebenaran, yang pada masa sebelumnya, problematika tersebut masih belum mencuat kepermukaan.2 Kristen memiliki formulasi yang didasari pada keyakinan bahwa doktrin agama merupakan kebenaran yang mutlak dan tidak ada satu pun kekuatan yang memiliki otoritas rasional dalam mengendalikan berbagai aspek kehidupan, kecuali gereja,3 sedangkan bahan awal yang digunakan oleh Kristen dalam konsepsinya tersebut berasal dari berbagai warisan filsafat Yunani-Romawi.
Bagaimana pun, Kristen tidak bisa terlepas dari helenisasi, dan ketegangan yang terjadi antara Kristen dengan kebudayaan setempat merupakan suatu ketegangan yang tidak kunjung teratasi secara memuaskan, dikarenakan mereka sendiri adalah bagian dari kebudayaan tersebut. Melalui pertanyaan yang diajukan oleh Tertullianus, seorang teolog dari Afrika Utara yang hidup pada abad ke-3 M, mengimplikasikan adanya kesulitan pihak gereja dalam melepaskan diri dari jeratan intelektual paganisme, pertanyaannya itu ialah sebagai berikut:
“Apakah hubungan yang terdapat antara kota Athena dan Kota Yerusalem, antara akademi Yunani dan gereja? … Apakah ada sesuatu yang nyata sifat kesamaannya antara seorang filsuf dan seorang Kristen, antara seorang murid Yunani dan seorang murid sorgawi?”
Sebagai gantinya dalam mempelajari karya Yunani-Romawi, maka ia lebih senang terhadap orang-orang Kristen yang membaca Perjanjian Baru saja, dan tidak bersimpati pada usaha yang dilakukan oleh orang-orang Kristen dalam menemukan hubungan yang positif antara iman Kristen dengan gagasan dari kaum filsuf Yunani. Adanya sikap prihatin Tertullianus tersebut, menggambarkan tentang bagaimana helenisasi memiliki pengaruh yang sangat kuat bagi Kekristenan, dan signifikansi terhadap Kekristenan dinilai sebagai hal yang negatif bagi Tertullianus, meskipun ia sendiri tidak mampu untuk menahan lajunya helenisme untuk tidak masuk ke ranah Kekristenan. Kondisi demikian, tidak hanya dilihat oleh Tertullianus, melainkan dilihat pula oleh Kristen lainnya meski memberikan jawaban yang lain, orang tersebut ialah Hieronimus dari kota Antiokhia. Sebagai seorang yang hidup pada abad ke-4 M, ia tertarik sekali terhadap karya Yunani dan Romawi. Minatnya yang sedemikian kuatnya pada karya Yunani dan Romawi, telah membuat dirinya membanding-bandingkan dengan apa yang terdapat di dalam Alkitab, menurutnya, bila dibandingkan dengan karya dari orang kafir, Alkitab tentu jauh lebih rendah mutunya dan kurang cukup kuat untuk mendorong pemikiran yang mendalam.4
Berpijak dari adanya informasi di atas, sejak awal sebenarnya para pemikir Kristen telah mengambil bahan dari berbagai warisan yang dianggapnya cocok, misalnya, warisan dari ajaran Plato yang dilanjutkan oleh Plotinus, sedangkan ajaran dari Aristoteles yang diambilnya adalah logika, yaitu metode deduksi logis yang berguna untuk membangun argumen-argumen teologisnya, yang dari adanya formulasi itulah, maka argumen Trinitas dan keutamaan jiwa daripada fisik serta pembacaan spiritual atas segala realitas alam fisik, penciptaan jagad raya serta struktur kosmos yang berpusat pada bumi, ditegaskan. Secara umum, filsafat sebagai induk pengetahuan akan diakui kebenarannya jika sesuai dengan paham yang dianut oleh gereja dan segala bentuk pengetahuan dipakai untuk menguatkan keyakinan yang dianutnya. Pada masa Augustinus dan puncaknya pada masa Thomas Aquinas, teologi Kristen mengalami penjelasan secara filosofis sehingga filsafat Abad Pertengahan yang dikenal dengan nama Ancilla Theologiae, di mana filsafat harus mengabdi kepada teologi untuk menguatkan, memberikan penjelasan logis dan membuang segala yang tidak sesuai.5
Dan secara historis, sikap tebang pilih Kristen terhadap filsafat, secara eksplisit telah dinyatakan oleh Basil (330-379), yang melalui nasehatnya itu ia menyampaikan sebagai berikut:
“Inilah nasehat saya. Sebaiknya anda jangan menyerahkan akal anda kepada para pengarang kafir tanpa syarat, seperti suatu kapal yang taat pada kemudinya sehingga mengikuti kecondongannya ke kiri-kanan. Sebagai gantinya, terimalah hal-hal apa saja yang berharga di dalamnya, sementara perhatikan apa saja yang lebih bijaksana apabila diabaikan …”6
Dari nasehatnya tersebut, Basil telah menyarankan agar orang Kristen untuk bersikap bijak terhadap karangan yang disusun oleh para pengarang kafir sebagai persiapan menangkap isi Alkitab itu sendiri, tentu saja dengan sarannya itu ia telah menyarankan Kristen lain untuk menyerap menyerap hasil karya kafirjika apa yang dihasilkannya itu memberikan dukungan atas apa yang terdapat di dalam Alkitab, dan mengabaikan hal-hal yang tidak selaras dengan Alkitab.
