Konsili Kalsedon: Penyebab Dan Dampaknya Bagi Kekristenan

Oleh: Sang Misionaris.
   
Pendahuluan
    Hidup di tengah masyarakat yang menganut helenisme, telah membuat Kristen tidak sanggup dalam melindungi apa yang mereka yakini untuk bisa terbebas dari adanya pengaruh masyarakat yang ada disekitarnya. Mukjizat yang dilakukan oleh Yesus, telah membuat sebagian orang menduga-duga tentang jati dirinya tanpa pernah bisa dilakukan pengklarifikasian, sedangkan beredarnya informasi melalui oral tentang Yesus,  telah memperparah keadaan, terlebih para pemberi informasi tersebut tidak hidup sezaman dengan Yesus. Adanya desas-desus yang pertama kali tersebar tentang Yesus ialah adanya anggapan bahwa Yesus tersebut adalah seorang Mesias, anggapan tersebut semakin diperkuat dengan adanya mukjizat yang Yesus miliki melebihi manusia pada umumnya, namun seiring dengan berjalannya waktu, ternyata anggapan Yesus mengalami perkembangan dengan menjadikannya sebagai Tuhan. Dan pengisahan tentang Yesus sebagai Tuhan, akhirnya mendapatkan legalitas dari gereja setelah gereja mengadakan Konsili Nicea (325 M), namun selama lebih dari satu abad lamanya, Kristen belum menyadari bahwa ia hanyalah seorang manusia sebagaimana hal mereka, yang pada akhirnya melahirkan kembali pertentangan dalam internal Kristen dan juga skisma pada Katolik.  

