Menelusuri Sejarah Astronomi Islam

Oleh: Sang Misionaris.

Pendahuluan
    Satu hal yang pasti, banyak ayat-ayat di dalam Al-Quran yang telah menjelaskan tentang ilmu astronomi dan juga kosmologi, yang pada akhirnya, ayat-ayat tersebut sebagai tolok ukurnya para astronom Muslim dalam melakukan penelitian. Keberhasilan sains kaum Muslimin, tidaklah terlepas dari adanya sikap mereka yang telah mentadabburi Al-Quran, yang pada akhirnya mereka pun mendapatkan pencerahan dan berupaya melakukan pelbagai percobaan yang sekaligus sebagai bentuk pengujian atas apa yang telah diinformasikan di dalam Al-Quran (astronomi berbasis Al-Quran). Karena jika akal tidak diarahkan oleh Al-Quran, tentunya tidak akan terarah, namun, jika Al-Quran tidak dipadukan dengan akal, maka tidak akan mungkin mereka melakukan sebuah penelitian atas apa yang telah Allah sampaikan di dalam Al-Quran. Siapakah para astronom Muslim yang penelitiannya tersebut bermanfaat bagi dunia modern?  
Ilmu Astronomi dan Kosmologi Berbasis Al-Quran
    Bintang memiliki berbagai bentuk dan ukuran, namun bintang yang kelihatannya kecil sebenarnya merupakan benda luar angkasa yang sangat besar dan memiliki sumber energi tersendiri. Jaraknya yang begitu jauh, hanya terlihat bagaikan setitik cahaya. Jika dalam satu detik cahaya menempuh jarak sejauh 300.000 km, maka dalam satu jam saja cahaya sudah menempuh sejauh 1.080.000.000 km (3.600 detik x 300.000 km/detik). Bayangkan berapa jauhnya letak bintang dari bumi yang ditempuh selama ribuan tahun cahaya. Perjalanan cahaya bintang menembus ruang angkasa telah diterangkan oleh Allah dalam Al-Qur'an pada Qs. 86:3, yaitu: النَّجْمُ الثَّاقِبُ, “(Yaitu) bintang yang cahayanya menembus.” Kata ats-tsaqib berasal dari kata tsaqaba, artinya menembus atau melubangi, dan berdasarkan pengertian tersebut, maka makna kata dalam Qs. 86:3, yaitu bintang yang cahayanya menembus langit.
    Dalam Surat Ath-Thariq, dimulai dengan menerangkan tentang bintang yang disebut pulsar, yakni pada Qs. 86:1. Kata ath-thariq berasal dari kata tharaqa, yang artinya mengetuk atau memukul sesuatu sehingga menimbulkan suara. Sebuah pulsar adalah bintang netron yang berputar dengan cepat sehingga memancarkan radiasi dalam bentuk pulsar dengan periode tertentu. Pulsar merupakan gelombang radio yang pertama kali dideteksi pada tahun 1967 oleh Jocelyn Bell-Buernell dan Anthony Hewish. Dan untuk mendapatkan penjelasan yang lebih rinci bisa dibaca dalam J.A. Angelo, Encyclopedia of Space and Astronomy, pada halaman 475. Sementara itu, keterangan mengenai adanya lintasan edar bintang telah dijelaskan dalam Qs. 56:75-76, yakni: “Lalu Aku bersumpah dengan tempat beredarnya bintang-bintang. Dan sesungguhnya itu benar-benar sumpah yang besar sekiranya kamu mengetahui.” Pengertian sumpah yang besar pada ciptaan-Nya, tentu memiliki makna tersendiri. Dan surat tersebut bisa ditafsirkan bahwa pada saat Al-Quran diturunkan, manusia tidak mengetahui adanya bintang dan garis edarnya yang sangat besar.
    Tidak hanya itu, Al-Quran pun menerangkan pula tentang adanya gugusan bintang dan matahari yang memiliki cahaya sendiri (siraj), serta bulan yang memantulkan cahaya (munir). Pada saat ini, matahari memiliki sumber energi sendiri dan merupakan bola api raksasa yang memancarkan cahaya seperti layaknya obor. Sementara itu, bulan nampak bercahaya karena memantulkan cahaya matahari, dan hal itu telah Allah singgung jauh-jauh hari pada Qs. 25:61: “Maha Suci Allah yang menjadikan di langit gugusan bintang-bintang dan Dia juga menjadikan padanya matahari dan bulan yang bersinar.” Dan keterangan tentang adanya bulan sebagai cahaya dan matahari sebagai pelita atau sumber cahaya pun telah dinyatakan pula oleh Allah di dalam Qs. 71:16, yakni: “Dan di sana Dia menciptakan bulan yang bercahaya dan menjadikan matahari sebagai pelita.”
    Pada zaman dahulu, orang menganggap bahwa bumi ini bentuknya datar, misalnya Kristen, yang telah berpijak pada ayat-ayat Alkitab, seperti halnya pada Yakub 38:13 dan Wahyu 7:1. Dan tentang hal tersebut, telah disinggung di artikel ini. Al-Quran, telah menerangkan bahwa bumi memiliki bentuk yang bulat lonjong seperti halnya telur, yang hal itu telah dinyatakan pula dalam Qs. 79:30, dan ayat itu pun terkait pula dengan ayat sebelumnya, yakni ayat 29: “Dan Dia menjadikan malamnya (gelap gulita), dan menjadikan siangnya (terang benderang). Dan setelah itu bumi Dia hamparkan.” Kata ‘daha’ memiliki makna ganda, yakni: datar dan luas, dan juga pembentukannya bergulung (bulat). Dalam Rohi Baalbaki, Al-Maurid: A Modern Arabic-English Dictionary, edisi ke -7 (Beirut: Dar Al-‘Ilm li Al-Malayin, 1995) bahwa kata daha artinya menyebar, sedangkan dahdaha artinya bulat.

