Bukti Lemahnya Doktrin Inkarnasi Yesus

    Oleh: Sang Misionaris   

Pendahuluan   
    Inkarnasi Yesus Kristus, sejak awal tidaklah dihubung-hubungkan dengan keselamatan manusia, dan adanya makna bahwa Yesus penyelamat dosa manusia, justru baru dikenal di kemudian hari setelah adanya pertikaian di kalangan internal Kristen sendiri. Doktrin inkarnasi yang diyakini oleh Kristen selama ini bermula dari adanya berbagai pandangan orang-orang Kristen dalam menilai diri Yesus, di mana doktrin inkarnasi Yesus Kristus tersebut muncul karena adanya perbedaan terhadap penekanan dalam diri Yesus, di satu sisi ada yang menekankan pada kemanusiaannya Yesus dan di sisi lain, hanya menekankan pada sisi keilahiannya saja. Namun demikian, Kristen membantah bahwa konsep inkarnasi dalam Kristen memiliki perbedaan yang signifikan dengan inkarnasi yang terdapat pada keyakinan para penyembah berhala, dikarenakan tujuan inkarnasi dalam Kekristenan memiliki perbedaan, meskipun dalam kacamata sosiologi-historis Kekristenan sebenarnya telah menyangsikan klaim Kristen tersebut.  


