Menggugat Otentisitas Injil Lukas

Oleh: Sang Misionaris

Pendahuluan
    Kristen meyakini adanya keotentikan Injil Lukas dan meyakini bahwa isinya adalah Firman Tuhan yang secara otoritatif mengisahkan tentang apa yang diucapkan oleh Yesus dan apa yang terjadi terhadap Yesus. Selain menulis Injil, Kisah Para Rasul pun diyakini pula bahwa penulisnya adalah Lukas. Meskipun demikian, Injil Lukas dan Kisah Para Rasul patut untuk dipertanyakan keotentikannya, karena jika keduanya diyakini oleh Kristen sebagai Firman Tuhan yang sekaligus telah mempresentasikan Yesus historis, tentu apa yang terdapat di dalamnya tidak akan memiliki sedikit pun permasalahan, baik dalam teksnya maupun dengan nilai historis yang ada di dalamnya. Jika ternyata permasalahan menghinggapi Injil Lukas dan Kisah Para Rasul, sebagaimana yang terjadi pada Injil Matius, Markus dan Yohanes, tentunya otentisitas Injil Lukas yang diyakini oleh Kristen selama ini tidaklah memiliki nilai apa pun, selain hanya sebagai bentuk pembenaran atas apa yang telah mereka imani selama ini. Sebelum membaca pembahasan yang saat ini akan disajikan, sebaiknya para pembaca untuk membaca terlebih dahulu tentang kata pengantar Injil Lukas dan juga tentang jati diri Lukas, di mana dalam pembahasan tersebut telah penulis bahas di artikel sebelumnya.

    Pada umumnya, para sarjana Kristen berkeyakinan bahwa nama pengarang Injil Lukas dan Kisah Para Rasul (KPR) adalah orang yang sama, yaitu Lukas. Keyakinan mereka tersebut didasari karena adanya hubungan antara Injil Lukas (1:1) dan KPR (1:1), di mana kedua dokumen tersebut ditujukan kepada orang yang sama, yakni Teofilus. Di samping itu, penekanan terhadap kebangkitan dan pengajaran Yesus selama 40 hari sesudahnya pun dianggap memiliki kesesuaian dengan Injil Lukas pasal 24. Lebih dari itu, penekanan dalam KPR dan kedudukan Roh Kudus pun dinilai serupa dengan apa yang telah dimuat pada Injil Lukas. Terkait tentang narasi yang terdapat pada keduanya, Adolph Harnack berpendapat bahwa dalam pemilihan kata-kata dan gaya penulisan terdapat suatu kesesuaian yang erat di antara kedua cerita di atas.1 Meski keduanya diyakini berasal dari satu orang, namun Paul Eens menilai bahwa tanggal penulisan Injil Lukas mengalami tumpang tindih dengan penulisan KPR, yang pada akhirnya ia pun menempatkan Injil Lukas sebagai dokumen yang pertama kali ditulis daripada KPR, yang pandangannya tersebut didasari oleh adanya peristiwa penahanan dan juga pembebasan yang di alami oleh Paulus.2
    Terkait tentang narasi yang terdapat dalam Injil Lukas dan KPR, Petrus Maryono menyatakan, bahwa khotbah-khotbah dalam KPR bukan rekaman lengkap, tetapi penyarian atau penyingkatan khotbah yang disampaikan dalam situasi sejarah tertentu. Lukas tidak bermaksud melaporkan segala sesuatu yang ia ketahui. Ia hanya memastikan pembaca menangkap hakikat peristiwa yang terjadi serta pentingnya peristiwa tersebut dalam hidup pendengar secara pribadi.3 Bahkan Drewes secara terang-terangan telah mengakui, bahwa pengarang Lukas bukanlah saksi mata atas hal ihwal Yesus, dikarenakan dalam karangannya tersebut ia telah menggunakan bahan dari orang lain, di mana bahan yang digunakannya itu, menurut Drewes, adalah Markus, Q dan L.4 Pandangan Drewes yang menyatakan bahwa Lukas bukanlah saksi mata tentunya cukup beralasan, di mana pandangannya itu bisa kita sejajarkan dengan narasi yang terdapat dalam Lukas 1:1-4. Dan, apa yang akan kita bahas saat ini hanya membahas tentang permasalahan yang terdapat dalam Injil Lukas saja, seperti:

