Menelusuri Sejarah Doktrin Ketuhanan Roh Kudus


Oleh: Sang Misionaris.

Pendahuluan
    Dalam Konsili Nicea, begitu singkatnya konsili tersebut menyinggung tentang Roh Kudus. Di Konsili Nicea, tidak ada kejelasan yang memadai tentang siapa dan bagaimana Roh Kudus tersebut, meski pada akhirnya Kristen meyakini bahwa Allah itu adalah Roh Kudus, dan istilah Roh Kudus dengan Roh Allah, Kristen tidak membedakan makna di antara keduanya, melainkan menyamakannya, yang ditujukan pada satu nama yaitu Allah yang Trinitas.1 Dalam menguatkan doktrin Roh Kudus, Kristen telah berupaya mencari dukungan banyak ayat di dalam Alkitab sebagai bentuk pembenaran atas doktrin Ketuhanan Roh Kudus yang telah mereka yakini tersebut, meskipun permasalahan tentang doktrin tersebut tidaklah sesederhana paradigmanya Kristiani saat ini, karena sejak awal, doktrin tentang Ketuhanan Roh Kudus terbentuk dari adanya perbedaan pandangan di kalangan Bapa Gereja yang pada akhirnya dituntaskan oleh Konsili Konstantinopel dengan menghasilkan rumusan Pengakuan Iman tetang Roh Kudus, implikasi tersebut jelas bahwa Konsili Konstantinopel telah menetapkan suatu dogma tentang Ketuhanan Roh Kudus yang sifatnya secara resmi telah mengikat semua gereja.  

Pandangan Bapa Gereja Tentang Roh Kudus
    Ketika Konsili Nicea pada tahun 325 M telah selesai menetapkan kedudukan Yesus sebagai Tuhan, maka di kemudian hari, pihak gereja baru menyadari bahwa suatu hal yang tidak mungkin bagi mereka untuk berpegang teguh pada afirmasi yang pendek dari Konsili Nicea tentang Roh Kudus, dan ketika terjadinya permasalahan yang menyangkut tentang Roh Kudus, mereka terdesak untuk menetapkan bahwa Roh Kudus itu adalah Allah.
    Terkait tentang Roh Kudus, Origen meyakini bahwa Allah Putra berada di bawah Allah Bapa dalam esensinya, dan Roh Kudus berada di bawah Allah Anak.2 Namun bagi Arius, Roh Kudus tidaklah memiliki kesamaan, baik dengan Bapa maupun dengan Anak, dan di antara para teolog lain terdapat ketidakpastian yang lebih besar mengenai ajaran Roh Kudus dan juga posisinya dalam Trinitas daripada ketidakpastian tentang homoousios Anak. Eusebius dari Kaisarea, misalnya, telah menempatkan Roh Kudus lebih rendah daripada Bapa dan Anak, dan ia mengajarkan bahwa Roh Kudus adalah ciptaan pertama yang telah diciptakan oleh Anak. Namun bagi Athanasius, Roh Kudus tidaklah memiliki hakikat seperti halnya makhluk, menurutnya, Roh Kudus itu adalah Allah yang satu dengan Keallahan dalam Trinitas, dan ia berkeyakinan bahwasannya Roh Kudus itu kekal, dan Maha Ada. Jadi dalam hal ini, tidak ada keraguan sedikitpun, ia meyakini bahwa Roh Kudus itu adalah Allah, dan menekankan hubungannya antara Roh dan Anak.3
    Sedangkan bagi Tertullianus, Roh Kudus itu pada mulanya adalah satu, yang tidak terpisahkan dengan Firman atau pun Logos, meskipun pada saat Logos tersebut menjadi manusia dan mendapatkan penderitaan. Baru setelah Kristus ditinggikan, menurutnya, Roh Kudus itu keluar dari Bapa dan juga Anak, dan ia menolak bahwasannya ketiga pibadi tersebut adalah sama. Namun lain halnya dengan Augustinus yang menghindari subordinasionismenya Origen dan juga Arius, ia berkeyakinan bahwa Roh Kudus itu memiliki kesamaan dalam hal kuasa, kekekalan, kehendak dan sama besarnya dengan Allah dan juga Anak.4 Tetapi bagi Irenaeus, ketika menyinggung tentang Roh Kudus ia berpendapat sebagai berikut: “Jadi, inilah urutan ketetapan iman kita. …. Pokok ketiga adalah Roh Kudus, melalui Dia Nabi-nabi bernubuat, dan para leuhur belajar tentang segala sesuatu yang berasal dari Allah, dan orang benar ditunun ke jalan kebenaran; Dia yang pada akhir zaman dicurahkan dalam suatu cara yang baru ke atas umat manusia di seluruh bumi, yang membarui manusia bagi Allah.”