Pengertian Inkarnasi Yesus Dengan Segala Problematikanya
    Menurut Erastus Sabdono, secara etimologis, berasal dari kata inkarnasi yang berasal dari bahasa Latin, yaitu in-carne; in dan carne. In berarti ke dalam atau masuk, sedangkan carne berarti daging. Jadi in-carne berarti masuk ke dalam daging. Erastus kembali menjelaskan, bahwa dalam teks Yunani, kata yang sepadan dengan in-carne adalah en sarki, yang bisa dijumpai pada 1 Timotius 3:16. In artinya di dalam dan sarki, dari kata sarkos, artinya daging. Kata sarkos, menurut Erastus, memiliki makna yang sejajar atau sama dengan bazar dalam bahasa Ibrani.1 Jika Erastus Sabdono menggunakan 1 Timotius 3:16 sebagai dalil adanya doktrin inkarnasi Yesus, namun berbeda halnya dengan penjelasan yang diberikan oleh Van Niftrik dan Boland, di mana keduanya menjadikan Yohanes 1:14 sebagai dalilnya inkarnasi Yesus, di samping memberikan pula penjelasan tentang konsep inkarnasi sebagai berikut: Pertama, inkarnasi memiliki maksud untuk menyatakan bahwa firman Allah telah menjadi daging, yakni bahwa Allah telah menjadi manusia, di dalam Yesus orang Nazaret. Kedua, firman Allah yang menjadi daging, dalam artian, bahwa Allah yang telah menjadi manusia itu adalah Allah sendiri.2
    Manusia telah diberikan anugerahi akal oleh Tuhan, di mana akal selalu bersifat logis dalam berpikir bahwa Tuhan tidak mungkin bisa terjebak dalam ruang dan waktu, tetapi dalam teologi Kristen, ternyata kita mendapatkan adanya keyakinan Kristen tentang inkarnasi Yesus, dalam arti, bahwa Tuhan bisa dikuasai oleh ruang dan waktu. Jika Allah adalah Tuhan yang dengan kekuasaan-Nya Ia mampu menguasai ruang dan waktu lalu masuk ke dalam daging dan menjadi manusia, tentu konsekuensi logisnya adalah Tuhan akan terkungkung oleh ruang dan waktu, lalu penjelasan logis seperti apa yang bisa diberikan oleh Kristen bahwa Tuhan yang berinkarnasi menjadi manusia, secara bersamaan bisa dikatakan menguasai dan dikuasai oleh ruang dan waktu? Di sinilah, letak permasalahan yang dihadapi oleh Kristen selama berabad-abad lamanya, di mana gagasan dari setiap orang Kristen ternyata memiliki prinsip inkarnasi yang berbeda-beda, dan bahkan dari adanya perbedaan tersebut berujung pada pengutukkan dan pengucilan.  
    Lemahnya doktrin inkarnasi Kristen begitu jelas terlihat, di mana Yesus harus diyakini sebagai manusia, namun di sisi lain harus diyakini pula sebagai Tuhan. Dalam hal ini, Tertullianus mengungkapkan kebingungannya sendiri, di samping mengalami kepasrahan dalam memberikan penjelasan secara logis tentang doktrin inkarnasi Yesus, menurutnya, “Anak Allah telah disalibkan; aku tidak merasa malu karena manusia perlu dipermalukan. Dan Anak Allah telah mati; suatu hal yang tentu saja harus dipercaya karena hal ini absurd. Dan Dia telah dikuburkan, dan bangkit lagi; fakta tersebut pasti sebab hal itu tidak mungkin.”3
    Quintus Septimius Florens Tertullianus atau yang lebih dikenal dengan nama Tertullianus, yang dilahirkan sekitar tahun 160 M di Kartago dari keluarga Romawi kafir,4 bukanlah satu-satunya orang Kristen yang mengalami kebuntuan dalam memahami doktrin inkarnasi Kristus, karena dalam sejarah dogma Kekristenan, kita dapat menemukan banyak pengajaran yang menghasilkan perbedaan keyakinan terhadap Yesus, di mana dari setiap doktrin inkarnasi Yesus Kristus yang diusung dan diyakini hanya berkutat pada dua sisi yang memiliki penekanan yang berbeda, yaitu di satu sisi ada golongan yang menekankan terhadap sisi kemanusiaan Yesus Kristus, tetapi di sisi lain, hanya menekankan pada keilahiannya saja. Adapun golongan-golongan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Adopsianisme, yang mengajarkan bahwa Yesus adalah manusia biasa, yang kemudian diangkat menjadi Anak Allah. Adapun orang-orang yang dinilai sebagai penganut Adopsianisme di antaranya adalah Theodotus. Ia mengajarkan bahwa Yesus adalah manusia yang dilahirkan dari anak dara, menurut putusan Allah Bapa. Yesus ini hidup bersama-sama dengan segala manusia. Ketika Yesus dibaptis, Kristus turun kepadanya dari atas sebagai burung merpati. Di sinilah Yesus diangkat menjadi Anak Allah. Selain Theodotus, ada pula Paulus dari Samosata. Ia mengajarkan bahwa Yesus adalah seorang manusia yang dilahirkan dari anak dara. Dalam dirinya berdiam hikmat Allah, sehingga ia melebihi segala manusia. Menurutnya, hikmat ini bukanlah Allah, melainkan sama dengan apa yang disebut sebagai akal pada manusia.
