Menelusuri Asal-Usul Agama Kristen Dan Ajarannya

Oleh: Sang Misionaris


  Berawal dari penelitian para ilmuwan yang meyakini adanya ketidakaslian dalam Injil, hal tersebut telah melahirkan berbagai teori tentang asal-usul agama Kristen dan ajarannya. Menurut sebagian umat Islam, agama Kristen adalah ciptaan Paulus, tetapi pandangan tersebut ditentang keras oleh Kristen. Padahal, jauh sebelumnya, para sarjana dari non-Muslim telah meyakini bahwa asal-usul agama Kristen dan ajarannya tidaklah bisa terlepas dari pengaruh pemikiran dan agama lain. Bahkan, sebagaimana halnya yang dinyatakan oleh John Gottlieb Fichte, bahwa sistem kepercayaan Kristen telah sejak awal dibentuk oleh Paulus dan rekan-rekannya. Lebih jauh, para ahli sampai pada kesimpulan, bahwa asal mula agama Kristen itu berasal dari Neoplatonis, dan bahkan ada yang meyakini bahwa awal mula agama Kristen berasal dari hasil pengembangan agama Hindu dan Budha.

    Dengan meragukan keaslian Injil, para pakar berpendapat bahwa dogma Trinitas dan skemanya, seperti penebusan dosa dengan darah Yesus yang tidak dapat diterima akal sebagai dasar moral, bukanlah ajaran Yesus. Kaum terpelajar berpendapat bahwa ajaran Tuhan Bapa telah masuk ke dalam ajaran Kristen dari paham Yunani. Mitos Yunani mengenal istilah Zeus-Pater atau Yupiter sebagai Tuhan Bapa. Demikian pula tentang penjelmaan Tuhan ke dalam tubuh manusia, yang merupakan ajaran Yunani, telah masuk pula ke dalam ajaran agama Kristen. Dalam ajaran Kristen, meskipun ibu Yesus yang bernama Maria kawin dengan Yusuf, yaitu sejak mereka bertunangan, Maria telah mengandung dan melahirkan Yesus. Dan Yesus adalah anak Tuhan. Yesus adalah Tuhan. Menurut para sarjana, cerita ini sama dengan cerita Herkules sebagai anak dari Tuhan Bapa yang bernama Zeus-Pater. Ibu Herkules, Alkamene, telah mengandung dan melahirkan Anak (dengan Tuhan Bapa) yang bernama Herkules. Jadi kedua-duanya, Yesus dan Herkules, beribu manusia tetapi berayahkan Tuhan Bapa. Kedua-duanya adalah Anak Tuhan, kedua-duanya adalah Tuhan.
    Anehnya, ajaran Kristen memiliki kesamaan Hindu. Krishna, juga beribukan manusia, yaitu Devanaki, penjelmaan dari Wishnu sebagai Anak Tuhan, dan ayahnya adalah juga Tuhan Bapa, Zupitri, yaitu Brahma. Khrisna atau Anak Tuhan adalah tepat seperti Kristus. Para ahli dari Jerman membuktikan pula bahwa sebenarnya agama Kristen mempunyai hubungan erat dengan Hinduisme. Para pakar sepert Dr. Bruno Freydank, Prof. Rudolf Seydel, Dr. Hubbe Schleiden, Dr. Th. Schultze, Dr. K. E. Neumann dan lain-lain, menyatakan dengan pasti bahwa agama Kristen tumbuh dari Hinduisme dan Budhisme. Dalam melukiskan pendapat para ahli itu, Bruno berkata: “Namun, mereka melangkah lebih jauh dan mendalilkan bahwa Yesus sendiri dipengaruhi oleh agama Budha, dan Injil-injil Perjanjian Baru dibentuk bersumberkan agama Budha. Bahwa Yesus telah mengenal agama Budha, tidak saja mungkin, tetapi malah agaknya ia mengenal agama Budha dalam jumlah besar. Agama Budha berpropaganda sejak zaman sebelum Masehi sampai jauh ke Suriah, dan sekte-sekte agama Essene dan Therapeuta di Palestina dan Mesir berutang budi kepada agama Qakyamuni yang menyebabkan timbulnya sekte-sekte tersebut” (Bruno Freydank, Buddha und Christus, Leipzig, 1903, hlm. 183. Lihat juga: Prof. R. Seydel, Das Evangelium vom Jesu in Seinem Verhaltnis zu Buddha-Sage-und-Lehre; Th. Schultze, Der Religion det Zukumft; K. E. Neumaan, Uber die Innere Verwandschaft Buddhistischer und Christlicher Lehren; Dr. Hubbe Schleiden, Jesus ein Buddhist?).