Konsili Kalsedon: Penyebab Dan Hasil Keputusannya
    Dalam teologi Kristen, pembahasan tentang Kristologi dan juga Trinitas tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya, baik dalam hubungannya dengan sejarah dogma maupun dalam teologi sistematika, karena setiap afirmasi dalam kristologis, senantiasa mengandung suatu pemahaman tertentu mengenai Trinitas, dan begitu juga sebaliknya, setiap afirmasi Trinitas mengandung pula pemahaman kristologis.1 Doktrin Trinitas, memiliki hubungan timbal balik dengan Kristologi yang titik penghubungnya adalah inkarnasi. Trinitas menjelaskan tentang ke-Allah-an Kristus dan hubungannya dengan Bapa sebelum ia berinkarnasi (menjelma), sedangkan Kristologi mengacu kepada kemanusiaan Yesus dan ke-Allahan-nya ketika ia menjelma, dan adanya silang pendapat tentang Kristologi, ternyata lebih rumit dan tidak terselesaikan secara tuntas. Jika dalam Trinitas kita menemukan adanya dua kontroversi yaitu Sabellianisme/Modalisme dan juga Arius, maka dalam Kristologi terdapat lima kontroversi yakni Apollinaris, Nestorius, Eutyches, Monofisit, dan Monothelit.2  
    Pada abad ke-4 M, telah terjadi pertikaian theologia dalam Kristen yaitu gereja telah menetapkan pengakuannya tentang keesaan dan kesamaan hakekat Yesus dengan Bapa, karena gereja baru menyadari bahwasannya manusia hanya dapat diselamatkan oleh Kristus apabila ia (Yesus) adalah benar-benar Allah. Maka menurut gereja, jika Kristus hendak mengembalikan dunia ini kepada Tuhan, maka ia haruslah benar-benar sebagai Allah dan juga sebagai seorang manusia.3 Dari adanya alasan tersebut, Kristen mula-mula telah sejak awal mencari jalan keluar dari adanya kebuntuan mereka dalam merasionalisasikan Allah, yang upaya mereka tersebut direalisasikan dengan mencantumkan dan mengaitkan nama Yesus dengan Allah. Adanya pencantuman Yesus disamping Allah, yang pencantuman Yesus secara terencana tersebut telah memberikan bentuk “dwi-tunggal” pada praktik penyembahan Kristen mula-mula, di mana penyembahan dalam ibadah bersama ditujukan kepada Allah dan juga Yesus. Menurut keyakinan Kristen, Yesus dinilai berhak untuk menerima penyembahan, dikarenakan Bapa (Allah) telah meninggikan dia dan juga memberikan status yang unik baginya, yang argumentasi mereka tersebut mereka sandarkan pada Perjanjian Baru, khususnya pada tulisannya Paulus semisal Filipi 2:9-11.4  
    Selama terjadinya kontroversi Arius, pertanyaan tentang apakah Yesus mempunyai jiwa manusia ataukah tidak, kala itu masih belum dikenal oleh orang-orang Kristen mula-mula, pihak Arius menolak adanya kehadiran jiwa manusia dalam Logos yang berinkarnasi, menurutnya, Logos telah menggantikan tempat jiwa, sehingga tubuh Yesus dengan sendirinya tanpa adanya jiwa. Namun Athanasius menolak pandangannya karena jika Logos menggantikan jiwa manusia maka Logos dengan demikian terbukti memiliki tabiat sebagai ciptaan, dan jika Logos menggantikan tempat jiwa manusia, maka segala sesuatu yang dikatakan mengenai kesengsaraan dan kematian Yesus pun mesti mengacu bukan pada jiwa manusianya, tetapi kepada Logos itu sendiri. Ketika Logos mengalami suatu penderitaan, tentunya Logos tidak mungkin dianggap kekal, dan dengan demikian bahwa Logos hanyalah sebagai ciptaan saja. Dari pandangan Athanasius tersebut, sebenarnya ia tidak pernah menolak tentang adanya kehadiran jiwa manusia dalam diri Yesus, namun jika kita menilik gagasannya, maka secara implisit bahwa Yesus telah memiliki dua jiwa, sebagaimana yang terdapat pada gagasan Erastus Sabdono yang menyatakan bahwa roh Yesus bukanlah roh Theos, atau pun rohnya Bapa, melainkan rohnya Yesus sendiri, dalam artian, Yesus memiliki dua roh (Rohnya manusia dan juga Roh Kudus).5
    Gagasan Apollinaris, sebenarnya hampir sama dengan Athanasius. Apollinaris berkata:  “Jika kita memanggil dia (Yesus) manusia yaitu dia yang dilahirkan oleh Maria, dan yang disalibkan, maka kita menjadikan dia sebagai manusia dan bukan sebagai Allah, dan di dalam manusia kehidupan yang telah diberikan oleh Allah tidak dapat ditemukan.” Tidak hanya itu, Apollinaris pun meyakini pula bahwa Logos tidak mengambil suatu bentuk roh, tetapi Logos menggantikan roh. Namun di kemudian hari, ia mengubah pendapatnya tersebut dan mengakui tentang adanya kehadiran jiwa dalam diri Yesus yang duniawi dengan menempatkan Logos ditempat roh manusia. Cukup lama Gereja baru menyadari tentang adanya bahaya dan kesalahan dalam ajaran Apollinaris, dan selama kontroversi Arius, Kristologi Apollinaris akhirnya ditolak oleh berbagai sinode, khususnya pada Konsili Oikumenis II yang diselenggarakan di Konstantinopel pada tahun 381 M.6  