Ketika Kristen telah mengambil bahan dasarnya dari filsafat Yunani-Romawi, namun dalam perkembangan selanjutnya, telah terjadi persaingan yang ketat antara gereja dan filsafat Yunani dalam memperebutkan otoritas kebenaran, misalnya, sebagaimana yang yang terjadi pada teori kosmologi. Bagi kelompok Literal Kristen, penganut metode literalisme, ayat-ayat Alkitab tentang alam semesta haruslah diartikan secara literal, bahkan lebih dari itu, dasar-dasar kosmologi harus diambil dari Alkitab. Misalnya, konsep air adalah di atas tanah atau udara, yang bertentangan dengan prinsip dasar Aristotelian yang menyatakan bahwa alam telah menempatkan air di bawah udara, api, dan benda-benda langit, maka teks Alkitab harus dimenangkan atas konsep filsafat kafir Aristotle. Bahkan pada abad ke-6 M, penulis Kosmas Indikopleuste telah menyusun konsep ekstrem bahwa bumi itu datar yang konsepsi tersebut berpijak pada ayat-ayat Alkitab, seperti halnya pada Yakub 38:13 dan Wahyu 7:1.7
Pada saat ilmu pengetahuan diikat oleh doktrin agama Kristen yang bersifat tertutup dan jauh dari karakter dialogis, tentunya kondisi demikian akan melahirkan adanya suatu konflik. Ketika konflik tersebut terjadi, tentu saja tradisi Yunani yang awalnya kritis sekaligus dialektik, akan sirna. Tidak hanya itu, kondisi tersebut akan semakin bertambah parah ketika Kristen pada akhirnya harus kembali lagi kepada mitologi, di mana kondisi itu pernah mengalami kejayaannya pada masa pra-Socrates, Plato, dan juga Aristoteles, yang mengakibatkan dunia mengalami kembali masa kegelapan yang masyarakatnya dikalahkan oleh adanya mite-mite.8
Pembunuhan Para Ilmuwan Yang Dilakukan Oleh Gereja
Yunani kuno memiliki peran penting dalam melakukan proses perubahan paradigma berfikir manusia dari sesuatu yang mistik ke dunia ilmu. Pada masa Yunani kuno telah terjadi pembuatan rumus sekaligus konsep yang secara perlahan mampu mengubah peta mistik yang penuh khayalan dan imajinatik, ke dunia logika dan faktual yang rasional, konkret dan terukur. Para filosof besar Yunani kuno seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles, mampu membalikkan mitos dan atau mistik menjadi ilmu. Harus diakui bahwa mite dapat menjadi perintis lahirnya filsafat, karena dengan adanya mite, manusia mampu melakukan percobaan untuk mengerti tentang sesuatu secara filosofis-spekulatif. Mite, tidak hanya memberikan jawaban tentang adanya asal-usul dunia dan juga manusia, melainkan dapat mencari pula keterangan tentang asal-usul alam semesta dan kejadian yang berlangsung di dalamnya. K. Bertens menyebutkan bahwa aspek mite jauh lebih penting dan lebih besar pengaruhnya bagi lahirnya sejumlah filosof dan juga karyanya. Dan pendapat demikian, diakui pula oleh Nurcholis Majid yang menyatakan bahwa semakin banyak mite dalam suatu negeri atau suatu komunitas masyarakat, maka akan semakin besar pula kecenderungan suatu negara atau komunitas masyarakat untuk melahirkan sejumlah filosof dan karya filosofisnya.9
Adanya dominasi otoritas kebenaran oleh gereja, pada akhirnya melahirkan persaingan antara ilmu pengetahuan dengan agama Kristen yang berlanjut pada tindak kekerasan, dan juga pembunuhan para ilmuwan oleh gereja, sebagaimana yang terjadi kepada Hypatia, seorang ilmuwan perempuan yang berparas cantik, pada tahun 415 M, dan berlanjut pada pembakaran perpustakaan Iskandaria. Buku Aristarchus yang menyatakan bahwa bumi hanyalah salah satu planet yang mengelilingi matahari, yang baru ditemukan kembali 20 abad kemudian, tersimpan pula di perpustakaan tersebut, dan tindakan itu justru mendapatkan apresiasi dari gereja. Tindak kekerasan yang dilakukan oleh Cyril, seorang uskup Iskandariyah, yang telah memerintahkan pembakaran terhadap perpustakaan Iskandariyah, ternyata kebiadabannya itu dilanjutkan oleh Justinianus. Tepatnya pada tahun 529 M, Justinianus memerintahkan penutupan pusat-pusat belajar ilmu pengetahuan termasuk academy peninggalan Plato yang telah berdiri sejak 387 SM.10
