Keselamatan Bayi Menurut Islam Dan Kristen

                        Oleh : Sang Misionaris


Setiap orang yang mengimani adanya kehidupan sesudah kematian, pasti mengharapkan keselamatan. Tetapi yang menjadi persoalannya, di saat seseorang meyakini adanya kehidupan sesudah kematian, apakah ajaran yang dia yakini selama ini, benar-benar bisa memberikan jaminan tentang keselamatan kepada semua orang tanpa adanya pandang bulu (pilih kasih) ataukah tidak ?

Makna pilih kasih, bukan mengarah kepada perbedaan atas apa yang kelak akan dia dan orang lain dapatkan, sebab semuanya bergantung kepada apa yang diusahakannya ketika saat berada didunia, tetapi mengarah kepada sipenerima keselamatan itu sendiri, dari bayi sampai kepada orang dewasa. Jika setiap orang ditanya tentang hal itu pasti akan memberikan jawabannya, semisal umat Islam dan Kristen, bahwa setiap orang pasti menerima keselamatan. Tetapi lain halnya jika kita membahas tentang keselamatan bagi bayi dan anak, dalam Islam terdapat kepastian atas keselamatan bagi mereka, tetapi didalam Kristen hal itu masih bersifat ambigu. Benarkah demikian ? Mari kita cermati bersama.



Pandangan Islam.

Di dalam Islam, semua para ulama tidak ada perbedaan pendapat sedikit pun tentang keselamatan yang kelak akan didapatkan oleh bayi atau anak yang belum baligh. Semua para ulama sepakat, bahwa mereka akan masuk surga tanpa adanya penghisaban dan tidak akan di siksa sedikit pun, meskipun yang meninggalnya berasal dari orang tua yang musyrik sekalipun. Hal tersebut dijelaskan sebagaimana dalil-dalil dibawah ini :

1.) Diriwayatkan dari Anas ra: ”Rasulullah saw bersabda, tidaklah seorang muslim kematian tiga anaknya yang belum baligh, kecuali, Allah pasti akan memasukkannya ke dalam surga berkat kasih sayang-Nya kepada anak-anaknya tersebut, ”(HR. Bukhori Muslim).

2.) Dalam hadits yang sangat panjang, Rasulullah saw menceritakan tentang mimpi beliau yang diajak oleh dua malaikat. Mimpi itu merupakan kejadian nyata yang dialami penghuni kubur sebelum nanti menghadapi hari penghisaban. Dalam hadits itu, ada salah satu bagian yang menceritakan tentang sebuah taman yang di tengahnya ada sebuah pohon. Di bawah pohon itu ada seorang laki-laki yang dikelilingi oleh anak-anak.
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menanyakan kepada malaikat yang menemaninya perihal mimpinya, mereka menjawab,
“…Sedangkan orang tinggi yang berada di dalam taman adalah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Adapun anak-anak yang ada di sekitar Ibrahim adalah setiap anak yang meninggal dalam keadaan fitrah. ‘Sebagian kaum Muslimin berkata: “Wahai, Rasulullah. Apakah juga anak-anaknya orang-orang musyrik?’ Beliau menjawab,”Ya, juga anak-anaknya orang-orang musyrik.” (HR. Al-Bukhari).

3.) Nabi saw Bersabda : Pena (taklif hukum) diangkat dari tiga golongan: dari anak kecil hingga ia baligh; dari orang tidur hingga ia bangun; dan dari orang gila hingga ia waras (HR Abu Dawud, an-Nasa’i, Ibn Majah, At-Tirmidzi dan al-Hakim).


Pandangan Kristen.

Dalam pandangan Kristen, tidak ada kepastian atas keselamatan yang akan didapatkan. Meskipun keselamatan tersebut, hanya diperuntukkan bagi bayi atau anak kecil. Keselamatan tentang mereka, Kristen menyerahkannya kepada Allah dan berharap Allah memberikan rahmat atau belas kasihan kepada mereka. Ketidakpastian tersebut, berawal dari pembaptisan dewasa yang melahirkan pembaptisan anak dan bayi di zaman patristik (Bapak Gereja). Dengan adanya pembaptisan yang dilakukan, Kristen berharap bayi dan anak kelak akan mendapatkan keselamatan, dan dengan adanya pembaptisan, diharapkan mereka dalam keadaan regenerasi (telah tertebus dosa asal yang didapatkannya melalui kematian Yesus). Pentingnya pembaptisan bagi bayi dan anak, hal itu telah ditekankan oleh Bapak Gereja seperti Origen (185-254 masehi). Perkataannya adalah sebagai berikut,
"Karena baptisan dari jemaat diberikan untuk pengampunan dosa, baptisan diberikan menurut ketaatan jemaat, bahkan juga anak-anak, karena anugerah pembaptisan akan kelihatan berlebihan jika anak-anak tidak memerlukan pengampunan dan diikutsertakan." (Migne, XII, 492).