    Gagasan Apollinaris, tidak hanya itu saja. Ia pun mengajarkan pula bahwa Yesus telah diarahkan oleh budi ilahi, yang dagingnya adalah manusiawi tetapi budinya adalah ilahi, akan tetapi, gereja menentangnya dikarenakan adanya keyakinan gereja yang meyakini bahwa Yesus memiliki tubuh, budi dan jiwa sebagaimana halnya manusia.7 Ketika pengutukan kepada Apollinaris di Konsili Konstantinopel pertama terjadi, pembahasan tentang Kristologi Firman-manusia telah menjadi pembahasan yang utama dan bahkan telah berkembang sampai ke wilayah Antiokhia, kekuatan dari pemahaman Antiokhia terletak pada penekanannya atas kemanusiaan yang sepenuhnya dan juga keilahian yang sepenuhnya bagi Yesus.
    Theodore dari Mopsuestia menjelaskan inkarnasi dengan sebuah analog seorang raja yang menghiasi dirinya dengan sebuah kerajaan dan berbicara tentang Logos yang mendiami kemanusiaan sebagai suatu rumah ibadah, ia juga berbicara tentang kesatuan itu sebagai suatu kebersamaan antara Allah dan manusia dan menyimpulkan bahwa kedekatan Allah dan manusia di dalam Kristus mensahkan pemujaan atas manusia tersebut, sama halnya dengan penampilan seorang bangsawan yang telah menjadikan penghormatan atas pakaiannya sebagai suatu hal yang wajar. Ketika Theodore memberikan analoginya tersebut, akhirnya pemikiran Nestorius pun terpengaruhi, sama halnya seperti Theodore, Nestorius pun meyakini pula bahwa di dalam Kristus ada tiga pribadi atau prosopa: satu pribadi Logos, satu prosopon tabiat atau hakikat manusiawi, dan satu prosopon kesatuan, dan dalam hal ini, Nestorius yang merupakan pengikut Origen, telah meyakini bahwasannya Yesus itu benar-benar manusia.8 Namun Konsili Efesus (431 M), dalam Rumusan Penyatuan Kembali telah dengan tegas menyatakan adanya doktrin dua tabiat (natur). Konsili tersebut mengumumkan pula doktrin tentang kesatuan antara Allah dan manusia di dalam satu pribadi, dan tidak mendukung gagasan dari Nestorius tentang kebersamaan, serta tidak mendukung pula gagasan dari lawannya yang berasal dari Cyrilus (pengikut Irenaeus dan Athanasius) tentang kesatuan dalam satu hypostatis, hypostatis yang menjadi hypostatis Firman, dan meyakini bahwasannya Yesus sebenar-benarnya Tuhan.9 Namun nyatanya, sikap konsili ini pun masih sama dengan Konsili Kalsedon yang pada akhirnya menyelesaikan masalah tersebut dengan menetapkan bahwa pribadi dan hypostatis memiliki makna yang sama.10
    Pada Konsili Efesus, Nestorius akhirnya disalahkan dan ia diberi waktu sepuluh hari untuk menarik kembali kembali ajarannya.11 Namun, karena Nestorius sendiri enggan menarik ajarannya setelah habis masa tenggang yang diberikan oleh Gereja, maka pada tahun 435 M, ia pada akhirnya dibuang ke gurun pasir yang berada di Mesir, dan pada tahun 451 M, Nestorius secara resmi digolongkan sebagai seorang pembelot atau sesat. Meski Gereja Mesir tidak setuju dengan gagasannya Nestorius, tapi Gereja tersebut tetap menolak keputusan itu, dan Gereja Mesir akhirnya pun bertikai dengan Ortodoksi Roma yang lambat-laun justru malah bergabung dengan Gereja Koptik.12  
    Terkait tentang inkarnasi, Lumintang berusaha memberikan penjelasan tentang hal tersebut dengan menempatkan inkarnasi sebagai sebuah pernyataan diri Allah kepada manusia dalam konteks dan waktu yang khusus, yang gagasan itu dinilai olehnya sebagai sebuah perwujudan dari maksud Allah, yaitu melakukan penebusan bagi manusia yang berdosa. Dia pun menambahkan, bahwa yang melakukan inkarnasi tersebut adalah pribadi kedua Allah Tritunggal yang menjadi manusia, yang tetap diyakini sebagai Allah, dan inkarnasi dianggap olehnya sebagai sebuah keunggulan Yesus sebagai Allah yang sejati.13    
    Terjadinya perdebatan tentang Kristologi antara Cyrilus (mewakili pihak Alexandria) dengan Nestorius (wakil dari Antiokhia), masih saja terus berlanjut, hal itu ditandai dengan adanya sikap Cyrilus dan para pengikutnya yang telah mengabaikan Konsili Efesus, dan membuka sidang muktamar sendiri sambil memberikan kutukan terhadap Nestorius. Cyrilus memberikan predikat Theotokos (yang melahirkan Allah) kepada Maria, namun gagasannya tersebut ditentang oleh Nestorius, Nestorius mengaitkan Apollinarianisme dengan orang-orang yang memakai ungkapan “yang melahirkan Allah” bagi Maria. Menurutnya, gelar bagi Maria akan menjadikan Kekristenan sebagai bahan tertawaan di antara orang-orang kafir, dan di