 Sebagaimana pernyataan Irenaeus di atas, ternyata ia telah mengidentifikasikan Roh Kudus sebagai bentuk pengilhaman dan pencerahan bagi para Nabi.5 Dan pandangannya tersebut, ternyata tidak jauh berbeda dengan pandangannya Yustinus Martir dalam mengkonsepsikan Roh Kudus, menurutnya, Roh Kudus itu sebagai Roh dari Logos atau Roh Allah yang memberikan inspirasi kepada para nabi dan sebagai sumber dari karunia-karunia spiritual yang ada dalam gereja, yang sekaligus ia menyebutnya sebagai kuasa dari Allah.6  
    Sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, pada masa Bapa Gereja telah terjadi perbedaan pendapat antara satu sama lainnya, yang perbedaan tersebut terjadi karena adanya kesulitan yang mereka alami dalam merasionalisasikan Roh Kudus itu adalah oknum atau pribadi dalam Ketuhanan, yang tentu saja dari adanya perbedaan tersebut mengimplikasikan adanya keevolusian dalam mengkonsepsikan Roh Kudus di kemudian hari. Dari perbedaan pandangan yang ada, tidak jarang pihak yang berseberangan akan dianggap sesat, sebagaimana yang terjadi pada kaum Pneumatomakian yang berkumpul di sekitar Makedonius, Uskup Konstantinopel (342-460 M),7 mereka pada akhirnya dianggap sesat karena telah meyakini bahwasannya Roh Kudus itu bukanlah oknum atau pribadi dalam Ketuhanan Allah, melainkan hanya sebagai kekuatan yang berasal dari Allah.8  

Keputusan Konsili Konstantinopel
    Ketika para Bapa Gereja mengalami perbedaan pendapat tentang Keilahian Roh Kudus, khususnya, Tiga Serangkai dari Kappadokia berupaya melakukan perbaikan dan memformulasi ulang terhadap berbagai pandangan tentang Roh Kudus. Adapun Tiga Serangkai dari Kappadokia itu ialah uskup Basil Agung, Gregori dari Nyssa (adiknya Basil Agung), dan Gregori dan Nazianzus, secara dasariah, mereka semua berbeda dengan Athanasius, dan lebih meneladani Origen. Beberapa warisan dari pemikiran Origen yang nampak dalam pemikiran kaum Kappadokia adalah: dalam ajaran mereka tentang Allah, mereka kurang maju dengan bertolak dari kesatuan makhluk ilahi daripada sekedar bertolak dari tiga pribadi. Walaupun demikian, mereka tetap menekankan homoousios Anak, termasuk pula terhadap Roh Kudus, yang melalui mereka telah dikembangkan suatu terminologi yang dinilai bisa membedakan antara keberadaan Allah pada umumnya dengan pribadi-pribadi itu secara individual. Ketika istilah ousia (esensi, substansi) dan hypostatis (esensialitas, hakikat) digunakan secara campur-aduk oleh generasi Nicea yang paling awal, maka oleh generasi Nicea selanjutnya, mereka menggunakan istilah pertama untuk substansi bersama dalam Trinitas, sedangkan istilah kedua digunakan untuk pengungkapan secara konkret. Jadi, ousia mengacu pada substansi bersama Allah, sedangkan hypostatis pada bentuk-bentuk khusus yang diambil substansi ilahi dari pribadi Bapa, anak dan Roh Kudus, dan pembedaan atas konsep-konsep ini dinilai telah membantu dalam memperjelas ajaran Allah terkait Trinitas.9        