1. Silsilah Yesus Dalam Injil Lukas
    Silsilah Yesus dalam Injil Lukas memiliki perbedaan yang sangat krusial dengan silsilah Yesus dalam Injil Matius, di mana keduanya telah menyajikan silsilah Yesus yang berbeda dan jika keduanya diyakini sebagai Injil yang independen, tentunya perbedaan di antara keduanya bisa dianggap kontradiksi. Akan tetapi, jika keduanya diyakini bukan dari karya orang yang sama dan dianggap tidak independen, tentunya kita bisa menilai bahwa salah satu dokumen yang ada telah mendapatkan penyuntingan di kemudian hari dan menjadikan salah satu dokumen yang ada sebagai salah satu sumber kepenulisan oleh pengarangnya. Dalam mengompromikan adanya perbedaan dalam silsilah Yesus, Kristen selalu berargumen bahwa terjadinya perbedaan tersebut disebabkan karena adanya perbedaan jalur silsilah, di mana silsilah Yesus dalam Injil Matius telah merujuk kepada keluarga Yusuf, sedangkan silsilah Yesus menurut Lukas adalah silsilah yang berasal dari keluarga Maria.5
    Sama halnya dengan silsilah Yesus yang terdapat dalam Injil Matius, Injil Lukas pun menyisakan pula permasalahan yang cukup serius. Jika kita mempertanyakan kepada Kristen, dari dokumen atau kitab manakah kedua penulis tersebut mendapatkan nama-nama yang terdapat dalam silsilah Yesus, maka seketika itu juga Kristen akan menjawab bahwa apa yang diutarakan di atas, itu semua berasal dari Perjanjian Lama (PL). Namun demikian, telah terjadi penghilangan generasi dalam silsilah Yesus yang tidak saja dialami oleh Injil Matius, melainkan terjadi pula pada Injil Lukas, sebagaimana yang terjadi pada kasus Salmon dan Boas, misalnya. Tidak hanya itu, permasalahan lainnya adalah tentang nama Sealtiel dan Zerubabel, yang dalam kedua Injil tersebut memiliki dua nama yang sama. Namun, yang menjadi permasalahannya adalah apakah Sealtiel dalam Lukas 3:27 memang benar-benar anaknya Neri? Jika Kristen menjawab bahwa apa yang diutarakan dalam Lukas 3:27 itu adalah benar, tentunya tidak akan bertentangan dengan Matius 1:12, karena dalam Injil Matius dinyatakan bahwa ayahnya Sealtiel bukanlah Neri, melainkan Yekhonya. Terkait tentang adanya permasalahan dalam Injil Lukas tersebut, Abraham Park memberikan jawabannya secara tegas bahwa tidak ada bukti sedikitpun bahwa Sealtiel sebenarnya adalah anak laki-laki Neri. Sedangkan terkait tentang nama Resa yang menjadi anaknya Zerubabel, menurutnya, dalam Injil Matius tidak muncul dan begitu pula dengan silsilah yang terdapat pada kitab Tawarikh.6 Jika silsilah Yesus memang benar-benar nyata adanya, apakah Kristen mampu membuktikan secara historis bahwa Sealtiel adalah anak Neri dan juga Yekhonya, sekaligus membuktikan pula bahwa Resa bukanlah tokoh fiktif yang terdapat di dalam Injil Lukas?