sisi lain, gelar bagi Maria pun tidak pernah ditemukan di dalam Alkitab maupun di dalam Konsili Nicea. Adanya pertentangan tersebut, akhirnya sampai kepada telinganya Kaisar, yang pada mulanya Kaisar mendukung pendapat keduanya, dikarenakan Cyrilus telah menggunakan cara yang kotor dalam menghadapi Nestorius yakni melakukan penyuapan kepada para uskup dengan menawarkan emas,14 maka pada akhirnya ia pun berhasil menempatkan dirinya sebagai patriarkh, dan kemenangannya tersebut merupakan sebuah kemenangan yang besar ketika ia berhasil mendapatkan pengakuan atas sinodenya sebagai Konsili Oikumenis III, dan sikap Cyrilus yang bermuatan politis, telah menjadikan perbedaan teologis sebagai dalih untuknya dalam merebut kekuasaan dari Nestorius, yang sebelumnya telah menjabat sebagai seorang patriarkh.15  
    Pada tahun 451 M, para pemimpin Gereja akhirnya bertemu di Kalsedon, dekat Konstantinopel, konsili ini merupakan sebuah pertemuan para pemimpin Gereja untuk menanggapi adanya perbedaan pendapat mengenai hakikat Yesus, dan konsili ini menetapkan bahwa Yesus memiliki dua hakikat, ilahi dan juga manusia.16 Adapun beberapa keputusan yang telah dicapai dalam Konsili Kalsedon, Jonathan menyampaikannya sebagai berikut:
a.    Kemanusia dan ke-Allah-an Kristen telah dinyatakan bahwa, “… Tuhan kita Yesus Kristus…adalah Allah sejati dan manusia sejati…. Ia sehakikat (homoousia) dengan Sang Bapa sebagai Allah, sehakikat dengan kita dalam kemanusiaan; Ia sama seperti kita dalam segala sesuatu kecuali dalam hal Dia tidak berdosa …”
b.    Istilah dianakkan dan tujuan Yesus berinkarnasi telah dinyatakan bahwa, “Sebagai Allah Ia dianakkan dari Bapa sebelum segala zaman…tetapi demi keselamatan kita, Ia dianakkan dari perawan, sang Theotokos.”
c.    Kesatuan dua tabiatnya muncul pernyataan bahwa, “(Ia) diperkenalkan kepada kita dengan dua pribadi (yang berbeda), keduanya tidak saling membaur dan tidak berubah, tidak terbagi, dan tidak terpisahkan; perbedaan tabiat tersebut tetap dipelihara, tetapi keduanya menyati di dalam satu Oknum dan satu hypostatis…tidak terpisahkan dan atau tidak terbagi menjadi dua Oknum…”17   
    Surat Paus Leo, Tome of Leo, nampaknya telah menghasilkan kesan yang kuat bagi Kalsedon, rumusan Kalsedon mengumandangkan Tome of Leo dalam dukungannya atas Kristologi Firman-manusia dan penolakannya atas Decotisme, Apollinarianisme, dan juga Monofisitisme. Dan pada saat kondisi yang sama, Kalsedon pun mengadopsi pula pengertian “kesatuan hypostatis” dari Cyrilus dari Alexandria. Menurutnya, perbedaan tabiat itu dengan cara apa pun tidak bisa dihilangkan oleh kesatuan itu, namun lebih merupakan keadaan yang memelihara karakteristik tiap-tiap tabiat dan muncul bersama-sama untuk membentuk satu pribadi dan hypostatis, dan tidak terbagi atau terpisah ke dalam dua pribadi, tetapi satu dan Anak (Yesus) yang sama dan satu-satunya Allah Firman yang diperanakkan.18  
    Adapun hasil rumusan doktrin Konsili Kalsedon secara lengkapnya adalah sebagai berikut:   
“Karena itu, sesuai dengan (pandangan) bapa-bapa suci, kami sepakat untuk mengajarkan bahwa kami mengakui Tuhan kita, Yesus Kristus, sebagai Putera yang satu dan sama, yang sama sempurnanya dalam ke-Allah-an dan yang sama sempurnanya dalam kemanusiaan, Allah yang sejati dan manusia yang sejati, yang mempunyai jiwa dan tubuh rasional yang sama (dengan manusia), berkonsubstansi dengan Bapa dalam keilahian, dan berkonsubstansi kita dalam keinsanian, sama seperti kita dalam segala sesuatu kecuali dosa, dilahirkan dari Bapa sebelum (ada) segala zaman (apabila itu) menyangkut keilahiannya, pada hari-hari yang terakhir, ia dilahirkan dari perawan Maria, Theotokos, oleh karena kita dan demi keselamatan kita, (apabila itu dipandang dari kemanusiaannya). Kristus yang satu dan yang sama, putera, Tuhan, yang hanya dilahirkan, dikenal dalam dua tabiat tanpa percampuran, tanpa perubahan, tanpa pemisahan, tanpa pembagian, (di antara kedua tabiat itu); perbedaan di antara kedua tabiat itu sama sekali tidak ditiadakan oleh adanya kesatuan, tetapi sifat dari masing-masing tabiat itu dipeliharakan dan digabungkan dalam satu prosopon dan satu hypostatis tidak dibagi-bagi atau dipisah-pisahkan ke dalam dua prosopa, tetapi putera yang sama dan satu-satunya, yang hanya dilahirkan, kalam ilahi, Tuhan Yesus Kristus, sebagaimana nabi-nabi Perjanjian Lama dan Yesus Kristus sendiri mengajarkannya kepada kita mengenai dia dan pengakuan iman bapa-bapa (suci) diturunkan (kepada kita).”19