2. Arius. Ajaran Arius berpangkal pada keesaan Allah dan meyakini bahwa Allah tidaklah dilahirkan. Adapun Anak bukanlah emanasi atau pengaliran daripada Allah, atau juga bukan sebagian daripada Allah Bapa, yang sama zatnya dengan Allah Bapa. Arius meyakini bahwa Anak berawal yang telah dijadikan oleh Allah Bapa sebelum dunia dijadikan dan sebelum Anak dijadikan ia tidaklah ada. Bagi Arius, Anak adalah logos dan hikmat Allah, tetapi bukan logos yang ada pada Allah, sebab logos yang ada pada Allah adalah daya atau kuasa Ilahi. Jadi Kristus, menurut Arius, adalah makhluk yang pertama dan yang terpenting, sebab Allah telah menjadikan dunia ini dengan perantaraan Kristus.  
3. Doketisme. Golongan ini berpangkal kepada dualisme antara roh dan benda.
4. Gnostik. Dalam ajarannya, Gnostik meyakini bahwa roh dan benda mewujudkan dua zat yang saling bertentangan, sebagai zat yang baik terhadap zat yang jahat. Roh, menurut Gnostik, tidak mungkin bersatu dengan benda, karena dunia roh digerakkan dari dalam oleh zat-zat yang kecil dan halus, yang disebut dengan aeon. Demikianlah dari dunia roh mengalir keluar aeon-aeon, yang kemudian terpenjara di dalam benda. Bagi Gnostik, Yesus Kristus adalah juru selamat, karena ia adalah aeon yang memiliki tubuh semua. Oleh karena itu, Yesus Kristus tidaklah bisa mengalami penderitaan atau kesengsaraan, karena yang mengalami penderitaan dan yang disalib adalah tubuhnya sendiri.
5. Marcion. Ia meyakini bahwa Yesus diutus oleh Allah Bapa untuk menyelamatkan manusia, yang tidak memiliki tubuh jasmani. Meskipun Yesus diyakini memiliki tubuh jasmani, namun tubuhnya hanya diyakini sebagai tubuh yang semu. Selain itu, ia pun meyakini bahwa Yesus tidaklah dilahirkan, tetapi menampakkan diri dengan sekonyong-konyong.5  
6. Ebionisme. Golongan ini meyakini bahwa sifat ilahi Yesus Kristus tidaklah asli. Dengan kata lain, Kristus tidaklah memiliki sifat ketuhanan yang sejati, meskipun dianggap riil. Hal ini dilukiskan seperti sebuah benda yang dilihat dari kejauhan seperti bukit, tetapi saat didekati sebenarnya itu adalah rumah. Golongan ini lebih menekankan sisi kemanusiaan Yesus, daripada keilahiannya.
7. Apollinarianisme. Paham ini berasal dari uskup Laodikia, yang bernama Apollinarius (310-390) dari Laodikia. Paham ini lahir dari adanya kebencian terhadap ajaran Arius yang telah merendahkan keilahian Yesus. Oleh karena itu, pengajarannya pun lebih menekankan terhadap keilahian Yesus. Menurutnya, Yesus memiliki tubuh dan jiwa, tetapi tidak memiliki roh. Karena roh atau ‘aku’ manusia diganti dengan ‘logos’. Oleh sebab itu, Yesus tidak dapat disebut sebagai manusia sejati, dan Yesus memiliki tubuh, tetapi tubuh tersebut bukanlah tubuh yang sebenarnya. Dari adanya keyakinannya tersebut, gereja telah menganggap bahwa Apollinarius telah menempatkan Yesus dengan hewan, yang sama-sama memiliki tubuh dan jiwanya saja.
8. Nestorianisme. Ajaran ini diperkenalkan oleh Nestorius, seorang Patriarkh Gereja Ortodoks di Konstatinopel, Asia Kecil (Turki). Ia berpendapat bahwa apabila Yesus sungguh-sungguh Allah dan sungguh-sungguh manusia, itu suatu tanda keduaan dan bukan suatu keesaan. Jika keesaaan kedua sifat terjadi, bukan karena hakikatnya, melainkan karena tekad atau kehendaknya saja. Selain keyakinan tersebut, Nestorius pun beranggapan bahwa Yesus bukan memiliki dua sifat dalam satu oknum, melainkan dua sifat dan dua oknum dalam Yesus Kristus. Dan tidak mengherankan jika ada orang yang menyebut pandangan Nestorius sebagai Teori Saudara Kembar. Pengajaran Nestorius ditentang oleh Cyrilius, seorang uskup Aleksandria dan Kelestianus, uskup Roma, dengan menyatakan bahwa ajaran Nestorius yang membagi-bagi kedua sifat Yesus, dinilainya telah merusak keoknuman Yesus. Maka pada akhirnya, tahun 431, Kelestinus menuduhnya sebagai bidat dalam sidang di Efesus, dan pada tahun 451, diadakanlah Konsili Khalsedon, di mana dalam konsili tersebut telah melahirkan Pengakuan Iman Khalsedon, yang antara lain menyebutkan bahwa Kristus tidak bertabiat satu dan tidak pula bertabiat dua, melainkan memiliki dua tabiat dalam satu oknum. Kedua tabiat tersebut tidaklah bercampur, tidak berubah, tidak berbagi, dan tidak terpisah.  
9. Eutychianisme. Kala itu, pada tahun 448 M, Euthianus menjabat sebagai pimpinan gereja di Konstantinopel, di mana ia sendiri mengemukakan pendapatnya bahwa dua tabiat Yesus bercampur menjadi satu, sehingga menjadi tabiat yang ketiga. Dalam tabiat yang bercampur ini, tabiat ilahi melampaui tabiat kemanusiaan, yang mengakibatkan tabiat manusianya Yesus terhisap dalam tabiat ilahinya. Karena tabiat ilahi ini sudah bercampur dengan tabiat kemanusiaannya, maka tabiat ilahi dianggap sudah tidak sama lagi dengan tabiat ilahi yang sebelumnya.6  