Ilmuwan pertama yang dibunuh oleh gereja adalah Hypatia. Ia menolak lamaran dari setiap laki-laki bangsawan Kristen, ia menolaknya karena menganggap bahwa pernikahan berbau unsur duniawi yang tentu saja akan menganggu aktivitas dirinya yang telah menghabiskan waktunya diperpustakaan. Waktunya dihabiskan sepenuhnya diperpustakaan sebagai bentuk pengabdian dirinya kepada pengembangan ilmu. Namun sialnya, ia dituding oleh gereja sebagai orang yang hendak dan bercita-cita mempertahankan paganisme. Oleh karena itu, ia pun dibunuh dalam suatu perjalanan menuju perpustakaan. Ia dicegat oleh segerombolan kaum gerejawan dan diturunkan dari kereta kudanya. Ia dibunuh dan dikelupas dagingnya, tidak hanya itu, tulang-tulangnya pun dibakar dan karyanya pun dihancurkan. Namun ironisnya, pembunuhan terhadap Hypatia yang dilakukan atas perintah Cyril, justru mendapatkan kehormatan dari gereja sebagai orang suci atau santo.11
Suatu hal yang memprihatinkan atas apa yang telah dilakukan oleh Kristen terhadap para ilmuwan. Awalnya, Kristen sebagai korban penganiayaan dan kebiadaban dari suatu zaman, namun dengan seiring waktu berjalan, justru Kristen berubah menjadi sekelompok manusia yang melakukan pembunuhan dan tindak kekerasan yang disebabkan karena adanya perbedaan antara sains dengan doktrin gereja. Perubahan yang paling pertama kali muncul dalam peradaban manusia adalah beralihnya dunia mitos ke dunia logos, kondisi itu disebut oleh Thomas S. Khun sebagai perubahan besar dalam kehidupan umat manusia, dan tanpa pernah ada perubahan paradigma ini, sulit sekiranya untuk memprediksi wajah dunia yang saat ini ada. Ketika terjadinya proses perubahan paradigma, menurut Khun, selalu meminta korban, dan korban paling pertama tentu saja paradigma yang ada dan telah mapan sebelumnya, karena tanpa bisa mematikan paradigma sebelumnya, maka paradigma baru tentu tidak akan mungkin lahir. Contoh konkret tentang paradigma yang dimaksud ialah teori geosentris, di mana teori tersebut telah tergantikan dengan adanya teori heliosentris yang telah dikembangkan sebelumnya oleh Copernicus dan Galileo Galilei.12 Melalui teleskopnya, Galileo menjelaskan tentang alam semesta dan tentu saja penemuannya tersebut membuat geger dan pihak yang kebakaran jenggot adalah gereja. Dan sebagaimana analisa Khun di atas, gereja termasuk pihak yang tidak mampu mematikan paradigma sebelumnya yang berasal dari Ptolemeus, dari adanya ketidakmampuan gereja itulah, akhirnya gereja pun meneruskan paradigma sebelumnya, yang dalam prosesnya itu telah memakan korban, diantaranya adalah Galileo, Bruno, dan lain-lain.13
Selain Copernicus yang dianggap sebagai seorang bidat oleh gereja, akhirnya tuduhan itu pun dinisbatkan pula kepada Galileo Galilei. Galileo dicerca dan ditempatkan di dalam rumah tahanan selama 7 tahun sampai akhirnya ia digantung.14 Giordano Bruno mengalami nasib yang lebih buruk dari keduanya, ia di diburu oleh inkuisisi di Italia, dan berdasarkan fakta historis, Bruno pun termasuk salah seorang ilmuwan yang telah dibunuh dan disiksa oleh gereja. Bruno menyembunyikan dirinya di berbagai negara Eropa, dan setelah memburunya terus-menerus, inkuisisi akhirnya menangkap Bruno di Venice, Italia. Dia dikurung selama 6 tahun lamanya, tanpa buku, kertas dan teman. Pihak otoritas gereja memindahkannya Bruno dari Venice ke Roma, dan ia dituduh murtad. Tuduhan khusus kepadanya ialah bahwa dia telah mengajarkan, terdapat pluralitas dunia, dan setelah ia dipenjara selama 2 tahun lamanya, akhirnya dia dituduh bersalah dan dibakar hidup-hidup.15