Astronomi Dalam Islam
    Astronomi, menempati posisi yang istimewa dalam kehidupan manusia, karena sejak dulu, manusia terkagum-kagum memandang kerlap-kerlipnya bintang dan pesona langit yang begitu luar biasa, dan sebagai salah satu ilmu pengetahuan tertua dalam peradaban manusia, astronomi kerap kali dijuluki sebagai “ratu sains”. Jejak astronomi tertua dapat ditemukan dalam peradaban bangsa Sumeria dan Babilonia yang tinggal di Mesopotamia (3500-3000 SM), yang kala itu, bangsa Sumeria hanya menerapkan bentuk-bentuk dasar astronomi dan membagi lingkaran menjadi 360 derajat. Astronomi tidak hanya dikenal oleh bangsa Sumeria, melainkan sudah dikenal pula oleh masyarakat India dan juga Cina kuno, sedangkan pembahasan tentang astronomi pada bangsa Yunani kuno, di awali dengan adanya ketertarikan Thales yang mengawalinya sekitar abad ke-6 M.
    Pada abad ke-3 M, Aristachus sempat melontarkan teorinya bahwa bumi bukanlah pusat alam semesta, namun sayangnya, teorinya tersebut tidak mendapatkan tempat di zamannya. Era astronomi klasik akhirnya ditutup oleh Hipparchus pada abad ke-1 SM yang melontarkan adanya teori geosentris, dan teorinya tersebut akhirnya disempurnakan oleh Ptolomeus pada masa abad ke-2 M. Jadi, bukan saja permasalahan teologis Kristen mengalami helenisasi, pembahasan astronomi pun gereja terpengaruh pula oleh bangsa Yunani. Hingga beberapa abad lamanya, gereja secara konsisten memegang teguh teori Ptolomeus, meski pada akhirnya gereja mengakui bahwa apa yang diyakininya selama itu adalah salah. Dan pembahasan tersebut, telah disinggung pula di artikel ini.
    Setelah runtuhnya kebudayaan Yunani dan Romawi, maka pada akhirnya kemajuan astronomi berpindah ke pada bangsa Arab, melalui kejayaan Islam, astronomi mengalami kemajuan yang sangat signifikan. Salah satu bukti dan adanya pengaruh astronomi Islam yang sangat signifikan ialah adanya penamaan bagi sejumlah bintang yang menggunakan bahasa Arab, seperti Adebaran dan Altair, Alnitak, Alnilam, dan lain-lain. Selain itu, astronomi Islam pun mewariskan pula beberapa istilah dalam ‘ratu sains’ yang hingga kini masih digunakan, seperti alhidade, azimuth, almucantar, almanak, denab, dan lain-lain. Kumpulan tulisan tentang astronomi hingga kini masih tersimpan dan jumlahnya mencapai 10.000 manuskrip.
    Sejumlah ahli dari astronom Muslim pun bermunculan, seperti Nashiruddin at-Tusi yang telah berhasil memodifikasi model semestanya episiklus Ptolomeus dengan prinsip-prinsip mekanika untuk menjaga keseragaman rotasi benda-benda langit. Selain ahli matematika dan juga astronomi, Al-Khawarizmi, telah membuat tabel-tabel untuk digunakan dalam menentukan saat terjadinya bulan baru, terbit dan terbenamnya matahari, planet, dan memprediksi datangnya gerhana. Seorang astronom Muslim lainnya adalah Al-Batanni, melalui dirinya, ia telah banyak melakukan pengoreksian terhadap perhitungannya Ptolomeus mengenai orbit bulan dan planet-planet tertentu. Tidak hanya itu, ia pun membuktikan adanya kemungkinan gerhana matahari tahunan dan menghitung secara akurat sudut lintasan matahari terhadap bumi. Karya fenomenal al-Batanni, akhirnya diterjemahkan oleh pihak Barat dan buku “De Scienta Stelarum De Numeris Stellarum”, hingga kini masih tersimpan di Vatikan.
    Perkembangan tentang sejarah dunia astronomi Islam pun tidak terlepas dari adanya karya al-Haitham, Mizan al-Hikmah, yang melalui bidang optik, ia telah mengupas tentang adanya kerapatan astmosfer. Al-Haitham telah mengembangkan teori mengenai hubungan antara kerapatan atmosfer dan ketinggiannya, dari adanya hasil penelitiannya tersebut, akhirnya ia pun menyimpulkan bahwa ketinggian atmosfer akan homogen bila mencapai ketinggian sekitar 50 mil. Teori yang dikemukakan oleh Ibn Asy-Syatir tentang bumi mengelilingi matahari, ternyata telah menginspirasi Copernicus, ia pun akhirnya dimusuhi oleh gereja dikarenakan apa yang ia yakini telah bertentangan dengan doktrin gereja.