2. Nubuat Yang Terdapat Di Dalam Injil Lukas
    Banyak ayat-ayat yang terdapat dalam Injil Lukas yang diyakini telah menubuatkan Yesus, dan untuk menghemat ruang penulis hanya mengangkat satu contoh saja, yaitu Lukas 24:44-46, yang isinya adalah sebagai berikut: “Setelah itu Ia berkata kepada mereka, ‘Inilah hal-hal yang sudah Kuberitahukan kepadamu ketika Aku masih bersama-sama dengan kalian: bahwa setiap hal yang tertulis mengenai Aku di dalam Buku-buku Musa, Para Nabi, dan Mazmur, harus terjadi.’ Kemudian Yesus membuka pikiran mereka untuk mengerti maksud Alkitab. Lalu Ia berkata kepada mereka, ‘Di dalam Alkitab tertulis bahwa Raja Penyelamat harus menderita, dan harus bangkit kembali dari kematian pada hari yang ketiga.’”       
    Jika anda memeriksa Alkitab yang ada di rumah dan memeriksa ayat paralel yang berada di bawahnya, tentunya anda tidak akan mendapatkan keterangan sedikitpun bahwa ayat-ayat tersebut memiliki keterangan atau acuan dari ayat lainnya, baik yang terdapat pada Perjanjian Baru maupun Perjanjian Lama. Jika demikian, tentunya kita bisa mempertanyakan kepada Kristen terkait narasi yang terdapat dalam Injil Lukas di atas. Dari siapakah Lukas mendapatkan pengetahuannya bahwa di dalam Taurat, kitab para Nabi dan juga Mazmur dinyatakan bahwa seorang Mesias haruslah mengalami penderitaan dan bangkit dari kematian? Jika Kristen meyakini bahwa ayat-ayat yang dimaksud memang ada pada kitab-kitab tersebut, apakah Kristen mampu membuktikan secara historis bahwa sejak awal ayat-ayat yang terdapat di dalam PL memang benar-benar telah mengacu kepada Yesus Kristus? Karena jika sejak awal ayat-ayat yang terdapat dalam PL mengacu kepada Yesus, tentunya para tokoh yang terdapat dalam PL akan mengetahui dan mengutarakan nama serta kisahnya Yesus.  