Tidak saja tentang kosmologi yang dinilai bertentangan dengan gereja, adanya perkembangan ilmu kedokteran seperti halnya pembedahan terhadap mayat pun, Kristen melakukan perlawanan. Augustinus telah menuduh para anatomis sebagai jagal, dan ia mengecam pembedahan terhadap mayat tersebut secara tegas, dikarenakan adanya ketakutan yang secara umum bahwa merusak satu mayat akan menimbulkan rasa takut yang tidak terbayangkan di mana seluruh jasad kelak akan dibangkitkan. Dari argumen ini, gereja menambahkan satu argumen lagi: “gereja membenci penumpahan darah.” Pandangan tersebut ternyata kontras ketika di waktu tertentu, gereja melakukan pembakaran terhadap ribuan manusia yang dianggapnya sebagai seorang bidat, dan para penyeru takhayul di kalangan mereka menyarankan untuk tidak terlalu membenci penumpahan darah, jika hal tersebut demi kepentingan agama. Contoh lain yang membuktikan rendahnya pemahaman Kristen terhadap sains pun nampak dari adanya keyakinan Kristen tentang datangnya badai. Badai diyakini oleh Kristen sebagai akibat dari adanya perbuatan setan, dan untuk melawan kekuatan itu, maka dipergunakanlah berbagai cara untuk melakukan pegusiran setan, yang paling umum ialah pengusiran setan yang dipimpin oleh Paus Gregorius XIII. Pada masa awal, pengusiran tersebut dilakukan dengan cara membacakan berbagai mantra dan membunyikan genta gereja selama badai berkecamuk, sedangkan pada abad ke-15 M, adanya sebuah keyakinan bahwa ada wanita-wanita tertentu yang meminta bantuan makhluk dari neraka, yang menyebabkan angin puyuh, banjir, dan lain-lain.16
Adanya benturan antara sains dan Kristen yang terjadi pada Abad Pertengahan Eropa, yang zaman itu dikenal sebagai Abad Pertengahan Eropa atau Abad Kegelapan Eropa, di mana kasus-kasus serupa pun masih terus berlanjut pada zaman pencerahan, yang orang Eropa menyebut zaman tersebut dengan zaman renaissance, yang artinya zaman kelahiran kembali. Selama ratusan tahun, mereka merasa bahwa mereka telah mati dikarenakan hidup di bawah cengkeraman otoritas gereja, maka karena hal itulah, pada zaman pencerahan mereka melakukan revolusi besar-besaran terhadap berbagai pemikiran tentang kehidupan, termasuk terhadap konsep keagamaan, yang inti dari zaman pencerahan itu adalah zaman dimana merebaknya paham sekularisme, humanisme, dan liberalisme. Dari adanya keinginan untuk membebaskan diri dari kungkungan otoritas gereja yang telah menyalahgunakan wewenang atas nama Tuhan, maka mereka pun berupaya untuk mengembalikan pengertian teks Alkitab kepada konteks historis dan kondisi penulisnya. Oleh karena itu, perkembangan hermeneutika dalam tradisi Alkitab di kalangan Barat modern, tidak dapat dipisahkan dari adanya sejarah trauma peradaban Barat terhadap gereja, di tambah lagi banyaknya problematika teks Alkitab itu sendiri.17
Lalu, mengapa gereja begitu keras kepala dan menyerang secara mati-matian terhadap orang-orang yang mempunyai gagasan baru? Pervez Hoodbhoy berusaha memberikan analisisnya sebagai berikut, bahwa:
1. Seluruh tatanan sosial dijelaskan berlandaskan observasi literal terhadap aturan-aturan khusus yang dipaparkan oleh gereja. Ada satu aturan untuk setiap sesuatu, dari ibadah yang bersifat ritual sampai makanan, minuman, perkawinan dan seks. Kristen Abad Pertengahan adalah suatu aturan hidup yang lengkap.