Para Astronom Muslim: Nama dan Jasanya Bagi Dunia
    Kristen meyakini, bahwa Alkitab merupakan Firman Tuhan, yang melalui peran Roh Kudus, para penulisnya diyakini tidak mungkin mengalami kesalahan sedikit pun atas apa yang ditulisnya. Namun ironisnya, Alkitab yang mereka yakini sebagai Firman Tuhan, ternyata tidak mampu mendorong mereka untuk berpikir kritis dan mengembangkan ilmu pengetahuan, selain hanya menjadi pengekor terhadap bangsa pagan, yakni bangsa Yunani-Romawi. Namun lain halnya bagi kaum Muslimin, apa yang mereka dapatkan selama ini, mereka kritisi dan mengembangkan atas apa yang mereka ketahui yang pada akhirnya bisa bermanfaat bagi manusia di kemudian hari. Selain tokoh astronomi Islam yang telah disinggung di atas, ada pula para astronom Muslim lainnya yang telah memberikan kontribusi bagi dunia astronomi, yaitu:
  1. Al-Sufi (903-986 M). Pihak Barat menyebutnya dengan nama Azophi, yang nama lengkapnya ialah Abdur Rahman as-Sufi. Dia merupakan sarjana Muslim yang telah mengembangkan astronomi terapan yang telah memberikan berkontribusi besar dalam menetapkan arah laluan bagi matahari, bulan, dan planet, serta pergerakan matahari. Dalam kitab al-Kawakib as-Sabitah al-Musawwar, Azhopi menetapkan ciri-ciri bintang, memperbicangkan kedudukan bintang, jarak dan warnanya. Tidak hanya itu, ia pun menulis pula mengenai astrolabe yakni perkakas kuno yang biasa digunakan untuk mengukur kedudukan benda kangit pada bola langit, dan seribu satu cara penggunaannya.
  2. Al-Biruni (973-1050 M). Ahli astronom yang satu ini telah memberikan sumbangan dalam bidang astrologi pada zaman Renaissance. Dia menyatakan bahwa bumi berputar pada porosnya. Di zamannya, al-Biruni pun telah melakukan perkiraan atas ukuran bumi dan membetulkan arah kota Mekkah secara saintifik dari berbagai arah di dunia. Dari 150 hasil buah pikirannya, 35 diantaranya didedikasikan untuk bidang astronomi.
  3. Ibnu Yunus (1009 M). Sebagai bentuk pengakuan dunia astronomi terhadap kiprahnya itu, namanya telah diabadikan pada sebuah kawah di permukaan bulan. Salah satu kawah di permukaan bulan ada yang dinamakan Ibnu Yunus. Dia telah menghabiskan masa hidupnya lebih dari 30 tahun lamanya hanya untuk memperhatikan benda-benda di angkasa. Dengan menggunakan astrolabe yang besar, hingga berdiameter 1,4 meter, Ibnu Yunus telah membuat lebih dari 10.000 catatan mengenai kedudukan matahari sepanjang tahun.
  4. Al-Farghani. Nama lengkapnya adalah Abu’l-Abbas Ahmad ibn Muhammad ibn Kathir al-Farghani. Dia merupakan salah seorang sarjana Muslim di bidang astronomi yang amat dikagumi pada masa Khalifah al-Ma’mun, ia telah menulis mengenai astrolabe dan menerangkan mengenai teori matematika di balik penggunaaan peralatan astronominya itu. Adapun kitab yang paling populernya tentang kosmologi adalah Fi Harakat al-Samawiyah Wa Jaamai Ilm al-Nujum.
  5. Al-Zarqali (1029-1087 M). Para saintis Barat mengenalnya dengan panggilan Arzachel. Wajah al-Zarqali telah diabadikan pada setem di Spanyol sebagai bentuk penghargaan kepadanya terhadap penciptaan astronomi yang lebih baik. Dia telah menciptakan jadwal Toledan, dan juga seorang ahli yang telah menciptakan astrolabe yang lebih kompleks bernama Safiha.
  6. Jabir Ibnu Aflah (1145 M). Ibn Aflah atau Geber sejatinya adalah seorang matematik Muslim yang berasal dari Spanyol. Jabir, telah ikut memberikan warna dan juga kontribusi bagi perkembangan ilmu astronomi. Geber, orang Barat menyebutnya, adalah seorang ilmuwan Muslim pertama yang telah menciptakan sfera cakrawala yang mudah dipindahkan untuk mengukur dan menerangkan mengenai pergerakan objek langit. Salah satu karyanya yang populer adalah kitab al-Hay’ah.