3. Kesimpangsiuran Tentang Masa Kelahiran Yesus
    Menurut Samuel Benyamin Hakh, telah terjadi kesalahan dalam menentukan tahun kelahiran Yesus, yang kesalahan tersebut disebabkan oleh Dyonesius. Meski pada tahun 800 M sistem perhitungan Dyonesius telah diterima sebagai cara penghitungan tahun, tetapi nyatanya, ia melakukan kesalahan dalam menghitung waktu kelahiran Yesus sekitar 4 atau 5 tahun. Samuel Benyamin Hakh menambahkan, bahwa Lukas dan Matius telah melaporkan bahwa kelahiran Yesus itu terjadi pada masa pemerintahan Kaisar Herodes (dari 27 Sm hingga 14 M, Luk. 2:1), dan Lukas pun menyebutkan bahwa pemberitahuan malaikat Gabriel kepada Zakharia terjadi pada masa pemerintahan Herodes Agung (Luk. 1:5), di mana pemberitahuan tersebut telah menempatkan kelahiran Yesus pada masa pemerintahan Herodes Agung. Selain itu, menurut Samuel, Lukas pun telah menginformasikan pula tentang masa dimulainya pelayanan Yohanes Pembaptis yang terjadi pada tahun ke-15, yakni pada masa pemerintahan Kaisar Tiberius (Luk. 3:1). Dan, dalam pasal yang sama, Lukas pun telah mencatat bahwa Yesus dibaptis oleh Yohanes Pembaptis ketika ia berumur sekitar 30 tahun (Luk. 3:21-23). Benyamin berpendapat, bahwa para ahli sejarah telah menghitung pemerintahan Tiberius pada masa ia memerintah sebagai wakil kaisar pada tahun 11 atau 12 sesudah Masehi. Tahun tersebut pada akhirnya menjadi titik tolak penghitungan, yang berarti pada tahun ke-26 atau 27 sesudah masehi, yakni pada tahun ke-15 pemerintahan Tiberius, Yesus telah berumur sekitar 30 tahun. Selanjutnya Benyamin menyimpulkan, bahwa kelahiran Yesus terjadi pada tahun 5 atau 4 sebelum masehi, yakni sebelum terjadinya kematian Herodes Agung pada bulan April tahun 4 SM.7
    Adanya pengakuan tentang terjadinya kesalahan dalam menentukan kelahiran Yesus, tidak saja diakui oleh Samuel Benyamin Hakh, melainkan telah diakui pula oleh Tano Simamora.8 Sedangkan dari adanya kesimpangsiuran informasi tentang kelahiran Yesus, hal tersebut mengakibatkan para penafsir Kristen telah memberikan komentar yang cukup menohok terhadap keyakinan Kristen pada umumnya, yang meyakini bahwa tahun kelahiran Yesus terjadi pada 1 Masehi. Dan untuk menghemat ruang, penulis hanya menyertakan tiga pandangan dari para penafsir tersebut, yaitu:9
a. Jerry Falwell pada tafsir Biblenya, Liberty Bible Commentary, mengatakan: “Ketika Cyrenius menjadi Gubernur Syria, Syria merupakan provinsi terpenting dari semua wilayah kekaisaran Romawi, dan Quirinius (Kirenius) bertugas di sana beberapa kali, sensus Romawi diselenggarakan setiap 14 tahun sekali. Sensus pertama kali (bagi orang-orang Yahudi) yang kita ketahui dilaksanakan pada tahun 6 M. Dengan demikian, sensus sebelumnya di wilayah kekuasaan Romawi terjadi sekitar tahun 8 Masehi, ketika Quirinius menjadi gubernur militer di Syria. Beberapa tahun diperlukan untuk menyelenggarakan sensus itu (di Yudea).”
b. Dianne Bergant dan Robert J. Karris pada Tafsir Alkitab Perjanjian Baru (PB), mengatakan: “Cacah jiwa di bahwa pemerintahan Kirenius menimbulkan banyak perdebatan. Kirenius tidak menjadi gubernur di Syria sampai tahun 6 Masehi; tidak lama kemudian ia mengadakan sensus di Yudea yang menyulut pemberontakan Yudas, orang Galilea (Kis. 5:37). Jika kelahiran Yesus ditempatkan selama pemerintahan Herodes Agung (Luk. 1:5), maka kelahiran ini tidak dapat terjadi selama cacah jiwa yang berlangsung beberapa tahun kemudian.”
c. Lembaga Biblika Indonesia (LBI) dalam Kitab Suci Perjanjian Baru, menegaskan: “Keadaan historis sebenarnya sangat kabur dan tidak diketahui dengan baik. Kebanyakan penyelidik menempatkan pendaftaran yang diadakan Kirenius dalam tahun 6 Masehi. Tetapi ini hanya berdasarkan keterangan yang disampaikan oleh Yosefus dan tepatnya keterangan ini sangat diragukan. Bedakan dengan Kis. 5:37+. Keterangan diterima adalah: Pendaftaran penduduk (yang diadakan sehubungan dengan pajak yang mau ditarik) yang disebutkan Lukas ini diadakan dalam tahun 8-6 sebelum Masehi.”
    Adanya upaya dalam mengompromikan permasalahan tentang kelahiran Yesus tersebut, Howard Marshall telah berusaha memecahkan permasalahan secara spekulatif dengan memberikan beberapa opsi, seperti:10
1. Kirenius adalah kesalahan teks dalam naskah Masoret untuk menyebut “Saturnius” (Gubernur Syria, tahun 9-6 SM).
2. Kirenius memerintah lebih dahulu di daerah itu, mungkin bukan di kegurbenuran Syria, sejenis “komisi keliling” di bagian timur kekaisaran.
3. Berkenaan dengan hipotesa ini, karena sensus dan pembebanan pajak memakan waktu panjang, Lukas mungkin menunjuk kepada proses yang dimulai pada masa Herodes dan selesai  pada masa Kirenius.
4. Terjemahan lain yang mungkin adalah bahwa sensus dilakukan sebelum Kirenius menjadi Gubernur Syria.
Setelah Howard memberikan beberapa usulannya seperti di atas, ia menyimpulkan, bahwa tidak ada keputusan tegas di antara kemungkinan-kemungkinan ini yang dapat diterima saat ini.