    Meski Konsili Nicea telah berlangsung, namun konsili tersebut mengalami penolakan dari berbagai kalangan, seperti halnya Arius beserta beberapa uskup lainnya pun menolak untuk mengakui Kredo Nicea, dan banyak orang, termasuk pula beberapa kaisar dan anggota-anggota tertentu dalam lingkungan istana kekaisaran, yang sependapat dengan mereka bahwasannya Konsili Nicea tidaklah cukup untuk mengungkapkan iman Kristen.10 Naskah yang diterima dalam Konsili Ekumenis pertama pada tahun 325 M, berakhir setelah frasa “Kami percaya kepada Roh Kudus”, maka pada Konsili Ekumenis kedua pada 381 M, yang dikenal dengan Konsili Konstantinopel, kemudian menambahkan kalimat-kalimat lainnya, kecuali kata-kata ‘dan (dari) Anak’, yang hingga saat ini, versi itulah yang digunakan oleh Gereja Ortodoks Timur dan katolik Yunani. Konsili Konstatinopel merupakan konsili yang telah menegaskan secara ulang atas Konsili Nicea, dan sebagaimana halnya Konsili Ekumenis pertama, Konsili Ekumenis kedua pun merupakan sebuah konsili yang diadakan sebagai bentuk perlawanan terhadap ajaran yang dianggap sesat oleh gereja.11  
    Pertikaian karena adanya perbedaan pandangan tentang Roh Kudus terus terjadi, demi menjaga stabilitas wilayah kekuasaannya, maka Kaisar Teodosius I, yang bersikap memihak kepada Nicea,12 mengadakan pertemuan di Konstantinopel pada bulan Mei sampai Juli 381 M, untuk membahas kontroversi yang terjadi kala itu, cara aman yang ia lakukan dalam menjaga stabilitas wilayah kekuasaannya memiliki kesamaan dengan kaisar sebelumnya, Konstaninus, yang hanya bersifat politis belaka ketika ranah Kekristenan mengalami kekisruhan di dalam internalnya. Konsili yang ia adakan tersebut, dihadiri sekitar 150 orang yang berasal dari Timur, namun tidak ada seorang pun Kristen dari Barat yang menghadiri acara tersebut, dan konsili itu pada akhirnya dipimpin oleh tiga orang yang bernama Malekius (uskup Antiokhia), Gregorius Nazaianze (uskup Konstantinopel), dan Nektarius. Selain mengecam kembali Arius dan ajaran lainnya, Konsili Konstantinopel I pun mengecam pula Macedonius yang telah salah dalam memahami Roh Kudus, sebagaimana yang telah diutarakan sebelumnya. Selain menghasilkan kecaman, konsili itu pun menghasilkan pula sebuah ketetapan dengan menyatakan bahwasannya ada satu Allah dalam tiga pribadi: Bapa, Anak, dan Roh Kudus.13  
    Meski Konsili Konstantinopel I sifatnya hanya meneguhkan kembali apa yang telah dirumuskan dalam Konsili Nicea (325 M), Allah Tritunggal dan juga Kristologinya tidak berbeda dengan Konsili sebelumnya, namun Konsili Konstantinopel I akhirnya melakukan penambahan terhadap Pengakuan Iman yang telah ditetapkan sebelumnya dalam Konsili Nicea. Adapun penambahan yang dimaksud ialah sebagai berikut: “Dan kepada Roh Kudus, Tuhan dan Pemberi kehidupan, yang keluar dari Bapa, yang bersama-sama dengan Bapa dan Anak disembah dan dimuliakan, yang telah berbicara melalui para nabi. Kami percaya kepada gereja yang kudus, am, dan rasuli. Kami percaya kepada satu baptisan untuk pengampunan dosa, kami menyongsong kebangkitan orang mati dan kehidupan yang kekal. Amin.”14 Selain merumuskan ulang Pengakuan Iman Nicea tentang Roh Kudus, ternyata hasil Konsili Konstantinopel tersebut, secara implisit, telah membenarkan dan bahkan mendukung gagasannya Athanasius tentang Roh Kudus,15 meskipun pada akhirnya, Gereja Timur dengan Barat masih memiliki perbedaan.16 Bahkan, jika kita mencermati Pengakuan Iman Athanasius, nampak jelas bahwa dalam Pengakuan Iman tersebut, terutama pada bagian Trinitarian, sangat dipengaruhi oleh pemikiran Augustinus, dan beberapa bagian dari Pengakuan Iman tersebut berasal langsung dari karya Augustinus,17 sedangkan teologi Augustinus itu sendiri ternyata telah dipengaruhi oleh filsafat neo-Platonisme.18