Dampak Konsili Kalsedon
    Sama halnya dengan Konsili Nicea, Konsili Kalsedon pun dinilai tidak mampu mewujudkan kesatuan di antara kelompok-kelompok yang saling bertentangan, terlebih para pengikut Kristologi dari Alexandria merasa bahwa pengakuan iman yang dihasilkan oleh Konsili Kalsedon dianggap kurang memperhatikan atas apa yang telah mereka perjuangkan selama ini, yang menurut pendapat mereka bahwa kesatuan tabiat Yesus dalam pribadi Kristus kurang mendapatkan penekanan.20 Dari adanya pihak yang menolak terhadap keputusan Kalsedon tersebut, hal itu telah menambah parah persatuan Gereja-gereja, Gereja di Persia memutuskan hubungannya dengan Konstantinopel, bahkan mereka mengaku bahwa ajaran mereka adalah ajaran yang berasal dari Nestorius, dan ajaran Nestorius tersebut semakin kuat dan mampu menyebar sampai ke wilayah ke Asia Tengah dan juga Peking. Tidak hanya itu, pada abad ke-5 M, banyak Gereja yang telah memisahkan diri dengan Gereja Katolik, seperti halnya Gereja Armenian, Abesinia, Siria, Mesir (Koptik), yang semua Gereja tersebut memihak theologinya Cyrilus atau ajaran monophysit.21    
    Seringkali para penentang dari pengakuan iman Khalsedon menempatkan para uskupnya dalam jabatan keuskupan, dan pada abad ke-5 M, kaum Monofisit didudukkan pada jabatan Patriarkh, baik di Mesir maupun di Siria. Kelompok ini menyebut dirinya dengan Monofisit karena sesuai dengan formula Cyrilus yang meyakini bahwa Logos ilahi yang telah menjadi daging memiliki satu tabiat, dan di abad yang sama, beberapa para kaisar telah berusaha menjilat pihak Monofisit, dengan berbuat demikian paling tidak mereka telah mencemoohkan Pengakuan Iman Khalsedon secara terbuka, namun pihak Monofisit yang ekstrem tidak bersedia untuk berdamai dengan satu formula yang bersifat kompromistis, oleh karena adanya upaya itulah akhirnya Paus Roma melakukan pengutukan yang mengakibatkan terjadinya skisma terbuka pertama antara barat dan Timur. Pada abad ke-7 M, telah terjadi perlawanan di Timur dan juga Barat terhadap Monoteletisme (ajaran tentang satu kehendak), yang mengakibatkan lidahnya Maximus si Pengaku dipotong dan tangan kanannya dikerat sebagai hukuman terhadap perlawanannya terhadap perumusan yang bersifat kompromistis atas apa yang telah dikemukakan oleh Kaisar Heraclius.22  
    Konsili Kalsedon menjadi penyebab lahirnya skisma di dalam Katolik, skisma tersebut terjadi karena adanya ketidaksepakatan dalam internal Kristen mengenai jumlah tabiat yang terdapat di dalam Yesus, dan karena Konsili Kalsedonlah gereja-gereja arus utama pendukung Kaisar byzantium dengan gereja-gereja non-khalsedon nyaris tidak pernah bertegur sapa.23 Lebih dari itu, jurang pemisah antara Gereja Khalsedon atau Barat (Ortodoks Yunani, Katolik, dan Protestan) dengan Gereja Kristen Ortodoks Koptik dan juga Kanisah Ortodoks Syiria semakin melebar ketika kedua belah pihak saling bersikukuh dengan keyakinannya masing-masing,24 yang hal tersebut masih terjadi hingga saat ini.   
    Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, Gereja Koptik di Mesir dan Gereja Siria, termasuk gereja yang telah menolak rumusan iman yang ditetapkan oleh Konsili Kalsedon, mereka menolak rumusan tersebut karena rumusan yang dihasilkan dalam Konsili Kalsedon dianggap terlalu mirip dengan ajarannya Nestorius. Dari adanya perbedaan pandangan tersebut, akhirnya kaum Monofisit mendapatkan penindasan dan juga pengusiran oleh pihak Byzantium (Yunani), bahkan kaum Monofisit nyaris terhapuskan pada paruh pertama di abad ke-6 M, yang pada saat itu, uskup Monofisit yang berlatar belakang Siria hanya tersisa dua orang.25  
    Pada masa abad 7 M, ketika Heraclius mendapatkan tugas untuk mempersatukan kembali gereja Kristen di Mesir di bawah otoritas kerajaan, ia menugaskan seseorang yang bernama Cyrus untuk mempersatukan kelompok Khalsedon yang Diofisit dan kelompok Koptik yang Monofisit. Dalam usahanya mempersatukan gereja, pihak Byzantium sejak semula telah memiliki niat dalam melakukan tindak kekerasan dalam menghadapi Kristen Koptik, penyiksaan yang dilakukan oleh Byzantium merupakan langkah cepat dalam memaksa pihak Koptik untuk meyakini atas apa yang telah diyakini oleh Byzantium. Sikap brutalnya Byzantium yang dilakukan selama 10 tahun lamanya, telah meregang banyak nyawa dari pihak Koptik, salah satu korbannya ialah Menas, yang ia sendiri adalah saudaranya laki-laki Benyamin. Awalnya, ia disiksa dengan menggunakan api sampai lemak dalam tubuhnya berjatuhan ke tanah, lalu setelah itu giginya ditarik dan ditempatkan di karung yang penuh pasir. Setiap tahap penyiksaan yang ia alami, ia mendapatkan tawaran untuk hidup asalkan ia mau menerima keputusan Konsili Kalsedon. Namun nyatanya, tawaran yang ia dapatkan ditolaknya, maka pada akhirnya ia pun dibawa ke laut dan ditenggelamkan.26  