4. Ketidakjelasan Dalam Menuliskan Nama Lokasi
    Dalam Lukas 8:26, tidak ada kejelasan dalam menuliskan nama lokasi, apakah yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah Gerasa ataukah Gadara. Menurut Tafsiran Alkitab Wycliffe, bahwa tempat yang bernama Gerasa adalah sesuai dengan nama yang tercantum di dalam naskah-naskah yang lebih tua. Adapun alasan tentang terjadinya perbedaan nama, menurutnya, hal itu terjadi karena disebabkan adanya kebingungan para penulis di zaman dulu tentang letak tempat itu, atau bahkan mungkin perbedaan sudut pandang dari para penulis Injil.11 Akan tetapi, penafsiran tersebut akhirnya mendapatkan penolakan dari Howard Marshall, karena menurutnya, “Gerasa (demikian juga dalam Injil Markus) adalah kota sekitar 30 mil (48 km) di sebelah tenggara danau itu, yang perbatasannya tidak mungkin terbentang sejauh itu. Mungkin arti ungkapan ‘negeri orang asing’ (yaitu bukan Yahudi) diambil sebagai nama sebuah tempat. Beberapa naskah menyebutnya dengan Gadara (ibu kota wilayah, 6 mil [10 km] dari danau, demikian juga Injil Matius) atau Gergesa (sekarang Khersa) di pinggir danau itu, yang mungkin benar-benar tempat peristiwa itu.”12
    Dari adanya kesimpangsiuran tentang nama yang terdapat pada Lukas 8:26, di samping mencermati tentang adanya dua pandangan di atas yang berbeda, tentunya pandangan yang ada telah menegasikan keyakinan Kristen pada umumnya yang meyakini bahwa para penulis Alkitab telah mendapatkan bimbingan Roh Kudus. Jika para penulis Alkitab mendapatkan bimbingan Roh Kudus, salah satu oknum Trinitas, tentu konsekuensi logisnya adalah bahwa apa yang ditulis selama ini mampu memberikan kejelasan dan kebenaran, bukan kesalahan dalam penyampaian dan keabu-abuan dalam memberikan informasi.

5. Terjadinya Interpolasi
    Dalam Lukas 22:43-44, para penafsir telah mengakui secara jujur bahwa kedua ayat tersebut telah mengalami interpolasi atau pendistorsian. Pada Tafsiran Alkitab Wycliffe, misalnya, dinyatakan secara jujur bahwa ayat 43-44 tidaklah tercantum di dalam teks Barat dan mungkin pula bukan bagian dari tulisan asli Injil Lukas. Selain itu, dalam tafsiran tersebut dinyatakan bahwa ayat-ayat tersebut disokong di dalam tradisi naskah lainnya, dan diyakini pula bahwa pernyataan dalam ayat tersebut tidaklah dikarang oleh para penyalinnya.13 Terkait tentang Luk. 24:43-44, Tafsiran Alkitab Abad Ke-21 menyatakan, bahwa ayat ini  (ayat 43-44) dihilangkan dari beberapa naskah yang paling baik, yang umumnya menjadi alasan kuat untuk pertimbangan bahwa ayat itu adalah tambahan.14
    Adanya interpolasi dalam Injil Lukas, tidak saja terjadi pada ayat 43-44, melainkan terjadi pula pada ayat 19-20, di mana dalam Tafsiran Alkitab Wycliffe ditegaskan, bahwa dalam teks Barat ayat tersebut tidaklah dicantumkan, yang bisa jadi kalimat-kalimat tersebut tidak ada dalam teks asli dalam Injil Lukas.15 Suatu yang sangat mencengangkan bagi kita, di mana Kristen pada umumnya meyakini bahwa isi Alkitab tidak mungkin mengalami pendistorsian, namun pada kenyataannya kedua tafsir tersebut telah menafikan keyakinan Kristen pada umumnya, di mana peristiwa yang telah terjadi sebenarnya memiliki keselarasan dengan informasi yang telah disampaikan oleh Al-Qur'an, yaitu pada Surat al-Baqarah ayat 79. Tentang adanya permasalahan Lukas 22:19-20, sebagaimana yang telah disampaikan di atas, Tafsiran Alkitab Abad ke-21 memberikan bukti yang jelas kepada kita bahwa tidak adanya ayat 19 dan 20 tersebut disebabkan karena adanya penghilangan ayat yang terjadi pada Codex Bezae, sejumlah naskah Latin dan Syria, serta beberapa versi modern.16