Karena begitu sangat pentingnya pembaptisan bagi keselamatan yang kelak akan didapatkan bagi bayi dan anak-anak, maka bagi bayi atau anak-anak yang tidak dibaptiskan oleh orang tuanya, para Bapak Gereja seperti Augustine, Gregorius Agung, Anselmus, Gregorius dari Rimini, Bossuet, dan Berti, berpendapat bahwa bayi dan anak-anak, kelak akan mendapatkan siksaan, meskipun siksaan yang ada, dianggap yang paling ringan (Dictionary of Dogmatic Theology, Parente, Piolanti and Garofalo).

Di zaman patristik, tidak ada kontroversi mengenai pembaptisan bagi keselamatan, selama lebih dari 2 abad. Terlebih pembaptisan bayi dan anak, telah umum dilakukan dimana-mana, seperti halnya pada masa Irenaerus dan Tertullian (Harnack, History of Dogma). Terjadinya kontroversi dikalangan Bapak Gereja pada masa itu, dikarenakan adanya pendapat dari Tertullian, yang menganggap bahwa pembaptisan tersebut tidak bersifat Alkitabiah dan tidak berhati-hati dalam agama (Infant Baptism History of the Christian Church, Volume II: Ante-Nicene Christianity. A.D. 100-325. by Schaff). Disamping Tertullian yang menolak pembaptisan bayi, hal itupun terjadi pula pada Ebionit, Novatian, Arian, Donatis, Montanis, maupun bid'ah awal lainnya, yang mereka sendiri menolak pula tentang baptisan tersebut.

Adanya sikap ambiguitasnya Kristen tentang keselamatan bagi bayi dan anak yang meninggal tanpa mendapatkan baptisan, hal itu kini semakin terlihat jelas. Disaat di internal Kristen sekarang ini, masih terjadi pro dan kontra tentang keabsahan sakramen pembaptisan bagi bayi dan anak. Meskipun hal itu masih berpolemik, tetapi mengenai keselamatan bayi dan anak, semua Kristen berpendapat bahwa keselamatan bagi mereka, semuanya diserahkan kepada Allah selain mengharapkan rahmat atau belas kasihnya dicurahkan kepada mereka. Sikap ambigunya Kristen tersebut, mengimplikasikan bahwa keselamatan bagi bayi dan anak belum pasti mereka dapatkan. Jika memang mereka pasti mendapatkan keselamatan, tentunya mereka akan yakin dalam berpendapat bahwa mereka akan mendapatkan keselamatan tanpa perlu berharap agar rahmat Allah dicurahkan kepada mereka. Karena suatu pengharapan Kristen tersebut, tidaklah mencerminkan akan adanya kepastian mengenai keselamatan terhadap bayi dan anak.

Bagi orang yang meninggal, tetapi belum sempat dibaptis, di dalam Katolik terdapat istilah Api Penyucian atau Purgatorium. Apa itu Api Penyucian? Api penyucian adalah tempat/proses disucikannya seseorang, seperti bayi dan anak. Gereja Katolik mengajarkan hal ini di dalam Katekismus Gereja Katolik (KGK) 1030-1032, yang inti sarinya sebagai berikut:

1) Api Penyucian adalah suatu kondisi yang dialami oleh orang-orang yang meninggal dalam keadaan rahmat dan dalam persahabatan dengan Tuhan, namun belum suci sepenuhnya, sehingga memerlukan proses pemurnian selanjutnya setelah kematian.
2) Pemurnian di dalam Api Penyucian adalah sangat berlainan dengan siksa neraka.
3) Kita dapat membantu jiwa-jiwa yang ada di Api Penyucian dengan doa-doa kita, terutama dengan mempersembahkan wujud Misa Kudus bagi mereka.

Katekismus Gereja Katolik (KGK) yang disahkan pada tanggal 25 Juni 1992, Paus Yohanes Paulus II menyatakan bahwa, KGK adalah “alat yang sah dan legitim dalam pelayanan persekutuan Gereja, selanjutnya sebagai norma yang pasti untuk ajaran iman“ (Dalam Konstitusi Apostolik “Fidei Depositum“). Selain adanya KGK, Katolik melalui komisi di Vatican telah menerbitkan suatu dokumen yang berjudul Pengharapan Akan Keselamatan Anak-Anak Yang Mati Tanpa Pembaptisan. Dokumen tersebut disahkan pada tanggal 20 April 2007, atas persetujuan Paus Benediktus XVI. Penyebab diterbitkannya dokumen tersebut, dikarenakan adanya situasi manusia yang menyedihkan dari para orang tua yang berduka atas kematian bayi mereka sebelum pembaptisan. Komisi tersebut berharap, dapat menanggapi pula pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari mereka yang berduka atas kematian bayi karena aborsi. Karena Gereja Katolik mengajarkan bahwa hidup manusia dimulai sejak saat pembuahan, maka hal ini berlaku pula bagi bayi-bayi yang mati dalam kandungan. Komisi tersebut pun menyatakan, bahwa masalah keselamatan anak-anak yang mati tanpa pembaptisan telah menjadi suatu pertanyaan pastoral yang mendesak sekarang ini, mengingat jumlahnya yang semakin meningkat.

Dari adanya pemaparan di atas, ajaran manakah yang menurut para pembaca bisa memberikan ketegasan dan kejelasan tentang adanya keselamatan yang kelak akan didapatkan oleh bayi dan anak-anak ? Tentunya, anda sendiri yang bisa menilainya.

Comments