Kesimpulan
    Sekitar 5 abad lamanya, Kristen harus membuat keputusan untuk meneguhkan bahwa Yesus sesungguhnya Allah yang sebenar-benarnya dan manusia yang seutuhnya, meski dalam membuat keputusan tersebut harus memakan banyak korban, baik berupa pengucilan, pengutukan, pemberian label bidat, dan bahkan sampai kepada pembunuhan bagi siapapun yang menentang setiap keputusan yang telah dibuat oleh pihak gereja. Sikap arogansi gereja, sesungguhnya tidak mencerminkan sama sekali bahwa Kristen adalah agama kasih, sebagaimana yang telah diserukan oleh banyak Kristiani saat ini. Dengan adanya sikap gereja tersebut, justru telah mengidentikkan Kristen sebagai agama sengketa, yang setiap persoalan apapun di dalamnya selalu saja menghasilkan pertikaian dan tindak kekerasan kepada pihak-pihak yang dianggap bertentangan dengan pihak gereja, baik ketika terjadinya Konsili Nicea, Konsili Konstantinopel, Konsili Kalsedon, maupun konsili-konsili lainya. Dan suatu hal yang ironi, ketika suatu ketetapan dalam keputusan, harus diwarnai dengan persengketaan dengan menjadikan akal mereka sebagai tolok ukur dalam menilai sesuatu, meski pada akhirnya, apa yang mereka lakukan tersebut diklaim bersumber dari Alkitab.