    Sebagian sarjana memberikan perhatiannya kepada mitos Yunani dan agama Kristen. Mereka ini termasuk guru-gurunya Marx, seperti Bruno Bauer dan David Friedrich Strauss. Sebagai contoh persamaan mitos Yunani dan ajaran gereja, kita bisa membaca penjelasan dari Dr. Eysinga: “Ini dapat diterangkan menurut persamaan dengan apa yang kita temui dalam cerita Herkules; Bapanya bernama Zeus, namun ayah manusianya adalah Ampitryon. Demikian pula Yesus, menurut Matius, di samping Anak Tuhan ia juga disebut anak Yusuf. Dongeng Herkules tertua menyebut Ampitryon sebagai suami dari Alkmene; mula-mula Ampitryon disebut tunangan Alkmene. Demikian pula yang dikhotbahkan oleh Injil Matius (Eysinga, Oudste Christelijke Geschriften, hlm. 46).
    Adanya persamaan antara ajaran-ajaran dan dongeng-dongeng Yunani dengan ajaran-ajaran gereja telah begitu banyaknya, sehingga banyak sarjana yang berpendapat bahwa cerita-cerita dalam Injil itu pada hakikatnya adalah dongeng-dongeng atau mitos-mitos yang dibuat-buat manusia, sebagaimana yang dinyatakan oleh Eysinga, “Riwayat-riwayat dalam kitab Perjanjian Baru adalah mitos, suatu bentuk ajaran yang berdasarkan fantasi yang dipaparkan oleh kaum Kristen yang terdahulu melalui khayalan agamanya” (Dr. Eysinga, Die Hollandische Radikale Kritik des Neuen Testates, hlm. 89). Dengan demikian, para pakar itu beranggapan bahwa ajaran-ajaran Tuhan Bapa, penjelmaan Tuhan menjadi manusia, ajaran penebusan dosa oleh darah Kristus, dan sebagainya berasal dri ajaran-ajaran Yunani, Hindu, Persia dan lain-lain. Jadi bagi mereka, agama Kristen telah dianggap sebagai suatu paduan atau suatu reaksi kimia dari bermacam-macam aliran.
    Kalau sebagian ahli membuktikan bahwa ada hubungan antara ajaran-ajaran Kristen dengan dongeng-dongeng Yunani, maka sebagian lagi membuktikan bahwa terdapat hubungan yang erat antara dongeng-dongeng Hindu dan ajaran-ajaran gereja. Bagi mereka, ajaran-ajaran dan mitos Hindu telah dipakaikan busana dan perhiasan Barat dan dinamakan agama Kristen, tetapi kerangka dasarnya tetap ajaran Hindu. Tentang adanya hubungan antara Kristen dan Hindu, J. Plange menyatakan sebagai berikut: “Kita tidak mendapat kabar baru tatkala kita mendapatkan bahwa penjelmaan Tuhan menjadi manusia, yaitu turunnya Tuhan ke atas bumi untuk menebus dosa makhluk-Nya, yang dasarnya adalah agama Hindu. Setiap orang akan mengetahui apabila mereka membaca buku Hindu…Sebaliknya, kitab-kitab suci agama Kristen diambil dari dongeng-dongeng Hindu, dari cerita Khrisna dan Budha, adalah sangat mungkin dan dapat dianggap hampir pasti. Dalam penyatuan kedua dongeng-dongeng keagamaan dari India yang penting ini (yaitu Hindu dan Budha), dengan mudah kita menemukan lagi seluruh bangunan keempat Injil (Matius, Markus, Lukas, Yohanes) agama Kristen yang penting itu” (Th. J. Plange, Christus ein Inder?, hlm. 13-14).