    Suatu hal yang memprihatinkan atas apa yang telah menimpa Kristen selama ini, karena terjadinya perumusan dan kesepakatan dalam Pengakuan Iman, hal tersebut harus diwarnai terlebih dahulu oleh adanya pertikaian teologis di antara mereka, yang tentu saja, jauh sebelum Konsili Nicea dan Konstantinopel terjadi, pertikaian teologis selalu kental mewarnai teologi Kristen, apapun itu permasalahannya. Kristen dengan aliran teologi manapun selalu meyakini bahwa dalam kehidupan yang mereka jalani, selalu mendapatkan bimbingan dari Roh Kudus, lalu sebelah mananya Roh Kudus berperan aktif bagi Kristen atas peristiwa yang telah terjadi di atas? Dalam menghasilkan keputusan resmi, mengapa suatu keputusan yang diambil oleh gereja yang sifatnya teologis harus diwarnai terlebih dahulu oleh pertikaian? 

 Dan saat terjadinya pertikaian teologis antar internal Kristen, dimanakah keberadaan Roh Kudus kala itu? Adanya pertanyaan yang saling berkaitan tersebut, tentu saja akan dijawab secara asumtif oleh Kristen karena ketidakmampuan mereka dalam memberikan penjelasan secara logis kepada kita, sebagaimana halnya yang pernah penulis alami ketika mempertanyakan hal yang serupa kepada Pdt. Suhento Liauw pada saat ia mengisi seminarnya di salah satu kota di Indonesia.   

Misinterpretasi Kristen Yang Menghasilkan Doktrin
    Adapun pandangan Kristen yang menyatakan bahwa Roh Kudus itu adalah Allah, yang sama kekal, dan sama ilahi-Nya dengan Bapa, hal tersebut telah menyebabkan munculnya ungkapan Allah Roh (God the Spirit), di samping Allah Bapa dan Allah Anak. Secara eksplisit, istilah Allah Roh baru muncul pada pengakuan Iman ke-11 dari Konsili Toledo pada tahun 675 M, dan pemahaman atas ungkapan tersebut, terus hidup dalam pergumulan dogma gereja.19 Roh Kudus diyakini oleh Kristen sebagai pribadi karena diyakini bahwa ia memiliki pikiran, perasaan, kecerdasan, dan juga kehendak. Sedangkan Roh Kudus diyakini sebagai Allah, karena Roh Kudus memiliki kekekalan, Maha Kuasa, Maha Ada, dan Maha Tahu. Dan lebih dari itu, Kristen meyakini pula bahwa Roh Kudus bersama dengan Allah dan Anak, secara bersama-sama telah menciptakan bumi ini.20  
    Penciptaan alam semesta, diyakini Kristen, telah didasari karena adanya frasa jamak dalam Kitab Kejadian 1:26. Dan sebagaimana yang Stanley jelaskan di dalam karyanya, terkait tentang ayat tersebut, ia langsung kepada suatu kesimpulan bahwasannya masuk akal jika mempercayai Roh Kudus yang telah aktif bersama Allah Bapa dan Allah Anak dalam hal penciptaan.21 Namun nyatanya, penggunaan akhiran dalam nas orang pertama jamak pada Kitab Kejadian tersebut, telah mengundang masalah penafsiran dan dogmatis yang luas di kalangan Kristen, terutama dalam konsep Keesaan Allah dan Ketritunggalan Allah, dikarenakan makna yang dihasilkan tidaklah tunggal, dan berikut ini terdapat tujuh pendapat mengenai makna pengunaan kata “kita” dalam Kitab Kejadian 1:26: 22
1.    Menurut pandangan umum Kristen, kata “kita” merupakan bukti langsung tentang Ketritunggalan Allah. Pandangan itu menegaskan bahwa Allah Bapa (pencipta) meminta pertimbangan dari Yesus Kristus (Anak Allah) dan Roh Kudus untuk menciptakan manusia.