Kesimpulan
    Ketika Willi Marxsen menyinggung tentang prakata yang terdapat dalam Injil Lukas 1:1-4, ia telah memperingatkan kepada para pembacanya dengan menyatakan, “Kita harus berhati-hati dalam mengevaluasi pernyataan-pernyataan pribadi ini…sumber-sumber yang ada padanya sama sekali bukan sumber-sumber historis, melainkan pemberitaan-pemberitaan.”17 Pernyataan Willi, tentunya sangatlah beralasan karena informasi yang didapatkan oleh Lukas, kita tidak mengetahui dengan metode apa yang digunakannya sehingga Kristen memiliki keyakinan bahwa apa yang ditulis oleh Lukas tersebut merupakan tulisan yang sesuai dengan fakta di lapangan, meski Kristen sendiri pun tidak mengetahui secara pasti tentang jati diri Teofilus yang dimaksud oleh Lukas dalam prakatanya itu. Oleh karena itu, suatu hal yang logis jika apa yang dihasilkannya pun pada akhirnya mengundang berbagai permasalahan, sebagaimana halnya di atas. Meski pada akhirnya, apa yang ia tulis menjadi salah satu kitab dalam membangun iman Kristen selama ini.    


Catatan Kaki:
1. Merril  C. Tenney, Survei Perjanjian Baru, (Malang: Gandum Mas, 2017), hlm. 217-218.
2. Paul Enns, The Moody Handbook of Theology (1): Revised and Expanded Edition, terj. Rahmiati Tanudjaja, (Malang: Literatur Saat, 2016), hlm. 89.
3. Petrus Maryono, Analisis Retoris: Suatu Teknik Studi Hermeneutik Terhadap Teks Alkitab, (Yogyakarta: Andi, 2016), hlm. 242.
4. B.F. Drewes, Satu Injil Tiga Pekabar: Terjadinya dan Amanat Injil Matius, Markus dan Lukas, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), hlm. 255.
5. Abraham Park, Pelita Perjanjian Yang Tak Terpadamkan, terj. Youn Doo Hee. (Jakarta: Grasindo dan Yayasan Damai Sejahtera utama, 2012), hlm. 63.   
6. Abraham Park, Janji Dari Perjanjian Kekal, terj. Youn Doo Hee. (Jakarta: Grasindo dan Yayasan Damai Sejahtera Utama, 2014), hlm. 181-182.
7. Samuel Benyamin Hakh, Perjanjian Baru: Sejarah, Pengantar, dan Pokok-Pokok Teologisnya, (Bandung: Bina Media Informasi, 2010), hlm. 49-50.
8. S. Tano Simamora, Bibel: Warisan Iman, Sejarah dan Budaya, (Jakarta: Obor, 2014), hlm. 295-297.
9. Masyhud SM, Misteri Natal dan Ketuhanan Yesus: Menangkal Propaganda Natal Berkedok Islam, (Tanpa Kota: IDC Publishing, 2017), hlm. 61-63.
10. Howard Marshall, Tafsiran Alkitab Abad Ke-21: Jilid 3 Injil Matius Wahyu, terj. A. Munthe dkk, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2017), hlm. 151.
11. Charles F. Pfeiffer dan Everett F. Harrison (ed.), Tafsiran Alkitab Wycliffe: Vol. 3 Matius-Wahyu, (Malang: Gandum Mas, 2013), hlm. 310.
12. Howard Marshall, op.cit., hlm. 164.
13. Charles F. Pfeiffer dan Everett F. Harrison (ed.), op.cit., hlm. 366
14. Howard Marshall, op.cit., hlm. hlm. 192.
15. Charles F. Pfeiffer dan Everett F. Harrison (ed.), op.cit., hlm. 364.
16. Howard Marshall, op.cit., hlm. hlm. 191.
17. Willi Marxsen, Pengantar Perjanjian Baru: Pendekatan Kritis Terhadap Masalah-Masalahnya, terj. Stephen Suleeman, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), hlm. 187-188.

Comments