Kesimpulan
    Nabi Muhammad saw bersabda: “Apabila seorang Muslim meninggal, maka amalannya terputus kecuali dari tiga perkara; sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang mendoakannya.” (HR. Abu Daud dari Abu Hurairah).
    Dalam Islam, seorang Muslim dituntut untuk bisa menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain, salah satu caranya yaitu dengan memberikan ilmu yang bermanfaat. Karena ilmu yang bermanfaat merupakan salah satu amalan yang tidak terputus, meski orangnya tersebut telah tiada, sebagaimana yang telah disabdakan oleh Nabi Muhammad di atas. Tanpa adanya acuannya dari Al-Qur'an, tentunya kaum Muslimin pun tidak akan tercerahkan apalagi melakukan penelitian dalam bidang sains, seperti halnya astronomi. Dan jika Al-Quran tidak dijadikannya sebagai tolok ukur, maka sudah bisa dipastikan bahwa kondisi umat Islam tentunya akan sama seperti halnya dengan kondisi Kristiani yaitu menjadi umat pengekor bangsa Yunani-Romawi, dan tidak mampu pula memberikan kontribusi bagi umat manusia di kemudian hari, yang pada akhirnya akan jatuh pada segala mitos. Meski para ilmuwan Muslim telah memberikan banyak jasanya bagi dunia sains, tetap saja pihak Barat atau pun pihak non-Muslim (kafir) yang sentimen terhadap Islam (Islamophobia) masih mempertanyakan tentang adanya kontribusi Islam bagi dunia. Dan lebih mirisnya lagi, banyak kaum Muslimin yang mengetahui berbagai penemuan dalam dunia sains justru menisbahkannya kepada orang Barat, padahal jika ditilik kembali, sesungguhnya ilmuwan Muslim-lah yang pertama kali menemukan teorinya, dan Barat hanya mengembangkan penemuan dari kaum Muslimin. Tanpa adanya penemuan dari umat Islam, bisa dipastikan Barat tidak akan bisa mengembangkan atas apa yang telah diketahuinya selama ini.    


Sumber:
Sani, Ridwan Abdullah. 2015. Sains Berbasis AlQuran. Jakarta: Bumi Aksara.
Waid, Abdul. 2014. Menguak Fakta Sejarah: Penemuan Sains dan Teknologi Islam Yang Diklaim Barat. Yogyakarta: Laksana.

Comments