    Meskipun bahasa Sanskerta serta dongeng-dongengnya memiliki kesesuaian dengan bahasa serta dongeng-dongeng Yunani, tetapi kedua aliran ini, Yunani dan Hindu, dalam ukuran tertentu, telah mempengaruhi agama Kristen. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimanakah ajaran-ajaran serta mitos-mitos ini memasuki Perjanjian Baru? Davis Friedrich Strauss menyatakan bahwa mitos-mitos dalam Perjanjian Baru timbul karena kehendak penulis-penulis Injil, bahwa nubuat dalam Perjanjian Lama harus dipenuhi. Begitu juga tentang mukjizat Yesus, katanya, merupakan penjelmaan-penjelmaan dongeng. Dikemukakan dalam bukunya, Das Leben Jesu atau Riwayat Hidup Yesus, bahwa riwayat Yesus terbagi ke dalam dua bagian, yaitu Yesus dalam batas-batas sejarah dan riwayat dongeng Yesus dalam kejadiannya dan pertumbuhannya. Yang terakhir, menerangkan tentang bagaimana timbulnya dongeng Yesus sebagai anak tunggal Tuhan yang turun untuk menebus dosa manusia, dari mana asalnya cerita bintang yang berjalan di langit dan berhenti di tempat kelahiran Yesus, bagaimana timbulnya pemenuhan nubuat dalam Perjanjian Baru yang dipaksakan; karena Mesias yang dijanjikan itu haruslah anak Daud, maka penulis Injil telah membuat kesalahan ketika mengatakan bahwa bapa Yesus adalah Yusuf, tunangan Maria yang berasal dari keturunan Daud, sedangkan Yusuf bukanlah ayah Yesus, sebab Yesus dinyatakan sebagai Anak Tuhan Bapa oleh penulis Injil. Untuk membaca permasalahan yang terjadi pada silsilah Yesus, bisa dibaca di sini dan juga ini.
    Strauss ditentang oleh Bruno Bauer ketika ia mengatakan bahwa agama Kristen timbul di Aleksandria dan Roma. Karena menurut Bauer, agama Kristen telah diciptakan oleh kesadaran sendiri, di mana para penulis Injil telah dengan sengaja membuat cerita-cerita itu dengan kesadaran sendiri. Oleh karena itu, maka tepatlah pandangan Marx terhadap Bruno Bauer, menurutnya, “Bruno Bauer mengakui bahwa bukan lagi Roh Kudus yang mendiktekan tulisan-tulisan kepada penulis-penulis Injil, tetapi kesadaran sendiri yang tak terbataslah yang melakukannya” (Karl Marz, The Holy Family, Moscow, hlm. 187). Bagi Bruno Bauer, sebagaimana yang sering disitir oleh Marx, bahwa yang menjadi bapa pendiri agama Kristen adalah Philo dari Aleksandria dan Senecca (54-39 SM) adalah pamannya.
   Jika Bruno mengatakan bahwa Perjanjian Baru itu ditulis oleh kesadaran diri, maka Strauss berpendapat lain, bahwa Perjanjian Baru ditulis dengan tambahan mitos-mitos yang secara tidak sadar dibentuk dalam masyarakat Kristen, sebagai pernyataan untuk memenuhi kedatangan Mesias yang dijanjikan dalam Perjanjian Lama. Menurut Strauss, tatkala orang datang menemui Yesus, mula-mula dalam jumlah sedikit, kemudian banyak, mereka berpikir bahwa segala sesuatu harus terjadi padanya, sebagaimana yang dinubuatkan dan diterangkan dalam Perjanjian Lama. Karena Mesias itu haruslah anak Daud, maka ia harus dilahirkan di Betlehem. Karena Musa telah melakukan mukjizat, maka Yesus pun harus melakukan mukjizat juga.
   Sedangkan para sarjana yang dipelopori Bauer, berpendapat bahwa Philolah yang turut bertanggungjawab membentuk medium yang memperkenalkan unsur-unsur Yunani, seperti Plato, Heraklitus dan aliran Stoa, kepada agama Kristen. Orang Yahudi dari Aleksandria inilah yang turut serta membentuk wadah agama Kristen dengan memadukan ajaran-ajaran Yunani dengan ajaran Yahudi, yang kemudian dijiplak oleh para penulis Injil. Menurut Eysinga, bahwa karya Philo adalah sumbangan pendahuluan ajaran Yahudi kepada ajaran Kristen; filosof Yahudi ini telah mengerjakan filsafat Yunani sedemikian rupa, sehingga merupakan bentuk awal agama Kristen, dengan melanjutkan karya-karya Heraklius, Plato, dan aliran Stoa (Dr. Eysinga, Die Hollandische Radikale Kritik des Neuen Testates, hlm. 12).