    Adanya berbagai permasalahan dalam doktrin inkarnasi di masa Kristen mula-mula, diawali dengan dihasilkannya Konsili Nicea, sebuah kota kecil di Asia Kecil, di pesisir Pantai Bosporus, kira-kira empat puluh mil dari Konstantinopel, di mana lahirnya konsili tersebut dipicu karena adanya pemikiran Arius yang telah menyebar luas. Adapun hasil dari Konsili Nicea tersebut adalah adanya pengutukkan terhadap pandangan Arius, yang pada akhirnya dianggap sebagai bidat oleh pihak gereja, dan menghasilkan keputusan Kredo Nicea yang menetapkan bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan, yang diperanakkan, tidak diciptakan, dan sehakikat dengan Bapa.7 Namun demikian, ternyata Konsili Nicea tidak mampu meredam segala persengketaan yang ada, dan bahkan terus berlanjut hingga melahirkan Konsili Efesus dan Khalsedon. Dan pada Konsili Khalsedon, gereja akhirnya menghasilkan Kredo Khalsedon, yang salah satu keputusannya berisi tentang penetapan bahwa selain Yesus diakui sebagai Allah yang sejati, Yesus pun diakui pula sebagai manusia sejati.8
    Doktrin inkarnasi Yesus menurut Protestan, Gereja Lutheran, telah merambah pada persoalan Perjamuan Kudus yang telah membawa pandangan Lutheran yang khas, yaitu Communicatio idiomatum. Dalam pandangan Lutheran, bahwa setiap natur Kristus mengalirkan natur yang lain, dan bahwa kemanusiaannya mengambil bagian dalam atribut-atribut ilahinya. Mereka berpegang bahwa sifat maha kuasa, maha tahu, dan maha hadir diberikan pada natur manusia Kristus pada saat inkarnasi. Dari adanya keyakinannya tersebut, tentunya telah menghasilkan kontradiksi dengan berbagai narasi yang terdapat pada ayat Perjanjian Baru yang mengisahkan tentang kemanusiaannya Yesus, di mana kondisi tersebut pada akhirnya menghasilkan perbedaan pendapat di kalangan Luhteran lainnya. Sebagian ada yang berpendapat, bahwa Kristus telah menyingkirkan sifat-sifat ilahi yang ia terima pada saat inkarnasi, atau hanya menggunakan sifat-sifat itu pada waktu tertentu. Sedangkan pendapat lain meyakini, bahwa Yesus tetap memiliki sifat-sifat ilahi sepanjang masa kehidupannya di dunia, akan tetapi hanya menggunakannya secara diam-diam. Para teolog Reformed menilai adanya pendapat Eutychianisme atau campuran kedua natur Yesus dalam doktrin Lutheran. Teologi Reformed pun mengajarkan pula adanya komunikasi antara atribut-atribut ilahi, tetapi memandangnya dengan cara yang berbeda. Teologi Reformed percaya bahwa setelah inkarnasi, segala sifat dan karakteristik dari kedua natur dapat ditunjukkan pada satu pribadi Kristus. Pribadi Kristus dapat disebut maha tahu, akan tetapi memiliki pengetahuan yang terbatas juga; dapat dianggap sebagai maha hadir, namun juga terbatas pada suatu waktu tertentu dalam sebuah tempat.9
    Dalam perjamuan kudus, Katolik Roma meyakini bahwa ketika imam mengucapkan kata-kata sakramental, maka roti dan anggur seketika berubah menjadi tubuh dan darahnya Yesus (doktrin substansiasi), tetapi Luther menolak pandangan Katolik tersebut. Meskipun Luhter menolak bahwa roti dan anggur bisa berubah menjadi tubuh dan darah Yesus Kristus pada perjamuan kudus, tetapi ia mengajarkan bahwa tubuh Yesus hadir dalam perjamuan kudus, dan menurutnya, sejak kenaikan Yesus, tubuhnya sama seperti keilahiannya yang bisa hadir di mana-mana. Berbeda halnya dengan ajaran Katolik Roma dan Luther, Zwingli memiliki pandangan lain, menurutnya, bahwa tubuh Yesus sekarang ini hanya ada di dalam surga saja, dan kata-kata “Inilah tubuhku”, bagi Zwingli, “Ini menandakan tubuhku”. Oleh karena itu, roti dan anggur dianggap oleh Zwingli hanya sebagai lambang dari tubuh dan darahnya Yesus, dan perjamuan kudus, hanyalah acara yang bersifat peringatan saja. Jika Zwingli menolak kehadiran tubuh Yesus di dalam roti dan anggur, sebagaimana yang diajarkan oleh Luther, dan hanya menganggap sebagai peringatan saja, namun berbeda halnya bagi Calvin yang meyakini bahwa perjamuan kudus lebih dari sekedar upacara peringatan. Calvin mengajarkan, bahwa Yesus benar-benar dan sungguh-sungguh hadir di dalam roti dan anggur, dan melalui iman benar-benar dan sungguh-sungguh dimakan dan diminum oleh para anggota gereja (jemaat), tetapi bukan secara badani, melainkan secara rohani.10     