2.    Ada pula yang mengartikan kata “kita” sebagai suatu pluralis maestatis atau sebutan jamak kehormatan.
3.    Namun sejumlah pakar bahasa Ibrani menaruh keberatan atas konsep jamak kehormatan itu. Mereka mengatakan bahwa bahasa Ibrani tidak mengenal konsep jamak kehormatan seperti itu. Bahasa Ibrani hanya mengenal tipe penggunaan kata “kita” sebagai “a typical of deliberative style.” Karena itu, menurut mereka, kata “kita” dalam Kejadian 1:26 harus dipahami sebagai “a plural of deliberation”, yakni gaya penyebutan diri sendiri secara jamak dalam proses pertimbangan dan pengambilan keputusan.
4.    Ada pula yang berpendapat bahwa kata tersebut merupakan sisa dari mite penciptaan yang masih tetap dipertahankan para penulis P dalam tulisannya, terutama dari konsep mitologis mengenai pantheon atau dewan surgawi.
5.    Beberapa orang menghubungkan kata itu dengan sebutan “Elohim”, yaitu bentuk jamak dari kata “E”. Mereka berargumentasi bahwa kata “kita” merupakan konsekuensi yag tidak terhindarkan dari nama “Elohim”.
6.    Meredith G. Kline dan W. Lempp mengusulkan pemahaman bahwa Allah berbicara sebagai Raja Surgawi yang didampingi oleh Bala Tentara Surgawi-Nya. Pendapat tersebut hampir sama juga dengan Midras Yahudi yang mengatakan bahwa Allah berbicara dengan the ministering angels.
7.    H.C. Leupold mengatakan bahwa kata “kita” berkaitan dengan kedudukan manusia sebagai “gambar dan rupa Allah”. Menurutnya, Allah menyebut diri-Nya sendiri dengan menggunakan akhiran ganti orang pertama jamak karena manusia yang hendak diciptakan-Nya itu adalah jamak yang terdiri dari laki-laki dan juga perempuan.
Dari penjelasan di atas, maka bisa kita simpulkan bahwa para teolog sendiri memiliki berbagai pandangan dalam memaknai kata “kita” pada Kitab Kejadian 1:26, dan tidak memiliki makna tunggal, sebagaimana keyakinan Kristen selama ini.  
    Dan sesungguhnya, keyakinan Kristen yang meyakini bahwa Allah itu Roh, tidaklah bisa terlepas dari adanya kesalahan perspektif mereka dalam memahami Perjanjian Lama, terlebih sosio-politik Kristen kala itu telah dipengaruhi oleh helenistik Yunani-Romawi, yang di kemudian hari, konsepsi tersebut pada akhirnya mengalami pembentukan dan pengembangan dalam teologisnya. Banyak para ahli teolog, seperti halnya Paul Volz, Robert Koch, Ludwig Koehler, W. Eichrodt, dan lain-lain, telah memberikan penjelasan yang cukup lugas dan komprehensif terkait tentang Roh Allah, dan mereka tidaklah mengidentifikasikan bahwa Allah itu Roh, sebagaimana halnya keyakinan Kristen.