2. Aturan-aturan ini - dan kemampuan gereja untuk memberlakukannya – tergantung pada penerimaan total dan membuta atas dogma-dogma gereja.
3. Penolakan salah satu dari aturan-aturan ini, apakah oleh sains atau bukan, - dengan adanya kekakuan dogma – dapat menimbulkan keruntuhan dan disintegrasi seluruh tatanan sosial.
4. Jadi, sains dan pemikiran bebas adalah suatu ancaman dan mesti dilarang.18
Kesimpulan
Suatu hal yang sangat beralasan, jika para teolog atau pihak Barat yang identik dengan Kristen, untuk meninggalkan ajaran Kristen yang pernah menjadi kompasnya kehidupan mereka. Tidak adanya dukungan yang konkret dari gereja, dan bahkan segala penemuan sains dinilai bertentangan dengan doktrin gereja, yang pada akhirnya melahirkan inkuisisi bagi para saintis, telah membuat mereka jengah dengan apa yang mereka alami selama ratusan tahun lamanya. Karena adanya ketidakmampuan ajaran Kristen untuk selaras dengan sains, akhirnya pihak saintis menjadi korban kekejaman gereja, dan setelah mereka melepaskan diri dari kungkungan otoritas gereja, akhirnya ajaran Kristen pun diperkosa supaya bisa sesuai dengan peradaban Barat. Dan jika sejak awal, gereja mampu membedakan mana ajaran paganisme dengan sains, tentunya ajaran Kristen tidak akan mengalami perombakan oleh pihak insider.
Catatan Kaki:
1. Adian Husaini, et.al, Filsafat Ilmu: Perspektif Barat dan Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2013), hal 11-12.
2. Ach. Maimun Syamsuddin, Integrasi Multidimensi Agama dan Sains, (Yogyakarta: Ircisod, 2012), hlm. 49.
3. Abdul Waid, Menguak Fakta Sejarah: Penemuan Sains dan Teknologi Yang Diklaim Barat, (Yogyakarta: Laksana, 2014), hlm. 20.
4. Robert R. Boehlke, Sejarah Perkembangan Pikiran Dan Praktek Pendidikan Agama Kristen: Dari Plato Sampai Ignatius Loyola, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), hlm. 87-88.
5. Ach. Maimun Syamsuddin, op.cit., hlm. 50-51.
6. Robert R. Boehlke, op.cit., hlm. 89-90.
7. Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen Ke Dominasi Sekular-Liberal, (Jakarta: Gema Insani, 2005), hlm. 294-295.
8. Cecep Sumarna, Filsafat Ilmu: Dari Hakikat Menuju Nilai, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2006), hal 13-14.
9. Cecep Sumarna, Filsafat Ilmu, (Bandung: Mulia Press, 2008), hlm. 15-16.
10. Ach. Maimun Syamsuddin, op.cit., 51-52.
11. Cecep Sumarna, op.cit., hlm. 27-28.
12. Cecep Sumarna, Rekonstruksi Ilmu: Dari Empirik-Rasional Ateistik Ke Empirik-Rasional Teistik, (Bandung: Benang Merah Press, 2005), hlm. 56-57.
13. G. Tulus Sudarto, Pemikir-Pemikir Bandel: Daftar Hitam Gereja Katolik, (Jakarta: Fidei Press, 2009), hlm. 1-2.
14. Charles Kimball, Kala Agama Jadi Bencana, terj. Nurhadi, (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 67.
15. Adian Husaini, Islam Liberal, Pluralisme Agama dan Diabolisme Intelektual, (Surabaya: Risalah Gusti, 2005), hlm. 140-141.
16. Pervez Hoodbhoy, Islam dan Sains: Pertarungan Menegakkan Rasionalitas, (Bandung: Pustaka, 1997) hlm. 31 dan 33.
17. Adian Husaini, op.cit., hlm. 297; 302-303.
18. Pervez Hoodbhoy, op.cit., hlm. 28-29.
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.(QS Al-Mumtahanah: 8 - 9)
ReplyDeleteDan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.(QS Al-An'am: 108)
ReplyDeleteLol, ksian Mau Nyerang Islam tapi malah terbully :P
ReplyDelete