Kelemahan Doktrin Inkarnasi Yesus   
    Meski Kristen telah menghasilkan berbagai konsili dan menetapkan banyak hal tentang Yesus, namun tetap saja Kristen mengalami kesulitan dalam memberikan penjelasan secara logis tentang inkarnasi Yesus Kristus, di mana hal tersebut terbukti dengan tidak adanya keseragaman pendapat di kalangan internal Kristen, dan bahkan di kalangan Protestan sendiri pun permasalahan inkarnasi Yesus justru semakin melahirkan jurang yang semakin lebar ketika inkarnasi Yesus mulai merambah pada perjamuan kudus, meskipun setiap pihak menggunakan dasar-dasar pemikirannya dari ayat-ayat Alkitab. Dan, dari adanya kondisi tersebut, justru semakin membuktikan bahwa peran Roh Kudus yang selama ini diyakini oleh Kristen sebagai salah satu oknum Trinitas, bahwa Roh Kudus mampu memberikan ilham kepada Kristen, ternyata hanya sebagai isapan jempol belaka yang selalu dijadikan kambing hitam oleh mereka dan berimplikasi pada lemahnya doktrin inkarnasi Yesus Kristus.
    Adanya narasi tentang silsilah Yesus dan kelahiran dari anak dara dalam Alkitab, telah dijadikan sebagai dalil tentang adanya doktrin inkarnasi Yesus, sebagaimana yang dilakukan oleh Paul Enns, misalnya, di mana dalam silsilah Yesus ia telah menggunakan Matius 1:1-6 dan Lukas 3:23-38 sebagai dasar argumennya. Begitu pun ketika ia membuktikan tentang kelahiran Yesus dari anak dara telah menggunakan Yesaya 7:14 sebagai nubuat tentang Yesus, dan menggunakan Matius 1:1; 8; 23; 25 dan Lukas 1: 34; 35 sebagai bukti dari hasil nubuatnya.11 Jika pada diri Yesus diyakini terdapat tabiat manusia dan juga Tuhan, sebagaimana halnya keyakinan Kristen selama ini, lalu ia pun melakukan perbuatan-perbuatan seperti manusia lainnya seperti: makan; tidur; buang air besar dan kecil, apakah sisi keilahian Yesus masih tetap berada di dalam tubuh Yesus? Jika Kristen berargumen, bahwa ketuhanan Yesus masih tetap berada di dalam tubuhnya, tentunya bisa dikatakan bahwa selain sisi kemanusiaannya Yesus melakukan perbuatan tersebut, tentunya sisi keilahiaan Yesus pun mengikuti perbuatan yang dilakukan oleh tubuhnya. Namun, jika Kristen menjawab bahwa sisi keilahiannya Yesus tidaklah mengikuti perbuatan dari sisi kemanusiaannya, lalu dimanakah letak sisi keilahian Yesus tersebut? Dan, jika Kristen beralibi bahwa sisi keilahian Yesus itu berada di surga (Markus 1:11 dan 11:25) ketika Yesus sedang melakukan perbuatan manusia ataupun ketika ia sedang disalib, lalu siapakah dari keduanya yang bisa dikatakan sebagai Tuhan? Jika Kristen menjawab bahwa keduanya adalah Tuhan, tentunya Tuhannya Kristen berbilang, dan tidak mungkin Tuhan berbilang atau bahkan keduanya dianggap satu Tuhan ketika keduanya pun berbeda dalam segala aspek, seperti pengetahuan, kuasa, dan kehendak.  
    Secara kuantitatif, ayat-ayat yang memberikan keterangan tentang keilahian Yesus lebih didominasi oleh Injil Yohanes daripada Injil Matius, Markus dan Lukas, meskipun dalam Injil Yohanes sendiri sangat jelas terlihat adanya dukungan tentang kemanusiaannya Yesus. Dan terkait tentang Injil Yohanes, Donald Guthrie lebih cenderung pada argumen bahwa Injil ini dibuat untuk mengimbangi pemikiran bidat kala itu, yaitu Doketisme yang terlalu menekankan segi keilahian Yesus dengan mengabaikan segi kemanusiaannya Yesus.12 Jika analisis Donald itu benar, justru hal tersebut semakin membuktikan bahwa Injil Yohanes tidaklah ditulis oleh para saksi mata, apalagi diyakini bahwa penulisnya itu adalah muridnya Yesus yang pernah hidup sezaman dengan Yesus Kristus.
    Adanya kelemahan terhadap doktrin inkarnasi Kristus semakin bertambah kuat ketika kita membaca secara seksama Matius 3:16-17, “Sesudah dibaptis, Yesus segera keluar dari air di sungai itu. Tiba-tiba langit terbuka dan Yesus melihat Roh Allah turun seperti burung merpati ke atas-Nya. Kemudian terdengar suara Allah mengatakan, ‘Inilah Anak-Ku yang Kukasihi. Ia menyenangkan hati-Ku.’” Jika Yesus adalah Allah yang menjadi manusia, di mana keberadaan Allah berada dalam tubuh Yesus, lalu siapakah yang berbicara di langit yang mengatakan bahwa inilah anakku yang kukasihi? Jika yang berbicara di langit adalah Allah, sedangkan Allah sebelumnya telah diyakini berinkarnasi menjadi manusia, yang bernama Yesus, justru ayat tersebut semakin membuktikan adanya keberbilangan Tuhan dalam keyakinan Kristen. Namun, jika Kristen berkeyakinan bahwa Allah bisa pada tempat yang berbeda dalam waktu yang bersamaan, lalu dengan parameter apa bahwa keduanya adalah Tuhan. Terlebih, Yesus yang diklaim sebagai inkarnasi Tuhan, telah melalui proses, sedangkan namanya proses tentu akan terikat oleh ruang dan waktu.   