    Paul Volz, misalnya, ketika menjelaskan tentang Kejadian 1:2, ia tidak mengidentifikasikan bahwa Roh Allah itu adalah Allah itu sendiri dan tidak pula mengidentifikasi bahwa Roh yang dimaksud adalah salah satu oknum dalam Ketuhanan Trinitas, sebagaimana halnya keyakinan Kristen. Ketika ia menyinggung frasa ‘Roh Allah (ruakh elohim)’ dalam ayat tersebut, ia mengartikannya dengan ‘angin kuat dari Allah’, karena menurutnya, arti dasar dari ruakh adalah udara, termasuk pula didalamnya itu adalah angin atau badai. Jika Kristen berkeyakinan bahwa Allah itu Roh, maka dalam Kejadian 41:38 yang melukiskan tentang Yusuf penuh dengan Roh Allah bisa diartikan bahwasannya di dalam diri Yusuf ada Allah. Jika Allah ada di dalam diri Yusuf, tentu saja Allah terkukung dan bahkan dikuasai oleh ruang dan waktu, ketika hal itu terjadi, maka ruang dan waktu bisa dikatakan lebih berkuasa dibandingkan Allah itu sendiri. Sama halnya dengan Paul Volz, Robert Koch pun memulai arti dasar untuk ruakh dengan mengartikannya sebagai angin, yang dinilai sebagai sumber kesuburan, yang memberi kekuatan alam, dalam artian, bahwa ruakh dilihat dan dimengerti sebagai napas kehidupan yang berasal dari Allah.23  
    Dalam menjelaskan tentang ruakh, Ludwig Koehler, di dalam buku Perjanjian Lama yang ditulisnya pada salah satu sub-judul, “Gott offenbart sich durch den Geist (Allah Menyatakan Diri Melalui Roh), telah memberikan penjelasan yang cukup luas tentang ruakh bila dibandingkan dengan penjelasan yang telah diberikan oleh Paul Volz dan juga Robert Koch. Menurutnya, ruakh tidak hanya memiliki satu arti, melainkan banyak dan bervariasi:
1.    Angin, udara yang bergerak, napas.
2.    Roh, sebagai pembawa hidup (Hab. 2:19), semangat hidup (Yos. 2:1), perasaan (Ayub 7:11), hati/timbul di dalam hati (Yeh.11:5), kemauan (Kel. 35:21); dan arti-arti demikian dimasukkan ke dalam pengertian antropologis dan psikologis.
3.    Roh yang tidak berbentuk person, tetapi memberikan pengaruh mendorong: roh dalam arti demikian itu dimengerti sebagai “materi” (Stoff), yang dapat menghasilkan banyak bentuk, seperti roh kehidupan atau yang membawa hidup (Kej. 6:17), roh seni kecakapan (Kel. 28:3), roh kebijaksanaan (Yes. 11:2), roh kecemburuan(1Sam. 16:23), roh kemarahan (1Sam.16:23), roh pengetahuan dan roh takut akan Tuhan (Yes. 11:2), roh untuk tidur nyenyak/ketiduran (Yes. 29:10), roh kecabulan (Hos. 4:12), roh pengampunan/anugerah dan permohonan (Za. 12:10), dan lain-lain. Jadi, menurut penelitian Koehler, ada banyak macam pengaruh rih, tetapi tidak banyak roh dalam arti personifikasi.