    Tidak hanya itu, para sarjana pun meragukan pula apakah Yesus merupakan oknum yang pernah lahir ke dunia ini lalu dijadikan anak Tuhan, sebagai Tuhan yang turun ke dunia, oleh kaum Neoplatonis di Aleksandria itu; ataukah sebaliknya, yaitu Yesus tidak pernah lahir ke dunia ini, tetapi hanyalah suatu mitos Anak Tuhan yang merupakan ajaran Aleksandria yang kemudian disejarahkan? Terdapat sarjana yang memandang bahwa Yesus Kristus adalah tokoh mitos yang secara lambat laun disejarahkan sebagaimana cerita-cerita Tuhan Khrisna dan Rama. Adanya interpretasi tersebut, pada hakekatnya timbul sebagai akibat kenyataan ilmiah, yang menolak keaslian Injil, yang dipelopori oleh para ilmuwan Jerman. Mereka hanya menganggap bahwa Yesus sebagai tokoh mitos. Sedangkan yang tetap berpegang pada Injil, maka mereka terpaksa akan mendasarkan filsafatnya dengan filsafat Neoplatonis yang mereka temui pada Prolog Injil Yohanes. Yang paling mengejutkan ialah ajaran penjelmaan Tuhan menjadi manusia, yaitu inkarnasi Tuhan, yang ternyata ajaran tersebut merupakan ajaran yang berasal dari Hindu juga. Menurut J. Plange, ajaran tentang penjelmaan Tuhan menjadi daging semata-mata adalah ajaran dari India Purba. Pada Injil Yohanes lebih banyak terdapat penyesuaian dengan ajaran-ajaran Budha dibandingkan dengan Injil-injil yang lainnya (Th. J. Plange, Christus ein Inder?, hlm. 13). Di samping ajaran tentang inkarnasi, ajaran-ajaran Trinitas, penebusan dosa, sakramen seperti halnya membaptiskan anak pun merupakan ajaran yang berasal dari Hindu. Dari adanya kesamaan ajaran tersebut, para ilmuwan sampai berkeyakinan bahwa sebelum Yesus lahir, para misionaris dari agama Hindu telah sampai ke Yunani dan juga Aleksandria (Encyclopedia Britannica, 13:26).
    Dari adanya filsafat Neoplatonis yang terdapat pada Injil Yohanes, hal tersebut telah menyesatkan para teolog Kristen, di mana mereka berkeyakinan bahwa Yesus dianggap sebagai lambang penjelmaan Tuhan menjadi manusia, sehingga manusia pada hakikatnya dianggap pula sebagai Tuhan juga. Para filosof seperti halnya Hegel, Strauss, dan lain-lain, telah menganggap bahwa manusia adalah penjelmaan Tuhan atau Anak-anak Tuhan atau Kristus-Kristus, di mana hal itu terjadi karena adanya interpretasi terhadap filsafat Neoplatonis atas Injil Yohanes. Strauss menyatakan, “Umat manusia adalah Kristus. Manusia adalah gabungan dua jenis keadaan, Tuhan yang menjelma menjadi manusia, penjelmaan abadi mejadi fana, dan menjadi fananya Roh yang Abadi. Manusia adalah anak dari ibu yang dapat dilihat dan dari bapa yang tidak terlihat, Anak dari Roh dan Alam…” (Strauss, Das Leben Jesu, tahun 1842, hlm. 558). Begitu pula dengan pemikirannya Hegel, menurutnya, “Maka manusia haruslah dianggap sebagai kesatuan dari keadaan Ilahi dan insani. Roh menjelmakan dirinya menjadi alam, menjadi negara” (Hegel, Geschichte der Philosophie, hlm. 265-266). Demikian pula John Gottlieb Fichte, yang menemui jalan buntu dengan ajaran-ajaran Paulus dan akhirnya mencari jalan keluar melalui filsafat Neoplatonis dari Injil Yohanes yang dianggapnya sebagai ajaran Yesus yang benar. Menurutnya, “Bahwa saya menganggap hanya Injil Yohanes sebagai ajaran Kristen yang benar, telah saya terangkan panjang lebar pada kuliah saya di musim dingin yang lalu, bahwa kita haruslah meninggalkan rasul Paulus dan rekan-rekannya, sebagai pendiri sistem agama Kristen yang sangat bertentangan, mewarisi kesesatan Yahudi dan dunia kafir” (John Gottlieb Fichte, Die Anweisung zum Seligen Leben, hlm. 88).      

   
Dikutip dari karyanya O. Hashem, Marxisme: Asal-Usul Ateisme Dan Penolakan Kapitalisme, (Bandung: Nuansa Cendekia, 2018), hlm. 68-79.
   

Comments