Kesimpulan
    Sebagaimana doktrin-doktrin lainnya, inkarnasi Kristus pun lahir karena adanya persengketaan pada masa Kristen mula-mula. Secara sederhana, pengertian inkarnasi adalah masuknya Allah ke dalam tubuh manusia, yang bernama Yesus Kristus, di mana makna inkarnasi dalam pandangan Kristen yaitu untuk karena menyelamatkan manusia dari dosa. Adanya inkarnasi Kristus hal tersebut telah menegasikan bahwa Allah Maha Pengampun, yang mampu mengampuni dosa-dosa manusia. Selain itu, doktrin inkarnasi tersebut telah menggiring Kristen kepada ajaran-ajaran yang tidak jauh berbeda dengan pihak paganisme lainnya, yaitu adanya keberbilangan Tuhan dalam keyakinan Kristen.     


Catatan Kaki:
1. Erastus Sabdono, Kristologi: Mengenal Pribadi Yesus, (Jakarta: Rehobot Literature, 2018), hal. 63-64.
2. G.C. van Niftrik dan B.J. Boland, Dogmatika Masa Kini, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), hal. 226-227.
3. Linwood Urban, Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen, terj., Liem Sien Kie, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), hal. 91.
4. Tony Lane, Runtut Pijar: Tokoh dan Pemikiran Kristen Dari Masa Ke Masa, terj., Conny Item-Corputy, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), hal. 11.
5. Harun Hadiwijono, Iman Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2013), hal. 309-311.
6. Jonar S., Sejarah Gereja Umum, (Yogyakarta: Andi, 2018), hal. 130-131 dan 139-142.
7. B.K. Kuiper, The Church in History, terj., Desy Sianipar, (Malang: Gandum Mas, 2010), hal. 36-37.
8. Bernhard Lohse, Pengantar Sejarah Dogma Kristen: Dari Abad Pertama Sampai Dengan Masa Kini, terj., A.A. Yewangoe, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015), hal. 115-117.
9. Louis Berkhof, Teologi Sistematika Vol. 3: Doktrin Kristus, terj., Yudha Thianto, (Surabaya: Momentum, 2013), hal. 15-16.
10. B.K. Kuiper, op.cit., hal. 192, 198 dan 209-210.    
11. Paul Enns, The Moody Handbook of Theology (1): Revised and Expanded Edition, terj. Rahmiati Tanudjaja, (Malang: Literatur Saat, 2016), hal. 250-251.
12. Donald Guthrie, Pengantar Perjanjian Baru 1: Allah, Manusia, Kristus, terj., Hendry Ongkowidjojo, (Surabaya: Momentum: 2012), hal. 248 dan 372.