4.    Hakikat dan pemilikan Allah.24  
Dan menurut Siahaan, pengaruh dan pekerjaan Roh kemudian dikembangkan dan dihubungkan dengan tulisan-tulisan suci atau Kitab Suci, yang diyakini sebagai hasil dari inspirasi Roh, sehingga firman Allah berbentuk yang sekarang ini. Kemudian, ia menambahkan, pengertian Roh dipengaruhi oleh ajaran dari aliran Stoa dan juga Philo, di mana Roh dimengerti sebagai unsur kosmis yang panteistik dari dunia keseluruhan.25
    Dan pernyataan Siahaan di atas, selaras dengan pandangannya Berkhof, yang menurutnya, para apologet Kristen telah berusaha untuk menyesuaikan Injil dengan semangat zaman, dalam artian, Kristen ingin membuktikan kepada masyarakat kala itu bahwasannya hanya Injil saja yang menggenapi segala cita-cita filsafat Yunani.26 Dari adanya pandangan mereka tersebut, tentu saja mencerminkan bahwasannya antara Kristen dan helenistis memiliki kedekatan yang begitu sangat intim. Dan hal tersebut terbukti dari adanya pandangan-pandangan positif pihak Kristiani terhadap helenistis, sebagaimana halnya yang terjadi pada Yustinus Martir, misalnya, ia mengemukakan bahwa pernyataan Allah adalah filsafat yang sebenarnya dan merupakan jawaban bagi apa yang dicari oleh para filsuf di masa lalu. Ia meninggikan Socrates sebagai teladan dan menekankan bahwa umat Kristiani sama seperti halnya kaum Platonis, dan segala yang baik dari kebudayaan helenistis diakui, diterima dan dihubungkan dengan Logos. Bahkan, Yustinus dan para apologet lainnya menekankan kemungkinan untuk mengintegrasikan pernyataan Kristen ke dalam pemikiran dan kebudayaan helenistis, dan ia mempertahankan umat Kristen dari tuduhan palsu dan menekankan bahwa umat Kristiani pun berdoa bagi Kaisar. Sikap demikian, tidak hanya dilakukan oleh Yustinus Martir, melainkan dilakukan pula oleh Clemens dari Alexandria, ia berpendapat bahwa Logos menerangi semua orang, dan menurutnya, filsafat yang diberikan oleh Allah kepada orang-orang Yunani sebagai persiapan bagi Injil. Bahkan lebih dari itu, Logos menurutnya telah mengilhami beberapa orang Yunani dengan cara seperti nabi-nabi Ibrani.27
    Jadi suatu hal yang tidak bisa dipungkiri oleh Kristen bahwasannya pandangan para Bapa Gereja, termasuk pula pandangan mereka tentang Roh Kudus, memiliki alur pemikiran yang semuanya bermuara kepada filsafat Yunani, dan implikasi tersebut menegaskan bahwa pandangan teologi yang telah dihasilkan oleh Kristen selama ini, tidaklah murni dihasilkan oleh Kristen itu sendiri, melainkan gagasan yang diperoleh dari helenisme yang pada akhirnya dikembangkan di kemudian hari. Pandangan demikian, ternyata diamini oleh Linda Smith dan William Raeper, di dalam karyanya,28 mereka memaparkan kepada kita bagaimana teologi dalam Kekristenan memiliki pandangan yang serupa dengan pemikiran Aristoteles dan juga Plato, yang pandangan mereka tersebut pada akhirnya digunakan dan juga dikembangkan oleh Kristen. Misalnya, teori Forma Plato yang memiliki pengaruh yang besar dalam perkembangan Kristianitas, menurut mereka, para pemikir Kristen awal telah menggunakan ide Plato mengenai dunia di atas untuk mengembangkan ide-ide mengenai surganya Kristen, dan tidak itu saja, Logos Plato pun mendapatkan tempat dalam Kekristenan, sebagaimana teori Forma Plato. Sedangkan Aristoteles, yang percaya akan suatu Penggerak Tak-Tergerakkan (atau Pertama), suatu pengada yang jauh dan tidak berubah yang menyebabkan perubahan dunia, pada akhirnya diambil alih oleh Kristen sebagai Allah bagi orang Kristen.

Kesimpulan
    Perbedaan yang melahirkan pertikaian dalam aspek teologis, seakan-akan telah menjadi ciri khasnya Kristen, yang pada akhirnya, pertikaian yang terjadi harus diselesaikan oleh suatu konsili, selain memberikan pengutukkan atau penisbatan sesat kepada orang-orang atau kelompok yang berseberangan dengan mereka, konsili tersebut pun menghasilkan pula suatu keputusan yang sifatnya dogmatis dan mengikat seluruh gereja. Adapun formulasi Roh Kudus yang dihasilkan oleh Kristen dan ditetapkan secara resmi oleh Konsili Konstantinopel, pada dasarnya konsep tersebut bukanlah konsep yang orisinil dari Kristen, melainkan suatu konsep yang didapatkan dari filsafatnya Yunani, yang di kemudian hari dikembangkan oleh Kristen, meski harus diawali oleh perbedaan konsepsi di antara Bapa-bapa Gereja. Dan jika kita mempertanyakan kepada Kristen terkait adanya perbedaan yang menghasilkan pertikaian di internal Kristen, baik dari dulu maupun hingga kini, lalu dimanakah peran Roh Kudus tersebut dan kepada siapakah Roh Kudus memihak, ketika setiap orang atau gereja saling mengklaim bahwa mereka telah mendapatkan bimbingan dari Roh Kudus? Tentu saja, jawaban yang mereka berikan akan bias dan terkesan akan menutup-nutupi segala polemik yang terjadi di internal Kristen.      