Catatan:
1.  R. Soedarmo, Ikhtisar Dogmatika, (Jakarta: Gunung Mulia, 2015), hlm. 90.
2.  Jonathan E. Culver, Sejarah Gereja Umum, (Bandung: Biji Sesawi, 2013), hlm. 127.
3.  H. Berkhof-I.H. Enklaar, Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), hlm. 56-57.
4. Larry W. Hutardo, How on Earth Did Yesus Become a God?, terj. Jenus Junimen, (Malang: Gandum Mas, tanpa tahun), hlm. 152.
5. Erastus Sabdono, Tritunggal Menurut Alkitab, (Jakarta: Truth Literature, 2017), hlm. 125.
6. Bernhard Lohse, Pengantar Sejarah Dogma Kristen: Dari Abad Pertama Sampai Dengan Masa Kini, terj. A.A. Yewangoe, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015), hlm. 102-106.
7. Linda Smith dan William Raeper, Ide-Ide:  Filsafat dan Agama, Dulu dan Sekarang, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm. 141-142.
8. Ichwei G. Indra, Jejak Juang Saksi Injil: Sejarah Gereja Umum dan Sejarah Gereja Indonesia, (Surabaya: Mikhael Ministry, 2011), hlm. 47.
9. Ibid., hlm. 46.
10. Linwood Urban, Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen, terj. Liem Sien Kie, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), hlm. 105-107.
11. Erwin W. Lutzer, Teologi Kontemporer, (Malang: Gandum Mas, 2005), hlm. 44.
12. Michael Baigent, Richard Leigh, dan Henry Lincoln, The Messianic Legacy, terj. Ursula Gyani B, (Jakarta: Ramala Books, 2007), hlm. 143.
13. Stevri Indra Lumintang, Theologia Abu-Abu: Pluralisme Agama, (Malang: Gandum Mas, 2009), hlm. 541-542.
14. Jonathan E. Culver, Sejarah Gereja Asia, (Bandung: Biji Sesawi, 2014), hlm. 41.
15. Bernhard Lohse, op.cit., hlm. 107; 111; 115.
16. Bambang Subandrijo, Yesus Sang Titik Temu Dan Titik Tengkar: Sebuah Studi Tentang Pandangan Kristen Dan Muslim Di Indonesia Mengenai Yesus, (Jakarta: BPK Gunung Mulia dan STT Jakarta, 2016), hlm. 27.
17. Jonathan E. Culver, op.cit., hlm. 135.
18. Linwood Urban, op.cit., hlm. 109-110.
19. Ichwei G. Indra, op.cit., hlm. 306.
20. Bernhard Lohse, op.cit., hlm. 120.
21. H. Berkhof-I.H. Enklaar, op.cit., hal 59.
22. Bernhard Lohse, op.cit., hlm. 121-123.
23. Bambang Noorsena, Menuju Dialog Teologis Kristen-Islam, edisi revisi, (Yogyakarta: Andi, 2013), hlm 151.
24. Ibid., hlm. 153.
25. Jonathan E. Culver, op.cit., hlm. 43-44.
26. Hugh Kennedy, Penaklukan Muslim Yang Mengubah Dunia, terj. Ratih Ramelan, (Tangerang: Alvabet, 2016), hlm. 182-183.

Comments

  1. Sarat dengan pemahaman pengikutnya si Ahmed. Srigala berbulu domba.

    ReplyDelete
  2. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  3. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  4. Baca Alkitab dari awal sampai akhir. Kemudian ulang dengan hati hati.
    Supaya tulisannya tidak jauh melenceng.

    ReplyDelete
  5. Misionaris tidak selalu berarti pembawa misi kekristenan. Bisa juga pembawa misi musuh Kristen, yaitu iblis

    ReplyDelete
  6. Publikasi palsu dan menyesatkan dari sang Antikris

    ReplyDelete
  7. Saya merasa bukan terjadi kebingungan dlm kekristenan tetapi kekristenan sedang menjaga dan menegaskan iman sesungguh kan.

    ReplyDelete

Post a Comment