Comments

  1. Umat MUSLIM harus berkiblat ke kakbah ARAB , makna implikasinya adalah ALLAHnya terjebak dalam kakbah ARAB.
    Umat MUSLIM sholat harus menggunakan bahasa ARAB berarti ALLAH dipaksa orang Arab agar ALLLAH selalu menggunakan bahasa ARAb dan tidak boleh berbahasa lain.
    Umat MUSLIM selalu percaya ucapan MUHAMMAD dan tidak percaya pada kehendak ALLAH saat ini berarti umat MUSLIM itu menuhankan MUHAMMAD dan malah mematikan ALLAH saat ini.

    ReplyDelete
  2. ALLAH nya MUSLIM juga INKARNASI pada MUHAMMAD. Buktinya semua ucapan MUHAMMAD selalu dipatuhi dan dilaksanakan oleh umat MUSLIM ( umatnya MUHAMMAD ) . Sebaliknya umat MUSLIM malah TIDAK PERCAYA pada ALLAH saat ini....Itu artinya MUHAMMAD dijadikan TUHAN , sedangkan ALLAH saat ini malah disia-siakan.

    ReplyDelete
  3. Penulis harus tahu ALLAH itu bertingkat.
    ALLAH level 1 , misalnya ALLAHnya MUHAMMAD, ALLAH dalam kakbah,ALLAH dalam diri manusia atau hewan atau tumbuhan atau dalam punden.
    ALLAH level 2 : ALLAH dalam BUMI
    ALLAH level 3 : ALLAHdalam matahari
    ALLAH level 4 : ALLAh dalam pusat galaksi
    ALLAH level 5 : ALLAH dalam pusat jagat raya.

    ReplyDelete
  4. Tidak ada yang lemah kecuali cara berlogika anda yang salah, jangan paksakan Allah masuk semuanya dalam akalmu, itu justru tidak masuk akal.

    Allah, Firman Allah dan Roh Allah itulah hakekat Allah yang Esa yang dinyatakan Alkitab, bukan berbilangnya Tuhan, lagi-lagi cara berpikir materi anda terapkan ada Allah yang bersifat metafisik. Terbukti akal anda gagal paham dan salah penerapan, belajarlah bung

    Terimalah Allah dengan segenap akal budi,yaitu apa yang Allah nyatakan kepadamu, dan itu justru yang masuk akal.

    Klo manusia dijadikan Allah itu kontradiktif, tetapi kalo Firman Allah menjadi manusia itu sebuah paradoks ilahi, tidak bertentangan dengan akal budi.

    ReplyDelete
  5. Tidak ada yang lemah kecuali cara berlogika anda yang salah, jangan paksakan Allah masuk semuanya dalam akalmu, itu justru tidak masuk akal.

    Allah, Firman Allah dan Roh Allah itulah hakekat Allah yang Esa yang dinyatakan Alkitab, bukan berbilangnya Tuhan, lagi-lagi cara berpikir materi anda terapkan ada Allah yang bersifat metafisik. Terbukti akal anda gagal paham dan salah penerapan, belajarlah bung

    Terimalah Allah dengan segenap akal budi,yaitu apa yang Allah nyatakan kepadamu, dan itu justru yang masuk akal.

    Klo manusia dijadikan Allah itu kontradiktif, tetapi kalo Firman Allah menjadi manusia itu sebuah paradoks ilahi, tidak bertentangan dengan akal budi.

    ReplyDelete

Post a Comment