Catatan Kaki:
1. Stanley M. Horton, Oknum Roh Kudus, (Malang: Gandum Mas, tanpa tahun), hlm. 20.
2. Louis Berkhof, Teologi Sistematika 1: Doktrin Allah, ter. Yudha Thianto, (Surabaya: Momentum, 2016), hlm. 141-142.
3. Bernhard Lohse, Pengantar Sejarah Dogma Kristen: Dari Abad Pertama Sampai Dengan Masa Kini, terj. A.A. Yewangoe, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015), hlm. 77-78.
4. Budyanto, Mempertimbangkan Ajaran Tentang Trinitas, (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2001), hlm. 43-46.
5. Linwood Urban, Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen, terj. Liem Sien Kie, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), hlm. 64-65.
6. Budyanto, op.cit., hlm. 17-18.
7. Bernhard Lohse, op.cit., hlm. 77.
8. Soedarmo, Ikhtisar Dogmatika, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015), hlm. 121.
9. Bernhard Lohse, op.cit., hlm. 78-79.
10. B.K.Kuiper, The Church In History, terj. Desy Sianipar, (Malang: Gandum Mas, 2010), hlm. 37.
11. Bambang Subandrijo, Yesus Sang Titik Temu Dan Titik Tengkar: Sebuah Studi Tentang Pandangan Kristen Dan Muslim Di Indonesia Mengenai Yesus, (Jakarta: Unit Publikasi STT Jakarta dan BPK Gunung Mulia, 2016), hlm. 33 dan 35.
12. Jonathan E. Culver, Sejarah Gereja Umum, (Bandung: Biji Sesawi, 2013), hlm. 124.
13. Credo Dan Relevansinya: Ulasan Komprehensif Rumusan Iman Kristiani, editor: Josep Ferry Susanto, (Jakarta: Obor, 2014), hlm. 59 dan 62.
14. Bambang Subandrijo, op.cit., hlm. 34.
15. Jonathan E. Culver, op.cit., hlm. 124-125.
16. H.Berkhof-I.H. Enklaar, Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), hlm. 55-56.
17. Bambang Subandrijo, op.cit., hlm. 39.
18. H.Berkhof-I.H. Enklaar, op.cit., hlm. 64.
19. Budyanto, op.cit., hlm. 57-58.
20. Jonar T.H. Situmorang, Pneumatologi, (Yogyakarta: Andi, 2016), hlm. 12-13, dan 20-23.
21. Stanley M. Horton, op.cit., hlm. 18-19.
22. Marthinus Theodorus Maweme, Perjanjian Lama Dan Teologi Kontekstual, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), hlm. 181-182.
23. S.M. Siahaan, Ruakh Dalam Perjanjian Lama: Tinjauan Historis-Teologis Atas Pengertian Roh, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), hlm. 11-14.
24. Ibid., hlm. 15-16.   
25. Ibid., hlm. 25-26.
26. H.Berkhof-I.H. Enklaar, op.cit., hlm. 39.
27. Leo D. Lefebure, Pernyataan Allah, Agama dan Kekerasan, ter. Bambang Subandrijo, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), hlm. 137-138.
28. Linda Smith dan William Raeper, Ide-Ide: Filsafat Dan Agama, Dulu Dan Sekarang, (Yogyakarta: Kanisius, 2011), hlm. 20.

Comments

  1. Roh Kudus dalam bahasa Ibrani adalah Ruakh haKodesh ( רוח הקודש ), yang terkadang dalam perjanjian baru Dia juga disapa dengan sebutan Roh Elohim ( רוח אלהים ).
    🕎✡🐟✝🕊⁦🇮🇱⁩

    ReplyDelete

Post a Comment